Nayra Kirana, gadis berusia 22 tahun yang baru lulus kuliah, dihadapkan pada kenyataan pahit, ayahnya sakit keras dan keluarganya berada di ambang kehancuran ekonomi. Ketika semua pintu tertutup, satu-satunya jalan keluar datang dalam bentuk penawaran tak terduga—menikah dengan Arka Pratama, pria terpandang, CEO sukses, sekaligus... paman dari senior sekaligus bos tempatnya magang.
Arka adalah duda berusia 35 tahun, dingin, tertutup, dan menyimpan banyak luka dari masa lalunya. Meski memiliki segalanya, ia hidup sendiri, jauh dari kehangatan keluarga. Sejak pertama kali melihat Nayra saat masih remaja, Arka sudah merasa tertarik—bukan secara fisik semata, melainkan pada keteguhan hati dan ketulusan gadis itu. Ketika Nayra tumbuh dewasa dan kesulitan menghimpit hidupnya, Arka melihat kesempatan untuk menjadikan gadis itu bagian dari hidupnya.
Tanpa cinta, tanpa keromantisan, mereka memulai hidup sebagai suami istri berdasarkan perjanjian: tidak ada kewajiban fisik, tidak ada tuntutan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lee_ya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nikah? sama Paman?!
"Apa? Nikah? Sama siapa, Ma?”
Nada suaraku naik dua oktaf, dan aku yakin kalau detik itu juga, jantungku baru saja kehilangan iramanya."
Mama mengangguk tenang sambil menyesap teh hijaunya.
“Dengan pamanmu. Lebih tepatnya, pamannya Farel, CEO tempat kamu magang itu, lho.”
Aku menatap Mama dengan sorot penuh tidak percaya.
“Yang bener aja, Ma. Aku masih dua puluh dua tahun. Baru lulus. Belum kerja tetap, belum sempet ngapa-ngapain! Masa disuruh nikah?” aku tak mempedulikan lagi suaraku yang ngegas seperti motor 2 tak.
“Justru karena kamu belum terlalu banyak terikat, ini momen yang pas.” jawab mama dengan santuy-nya.
Aku memijit pelipis. Mencoba mengingat dengan keras, paman siapa yang dimaksud. Farel, cowok itu, senior waktu kuliah yang sekarang jadi bosku, memang kaya raya, ganteng, tapi dinginnya minta ampun. Pernah sekali aku mendengar dia bicara tentang pamannya. Katanya, pemilik utama perusahaan tempat kami bekerja. Tapi...kok bisa harus nikah? Sama dia?
“Pamannya itu... yang rambutnya ada uban sedikit di pelipis, yang suka datang ke kantor pakai jas hitam dan jam tangan mahal itu?” tanyaku dengan suara parau dan menegaskan lagi.
Mama tersenyum bangga.
"Tuh kan, kamu tahu juga. Namanya Arka Pratama. Duda, belum punya anak. Masih muda. Baru tiga puluh lima tahun, gak tua-tua amatlah," ucap mama.
Tiga puluh lima? Hampir dua kali umurku. Aku hampir tersedak napas sendiri.
“Aku bukan barang buat dipaketin gitu aja, Ma!” aku masih tidak terima dengan usulan untuk menikah, apalagi dengan orang yang usia jauh di atasku.
“Tapi kamu tahu kan keadaan Papa? Kita butuh biaya buat pengobatan. Kamu sendiri lihat surat-surat tagihan itu.” Mata Mama mulai memerah.
“Dan paman Arka itu... dia bersedia bantu semua pengobatan Papa kalau kamu mau menikah dengannya.”
Aku menunduk. Hening. Sakit kepala, dada sesak. Bukan karena Arka-nya, tapi karena pilihan yang mendesak. Seolah hidup menempeli leherku dengan pisau.
“Jadi ini barter?” tanyaku lirih.
"Aku jadi istri buat bayar utang?”
“Enggak begitu maksud Mama, Nayra.” Mama menggenggam tanganku.
“Beliau bilang... beliau suka kamu. Udah lama. Sejak pertama kali kamu ikut Mama ke acara kantor dulu.”
Mataku memelotot, nyaris melotot keluar. “Itu... waktu aku SMA!”
Mama mengangguk pelan.
“Katanya itu kamu manis, pintar, dewasa.”
“Jadi dia udah naksir aku dari aku SMA? Gila.” Aku bangkit dari kursi, berjalan ke arah jendela, menarik napas panjang. Di luar, hujan mulai turun. Seolah semesta ingin ikut menumpahkan segala rasa tidak masuk akal ini.
Aku memejamkan mata. Mencoba menenangkan diri. Aku tahu Papa sakit keras. Biaya kemoterapi mahal. Rumah sakit sudah mengirimkan tiga surat penundaan pembayaran. Kami sudah menjual mobil, perhiasan, bahkan rumah kecil di kampung yang diwariskan kakek.
Dan sekarang, seorang pria bernama Arka Pratama, duda kaya raya, ingin menikahiku... untuk menyelamatkan keluargaku dari kehancuran.
“Aku boleh ketemu dia dulu?” tanyaku akhirnya. Suara lirih yang nyaris tak terdengar.
Mama mengangguk cepat.
“Besok malam, di restoran dekat taman kota.”
Aku membalikkan badan, menatap Mama. “Dan kalau aku tetap nolak?”
Mama diam. Lalu berkata dengan suara serak,
"Kalau kamu nolak, Papa akan dipulangkan dari rumah sakit.”
***
Restoran itu mewah. Bahkan terlalu mewah untuk orang yang hanya berniat ngobrol tentang... penawaran pernikahan.
Aku mengenakan blouse putih sederhana dan celana bahan. Makeup tipis. Rambut ku ikat ke belakang. Aku tak tahu harus menyiapkan diri untuk apa. Tapi aku ingin datang sebagai aku yang apa adanya, tanpa polesan.
Dan di sanalah dia. Duduk di pojok restoran, mengenakan kemeja abu gelap yang terlihat mahal. Wajahnya tegas, bersih, nyaris tak ada kerutan. Hanya mata tajam itu yang membuatku merasa seperti sedang diselami.
“Silakan duduk, Nayra.” Suaranya rendah, dalam, dan sangat tenang.
“Aku pesan teh chamomile untukmu.”
Aku duduk, mencoba bersikap wajar.
“Terima kasih. Tapi... bagaimana Bapak tahu aku suka chamomile?”
Dia tersenyum tipis.
“Aku tahu banyak hal tentang kamu. Termasuk bagaimana kamu suka membaca buku di peron kereta, dan kamu selalu menulis puisi di ponsel setiap malam.”
Aku mengerutkan kening.
“Kamu ngintilin aku?”
Dia terkekeh, dan untuk pertama kalinya senyumnya terasa... manusiawi.
“Tidak. Aku hanya... memperhatikan dari jauh. Sejak kamu datang ke kantor dulu bersama ibumu.”
“Jadi benar. Kamu udah ngelirik aku dari aku SMA?”
Dia tak menyangkal. “Kamu masih anak-anak waktu itu. Aku cuma mengagumi, dan menyimpan rasa itu sampai kamu dewasa.”
Aku mengangguk pelan. “Jadi, kamu... suka sama aku?”
“Ya.” Jawabnya tegas, tanpa ragu.
Aku menggigit bibir bawah. “Kenapa harus menikah? Kenapa bukan... pacaran dulu? Kenapa harus buru-buru?”
Arka menatapku lama, lalu berkata,
“Karena aku bukan lelaki yang suka main-main. Aku tahu apa yang aku mau. Dan aku mau kamu.”
Detak jantungku tidak beraturan. Aku menelan ludah. “Apa aku punya pilihan?”
“Selalu.” Jawabnya.
“Tapi aku janji, kalau kamu menikah denganku, kamu akan tetap bisa jadi dirimu sendiri. Aku tidak akan mengurungmu. Aku tidak akan menyentuhmu tanpa persetujuanmu. Aku hanya ingin kamu ada di sisiku.”
Aku memejamkan mata. Memikirkan Papa. Mama. Hidup yang tidak pernah mudah. Dan pria dewasa di depanku ini, yang tampak begitu yakin, begitu stabil, dan entah kenapa menakutkan sekaligus meyakinkan.
Lalu aku bertanya pelan, “Kalau aku bilang ya... kapan pernikahannya?”
“Dua minggu dari sekarang.”
Dan hari itu, langit seolah menggelap lebih cepat dari biasanya. Tapi entah kenapa... aku tidak bisa berkata tidak.
***
“Aku nggak tahu harus jawab apa malam ini,” gumamku sambil menatap meja makan yang sudah sepi. Teh chamomile yang tadi dipesankan Arka sudah dingin. Tapi kata-katanya masih menghangatkan ubun-ubunku. Menikah dua minggu lagi.
Arka menatapku dengan sorot lembut tapi tajam.
“Kamu nggak harus jawab sekarang. Tapi aku harap kamu nggak terlalu lama menimbang.”
Aku mengangguk pelan. “Kenapa aku?”
Dia tak langsung menjawab. Sebaliknya, dia membuka ponselnya, memperlihatkan satu foto padaku. Aku mencondongkan tubuh, lalu terdiam.
Itu foto aku dan Mama, saat kami sedang duduk di halte. Aku mengenakan seragam SMA, menunduk sambil membaca buku.
“Kamu pernah bilang kamu bukan barang untuk dipaketin,” ucap Arka pelan.
“Dan kamu benar. Tapi sejak hari itu... aku tahu, kamu adalah sesuatu yang ingin aku jaga. Mungkin terdengar klise, tapi itu kenyataannya.”
Aku mengalihkan pandangan. “Kenapa baru sekarang?”
“Karena aku harus memastikan kamu cukup dewasa untuk membuat keputusan. Dan aku cukup sembuh untuk menjalani hubungan.”
Aku ingin tertawa sinis, tapi entah kenapa bibirku justru kelu. Aku bingung antara takut dan... tersentuh. Arka bukan tipikal pria yang basa-basi. Setiap katanya terasa seperti surat kontrak yang tidak bisa digugat. Tegas. Lurus. Tapi jujur.
“Kamu bilang nggak akan nyentuh aku tanpa izin,” aku mencoba meyakinkan diri. “Itu janji?”
“Janji,” sahutnya tanpa ragu.
“Kalau suatu hari kamu jatuh cinta, dan ingin hubungan yang lebih, aku akan siap. Tapi kalau tidak pun, aku akan tetap menjagamu.”
Ada sekelebat bayangan masa depan dalam pikiranku, hidup dalam rumah besar bersama pria yang hanya aku kenal setengahnya. Duduk di meja makan tanpa kata-kata romantis. Tidak ada pelukan pagi atau pesan manis sebelum tidur. Hanya status dan ikatan tanpa hati.
Tapi dibanding kehilangan Papa? Dibanding melihat Mama menangis tiap malam karena tagihan rumah sakit? Aku bahkan tak tahu lagi mana yang lebih menyakitkan.
“Kalau aku bilang iya... apakah aku akan kehilangan kendali atas hidupku?” tanyaku lirih.
Arka menggeleng.
“Justru kamu akan dapat kendali yang lebih besar. Aku ingin kamu sekolah lagi kalau mau, kerja kalau kamu suka, atau membuka usaha sendiri. Aku akan dukung. Aku bukan penjara, Nayra. Aku hanya ingin menjadi rumah.”
Ada sesuatu di nada suaranya. Seperti luka yang lama mengering tapi tak pernah benar-benar sembuh.
Aku menatap wajahnya lekat-lekat. Dia bukan pria muda penuh kejutan seperti dalam drama korea. Arka adalah badai yang telah berlalu, tenang, namun bisa menghancurkan jika dipaksa bicara masa lalu.
Aku berdiri, menghela napas panjang. “Aku... butuh waktu semalam.”
“Ambillah,” ucapnya. “Tapi Nayra... satu hal.”
Aku menoleh.
“Jangan menikah karena merasa terpaksa. Kalau kamu bilang ‘iya’, aku ingin kamu berjalan ke pelaminan karena kamu memilih itu, bukan karena ingin membayar sesuatu.”
Aku mengangguk pelan. “Kalau begitu... sampai besok.”
Dan aku pun pergi. Membawa tas kecil dan guncangan besar di dada.
***
Malam itu aku tidak tidur. Kupelototi langit-langit kamar sambil memutar ulang semua percakapan tadi. Ada suara hati kecil yang terus berbisik,
“Kamu mau hidup dengan pria yang kamu nggak cinta, Nay?” Tapi suara itu tak bisa mengalahkan fakta bahwa hidup tidak selalu memberi pilihan yang ideal.
Pukul tiga dini hari, aku menatap bayangan wajahku di cermin. Aku bukan gadis remaja yang bisa menunggu pangeran dengan kuda putih. Aku adalah anak pertama, tulang punggung keluarga. Dan pria itu... menawarkan bahu yang bisa menopang segalanya.
Jadi, saat matahari muncul perlahan dari balik jendela, aku tahu jawabanku.
***
Arka menungguku di taman kecil belakang kantor. Kali ini tanpa jas, hanya kemeja putih sederhana yang digulung di lengannya. Ia terlihat jauh lebih manusiawi dari biasanya.
“Kamu datang lebih pagi dari yang kukira,” katanya sambil menoleh.
Aku mengangguk. “Karena aku nggak mau menunda keputusan yang udah jelas.”
Matanya menatapku, penuh sorot tak terbaca. “Dan?”
Aku menarik napas dalam-dalam. “Aku setuju menikah dengan kamu, Pak Arka.”
Dia mengangkat alis. “Cuma setuju’?”
Aku tersenyum tipis. “Untuk sekarang, cukup. Cinta... mungkin butuh waktu. Tapi komitmen bisa dimulai dari kepercayaan.”
Dia tertawa kecil. “Jawaban yang dewasa.”
“Karena kamu bukan ngajak anak kecil.”
“Dan kamu bukan gadis biasa.”
Aku menatapnya. “Jadi, langkah kita berikutnya?”
“Temui pengacaraku. Kita akan buat kesepakatan tertulis. Pernikahan ini bukan sekadar janji mulut.”
Aku mengangguk. “Dan... soal keluarga?”
“Kamu cukup beri tahu ibumu. Sisanya, aku yang urus.”
Arka berdiri, lalu mengulurkan tangan. “Selamat datang di hidup baruku, Nayra.”
Aku memandang tangan itu lama... lalu menjabatnya. Tangan yang hangat tapi tegas. Dan saat itu, aku sadar: hidupku tak akan pernah sama lagi.