"Rara ... apa yang kau lakukan?" hardik Tuan Dion, sembari setengah berlari menghampiri putrinya.
Tuan Dion mencengkeram tangan putrinya dengan kasar, lalu mendorong tubuh Rara ke samping. Tuan Dion segera membantu Maya untuk berdiri, ia mengusap kening maya yang terlihat berdarah.
"Kamu lihat kelakuan putrimu yang durhaka itu, ia ingin membunuhku," adu Maya pada Dion.
Wajah Dion mengeras, ia menghampiri Rara yang masih terduduk di lantai, lalu membungkukkan tubuhnya. "Anak kurang ajar!"
Plaaakk!
Tamparan Dion semakin membuat Rara meratap, entah apa yang sudah diperbuat Maya, hingga papanya menjadi seperti ini. Dion bukan lagi seperti papa yang dikenal Rara selama ini.
"Pergi kamu dari sini, dasar anak durhaka! Jangan urus kehidupanku, sana urus mamamu yang penyakitan itu. Jangan pernah datang ke sini lagi," usir Dion.
"Pa ... sadarlah, Pa! Minta maaf sama mama," pinta Rara dalam tangisnya.
Dion memberingas, seperti orang kesetanan ia menyeret Rara keluar dari rumah. Begitu sampai di teras, dia mendorong putrinya itu hingga tersungkur.
Dion memanggil security yang berjaga di depan rumah untuk menyeret Rara keluar. Security itu tampak ragu, hanya saja tatapan Dion membuat security itu mendekat, lalu mulai menyeret Rara.
"Sadar Pa! Rara ini anak Papa ...." Rara mencoba memberontak dari cengkereman security yang menyeretnya. Tapi Dion tidak mengubris, dia kembali masuk ke rumah, lalu menutup pintu rumah dengan cara membantingnya.
Security tersebut tidak tega melihat Nonanya yang terus meronta, sehingga mereka pun melepaskan Rara.
"Maafkan kami Nona! Kami terpaksa melakukannya karena perintah Tuan," ujar salah satu security itu.
"Tidak apa-apa Pak! Kalian tidak salah," sahut Rara seraya berlalu pergi dari rumah tersebut.
Rara menghapus airmata yang berlinangan di pipinya, dadanya sesak seperti baru saja menelan racun. Dia sungguh tidak menyangka papanya akan setega ini padanya.
Rara kembali ke rumah sakit dengan perasaan hancur, ia mendudukkan diri di samping bi Eni. Asisten rumah tangganya itu langsung merangkul Rara, untuk menenangkan putri majikannya itu.
Be-berapa saat kemudian terlihat seorang perawat keluar dari ruang operasi, dan mendekat ke arah tempat duduk Ara.
"Keluarga pasien?" Terdengar sapaan ramah dari perawat tersebut.
"Iya kami keluarganya," sahut bi Eni.
"Pasien ingin berbicara, sepertinya ada hal penting yang ingin ia sampaikan," ujar suster.
Rara dan bi Eni mengangguk, mereka berdiri lalu mengikuti perawat tersebut masuk ke ruang operasi.
"Pasien sudah sadar, namun kondisi pasien masih belum stabil, dia masih dalam masa kritis. Kami sudah melakukan yang terbaik untuk pasien, kita doakan saja semoga pasien cepat melewati masa kritisnya. Seharusnya pasien beristirahat dan tidak boleh diganggu, tapi beliau memaksa ingin berbicara dengan kalian berdua. Saya akan izinkan, tapi jangan melakukan apapun yang dapat mengganggu ketenangan pasien," ujar salah seorang dokter sesampainya mereka di dalam ruang operasi.
Rara mengangguk paham, para dokter keluar dari ruang operasi, untuk memberikan waktu kepada pasien untuk bicara dengan keluarganya. Rara berjalan mendekat ke arah ranjang.
"Mama ...." Rara terisak melihat keadaan mamanya terbaring lemah di atas brankar.
Rara duduk di samping brankar sembari menggenggam tangan mamanya.
"Sukurlah, Nak! Kamu sudah pulang, mama senang sekali di akhir hidup mama masih bisa melihat kamu, putri kesayangan mama. Kamu jaga diri baik-baik ya Sayang," ucap nyonya Maira dengan terbata-bata.
"Mama ngomong apa! Mama pasti sembuh, dan kita bakal sama-sama lagi," isak Rara pilu.
Nyonya Maira menatap teduh putri semata wayangnya, tubuhnya sudah benar-benar lemah. "Ra, kalau mama sudah nggak ada, kamu cari teman mama ya! Dulu mama pernah janji sama dia bakal jodohin kamu sama anaknya, kamu mau kan ngabulin harapan mama!"
Rara mengangguk dengan cepat. "Iya, Ma! Apapun itu Rara pasti mau, makanya Mama harus sembuh biar bisa lihat Rara menikah nanti."
Rara tersentak saat genggaman mamanya terasa melemah, dan membuat Rara langsung panik.
"Cepat panggil dokter, Bi!" seru Rara pada bi Eni.
Bibi Eni bergegas keluar, sesaat kemudian ia kembali bersama dokter. Rara pun diminta menunggu di luar, karena dokter akan melakukan pemeriksaan. Dengan terpaksa Rara keluar dari ruangan tersebut.
Sembari melangkah, Rara masih sempat menoleh ke belakang, ke arah mamanya yang sedang diberikan pertolongan.
"Tuhan, selamatkan mamaku," gumamnya sembari melangkahkan kakinya yang lemah itu.
Rara kembali duduk di depan ruang operasi dengan penuh harap. Tapi akhirnya suara alarm yang begitu nyaring dari ruang operasi memupuskan harapan itu. Rara jatuh terkulai ke lantai, dia tahu kenyataan buruk sedang terjadi, mamanya sudah tiada.
***
Jenazah nyonya Maira segera dibawa pulang, dan langsung dipersiapkan untuk prosesi pemakaman. Para tetangga dan kerabat berdatangan untuk mengucapkan bela-sungkawa dan mencoba menghibur Rara.
Setelah segala prosesinya selesai, jenazah itu langsung diantar menuju peristirahatan terakhirnya. Sepanjang jalan menuju pemakaman, mata Rara terus mencari keberadaan papanya, kalau-kalau papanya itu datang, tapi itu semua hanyalah harapan Rara, papanya itu tidak menampakkan batang hidungnya.
Tepat sebelum matahari terbenam, akhirnya jenazah nyonya Maira selesai dikebumikan. Para kerabat dan tetangga sudah mulai berpulangan satu-persatu.
Kini tinggallah Rara yang menangis terisak di atas pusara mamanya, dengan hanya ditemani bi Eni. Rara seperti enggan meninggalkan pusara sang bunda.
"Mengapa nasib Rara jadi seperti ini, Bi" ucap Rara dalam tangis.
Bibi Eni mengusap lembut punggung Rara, berharap dapat mengurangi kerapuhan yang melanda putri majikannya itu. "Non Rara yang sabar ya. Non jangan nangis, biarkan nyonya tenang di sana, Non Rara harus jaga diri baik-baik. Kalau Non sedih, nyonya di sana juga pasti sedih, tapi kalau Non Rara bahagia, nyonya juga bakal ikut bahagia. Percaya sama bibi, nyonya pasti bakal terus jagain Non dari sana."
Rara mengangguk pelan ,setelah dibujuk, akhirnya Rara pun mau pulang dengan dipapah oleh bi Eni.
Malam harinya rumah Rara terlihat ramai, para kerabat dan tetangga kembali berdatangan. Mereka datang untuk memberi dukungan moral kepada Rara.
Setelah para tamu berpulangan, suasana berkabung terasa semakin kental. Rumah yang selama ini menjadi tempat ternyaman bagi keluarganya itu terasa sepi dan menyedihkan.
"Bi, kenapa papa sama sekali nggak peduli sama mama, sama Rara! Bahkan papa sama sekali nggak mau datang," isak Rara pilu.
Sungguh sakit kenyataan ini, Rara hanya kehilangan mamanya, tapi dia seperti menjadi yatim piatu. Tuan Dion sama sekali tidak peduli dengan apa yang baru saja menimpa keluarganya, entah masih menganggap Rara sebagai anak atau tidak, hanya Dion lah yang tahu.
Bi Eni menarik Rara ke pelukannya. "Sudah Non! Jangan pikirkan Tuan, yang penting sekarang hanya Non Rara. Non harus bisa ikhlas menerima ini," bujuknya
Tepat setelah bi Eni menyelesaikan ucapannya, terdengar suara mobil yang datang memasuki halaman rumah. Rara segera melepas pelukan bi Eni, dia segera berlari menuju pintu, dengan harapan yang datang itu adalah papanya.
Bersambung.
Jangan lupa like, komen dan vote!
Terima kasih!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
Juan Sastra
ayah dan kekasihnu sudah kemakan nasi kangkang..
2023-05-23
2
Agus Gaspol
jalan pelayanan di ruang rumah Gadis yang kecantikan jelita gok lupa dengan dari ujung kaki dan badan putih Semua Gadis ini
2022-09-01
0
Tri Soen
Karma tetap berlaku nanti nya....
2022-08-17
0