NovelToon NovelToon
Misteri Kematian Sandrawi

Misteri Kematian Sandrawi

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Matabatin / Mata Batin / TKP / Tumbal
Popularitas:941
Nilai: 5
Nama Author: lirien

“SANDRAWI!”

Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.

Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.

Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Fakta Baru

Renaya memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan amarah yang mulai mendidih di dadanya sebelum akhirnya membuka suara.

“Bapak ngapain di sini?” tanyanya datar, namun sorot matanya menyiratkan kecurigaan yang tajam.

Tatapannya langsung tertumbuk pada gerakan tangan Baskoro yang tergesa-gesa menyelipkan sesuatu ke dalam saku celananya, benda kecil yang tadi sempat dilihat Renaya di lantai kamar. Wajah lelaki paruh baya itu memucat, terlihat kelabakan seolah-olah tak menduga akan dipergoki dalam situasi seperti ini.

“Kenapa Bapak nggak bilang soal kos-kosannya Sandrawi? Dan… kenapa Bapak ngambil kondom dari kamar ini?” desak Renaya, matanya menyipit, hatinya berdegup kencang oleh rasa tidak nyaman.

Baskoro tersentak, kerongkongannya bergerak menelan ludah. Napasnya tertahan selama beberapa detik, seolah-olah otaknya tengah bekerja keras mencari alasan.

“S-Siapa juga yang ngambil?” dalih Baskoro gugup, pandangannya tak sanggup menatap balik ke arah putrinya. “Bapak cuma mau buang… buang benda nggak pantes itu!” katanya sambil melirik ke arah jendela, mencoba mengalihkan fokus.

Renaya mengatupkan rahangnya rapat-rapat. Ia sudah lama hidup cukup untuk tahu kapan seseorang berbohong, dan reaksi ayahnya saat ini sungguh membuat naluri kewaspadaannya berdering keras.

“Bapak belum jawab pertanyaan saya,” desis Renaya, nadanya dingin. “Ngapain Bapak bisa di sini? Dan buat apa ambil kondom itu?”

Baskoro mulai gusar. Tangannya mengepal, suaranya mulai meninggi. “Udah dibilang tadi! Bapak cuma mau buang! Itu… itu bekas perbuatan nggak bener adikmu!” ucapnya, mengembuskan napas kasar.

Renaya mengerutkan dahi. “Perbuatan nggak bener? Maksudnya gimana?” tanyanya, meski dalam benaknya sudah bermunculan tanda tanya yang makin rumit.

Wajah Baskoro memerah. Ia mendengus, matanya berkobar marah. “Kamu tuh nggak tahu apa-apa! Waktu Sandrawi butuh, kamu kemana? Enak-enakan hidup sendiri! Sementara dia… dia ngikutin jejakmu!” sembur Baskoro, kata-katanya mengandung tuduhan yang menusuk.

Renaya tertegun, kedua alisnya berkerut lebih dalam. “Ngikutin jejak saya?”

Baskoro menghentakkan kakinya, mengumpat, “Sama aja kalian berdua! Sama-sama aib keluarga! Dari kamu nggak bener, adikmu ikut nggak bener! Kalian cuma bikin malu!”

Suara itu bergetar, menyembur seperti api yang menyambar jerami kering.

Namun bagi Renaya, kata-kata itu justru membuka pintu lain yang selama ini terkunci. Ada sesuatu yang tak beres. Jika benar Baskoro tahu Sandrawi menyimpang sejauh itu, kenapa selama ini hanya diam? Kenapa tak ada tindakan apapun?

“Maksudnya… Bapak nuduh Sandrawi jual diri?” suaranya meninggi, bergetar antara marah dan getir.

“Bapak nggak nuduh! Memang begitu kenyataannya!” bentak Baskoro, matanya merah menyorot tajam.

Renaya menggigit bibir, nalarnya berputar cepat. Ada sesuatu yang sangat tidak logis. Dari mana Baskoro tahu? Tetangga? Desas-desus? Itu bukan alasan cukup. Dan jika memang Baskoro tahu selama ini, mengapa memilih bungkam?

“Dari mana Bapak tahu kalau Sandrawi… seperti itu?” bisiknya. Sorot matanya menembus dalam, mencoba mengurai kebohongan yang tampak berlapis.

Baskoro mengelak, gugup kembali melingkupi sikapnya. “B-Bapak juga nggak tahu jelas… udahlah, Bapak mau pulang. Ibumu sendirian di rumah,” ujarnya buru-buru, berbalik, langkahnya cepat melangkah meninggalkan kamar itu.

“Bapak! Bapak jangan pergi dulu! Jelasin sama saya!” Renaya memanggil, namun suara teriakannya hanya menggema kosong, tak dihiraukan.

Ia terdiam di ambang pintu, tangan kirinya mencengkram kusen, sementara tangan kanannya memijat pelipis yang berdenyut.

Semakin dalam ia menggali, semakin dalam pula sumur keraguan yang menyergapnya. Seperti saat ini, entah bagaimana ayahnya tahu Sandrawi menjual diri tapi diam saja seolah tak terjadi apapun? Seakan-akan Sandrawi memang dibiarkan menjalani pekerjaan itu.

Andai Renaya tidak menanyai Adibrata lebih dulu, mungkin dia takkan pernah mengetahui keberadaan kamar kos yang dihuni sang adik. Dan tentu saja, dia tak akan pernah memergoki Baskoro berkeliaran di tempat ini.

Kini pertanyaannya bergelayut tanpa henti—untuk apa sebenarnya Baskoro datang ke kos Sandrawi? Terlalu mengada-ada jika alasannya sekadar membuang kondom yang ditemukan di kamar itu. Ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang disembunyikan rapat-rapat. Renaya tahu, mulai detik ini, ia harus lebih tajam mengawasi gerak-gerik pria itu.

"Apa sebenarnya yang sedang terjadi di sini?" lirihnya, seraya menekan pelipis yang mulai berdenyut keras.

Renaya kembali menyusuri sudut-sudut kamar Sandrawi. Ia menyibak tumpukan pakaian yang tergantung lusuh di lemari, membuka laci-laci kecil yang seolah membisu, memeriksa barang-barang yang dibiarkan berdebu sejak kepergian sang adik. Namun tak satu pun memberi jawaban. Semuanya hanya menyisakan kehampaan, seolah Sandrawi telah menghapus jejaknya dari dunia tanpa meninggalkan apapun kecuali kesedihan yang membatu.

Mungkin tak ada lagi yang bisa ditemukan. Dengan napas panjang, Renaya melangkah keluar, menutup pintu kamar dengan helaan berat. Saat hendak meninggalkan area kos itu, sebuah suara menahan langkahnya.

“Mbak… sebentar!” suara itu memanggil penuh keraguan.

Renaya menoleh, mendapati Tutik gadis yang tadi pagi sempat ia jumpai berdiri di teras, setengah berlari menghampirinya. Rambutnya yang setengah basah dibiarkan tergerai, handuk yang tadi melilit kepala kini menghilang entah ke mana.

Renaya menyipitkan mata. “Ada apa?” tanyanya datar namun tak menyembunyikan rasa ingin tahu.

Tutik tampak sungkan. Jemarinya sibuk memilin ujung bajunya, seperti menyembunyikan sesuatu di balik kegelisahan.

“Maaf, Mbak… bukan maksud saya ikut campur urusan keluarga,” ucapnya pelan. “Saya cuma… eh…”

Renaya menghela napas tipis, tangannya menyilang di dada, berusaha bersabar. “Ngomong saja, nggak usah takut.”

Tutik meneguk ludah, matanya menghindari tatapan Renaya. “Itu… laki-laki tadi, yang barusan keluar dari kamar Sandrawi… Mbak kenal siapa dia?”

Renaya mengernyitkan kening. “Laki-laki tadi? Oh… itu Bapak saya. Kenapa memangnya?”

Tutik sontak melangkah mundur setengah jengkal, ekspresi wajahnya berubah—antara terkejut dan gusar. “B-Bapaknya Mbak? Jadi… Bapaknya Sandrawi juga?” suaranya terdengar gamang.

Rasa curiga merayap dalam dada Renaya. Tatapannya menajam, membaca gelagat Tutik yang seolah menyimpan sesuatu. Apa yang sebenarnya hendak diutarakan gadis ini?

"Iya, memang kenapa?" tanya Renaya, kini matanya mulai tajam menelisik. "Kamu sering lihat beliau datang ke sini?"

Tutik tampak ragu, mengangguk perlahan. Bibirnya sempat terbuka, namun tak satupun kata berhasil meluncur. Jemarinya saling meremas, menahan kegelisahan yang jelas terpancar dari wajahnya.

“Duh, saya bingung, Mbak… nggak enak ngomongnya,” lirih Tutik, suaranya nyaris tak terdengar.

Renaya menarik napas pendek, menahan sabar.

“Sudah, ngomong saja. Saya nggak bakal marah. Seberapa sering kamu lihat dia datang? Dan kamu tahu dia ke sini ngapain?”

Tutik semakin gelisah. Kedua matanya bergerak ke sana kemari sebelum akhirnya ia menunduk, seperti mengumpulkan keberanian.

“Itu dia, Mbak. Saya sering lihat beliau datang ke kamar Sandrawi. Awalnya saya kira beliau orangtuanya Sandrawi, karena sering datang bareng seorang perempuan juga. Tapi Sandrawi selalu diam setiap saya tanya siapa laki-laki itu. Lama-lama saya curiga, kayaknya beliau bukan orangtuanya.”

Renaya tercenung. Ucapan Tutik bagai petir yang menyambar di siang bolong.

“Perempuan?” batinnya mencelos. Kenapa Baskoro bisa membawa perempuan lain ke kamar ini? Teringat kondom yang tadi ditemukannya, dada Renaya mendadak panas. Apakah barang itu milik Baskoro sendiri?

“Seberapa sering beliau datang dengan perempuan itu?” suara Renaya merendah, namun tajam. Wajahnya mengeras.

Tutik mulai menghitung dengan jari-jarinya. “Hampir seminggu dua kali, Mbak. Dan... setiap mereka datang ke sini...” suara Tutik tercekat, rona merah menjalari pipinya. “Saya… saya kadang dengar suara… suara nggak pantas dari kamar. Desahan orang yang… ya, begitulah…” Tutik memalingkan wajah, tak sanggup menatap Renaya.

“Bangsat!” makian meluncur dari bibir Renaya tanpa mampu dia bendung. Tubuhnya bergetar menahan marah. Ia menatap Tutik tajam, namun bukan karena emosi pada gadis itu, melainkan karena amarah yang meledak untuk pria yang seharusnya menjadi teladan keluarga.

Tutik tersentak kaget. “Maaf, Mbak… saya bukan mau ikut campur, cuma saya ngerasa Mbak harus tahu semuanya. Apalagi… Sandrawi… udah nggak ada…”

Renaya menggeleng pelan, memaksa dirinya untuk tetap tenang. “Kamu nggak salah. Saya malah yang harusnya berterima kasih karena sudah jujur.”

Ia merogoh ponselnya, membuka galeri dan memperlihatkan sebuah foto kepada Tutik. “Perempuan yang kamu lihat, apakah ini orangnya?”

Tutik hanya butuh satu detik sebelum matanya melebar dan buru-buru mengangguk. “Iya, Mbak. Persis seperti itu. Mereka sering bikin penghuni kos di sini nggak nyaman.”

Renaya menutup ponselnya dengan desahan napas kasar. Pikirannya bergemuruh. Baskoro tidak hanya menghabiskan uang ibunya, tapi juga berselingkuh dengan Saras, mempermalukan keluarga, bahkan menodai kamar Sandrawi. Tangannya mengepal kuat.

“Jadi selama ini dia bersenang-senang di belakang kami,” desis Renaya penuh amarah. “Menyia-nyiakan pengorbanan Ibu demi kesenangan murahannya.” Tidak, dia tidak akan tinggal diam lagi.

1
Ruby
semangat ya Thor, aku bakal balik lagi kok. Ceritanya bagus, penuh misteri!!
Anonymous: Aww trimksih banyak yaa
seneng banget ada yang support begini🌷☺️🫶
total 1 replies
Ruby
Wahh curiga sama bapaknya /Drowsy/
Ruby
terus pria yang sebelumnya menatap sandrawati b*ndir siapa?
Ruby
siapa yang naruh bawang di sini?!/Sob/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!