Tidak semua cinta datang dua kali. Tapi kadang, Tuhan menghadirkan seseorang yang begitu mirip, untuk menyembuhkan yang pernah patah.
Qilla, seorang gadis ceria yang dulu memiliki kehidupan bahagia bersama suaminya, Brian—lelaki yang dicintainya sepenuh hati. Namun kebahagiaan itu sekejap hilang saat kecelakaan tragis menimpa mereka berdua. Brian meninggal dunia, sementara Qilla jatuh koma dalam waktu yang sangat lama.
Saat akhirnya Qilla terbangun, ia tidak lagi mengingat siapa pun. Bahkan, ia tak mengenali siapa dirinya. Delvan, sang abang sepupu yang selalu ada untuknya, mencoba berbagai cara untuk mengembalikan ingatannya. Termasuk menjodohkan Qilla dengan pria bernama Bryan—lelaki yang wajah dan sikapnya sangat mirip dengan mendiang Brian.
Tapi bisakah cinta tumbuh dari sosok yang hanya mirip? Dan mungkinkah Qilla membuka hatinya untuk cinta yang baru, meski bayangan masa lalunya belum benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lesyah_Aldebaran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Pertama
"Astaga, ini anak!" Nyonya Bella mengomel dengan nada jengah, kesal melihat kebiasaan putrinya yang tak kunjung berubah.
"Setiap hari Ibu yang harus bangunin. Kalau nggak, pasti telat atau malah nggak masuk sekolah lagi! Kamu itu sudah SMA, Qilla. Masa bangun pagi aja masih harus dibangunin terus?"
Perlahan, Qilla terbangun dari tidurnya. Tangannya mengusap kelopak mata yang masih terasa berat, sementara mulutnya menguap lebar-tanda kantuk belum sepenuhnya hilang.
Padahal sejak waktu subuh tadi, Qilla sebenarnya sudah bangun. Bahkan seragam putih abu-abu khas anak SMA pun sudah melekat rapi di tubuhnya. Namun, rasa kantuk yang tak tertahankan membuatnya kembali merebahkan tubuh, hingga akhirnya tertidur lagi.
"Iya, iya, Bu. Bangun kok, ini Qilla bangun," gumamnya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur. Ia pun perlahan duduk di atas kasur, mengerjap beberapa kali sebelum melirik jam di dinding.
07.56.
"Hah?! Astaga! Jam segini?!" serunya panik.
Seketika kantuknya menghilang. Qilla melompat dari tempat tidur, berlari kecil menuju meja belajar mengambil tasnya, lalu kembali sibuk mencari kaus kaki yang entah di mana.
Nyonya Bella hanya menggeleng sambil menyilangkan tangan di dada. "Makanya kalau Ibu bilang bangun, bangun! Nggak usah sok-sokan bilang ‘udah bangun kok’, tapi kenyataannya tidur lagi!"
"Iyaaa, Bu! Maaf, maaf, Qilla nggak sengaja ketiduran lagi," balas Qilla cepat, sambil memasukkan buku ke dalam tas dan mematut diri sekilas di cermin.
"Sarapan sudah Ibu siapkan. Jangan lupa dimakan sebelum berangkat. Jangan cuma bawa kantong kosong ke sekolah!" ujar Nyonya Bella sambil berlalu menuju dapur.
Qilla menarik napas panjang. “Hari yang penuh drama lama,” gumamnya pelan sambil tersenyum kecut, lalu segera bergegas turun ke bawah.
Dengan langkah terburu-buru, Qilla menuruni anak tangga sambil menenteng tas sekolah yang hampir saja terbuka resletingnya. Suara langkah kakinya terdengar tergesa, bergema di lantai rumah yang masih sepi kecuali suara nyaring TV dari ruang tengah dan aroma makanan hangat yang menyeruak dari dapur.
Begitu sampai di meja makan, matanya langsung menangkap sepiring nasi goreng lengkap dengan daging sapi dan irisan berbagai macam sayuran di pinggir piring. Segelas susu hangat juga sudah menantinya.
"Cepat makan. Ibu sudah telepon pamanmu buat nganter kamu," seru Nyonya Bella dari dapur sambil mengaduk teh.
Qilla langsung berhenti mengunyah. "Uncle Aldo? Ih... Qilla nggak mau, Bu! Qilla bisa naik motor sendiri kok!"
"Kamu udah telat, Qilla. Naik motor malah bisa makin telat. Lagian, pamanmu itu jago nyalip kendaraan. Setidaknya dia bisa pastiin kamu benar-benar masuk sekolah."
"Lagian, aku kan nggak pernah minta sekolah di luar, Bu. Aku lebih suka homeschooling. Tapi Ibu selalu paksa aku ini-itu!" sahut Qilla sengit.
"Huh... Aku cuma pengen hidup tenang dan damai kayak dulu, Bu. Nggak ada suara ribut-ribut yang ganggu pendengaranku," tambahnya kesal.
"Ya udah, tinggal aja di hutan sana kalau nggak mau dengerin keributan!" balas Nyonya Bella sambil memutar bola mata.
Baru dua sendok nasi masuk ke mulut, suara klakson mobil terdengar dari depan rumah.
"Itu pasti pamanmu. Cepat habiskan sarapanmu!" seru ibunya lagi tanpa menoleh.
Qilla buru-buru meneguk susunya, mengambil sepotong roti dan memasukkannya ke dalam plastik.
"Bu, makasih sarapannya! Qilla berangkat dulu ya!" teriaknya sambil menyambar tas.
"Jangan lari-lari! Dan jangan lupa baca doa!" teriak Nyonya Bella membalas.
Qilla melambai dari depan pintu lalu membuka pagar besar rumah mereka. Di luar, sebuah mobil sport hitam-merah terparkir dengan jendela terbuka. Dari dalam, Uncle Aldo menatap Qilla dengan ekspresi datar.
"Telat lagi ya, Nona Putri tidur," sindir Aldo sambil membuka pintu mobil dari dalam.
Qilla manyun. "Qilla nggak mau ikut uncle! Qilla mau naik motor sendiri, titik!"
Aldo menghela napas panjang. "Baiklah. Tapi jangan bolos sekolah, paham?"
"Paham! Udah sana pergi," usir Qilla ketus.
Mobil Bugatti milik Aldo pun melaju pelan menyusuri jalan, meninggalkan Qilla yang masih berdiri menatap punggung mobil itu hingga menghilang di tikungan. Ia kemudian berjalan ke arah motornya.
Gadis itu mengendarai motor kesayangannya—hadiah ulang tahun dari kedua orang tuanya. Namun, bukannya langsung ke sekolah, Qilla justru berhenti di taman bunga yang tenang dan asri. Ia mematikan mesin, lalu duduk di bangku taman, membiarkan semilir angin pagi menenangkan pikirannya yang sedang kacau.
Tak lama kemudian, suara motor lain terdengar mendekat.
"WOI! Lo ngapain duduk di situ?" tanya seorang siswa dari atas motor ZX-25R hitamnya. Dialah Arion teman dekat Qilla.
"Arion, lo mau bolos bareng gue lagi nggak?" goda Qilla dengan senyum nakal.
"Buset, ngajak bolos lagi? Nggak bosen apa tiap hari begitu terus?"
"Di kamus hidup gue, nggak ada kata bosen buat bolos," jawab Qilla santai dan bangga.
"NGGAK! Nggak ada bolos-bolosan lagi! Cepetan berangkat! Pak Brian bisa-bisa bunuh lo kalau telat!" seru Arion panik.
"Sial!" Qilla buru-buru menyalakan motornya lagi dan melaju ke sekolah.
Sesampainya di kelas, suasana mendadak hening saat Pak Brian guru yang terkenal dingin itu masuk ke dalam ruangan. Semua murid langsung berdiri memberi salam.
"Pak! Di kepala Bapak ada daun, tuh!" seru Qilla tiba-tiba.
Pak Brian langsung refleks menyentuh kepalanya, mengacak rambutnya mencari-cari daun yang dimaksud. Ternyata tak ada apa-apa. Qilla tertawa puas, dan teman-temannya hanya bisa melotot sebal.
"Kintania Raqilla Alexander. Keluar!" suara Pak Brian tajam, penuh wibawa.
"Loh, Pak! Saya kan cuma bercanda tadi," ucap Qilla santai, seolah tak merasa bersalah.
Teman-teman sekelasnya sudah siap mengepal tangan mereka antara gregetan dan heran kenapa cewek selucu itu bisa sebandel ini.
"KELUAR, QILLA!"
"Wah, wah... Bapak nggak tahu ya? Ibu saya itu kepala sekolah di sini loh pak," kata Qilla santai sambil tersenyum usil.
Arion yang duduk di sampingnya langsung menendang tulang kering Qilla dari bawah meja. Qilla menoleh tajam.
"Keluar, bego! Lo nggak liat mata Pak Brian udah kayak mau nelen lo hidup-hidup?" bisik Arion ketus.
"Iya, iya, gue keluar. Bawel banget dah lo," jawab Qilla akhirnya sambil mengemasi barang-barangnya.
Saat Qilla hendak melangkah ke luar, tangan Pak Brian menahan lengannya.
"Jam istirahat nanti, ke ruangan saya," ucap Pak Brian datar namun tegas.