Hari pertama pencarian, lima korban sudah ditemukan dan masing-masing sudah diserahkan ke keluarga untuk dimakamkan. Ada banyak cerita hari ini untukku. Dari ditemukannya korban pertama sampai dengan cerita Syamsya yang sekarang sebatang kara.
Hari ini kuhabiskan waktuku di pos kesehatan. Posko yang khusus didirikan untuk para pengungsi longsor yang berada di balai desa Kemanukan. Meski hanya seorang calon psikolog, aku dan Sulis memberanikan diri untuk membantu di sana. Barangkali ada pasien yang membutuhkan konsultasi atau hanya sekedar memijit tangan dan kaki.
Seperti saat ini, ada beberapa pasien yang diperiksa dokter Wildan. Kudekati seorang ibu yang duduk menunggu antrian sambal menyandarkan tubuhnya lesu di dinding ruangan. Sejenak aku terpana pada wajah ibu paruh baya yang pucat. Nampak sekali ia sedang menahan kedinginan.
Kudekati ibu itu dan kuajak untuk bangun, dan menyuruhnya untuk berbaring di lantai beralaskan tikar pandan di pojok ruangan. Kusentuh tubuhnya dengan punggung tanganku pelan. Badannya sangat panas namun tubuh sang ibu menggigil kedinginan.
“Ibu sudah meminum obat ?” sapaku dan langsung dijawab dengan gelengan kepalanya. Aku segera berdiri untuk menemui dokter Wildan yang kulihat sudah menyelesaikan pemeriksaan pada pasien ibu hamil.
Dok, maaf, ibu di sudut ruangan itu kelihatannya lebih harus diutamakan. Badannya panas dan tubuhnya menggigil kedinginan.” Ucapku pelan dan langsung disambut dengan anggukan sang dokter. Dokter Wildan melangkahkan kakinya dengan cepat dan aku mengiringinya dari belakang. Sulis nampak sibuk membantu bapak tua yang susah sekali berjalan. Nampak sekali dia sedang asik mendengarkan cerita si bapak tua dengan sedikit terpaksa. Aku yakin dia ingin bergabung bersamaku dan dokter Wildan, namun aku tahu dia tidak punya alasan yang bisa ia gunakan untuk menghindar dari bapak tua yang searang sudah berdiri dengan tongkatnya.
“ Maaf Ibu, kalua boleh tahu nama Ibu siapa ?” sapa dokter Wildan lembut.
“Saya Minah, dokter.” Sahutnya pelan.
“Risa, tolong ambilkan tas kecil di meja itu,” pinta dokter Wildan padaku. Sejak bertemu tadi siang, dokter muda di hadapanku sudah memanggilku dengan menyebut nama tanpa ada tambahan mbak atau adik.
“Baik, Dok.” Jawabku seraya melangkah menuju meja yang ditunjuk dokter Wildan, tas kecil segera kubawa ke hadapannya. Dengan cekatan ia buka tas dan mengambil thermometer lalu menempelkannya di ketiak bu Minah. Aku hanya bisa memandang aktifitasnya.
“Badannya panas sekali. “ucapnya seraya menunjukkan thermometer yang menunjuk angka 38 ke arahku. Aku hanya bisa mengangguk. “Kelihatannya dia bu Minah harus dirawat di rumah sakit. “ tambah dokter Wildan pelan. Mendengar kata rumah sakit, Bu Minah segera berontak.
“Tidak, Dok. Mohon jangan kirim aku ke sana. Aku ingin bersama anakku Amira.” Sahutnya.
“Ibu, kalau Ibu tetap bertahan di sini, saya takut Ibu bertambah parah.” Ucap dokter Wildan pelan. Namun si ibu tetap bersikeras menolak untuk dirawat. Berkali-kali ia katakana ingin bersama anaknya. Aku hendak keluar untuk mencari anaknya, kalau saja tidak ada seorang wanita yang duduk dalam antrian mencegahku.
“ Amira belum ditemukan sampai sekarang.” Kata ibu paruh baya padaku.
“Subhanallah, jadi Amira ikut . . . . “ belum lagi selesai kalimatku, si ibu mengangguk elan. Air mata mulai menggenang di kelopak mata bu Minah. Ia mulai menangis, dan akhirnya kudekati bu Minah. Ku pijat kakinya pelan untuk meringankan sakitnya.
“Aku khawatir bu Minah terserang typus, Ris.” Ucap dokter Wildan padaku. Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Kulihat beberapa perawat mengawasiku dengan pandangan agak menyebalkan. Aku tidak tahu apa alasannya. Yang jelas, melihat pandangan mereka saya merasa rishi.
“ Lalu apa yang bisa kita lakukan, Dok ?”
“ Entahlah. “ sahut dokter Wildan. Sekali lagi dia pegang tangan bu Minah dengan cemas. Perlahan dia tinggalkan bu Minah dan berjalan menuju meja periksa, melanjutkan pemeriksaan ke pasien lain.
Sekali lagi kupegang lengan bu Minah yang manis sangat panas. Mataku kuarahkan pada dokter Wildan dan beberapa perawat. Aku segera berdiri dan berjalan meninggalkan bu Minah sendiri. Kaki kuayunkan menuju dapur umum. Kuminta minyak goring pada Rofi dan Nurjanah. Setelah mereka menunjukkan tempat minyak, segera kuambil wajan bersih dan kuletakkan di atas kompor. Kupanaskan minyak goring sebentar lalu kutuang ke dalam piring kecil, lalu kubawa ke pos kesehatan.
Sampai di posko kesehatan kulihat Sulis masih sibuk bicara dengan kakek yang masih memegang tongkat sementara kulihat bu Minah masih terbaring sendiri di tempat semula.
“ Ibu, mohon maaf, saya pijat sebentar ya. “ ucapku sambal membalurkan minyak hangat ke seluruh punggung bu Minah. Bu Minah tidak menolak. Ia memejamkan matanya seolah menikmati setiap pijatanku. Kuurut bagian sebelah tulang belakang dengan hati-hati lalu kulanjutkan ke pundak dan punggung. Beberapa kali bu Minah bersendawa. Pijatan kulanjutkan ke betisnya kiri dan kanan. Kurasakan semua tubuh bu Minah sangat keras.
“Dia pasti kelelahan.” Batinku.
Keringat membasahi seluruh tubuhku.
“Setelah bu Minah, pastikan kau menyediakan waktu untuk memijatku, Ris.” Goda dokter Wildan padaku.
“ Dokter bisa saja. Mana mungkin saya berani memijat anda, Dok.” Sahutku sambal tersenyum malu-malu. Sekali lagi kulihat tatapan tak menyenangkan dari beberapa perawat yang berdiri di seberang.
“ Seorang tukang pijat professional tidak akan membedakan pasien laki-laki atau perempuan. Dan aku benar-benar mengantri, Ris. “ sekali lagi dokter Wildan mengulangi permintaannya.
“Kau benar-benar luar biasa, peganglah tubuh Bu Minah !” kali ini dokter Wildan benar-benar memegang tanganku dan meletakkannya di dahi bu Minah. “ Tidak panas lagi kan ? “ sambungnya.
Aku hanya bisa mengangguk.
“Dari mana kau belajar memijat ?”
“Saya hanya biasa melakukan pijatan ini pada ibu dan ayah, Dok. Tidak belajar, hanya autodidak saja. “ jawabku sekenanya.
“Wah berarti kamu benar-benar anak yang baik.” Sanjungnya. Sekali lagi aku hanya bisa tersenyum. Ini semua kulakukan karena ingin menghindari tatapan sinis dari para perawat di seberangku. Mereka mungkin memandangku sebagai gadis yang kegatelan. Suka berdekatan dengan laki-laki atau bahkan sebagai penggoda.
“Maaf, Dok, masih banyak pasien yang mengantri, dokter boleh ke sana sekarang.”
Dokter Wildan akhirnya meninggalkanku bersama bu Minah yang sudah mulai membaik.
“Terima kasih, Mbak. Yang dikatakan dokter itu benar. Mbak benar-benar anak yang baik. Pijatan Mbak menandakan bahwa Mbak sering melakukan pijatan untuk orang tua Mbak.” Kata Bu Minah pelan. Sebelum kujawab kalimat bu Minah, Sulis mendekatiku.
“Kau tidak lihat bagaimana perawat-perawat itu memandangmu tadi ?”
“Aku lihat. Tapi memangnya ada apa denganku ?” tanyaku penasaran.
“Mereka bilang kalau kamu benar-benar sedang enggoda dokter muda itu. Dia bahkan bilang kepadaku agar menasihatimu untuk tidak terlalu dekat dengan dokter Wildan karena dia sudah menikah. “
Aku hanya bisa membelalakkan mata. Tak habis piker dengan apa yang mereka pikirkan tentangku.
“Berjanjilah untuk tidak terlalu dekat dengan dokter Wildan.” Pinta Sulis perlahan.
“Apakah itu juga atas perintah mereka ?” tanyaku menyelidik.
“Tidak. Aku hanya tidak ingin kau dipandang sebelah mata oleh mereka. Mereka sangat membencimu. Aku medengar percakapan mereka tadi. “
“Terima kasih atas semuanya, Lis. Aku berjanji tidak aka nada di pos kesehatan ini lagi.”
***
Pukul lima tiga puluh, kami meninggalkan lokasi untuk kembali ke kost. Aku dan beberapa anggota resimen segera berjalan menuju tempat parkir dan memasuki mobil kampus. Ada rasa berat saat meninggalkan tempat. Ada Nina dan Syamsya serta bu Minah yang sebenarnya ingin kutunggu sampai kondisi mereka stabil.
“Kau merenung terus, Ris. “ Rofi membuyarkan lamunanku.
“Kamu melihat Mbak Syamsya tadi?” tanyaku sambil memandang sahabatku dengan mata sayu. Tubuhku sangat lelah. Anganku selalu tertumpu pada seorang gadis kecil bernama Nina. Dan pada bu Minah yang kata dokter Wildan mungkin terkena typus. Bayangan korban yang ditemukan dan lima korban dalam kantong jenazah silih berganti.
“ Kamu kebiasaan, ditanya belum menjawab sudah bertanya. “sungut Rofi. Wajahnya yang manis nampak semakin manis kalau sedang marah.
“Semua pertanyaanku ada kaitannya dengan dia, Fi.” Kubuang nafasku yang sengaja kutahan perlahan.
“Ada apa dengan gadis sombong itu ?” Jannah penasaran.
“Keluarganya hilang. Dia sebatang kara. Kondisinya mengenaskan dan nyaris tak ada satu orang pun yang memperdulikannya.” Ucapku prihatin.
“Makanya kalau jadi orang sedang jaya itu jangan terlena. Kalau sudah seperti ini kan kasihan. Tidak ada yang mau perduli, sama dengan balas dendam. Kudengar dia juga semena-mena ke tetangganya.” Rofi menambahkan. Aku hanya bisa membuang pandangan keluar. Mobil kami melewati jembatan kali Bogowonto yang airnya meluap sampai ke tanggul. Arusnya yang deras membuat bulu kudukku miris. Kubayangkan sekali lagi kondisi longsor di Kemanukan. Antara dua wilayah yang sama dipisahkan oleh sebuah sungai besar yang arusnya sangat deras seperti sekarang, membuat relawan sulit untuk menyelesaikan tugas. Tanpa terasa air mataku mulai menggenang panas. Tenggorokanku tersekat, sakit. Dan genangan air yang sudah sejak tadi membuyarkan pandanganku, mengalir perlahan membentuk sebuah sungai kecil yang alirannya sederas Bogowonto. Kuambil sapu tangan biru milik Qomar.
“ Ehm . . . ehm, duh yang masih menyimpan sapu tangan biru. “ Sulis mulai menggoda. Dia memang paham sekali kejadian saat Qomar memberikan saputangannya padaku.
“Memangnya sapu tangan biru milik siapa ?” tanya jannah penasaran. Kupandang sejenak semua sahabatku, dan perlahan kubuka jendela mobil dan nasib sapu tangan biru Qomar sama dengan nasib plastik pembungkus makanan yang dibuang Sulis. Terserak tak berguna dan semua hanya tinggal kenangan.
***
Sesampai di kost, aku langsung mengambil handukku dan berjalan menuju kamar mandi. Kusiram semua tubuhku yang penat dengan air bersih. Kugosok kulitku dengan sabun madu yang biasa kupakai dan bedanya kali ini, aku betah berlama-lama di kamar mandi.
Keluar dari kamar mandi, aku segera mengambil air hangat di dispenser. Kutuang dua sendok susu kambing bubuk ke dalamnya. Kubawa susu ke ruang tengah dan bergabung dengan beberapa teman satu kos yang sedang menyaksikan proses pencarian korban Kemanukan.
“Kau nampak lelah sekali, Ris. “ sapa Sisy sambal tetap memandang wajah lesuku.
“ Hari ini aku benar-benar kerja keras. Aku minta maaf ya sampai lupa kalau kamu mau ikut.”
“Tidak apa-apa untuk hari ini. Tapi kau harus berjanji besok tidak lupa lagi.” Sahutnya pelan. Aku hanya bisa mengangguk pelan. Kuseruput susu hangatku dan tak lama kemudian kumandang adzan menggema di seluruh penjuru kota.
***
Hari kedua pencarian korban dilanjutkan. Kondisi lapangan masih seperti hari kemarin. Yang membuat berbeda adalah aroma busuk yang mulai menyebar di sekeliling kami. Diantara yang tertimbun tanah selain manusia pasti ada banyak binatang ternak warga. Aroma tersebut sungguh membuat dada semakin sesak. Masker yang kusiapkan dari rumah kukeluarkan. Tali kuikatkan dikepala bagian belakang. Santi dan Rofi juga melakukan hal yang sama. Bertiga dengan Sulis, mereka memutuskan untuk pergi ke lokasi pencarian korban, sedang aku, aku sudah tidak ingin berkonsentrasi dengan korban yang meninggal. Fokusku dari kemarin siang hanyalah Syamsya yang sekarang masih di sudut ruangan di tempat yang sama dengan hari sebelumnya.
Kudekati dia dengan rasa trenyuh melihat kondisi fisiknya.
“ Mbak Syamsya! “Aku berharap ada sedikit respon yang dia berikan untuk menanggapi panggilanku, meski hanya sebuah pandangan matanya. Meski hanya anggukan atau bahkan gelengan kepalanya. Tapi . . . tetap saja Nihil!!!. Tak ada reaksi apapun yang dia tunjukkan untukku.
“ Mbak Syamsya yang cantik, tolong jangan menyiksa diri seperti ini. Ganti baju dan bersihkan badan sebentar saja ya ? Lihat, mereka juga sudah mengganti bajunya dan melakukan aktifitas, meski belum banyak.”
Masih tak bereaksi. Bagai patung hidup yang mungkin sudah tak memiliki semangat hidup lagi. Tak banyak yang aku bisa untuk membuat dia mengembalikan rasa, amarah, sedih atau apapun yang seharusnya ada di hatinya. Tak ada expresi apapun. Tingkah lakunya membingungkan semua yang ada di sekitarnya.
“ Mbak, sudahlah, dia memang anak manja yang tidak pernah merasakan betapa hidup ini memerlukan cobaan. Dia memang seorang anak emas keluarga yang semut atau lalat saja enggan untuk hinggap di tubuhnya. Biarkan saja dia.” Kata Pak Darmo sambil meninggalkan ruangan.
Aku menarik nafas dalam. Dalam kondisi yang sudah tak ada sesuatu yang bisa dibanggakan, orang seperti syamsya masih bisa berkeras hati, dan tak mau peduli dengan lingkungan. Seharusnya ini tak terjadi. Inilah tamparan Tuhan kepada manusia karena kecongkakannya, padahal kita tahu tak banyak yang kita miliki, meski kita bisa mencukupi semua kebutuhan. Namun tanpa kuasaNya? Apalah artinya.
Di hadapanku siang ini, aku melihat semuanya terjadi. Seorang anak orang kaya yang hidup sebatang kara, berada disekitar orang-orang yang dulu mungkin menjadi pelayannya dan diperlakukan seperti layaknya pelayan. Hidup sendiri dan masih menyimpan keangkuhan yang seharusnya sudah luluh bersama dengan tanah yang memendam keluarganya.
Tapi inilah manusia. Dia akan merasa bangga saat Tuhan mengujinya dengan kekayaan, kedudukan, pangkat, jabatan dan uang. Di saat itulah ia bangga mengatakan bahwa semua adalah karunia dari Tuhannya, namun manakala Tuhan mengujinya dengan kesulitan, dia ambruk, lemas tanpa daya dengan mengatakan bahwa Tuhan tak pernah mengabulkan doa dan tak sayang kepadanyaa. Inilah manusia, yang selalu mencampuradukkan tabiat malaikat dan syaitan di dalam jiwanya. Meski kedudukan kita di atas mereka sebagai khalifah di muka bumi ini.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments