Senyum Tuhan Untuk Marissa
Hilir mudik kendaraan di jalan raya di sekitarku ketika aku sedang menikmati keramaian jalan, melangkah dalam tergesa tanpa arah.
Tak seorangpun di sekelilingku. Lina dan Santi sahabat yang selalu menemani kemanapun aku pergi, sekarang sedang ke ibu kota, mewakili kampus bersama dua mahasiswa lain, Teguh dan Aris Sulistiawan, mengikuti lomba desain robot tingkat nasional. Mereka jago dalam mendesain berbagai robot. Desainnya memenangkan medali emas di kompetisi robot tingkat wilayah sehingga mereka harus mewakili provinsi bertanding di tingkat nasional.
Sisy teman kosku sedang pulang ke orang tuanya di Asrama tentara di kotaku. Meski tempat tinggalnya di wilayah kampus, ia memilih untuk kos di Flamboyan bersamaku.
Maulida juga sedang sibuk menyelesaikan tugas kuliahnya di rumah Nina. Aku tak punya teman. Semua sibuk dengan urusannya. Sementara aku masih tidak punya beban apapun. Tak ada deadline tulisan dari majalah kampus atau tugas lain yang harus kuselesaikan seperti hari-hari lalu. Semua laporan kegiatan resimen sudah kuselesaikan, artikel kampus sudah kukirim via email kemarin dan tugas kuliah tinggal menunggu dijilid oleh Meta.
Di hiruk pikuknya kota, aku hanya bisa mengayunkan langkah menyusuri trotoar sambil sesekali memandang sekeliling. Belum juga kutemukan tujuanku, aku dikejutkan oleh sebuah salam dari seorang makhluk Tuhan bernama laki-laki yang bersepeda yang mengikutiku dari belakang. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun, hanya mengikutiku dengan setia, sebelum akhirnya sebuah salam lembut kudengar di telinga untuk yang kedua kalinya. Antara percaya atau tidak, aku mencoba untuk membalas salam itu, namun mulutku bungkam, tak mampu mengucap sebaris jawaban yang sudah kuhafal di luar kepala. Sejenak kutekuni wajah tirus yang tersenyum memamerkan sebaris gigi rapinya.
“Masya Allah, Tuhan ! Sempurna sekali ciptaan-Mu yang sekarang berdiri di hadapanku.”batinku. Bola mataku masih kupaku di pemandangan indah anugrah Tuhan saat ini, seolah enggan kuajak berpaling melihat arah lain. Lidahku tak mampu mengeluarkan sepatah katapun seolah ribuan ton tali mengikatnya erat di mulutku.
Pria berwajah tirus dan berambut cepak mengucapkan salam untuk ketiga kalinya. Tapi Tuhan, mengapa mulutku masih belum bisa terbuka untuk sekedar bisa menjawab salamnya. Hanya hatiku yang mengucapkan wa alaikum salam, dan itu artinya betapa bodohnya aku. Aku masih terpana apalagi saat kulihat dia turun dari sepedanya dan berjalan menjejeriku. Mengikuti langkahku dan sebelum dia menyapaku dengan kalimat pertamanya, tiba-tiba . . . “Dhuuuuuung, “ sebuah ledakan tertangkap telingaku.
Laki-laki misterius yang baru saja turun dari sepedanya dan mendekatiku hilang. Kutemukan diriku masih telentang di kamar kosku. Aku terjaga dari tidur. Aku tak percaya dengan apa yang kualami karena mimpi yang baru saja datang adalah mimpi yang sama dengan mimpi-mimpiku beberapa hari ini. Sejenak aku masih berbaring dan kulemparkan pandanganku ke ranjang Sisy di seberangku. Aku terlonjak, kutemukan Sisy terbaring di sana, tidak pulang seperti dalam mimpi yang baru saja kualami. Kukucek kelopak mataku, meyakinkan bahwa pemandangan yang tersaji di hadapanku adalah benar- benar Sisy temanku, bukan hantu.
Berkali-kali kututup mataku dan kubuka, ternyata tubuh Sisy tetap di ranjangnya. Aku segera bangun dari tidur dan duduk termenung di dipan kecilku. Listrik mati lagi. Tanganku meraba kasur untuk mencari seluler yang seingatku kuletakkan di atas kepala, sekedar untuk memberi penerangan di kamar. Mungkin ledakan yang baru kudengar adalah ledakan di gardu listrik di sebelah timur kotaku. Beberapa menit kubuang untuk meraba dan akhirnya seluler kutemukan. Bukan diatas kasur tapi di meja belajar. Kuusap layar dan sedikit cahaya terpancar. Waktu menunjukkan pukul dua tiga puluh menit. Masih sangat pagi karena alarm yang kupasang untuk membangunkanku menunjuk pukul tiga, belum berbunyi.
Malas sekali kuturuni dipan untuk meraih lampu penerang yang sudah ku cas kemarin. Tertatih kuajak langkahku menuju ruang wudhu dan mendirikan isya dan tahajjudku.
Ba’da maghrib, aku merasakan kepalaku pusing dan berat yang tak bisa kutahan. Kutolak ajakan teman-temanku untuk menikmati pertunjukan drama anak bahasa di kampus karena aku harus menjaga kondisiku. Saat kepalaku pusing, tidur adalah obat mujarabnya, sehingga malam ini, saat teman-temanku pergi, kurebahkan tubuhku. Tujuanku satu, menyiapkan tubuh yang sehat esok hari demi melaksanakan kegiatan di kampus. Aku hidup jauh dari keluargaku. Tak ingin rasanya membebani teman-teman seperjuangan.
Usai tahajjudku, dzikir malam kupanjangkan. kutengadahkan kepalaku, dan kuangkat kedua tangan, dengan sedikit bergetar, kuucapkan rasa syukurku pada Tuhan atas semua anugerah yang terindah yang selalu tercurah kepadaku.
"Yaa Rabb, Yaa Rahman, puji syukur kupanjatkan kehadapanMu atas semua limpahan rahmatMu kepadaku. Aku hambaMu, mengucapkan syukur alhamdulillah, atas semua nikmat yang kurasakan saat ini. " tiba-tiba anganku mengingat pemuda dalam mimpiku beberapa menit lalu. " Yaa Allah, aku tahu, mimpi-mimpi sama yang Kau kirimkan padaku sangat nyata dan indah. Namun aku tak ingin mendahului takdirMu, aku tak ingin menyimpulkan sendiri apa tafsirnya, dan dengan doaku ini Yaa Rabb, aku memohon petunjukMu."
Tiga puluh menit kuselesaikan shalat dan doaku. Kutelentangkan tubuhku di dipan. Mataku terpejam namun sayang, otakku tak bisa kuajak untuk tidur lagi. Mimpi yang kualami berkali-kali mengusik pikiranku. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi ? Mimpi yang sama dan itu tak pernah kupikirkan. Aku tak tahu apa artinya. Yang kutahu wajah laki-laki dalam mimpiku sangat kukenal namun aku tak tahu itu wajah siapa. Tak ada satu pun temanku yang berwajah seperti laki-laki itu.
Kututup wajahku dengan bantal. Konsentrasi kufokuskan untuk tidur , namun aku gagal. Entah berapa lama, pertahananku tak cukup kuat untuk menghentikan otakku yang sedang berfikir keras mencari barangkali ada orang-orang yang mirip dengan laki-laki di mimpiku.
Baru saja kantuk menyerang, kudengar Sisy bangun lalu keluar kamar. Anganku tentang mimpi yang membuatku sulit untuk memejamkan mata datang dan mengajakku untuk berfikir lagi. Ingin sekali kubuang sejauh arah mata memandang, namun sayang, aku gagal. Anganku memaksaku untuk kembali mengingat mimpi-mimpi yang baru kualami.
“Kamu sudah bangun atau memang tidak bisa tidur, Risa ?“ sapa Sisy sambil menyalakan telepon genggamnya. Aku tak percaya pada pendengaranku. Rupanya dia tahu aku terjaga.
“Aku terjaga saat listrik padam. “ sahutku sekenanya.
“O iya ? Mengapa ? “Tanyanya penasaran. “mimpi yang sama datang lagi ?’ sambungnya.
“Dari mana kamu tahu ?” tanyaku tanpa menutupi keterkejutanku. Ini bukan kali pertama Sisy berhasil menebak pikiranku. Dia seperti manusia berindera keenam. Kalimat yang asal saja ia lontarkan selalu tepat.
“Tak perlu memikirkan darimana informasi itu berasal, yang jelas, adzan subuh seharusnya sudah berkumandang, hanya kita saja yang tak mendengar. Inilah saatnya kita mendirikan shalat menghadapkan diri pada Yang Maha Kuasa.’ Katanya sambil berjalan meninggalkan kamar. Kuikuti langkahnya dan berdua kami shalat berjamaah.
***
05.30
Alhamdulillah listrik sudah menyala.
Aku masih asik bergulat dengan laptopku. Jari jemariku menari di atas tuts, dan akhirnya kuhasilkan kalimat demi kalimat yang membentuk paragraf dalam file buku harianku. Kawan, buku harian pertamaku sudah menjadi sebuah buku yang sudah memberiku koin yang cukup lumayan yang bisa kugunakan untuk membiayai kuliahku. Buku yang kutekuni pagi ini, adalah buku harian ketigaku. Bismillah, aku ingin buku harian kedua dan ketigaku memberiku banyak manfaat yang kelak akan membawaku pada sebuah kemakmuran dan kepuasan hidup yang sesungguhnya. Aku ingin sekali berbagi, secara moril maupun materiil pada orang-orang di sekelilingku seperti yang sudah kulakukan beberapa waktu lalu. Bukuku memang baru dinikmati oleh mahasiswa di wilayah kampusku, tapi insya Allah, aku akan menjadi penulis terkenal di Indonesiaku. Aamiin.
Sekali lagi kubaca diaryku. Mataku masih asik meresapi kalimat pertamaku saat tiba-tiba Sisy datang. Tergopoh dan berteriak panik.
“ Kemanukan longsor, Risa.” ucap Sisy sambil duduk di hadapanku. Terlihat sekali nafasnya terengah-engah, seperti ia baru saja melakukan perjalanan jauh.
Sejenak aku terpaku, anganku menerawang jauh ke arah timur kotaku. Bulu kudukku berdiri. Aku ingat, baru satu minggu yang lalu aku dan teman-teman resimen menginap di salah satu rumah di Kemanukan dan sekarang berita menggemparkan tentang longsor datang.
Kabupaten ini memang sering tertimpa bencana. Beberapa bulan lalu longsor menimpa sebuah rumah dan menewaskan empat orang dalam satu keluarga, ibu dan tiga anaknya sekaligus, terjadi ketika para korban sedang tidur. Korban selamat saat itu sang ayah, menceritakan bahwa ia bisa selamat karena baru saja bangun untuk mengambil wudhu hendak melaksanakan shalat subuh di masjid, sedang korban meninggal karena susah dibangunkan untuk shalat. Audzubillah, memang sering kita berfikir bahwa ajal masih jauh. banyak dari kita mengira kita selalu aman dari berbagai macam bencana. Sehingga kita sering menunda untuk melakukan ibadah, atau bahkan meninggalkan sama sekali.
"Marissa !" Sisy memanggilku dengan gemas.
"I . . . iya ? " aku hanya terpesona dengan panggilan Sisy. Tidak tahu mengapa dia melotot seperti itu kepadaku.
"Kamu melamun dan tidak memperhatikanku ?"
"Aku mendengar." sahutku pelan.
"Kau bilang dengar tapi tidak merespon apapun" ucapnya sambil memanyunkan bibirnya.
"Kemanukan longsor, Rissa." sekali lagi Sisy memberitahuku. "Longsor juga menimpa kecamatan lain. Meski tak separah Kemanukan."
“Darimana kamu tahu ? “ tanyaku penasaran.
“Tadi saya bertemu Firman saat pulang dari pasar pagi. Dia bilang, dia terjebak longsor dan tak bisa pulang. Ledakan keras dari arah timur yang terdengar tadi malam itu ternyata bunyi longsor. Firman juga bilang setelah ledakan itu, listrik mati. Tapi aneh ya, aku kok tidak mendengar. “lanjut Sisy sambil membaringkan diri dan memiringkan tubuhnya menghadapku.
“Jadi bunyi yang keras tadi itu bunyi longsor ? Bukan ledakan gardu listrik di pantok ?” sahutku.
“Kamu mendengar bunyi keras tadi ? Bukannya kamu sedang tidur ?” tanya Lusi dan Ana yang tiba-tiba masuk penasaran.
“Iya, duuung, bunyi keras seperti ledakan TNT saat kita stelling di pendidikan dasar resimen di Dodik Belanegara Magelang. Saat itu saya sedang bermimpi. Mimpi yang sama dengan beberapa hari lalu. Akhirnya aku terjaga. Kuambil hpku dan kulihat waktu menunjuk pukul dua tiga puluh. Aku bangun, menyalakan lampu cadangan dan mengambil wudhu lalu shalat. Setelahnya aku mencoba untuk tidur lagi namun gagal. Aku hanya membolak-balik tubuhku sampai akhirnya kudengar kau menyalakan handphone dan shalat subuh ” kataku sambil membetulkan posisi dudukku.
Kulihat Sisy gelisah.
“ Firman bilang tidak bisa pulang. Akses jalan menuju rumahnya terputus longsor. Padahal nanti kelompok kami akan mengerjakan tugas di sini. Semua materi dibawanya dan kamu bisa membayangkan Risa, kalau dia tidak bisa pulang, bagaimana nasib kami ? Bisa kubayangkan bagaimana kelompokku mati kutu maju tanpa materi.” Jerit Sisy histeris.
Sejenak aku termenung membayangkan peristiwa yang semoga tak terjadi pada Sisy.
"Ada apa Firman keluar malam-malam ?"
“Firman bilang, Ibunya diare akut semalam. Bersama dengan tetangga dan dua adiknya mereka mengantar ibunya ke rumah sakit. Ketika sang ibu menyuruhnya pulang itulah mereka terjebak.”Lusi menjelaskan.
“Bagaimana kondisi rumah Firman ya ?” tambah Sisy penasaran. Aku hanya bisa mengedikkan bahu pertanda tidak tahu. " Aku tidak tahu. Semoga semua selamat. "
"aamiin."
"Indonesia diguncang bencana untuk yang ke sekian kalinya, setelah Sinabung memuntahkan lahar panasnya, Kelud membuat kalut, Merapi memuntahkan api, gempa melanda dimana-mana, muncul berita baru bahwa Kemanukan, Semagung, Caok dan beberapa desa di Purworejo mengalami tanah longsor yang memakan banyak korban. Salah satu desa bagian dari propinsi tempatku belajar di Purworejo, Jawa Tengah. "
"Iya ya, Ris? ada apa dibalik bencana yang dialami negara ini ya ?"
Sejenak aku hanya menghela nafas.
"Bencana datang mungkin karena Allah murka pada kita. Coba kita bayangkan! betapa durhaka kita pada Allah. Perzinaan dan LGBT merajalela dimana-mana. "
"Tapi, Ris. perzinaan dan LBGT kan tidak dilakukan oleh para korban kan ? Mengapa mereka yang tidak bersalah justru menjadi korban ?"
" Bencana datang bukan hanya sekedar sebagai teguran, Sy. Bagi korban yang tidak melakukan tindakan yang dimurkai Allah, bencana bisa juga kita jadikan sebagai peringatan dan ujian kepada hambaNya. Belajar dari semua ini, mari kita tingkatkan keimanan kita. kita tingkatkan kewaspadaan dan kepedulian kita kepada sesama."
“Ris !” Sisy menyenggol lenganku. Dia tatap wajahku dan kubalas tatapannya dalam diam. Aku hanya membayangkan bagaimana model pencarian korban.
“Ris! “ sekali lagi Sisy menyenggol lenganku.
“Iya ? Ada apa ?”
“Kamu tidak mendengar pertanyaanku ?,’ tanyanya sambil merebahkan tubuhnya di dipanku. “ Aku ingin ikut ke lokasi hari ini boleh? Bukannya kamu mau menjadi relawan di Kemanukan ? “ sambungnya
“Insya Allah. Nanti saya akan meminta ijin Mas Qomar untuk mengajakmu serta.”
“Kalau begitu, mari kita bersiap” Ajak Sisy bersemangat. Aku dan Sisy bangun, mengambil handuk dan menuju kamar mandi disusul oleh Lusi dan Ana yang akan memasak untuk sarapan pagi kami.
***
Usai mandi, kulihat Sisy sedang mengiris bawang merah bersama Lusi dan ana. Matanya nampak merah menahan air mata karena uap bawang. Aku hanya bisa memandangnya dengan iba.
"Apaan sih, Ris? kamu melihatku terus ?" rengeknya menggemaskan.
aku hanya tersenyum
"Ada apa sih, Ris ? Kamu kok memandang Sisy seperti itu ?' Tanya Lusi sambil mengambil tempat nasi. kulihat kemudian ia sibuk memasukkan nasi ke wadah. kami tidak suka memasak menggunakan rice cooker, sehingga harus sedikit berjuang untuk mendapatkan makanan sehat setiap hari.
"Kasihan dia, " sahutku sambil beranjak meninggalkan mereka dan tak lupa kudaratkan sebuah cubitan di pipi manis milik Sisy.
"Rissaaaaa"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
nyi ijoth
dr awal smpe akhir sarat pembelajaran,,salut thor
2020-05-26
0
Tri Budiarti
aku juga tinggal di Purworejo... semangat thoorrr
2020-05-02
0