Yang sudah baca novelku sebelumnya, ini kelanjutan cerita Brayn dan Alina.
Setelah menikah, Brayn baru mengetahui kalau ternyata Alina menderita sebuah penyakit yang cukup serius dan mengancam jiwa.
Akankah mereka mampu melewati ujian berat itu?
Yuk baca kelanjutan ceritanya 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Cerita Alina dan Brayn, Author sambung di sini aja, ya!
Biar ceritanya gak kecampur-campur.
Untuk yang sudah baca di novel sebelumnya, boleh baca kelanjutannya saja 🙏
**
Dua minggu berlalu.
Pagi itu Pak Vino dengan ditemani Gilang mendatangi rumah Bagas.
Tadinya mereka ingin langsung sekalian mengajak keluarga besar.
Namun, demi kenyamanan, mereka memilih pergi berdua lebih dulu sebagai pembuka jalan dari pihak lelaki.
Kedatangan Pak Vino pun disambut baik oleh Bagas.
Meskipun ia sedikit terkejut dengan kedatangan sang bos yang mendadak.
Setelah mengisi waktu dengan perbincangan santai, ketiganya mulai tampak serius.
Pak Vino menyeruput secangkir teh hangat lebih dulu, lalu menarik napas dalam.
"Bismillah, sebenarnya kedatanganku kemari untuk satu tujuan," ucap Pak Vino memulai.
Bagas terdiam, menunggu ucapan sang bos berikutnya.
"Maksudnya tujuan apa?" tanya Bagas.
"Kita sudah berteman sangat lama. Bahkan sejak kita masih remaja. Sebenarnya, aku sangat berharap persahabatan kita bisa berkembang menjadi sebuah keluarga. Karena itu, aku sangat senang saat anakku, Brayn, memberitahuku bahwa dia punya niat baik terhadap anakmu, Alina."
"Maksudnya ...." Bagas yang terkejut itu tak mampu berucap banyak. Ia bahkan mematung karena terkejut.
"Kamu pasti tahu Alina sudah seperti anakku sendiri. Dia yang menemaniku dan Resha saat kami berada di masa-masa sulit sejak hilangnya Byan. Aku sangat ingin menjadikannya sebagai bagian dari keluargaku. Kalau kamu setuju, insyaallah secepatnya kami akan datang untuk melamar Alina secara resmi."
Bagas terkejut. Sama sekali tak menyangka bahwa gadis yang selama ini disebut-sebut Brayn adalah putrinya.
Brayn kerap bercerita tentang gadis yang disukainya, meski secara tak langsung menyebut sebuah nama.
Bagas mengusap ujung matanya yang basah. Lalu, menarik napas dalam-dalam dan tersenyum.
"Sebelumnya, aku ucapkan terima kasih. Sejujurnya, aku benar-benar terkejut. Aku sangat tersanjung dan menghargai niat baik ini. Tapi, apa Bos yakin?"
"Insyaallah. Brayn pasti sudah memikirkan semuanya sampai menjatuhkan pilihan pada Alina."
Bagas menjeda dengan hela napas.
"Hanya saja, status Alina jauh di bawah kalian, kami hanya orang yang berasal dari keluarga biasa. Bagaimana pun juga status sosial kita tidak sama. Anakku mungkin akan dianggap memanfaatkan kedekatan orang tuanya untuk masuk ke keluarga ini."
"Tolonglah jangan bicara begitu. Kita sudah lama berteman dan aku benar-benar ingin persahabatan kita menjadi keluarga," sahut Pak Vino. "Aku tidak peduli apa kata orang. Lagi pula, Alina tidak pernah memanfaatkan apapun."
Bagas kembali merenung, selama beberapa saat ia larut dalam kebisuan.
Sejenak ia melirik Maya yang duduk di sisinya. Wanita itu pun sama diamnya.
Hingga akhirnya, Bagas memberanikan diri menatap sang bos.
"Maaf, Bos. Tapi, sungguh aku merasa tidak layak. Ada banyak gadis baik yang sepadan yang bisa memenuhi harapan itu. Aku benar-benar minta maaf, dengan berat hati, aku tidak bisa menerima niat baik ini. Tolong sampaikan permintaan maafku pada keluarga Hadiwijaya, terutama pada ... Brayn."
"Apa ada kekurangan dalam diri anakku yang mungkin tidak bisa kamu terima?" tanya Pak Vino setelah Bagas menolak lamarannya.
"Sama sekali tidak. Bagiku Brayn adalah laki-laki yang sangat baik. Tidak ada kekurangan apapun dalam dirinya." Bagas berucap pelan.
"Kalau begitu alasan apa yang membuatmu menolaknya?" Kali ini Gilang membuka suara. "Kamu pasti tahu seperti apa Brayn karena kamu sudah menjaganya sejak kecil."
Bagas mengangguk pelan, masih ada senyum tipis di sudut bibirnya.
"Karena aku sangat mengenalnya maka aku menolak. Aku yakin dia bisa menemukan seseorang yang jauh lebih baik, yang bisa memenuhi semua harapannya, yang bisa membangun keluarga sempurna dengannya. Sedangkan Alina ... dia tidak akan mampu memenuhi itu semua. Alina hanya akan jadi beban untuknya."
Tentu alasan tersebut tak semudah itu untuk diterima Pak Vino.
Jika dilihat dari luar, Alina mungkin bukan gadis sempurna yang masih butuh banyak belajar.
Tetapi, ia memiliki hati yang lembut dan tulus. Karena itu Pak Vino yakin bahwa Brayn mampu membawanya ke jalan yang lebih baik. Begitu pun sebaliknya.
"Beban apa maksudmu? Tidak akan ada yang membebani siapapun. Mereka akan saling melengkapi dan saling menutupi kekurangan masing-masing. Brayn pun punya kekurangan."
"Bos, maafkan aku yang sudah lancang menolak. Bukan aku tidak menghargai. Tapi, aku benar-benar belum bisa melepas putriku. Maafkan aku."
Tak ingin memaksa, Pak Vino akhirnya pasrah.
Sepenuh hatinya bahkan berharap bahwa Bagas hanya sedang bercanda dengan penolakannya. Mengingat kedekatan Bagas dengan Brayn selama ini.
"Apa sama sekali tidak ada kesempatan bagi anakku?" tanya Pak Vino menatap lelaki yang duduk di hadapannya.
Sementara Maya sejak tadi hanya diam dan menunduk.
"Jodoh tidak ada yang tahu. Tapi, kalau untuk saat ini aku tidak bisa berbuat apa-apa." Bagas menghela napas panjang.
Pak Vino melirik Gilang seolah sedang meminta pendapat. Sepupunya itu hanya memberi isyarat dengan anggukan pelan.
Sebuah isyarat yang mampu ditangkap oleh Pak Vino dengan baik, agar dirinya tidak sampai memaksa atau membuat Bagas tidak nyaman.
Biarlah hal ini akan mereka bicarakan lagi di rumah dengan kepala dingin.
"Maaf, kalau kami terkesan terburu-buru. Sejujurnya, aku sangat senang saat Brayn memberitahuku bahwa dia memiliki niat yang baik terhadap Alina dan dia siap menikah. Karena itu aku tidak mau mengulur waktu dan memutuskan bertemu denganmu," ucap Pak Vino.
"Aku yang minta maaf untuk ini," balas Bagas.
"Kenapa harus minta maaf? Aku menghormati keputusanmu. Meskipun aku berharap Alina bisa menjadi anggota keluarga kami seutuhnya, tapi, kamu Ayahnya dan kamu berhak memilihkan jodoh untuknya."
Bagas mengangguk. "Terima kasih, Bos. Aku benar-benar tidak enak."
"Jangan dipikirkan. Semoga hal ini tidak mempengaruhi apapun. Alina tetap akan jadi anakku yang istimewa."
Bagas mengulas senyum. Tetapi matanya mengembun, seperti menyimpan sesuatu dalam hati.
Setelah pembicaraan panjang itu, Pak Vino dan Gilang beranjak meninggalkan rumah Bagas.
Mobil melaju pelan malam itu. Pak Vino duduk bersandar di sisi Gilang yang sedang mengemudikan mobilnya.
"Menurutmu apa ada penyebab lain yang membuat Bagas menolak lamaran kita?" Gilang melirik Pak Vino sekilas, lalu kembali fokus dengan jalanan di depan.
"Aku tidak tahu. Tapi, semua orang pasti punya kriteria calon menantu. Mungkin saja, ada dalam diri Brayn yang tidak disukai Bagas."
"Aku rasa bukan itu. Apa jangan-jangan ada hubungannya dengan kejadian mereka terjebak di kamar hotel?"
"Tidak mungkin. Bagas bukan tipe orang yang mudah peduli dengan pendapat orang lain," imbuh Pak Vino.
"Kalau begitu kenapa?"
Pak Vino mengangkat bahu sambil membuang napas panjang.
"Aku tidak mau sembarang menebak, takut jadinya malah su'udzon."
"Ya, kamu benar."
"Yang sekarang aku pikirkan adalah bagaimana aku akan beritahu anakku kalau lamarannya ditolak? Dia pasti akan kecewa dan patah hati."
Gilang kembali melirik sekilas. "Bagaimana aku bisa tidak menyadari perasaannya terhadap Alina?"
"Aku juga hampir tidak menyadarinya. Baru tahu beberapa waktu lalu, saat aku berniat mengenalkannya dengan anak salah satu rekan bisnis kita. Dia menolak dan bilang sudah punya pilihan sendiri. Katanya, gadis itu adalah orang yang sangat dekat dengan kami. Siapa lagi kalau bukan Alina?"
Gilang mengangguk. "Apa Alina tahu? Kenapa Bagas tidak tanyakan dulu pada anaknya? Bagaimana kalau Alina punya perasaan yang sama terhadap Brayn?"
"Aku sudah pernah menanyakannya pada Alina."
"Lalu?"
"Dia pikir aku bercanda." Pak Vino tersenyum setelahnya. "Makanya aku langsung lamar, supaya dia tidak berpikir aku bercanda."
"Tapi malah ditolak."
Keduanya tersenyum kecut.
*************
*************
up lagi thor