Judul: Suamiku Tak Pernah Kenyang
Genre: Drama Rumah Tangga | Realistis | Emosional
Laila Andini tak pernah membayangkan bahwa kehidupan rumah tangganya akan menjadi penjara tanpa pintu keluar. Menikah dengan Arfan Nugraha, pria mapan dan tampak bertanggung jawab di mata orang luar, ternyata justru menyeretnya ke dalam pusaran lelah yang tak berkesudahan.
Arfan bukan suami biasa. Ia memiliki hasrat yang tak terkendali—seakan Laila hanyalah tubuh, bukan hati, bukan jiwa, bukan manusia. Tiap malam adalah medan perang, bukan pelukan cinta. Tiap pagi dimulai dengan luka yang tak terlihat. Laila mencoba bertahan, karena “istri harus melayani suami,” begitu kata orang-orang.
Tapi sampai kapan perempuan harus diam demi mempertahankan rumah tangga yang hanya menguras
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Euis Setiawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 1 :aku ingin tidur,mas
Pagi itu, cahaya matahari baru menyusup malu-malu melalui celah gorden kamar. Di atas ranjang, tubuh Laila masih terasa lemas. Seluruh persendiannya seperti remuk, tulangnya ngilu, dan matanya berat. Ia baru saja memejamkan mata sekitar tiga puluh menit lalu, setelah semalaman Arfan memintanya “melayani”—tiga ronde tanpa jeda. Padahal, sehari sebelumnya Laila sudah kelelahan mengurus rumah, mencuci baju, memasak, dan membersihkan dapur yang penuh piring kotor.
Arfan tak pernah peduli. Baginya, malam adalah waktunya sebagai raja, dan Laila adalah budaknya yang harus siap kapan pun ia mau. Tak ada ruang untuk penolakan, tak ada batas yang dianggapnya wajar.
Laila menarik selimut hingga ke lehernya, berusaha mencuri waktu tidur barang setengah jam lagi. Tapi belum genap sepuluh menit, tangan Arfan kembali bergerak di bawah selimut. Ia menyentuh paha Laila, mengusap pelan tapi penuh maksud. Laila menggeliat pelan, mencoba berpaling ke arah lain.
“Mas, aku lelah... beri aku istirahat sebentar saja, ya...” bisik Laila dengan suara parau dan penuh kantuk.
Namun Arfan seakan tuli. Ia justru mendekat, menciumi leher istrinya perlahan, membisikkan kalimat-kalimat rayuan yang dulu terasa manis, tapi kini hanya membuat tubuh Laila mual. Tangannya terus meraba, cumbuan di leher itu bukan lagi bentuk cinta, tapi tekanan.
“Mas masih pengen, Lay... Bentar aja... kamu manis banget pagi-pagi gini...” ujarnya sambil menarik tubuh Laila lebih dekat.
Laila memejamkan matanya erat-erat. Hatinya menjerit. Ia ingin menolak, ingin marah, ingin berteriak. Tapi mulutnya terkunci oleh ketakutan dan rasa bersalah yang terlalu lama dipelihara.
Kewajiban istri.
Kalimat itu terus bergema di kepalanya.
Bukankah istri memang harus melayani suami? Bukankah menolak berarti dosa? Bukankah perempuan yang baik harus patuh di ranjang?
Tapi... apakah sampai begini?
Tubuhnya mulai menangis. Bukan karena air mata, tapi karena rasa sakit yang datang sebelum waktunya. Luka yang belum kering dipaksa dibuka lagi.
Dan pagi itu pun, untuk keempat kalinya dalam 12 jam terakhir, Laila menyerahkan tubuhnya—bukan karena cinta, tapi karena tak punya pilihan lain.
Usai Arfan pergi ke kantor, Laila hanya duduk di lantai kamar mandi, membiarkan air pancuran membasahi tubuhnya yang kaku dan lelah. Matanya menatap kosong ke keramik yang sudah mulai retak di beberapa sisi.
Tubuhnya bersih, tapi batinnya terasa kotor. Bukan karena suaminya najis. Tapi karena ia merasa seperti benda, dipakai lalu ditinggalkan. Tak ada pelukan setelahnya, tak ada ucapan terima kasih. Hanya perintah dan nafsu.
Setelah mandi, Laila mencoba makan sedikit nasi. Tapi perutnya menolak. Ia hanya meminum teh manis dan duduk di ruang tamu, menyalakan televisi yang suaranya kecil saja, cukup untuk mengusir sepi.
Lalu, handphonenya bergetar. Pesan masuk dari Rani, sahabat lamanya saat kuliah dulu.
“Lail, minggu depan ada reuni kecil di kafe langganan kita. Datang ya. Kangen kamu.”
Laila tersenyum kecil. Sudah lama ia tak bertemu siapa pun. Sejak menikah, Arfan tak suka jika Laila terlalu sering keluar rumah, apalagi bertemu teman lama.
“Aku bukan gadis bebas lagi,” begitu katanya.
Laila menghela napas. Jari-jarinya mengetik balasan pendek.
“InsyaAllah, Ran. Kalau suami izinkan.”
Tak butuh waktu lama, Rani langsung membalas.
“Kalau gak diizinin, kabur aja. Aku culik kamu.”
Laila tertawa kecil, lalu cepat-cepat menghapus chat itu. Takut kalau Arfan melihat dan salah paham. Ia tahu persis, suaminya sangat mudah terbakar cemburu dan curiga.
Hari itu berjalan lambat. Laila membersihkan dapur, mencuci sprei, dan menjemur pakaian. Tubuhnya seperti boneka yang dipaksa bergerak walau nyaris tumbang. Sore hari, ia sempat tertidur di sofa selama setengah jam sebelum suara motor Arfan masuk ke halaman.
Langkah masuk rumah tergesa. Ia langsung menuju kulkas, mengambil air dingin, lalu duduk di kursi makan sambil memainkan HP-nya.
“Gimana hari ini, Mas?” tanya Laila sambil menyuguhkan teh hangat.
Arfan hanya mengangguk. Tidak melihat wajah Laila. Tidak bertanya kabar. Tidak mengatakan “terima kasih”. Semua terasa dingin dan mekanis.
Dan saat malam mulai turun, jantung Laila berdegup lebih kencang.
Ia tahu... malam ini akan terulang lagi.
Pukul sembilan malam, Arfan sudah mulai membuka-buka Youtube, menonton video yang membuat Laila risih. Ia tertawa-tawa sendiri sambil memanggil Laila yang sedang mencuci piring.
“Cepet dong, masuk kamar. Aku nungguin,” ujarnya dari ruang tengah.
Laila menahan diri untuk tidak membanting piring. Tangannya gemetar. Kepalanya sakit.
“Aku haid, Mas,” ucap Laila sambil masuk kamar perlahan.
Arfan memelototinya. “Bohong. Gak ada tuh darah. Kamu lagi cari-cari alasan aja!”
Laila terpaku. Arfan benar-benar tak percaya. Ia membuka lemari, mencari pembalut, bahkan berusaha membuktikan sendiri. Laila bergetar, malu, marah, dan muak.
“Mas, aku capek. Aku manusia. Aku bukan mainan,” ucap Laila lirih.
Arfan hanya menatapnya tajam. “Kalau kamu gak bisa ngelayanin aku, jangan nyalahin aku kalau nanti cari di luar.”
Kalimat itu... lagi. Seperti cambuk yang mencabik-cabik harga dirinya.
Laila masuk ke kamar mandi, mengunci pintu, dan menangis diam-diam. Di balik pintu itu, ia bertanya pada dirinya sendiri: “Ini yang disebut pernikahan suci? Ini yang disebut istri salehah?”
Tubuhnya lelah. Jiwanya hancur. Tapi ia masih bertahan. Karena belum tahu ke mana harus pergi. Karena takut dianggap durhaka. Karena masih berharap—entah pada apa.