Kembang Kampus

God, Mungkinkah Engkau telah bosan melihat tingkah laku warga kami ? Mungkinkah ini sebuah ujianMu untuk menguatkan iman kami atau Azab pedihkah yang sedang melanda wilayah kami ? Beribu pertanyaan berebut keluar. Rasanya baru kemarin Indonesiaku mengalami peristiwa yang sangat memukul perasaan. Rasanya baru kemarin, Indonesia menggeliat bangkit dari keterpurukan. Baru beberapa saat lalu di sekitar wilayah kami bangkit, membangun semua yang runtuh, mendirikan rumah dan bersemangat mewarnai hidup untuk menjadi yang lebih baik. Rasanya belum lama mereka lepas dari sebuah bencana mengerikan yang membuat mereka trauma. Bencana longsor yang meski tak sebesar sekarang namun mampu membuat bergetar saat mengingatnya.

Purworejo memang langganan longsor. Kondisi alam yang dikelilingi bukit dengan struktur tanah gembur memudahkan tanah mudah bergerak saat hujan mengguyur. Aku baru saja tiba di dapur umum dengan pakaian yang basah dan kotor. Kubersihkan diri di sumur belakang balai desa. Kucoba untuk mengeringkan pakaian, karena aku tidak sempat membawa baju ganti.

“Mbak Risa !” Panggilan Pak Syamsul kepala desa membuyarkan lamunanku.

“ I. . . iya, Pak.”

“ Hari ini pencarian akan segera dihentikan karena adzan dhuhur sudah berkumandang. Tolong Mbak Risa bantu menyiapkan makan siang, ya.”

“Iya, Pak. Insya Allah.” Jawabku sambil berjalan menuju dapur. Belum sampai dapur, kutemukan seorang ibu yang sedang duduk merenung di teras balai desa. Tubuhnya nampak lelah, lusuh dan wajah muramnya tak sempat ia sembunyikan.

“ Assalamualaikum, Bu. Bagaimana keadaan Bu Siti hari ini ?” sapaku sambil menjabat tangan Bu Siti. Warga desa yang pernah membantu resimen memasak di dapur umum kami.

“ Wa alaikum salam, Mbak Risa. Terima kasih telah datang, Mbak. ” Kupeluk tubuhnya erat. Ingin kuambil separuh penderitaannya. Getar tubuhnya terasa semakin keras dan sesekali ia seka air matanya dengan ujung lengan bajunya. Kami saling menitikkan air mata. Tak kuhiraukan tatapan mata yang memandang kami.

“Bu Siti yang tabah ya! Meski berat sekali menerima cobaan ini. Tapi tidak ada hal buruk yang diberikan Allah pada makhlukNya. Kita tidak tahu hikmah di balik bencana ini, Bu. Semoga ini adalah ujian yang akan meningkatkan kualitas kita di hadapanNya. “aku tahu banyak mata menyaksikan kami. Tak ada suara dari orang dalam pelukanku, namun aku tahu ia menganggukkan kepalanya tanda setuju. Suara aamiin masih kudengar, meski lirih, dan ini membuatku lega. Aku tahu bahwa beliau ikhlas. Bu Siti melepaskan pelukanku perlahan. Ia pandang wajahku dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipinya yang sudah mulai berkerut.

“ Mbak Risa, anak yang baik. Terima kasih telah datang. “ Bu Siti memelukku sekali lagi. Tak ada suara yang keluar dari bibirnya. Beban berat yang seolah hendak ia bagi kepadaku tak kuasa ia lakukan saat seorang anak laki-laki datang menghampiri kami, dan mengatakan “Lik Siti, Danang sudah ditemukan, Lik. “

Danang adalah keponakan Bu Siti yang tertimbun tanah bersama dengan keluarganya. Bu Siti melepaskan pelukanku dan berlari menuju rombongan relawan yang datang membawa sebuah kantong jenazah menuju arah kami. Ia segera menubruk jenazah yang sudah dimasukkan dalam kantong jenazah, mencoba memeluknya dan beberapa orang mencoba untuk melepaskannya. Kuikuti perempuan paruh baya yang sedang berduka dan kupeluk ia yang sekarang bersimpuh di tanah pasrah.

“Astahgfirullahal adhiim” Kubisikkan istighfar di telinga Bu Siti pelan. Bibirku bergetar karena jujur situasi ini sungguh tak pernah kualami. “ Bu, ikhlaskan Danang, agar ia mendapat jalan yang lapang menuju ke hadapan Allah. “ Bu Siti hanya mengangguk, setelah beberapa kali kubujuk dia melafalkan istighfar.

“ Hu . . .hu . . .hu, keponakanku Mbak. Dia . .. bersama dengan adikku dan iparku . . .” Sekali lagi Bu Siti menangis. Ia tunjuk jenazah yang sudah berlalu dari hadapan kami.

“Iya Bu, sekarang Danang sudah diambil oleh yang Maha Memiliki Jiwa, kita doakan semoga ia mendapat tempat yang baik di sisiNya.”

“Danang . . .hu .. .hu .. .hu “ sekali lagi Bu Siti histeris.

Keponakan laki-laki Bu Siti selalu menyapaku saat mereka melihatku datang ke rumah mereka meminta bantuan budhenya. Hari ini, dia sudah terbujur kaku dan sudah dibawa ke balai desa untuk dimandikan, dishalatkan dan akhirnya diserahkan ke pihak keluarga untuk segera dimakamkan. Akhirnya kulepaskan Bu Siti yang sudah dijemput suaminya yang mengajaknya berembug tentang pemakaman keluarganya.

Kuberanikan diri untuk menyapa semua warga satu persatu sebelum akhirnya kulangkahkan kaki menuju dapur umum. Kubawa piring yang sudah disiapkan menuju ke meja makan di tengah aula balai desa. Setelah piring yang kubawa dari dapur kuletakkan di meja panjang, sejenak aku terpana. Kusapukan pandangan ke ruangan berukuran Sembilan kali tujuh meter dan akhirnya kutemukan seorang gadis yang terdiam di sudut ruangan. Gadis kakak tingkatku, Gadis ayu bunga kampusku.

“Syamsya. “ gumamku.

Dia nampak sangat kotor. Perlahan aku berjalan, mendekatinya yang nampak sedang tak bergairah dengan dijemput suaminya yang mengajaknya berembug tentang pemakaman keluarganya.

Kuberanikan diri untuk menyapa semua warga satu persatu sebelum akhirnya kulangkahkan kaki menuju dapur umum. Kubawa piring yang sudah disiapkan menuju ke meja makan di tengah aula balai desa. Setelah piring yang kubawa dari dapur kuletakkan di meja panjang, sejenak aku terpana. Kusapukan pandangan ke ruangan berukuran Sembilan kali tujuh meter dan akhirnya kutemukan seorang gadis yang terdiam di sudut ruangan. Gadis kakak tingkatku, Gadis ayu bunga kampusku.

“Syamsya. “ gumamku.

Dia nampak sangat kotor. Perlahan aku berjalan, mendekatinya yang nampak sedang tak bergairah dengan hidupnya.

“ Dia kehilangan orang tua dan saudaranya, Mbak. Mereka baru saja pulang dari wisata di luar daerah. Baru saja turun dari mobil dan harus di kagetkan dengan adegan yang mencengangkan. Hampir tak ada niat untuk menyelamatkan diri. Melihat kami berlari, mereka justru tercengang, meski akhirnya, mereka ikut rombongan kami, namun sayang, langkah kaki mereka, masih kalah cepat dengan tanah yang berpindah.” Seorang bapak menceritakan banyak hal tentang Syamsya. “Kedua orang tuanya bersama dengan satu kakaknya tertimbun di depan rumahnya.” Sambung Bu Laminah.

“ Bagaimana bisa dia selamat sendiri, Bu ?” tanya Santi yang tiba-tiba muncul di sebelahku.

“ Tidak ada yang tahu, kami semua sibuk dengan diri masing-masing. Setelah lampu padam, saya mencoba untuk mencari lilin. Baru dua langkah kaki kami beranjak, kudengar suara keras seperti bangunan runtuh karena gempa. Saya berlari menuju kamar anak-anakku sambil menjerit memanggil bapaknya anak-anak. Kami berkumpul di ruang tamu menunggu takdir yang akan menghadiri kami. Tak ada yang kami lakukan selain pasrah pada Gusti Allah. Jeritan di luar rumah tak kami hiraukan. Kami bertekad untuk tetap bersama di rumah. Setelah getaran berhenti, suamiku mencoba bangkit dan membuka pintu. Dengan lilin yang kecil, kami mencoba melihat keadaan. Halaman rumahku sudah penuh dengan gundukan tanah. Kulihat semua tetangga berlari tunggang langgang, mencari saudara dan tidak ada yang memperhatikan orang lain, semua mencari selamat sendiri-sendiri. Ayah dan ibunya serta satu saudara laki-lakinya tertimbun material tanah. Dia selalu meronta, meratap dan memanggil, ingin menyusul mereka dari awal kejadian. Ia mungkin sudah lelah, sehingga sekarang diam. Kami berisik mendengarnya Mbak. sepanjang malam ia menangis dan baru beberapa jam ini ia diam. Diam sejenak mengumpulkan tenaga, kalau sudah terkumpul ia menjerit lagi dan meronta.” Begitu penjelasan Bu Laminah.

“ Jadi , . . . dia sendiri sekarang, Bu ?”trenyuh hatiku melihatnya. Gadis cantik dengan kondisi compang-camping dan sebatang kara.

“ Iya, Mbak. Hanya kami orang-orang yang hidup di sekitarnya, yang sekarang dia miliki. Dia, gadis cantik yang sombongnya luar biasa, sekarang sebatang kara, sama miskinnya dengan kami.” Pak Darmo menyambung lalu menarik nafas sejenak, sebelum akhirnya ia bicara. “ Kita hidup bersamanya, di lingkungan yang sama, namun dia sama sekali tidak pernah menyapa apalagi memperdulikan kami. Kami memang orang-orang miskin, yang kebetulan memang beruntung mempunyai tetangga kaya seperti keluarganya. Keluarganya selalu memberi banyak manfaat pada kami, tapi dia sama sekali tak punya hati.”

“ Maksud Pak Darmo ?”

“ Dia semau sendiri, kasar dan sombong. Tapi orang tua dan saudaranya luar biasa baik. Sekarang dia sendiri, tanpa saudara, tanpa harta, sama seperti kami.”Sekali lagi Pak Darmo memandang gadis di sudut ruangan dengan emosi.

“ Bapak masih marah padanya ?”tegasku.

“ Kalau mengingat kebaikan keluarganya, rasanya tak tega, Mbak. Tak sampai hati ini marah, tapi kalau ingat tabiatnya, hati ini juga tak rela berbaik-baik dengannya. Semoga Tuhan mengampuni dosanya.”

“ Maaf, Pak, saya akan ke sana. ”

“ Silahkan saja. Semoga bersama Mbak dia menjadi baik.”

Perlahan kudekati Syamsya. Kuamati dia yang kusut dengan luka yang menghiasi tubuhnya. Tampak sekali kecantikan menghiasi wajahnya, meski dengan kondisi yang seperti gelandangan.

“Mbak Syamsya. Assalamualaikum” Kujabat tangannya yang lemah. Namun dia diam. Pandangannya kosong tanpa arti. Dalam hati aku hanya bisa berdoa semoga ia diberi kekuatan.

“Mbak Syamsya? “ sekali lagi kupanggil namanya. Dia masih diam. Yang paling mengherankan, dia sama sekali tak menghiraukan kedatanganku. Tatapannya kosong. Lumpur kering dan compang- camping bajunya, menandakan bahwa perjuangannya untuk hidup sangatlah luar biasa. Aku tak bisa membayangkan, bagaimana seorang gadis seperti dia yang anak orang kaya, dan sudah terbiasa hidup dengan kemewahan, kemegahan dan semua yang serba ada, harus menginjakkan kaki di lumpur, berlari dan ah entah apa lagi, hal yang baru saja dia alami, adalah sebuah pengalaman baru yang sangat buruk.

“Mbak Syamsya! “ Dia masih membisu.Ya Tuhan. Sombong sekali dia, yang tak mau menengokkan kepala. Ah, tapi aku maklum. Dia mungkin belum bisa melupakan peristiwa yang baru saja ia alami, melihat bagaimana ganasnya tanah longsoran menimbun ayah, ibu dan saudaranya di depan mata. Aku mungkin harus sedikit berbesar hati, menerima kenyataan bahwa Syamsya, bunga kampusku yang sekarang sangat kotor, mengacuhkanku. Sama seperti aku dulu, saat gempa melanda wilayahku, saat aku harus menghadapi kenyataan rumahku rata dengan tanah. Aku merasa semuanya telah hancur. Hatiku sangat terpukul, padahal jelas sekali berbeda dengan peristiwa yang dialami Syamsya. Orang tuaku semua selamat. Aku masih bisa hidup bersama mereka sampai saat ini. Sedang dia ? Dia sebatang kara. Syamsya, sungguh malang nasibmu. Kehilangan orang-orang yang kamu cintai, tanpa kamu mampu melakukan apapun untuk menolong.

“Mbak Syamsya !!! “Kucoba sekali lagi menyapanya, meski aku tahu jawaban yang akan aku terima darinya nihil. Sejenak aku terpaku. Bingung memikirkan sesuatu yang akan aku lakukan untuk sekedar meringankan beban pengungsi di desa ini ?Aku mencoba bangkit, berdiri dan melangkahkan kakiku ke halaman balai desa. Mendekati ibu-ibu yang sedang menemani anaknya bermain. Meski masih dengan sisa tangisnya, mereka tersenyum menerima kedatanganku. Kudekati bocah kecil di pangkuan seorang ibu.

“ Ini putri, Ibu ?” Tanyaku sambil mengusap kepalanya. Gadis kecil di pangkuan ibunya menjauhkan kepalanya dariku.

“ Iya, Mbak. Namanya Nina. Dia yang paling ketakutan diantara sekian banyak anak yang ada. Saat kejadian itu berlangsung, dia sedang terjaga. Bencana datang saat ia merasa ketakutan karena gelap. Baru saja dia terjaga dan menangis, tiba-tiba suara ledakan datang di sekeliling kami.”

“ Assalamualaikum, sayang. Namanya siapa ?”Mata kecilnya menatapku. Aku tersenyum. Kuulurkan tanganku mengajaknya bersalaman.

“ O, iya, nama Kakak Marisa, Kak Risa, namamu siapa ?” Kuucapkan kalimat selembut mungkin, namun tetap, dia belum mau menjawab pertanyaanku. Ibunya menitikkan airmata.

“ Namanya Nina, Mbak. Dia mungkin masih takut menerima kenyataan semalam. Maaf ya, Mbak.”Aku tersenyum dan mengangguk. Kutatap mata bening yang sekarang nampak redup.

Tetap telaten, kuajak dia bicara. Meski awalnya bungkam, tapi Alhamdulillah, akhirnya dia mau juga buka suara.

“ Allah itu jahat .”Aku terkejut mendengar kalimatnya. Tapi aku yakin ada titik terang yang secara tersirat bisa kugunakan untuk memberi pembelajaran berharga bahwa tanah yang berdiri kokoh membentuk dinding dengan ditumbuhi pohon, dan sekarang berpindah tempat menimbun desa itu atas kuasaNya.

“ Kenapa kok jahat ? ”

“ Dia sudah membuat kami harus terusir dari rumah karena longsor.” Dia cerdas, hanya memerlukan sedikit trik untuk bisa membuat ia tahu bahwa ada hikmah dibalik longsor tanah di desanya.

“ Tapi ada satu yang harus kita syukuri, meskipun Allah sudah membuat longsor, namun Nina masih selamat. Rumah memang hilang, hancur tak berbekas, tapi bersyukurlah keluarga Nina masih hidup. Ayah, Ibu dan Nina masih hidup kan Sayang ? Kalian selamat. Itu mukjizat. Coba kalau bukan karena Dia sayang sama kita, bagaimana mungkin kita bisa ada di sini saat ini. Dia masih memberi kesempatan pada kita untuk hidup untuk menjaga Bumi yang kita cintai.”

“ Kok menjaga Bumi?” Nina mendongak kaget. Ia menatapku dengan mata melotot. “Kamu temannya Allah kan ? Makanya kamu membelanya terus ? “ aku terpana pada pendengaranku. Gadis kecil yang cerdas di hadapanku mengalihkan pandangannya ke luar. Kuikuti semua gerak-geriknya dengan sempurna. Akhirnya kukatakan dengan tenang sebuah kalimat yang bisa membuatnya diam merenung dan akhirnya mensyukuri karunia Tuhan yang tak ternilai untuknya.

“ Kita wajib menjaga bumi dari tangan-tangan jahil yang akan merusaknya dengan melestarikan alamnya, bukan mendewakannya. Tuhan sayang pada setiap makhlukNya. Dengan memindahkan tanah yang tadinya diatas bukit menuju rumah kita, Allah sedang memberitahu bahwa kita harus selalu waspada pada setiap keadaan apapun yang bisa saja terjadi. Tidak terlena dengan kenikmatan. Saat sepertiga malam yang terakhir sudah menyapa, saatnya kita bangkit mengambil air wudhu dan menyembahNya, bukan tidur atau tetap beraktifitas dengan pekerjaannya dan menunda melaksanakan ibadah padaNya. Saat sepertiga malam yang terakhir datang, semua malaikat Allah turun dan mendoakan setiap hamba yang sedang mendirikan tahajjud. ”

Nina diam. Tampak sekali dia merenungi kalimatku.

“ Jadi, kita harus menjaga alam, Kak ? Terus bagaimana desa dan rumah kami ?” lanjutnya. Perlahan dia turun dari pangkuan ibunya dan duduk di sampingku.

“ Semuanya masih bisa diperbaiki. Kita sedang diuji, dengan rumah rusak, dengan desa yang hancur, masihkah kita sayang sama Allah ? Bolehlah semua rusak tapi bukan berarti hati kita harus hancur. Hancurnya rumah masih bisa diperbaiki, tapi hancurnya hati karena kufur tak kan bisa kembali. Kita harus bangkit. Untuk membangun semua yang hancur. Nina masih beruntung karena hanya rumah yang hancur. Ibu dan bapak Nina masih hidup kan ? ” Nina mengangguk pelan. “ Coba Nina lihat di dalam, di sana ada Mbak Syamsya yang tidak hanya kehilangan rumahnya, tapi kehilangan ayah, ibu dan saudaranya.” Sambungku.

“ Karena kita yakin, Allah sayang pada kita ?.” Gadis mungil yang cerdas itu tersenyum padaku.

“ Bagaimanapun, kita harus waspada. Bahwa segala sesuatu bisa saja terjadi atas KuasaNya. Bumi akan tunduk pada Sang Maha Pencipta. Apapun perintahNya. Kita jalan-jalan yuk!”

Kualihkan pembicaraan. Aku yakin anak sekecil dia belum bisa diajak berdebat terlalu lama.

Dia menggeleng.

“ Kita bermain ?”Sekali lagi dia menggeleng.

“ Kenapa ?”

“ Malas.” Tangan mungilnya mengambil sebatang kayu kecil lalu ia gunakan untuk mengorek tanah basah di hadapannya.

“ Kamu tahu tidak, malas itu musuhnya orang Jepang lho. Mereka pantang sekali untuk malas makanya meskipun negaranya kecil dan tidak sesubur Indonesia, mereka bisa makmur.”

“ Jangan sekarang. “ Ucapnya lirih.

“ Kak Risa bercerita mau ?”

“ Kakak, Nina belum ingin mendengar apa-apa, belum ingin jalan-jalan dan belum mau berbuat apapun. Besok ya, jangan sekarang.”Aku tersenyum dan mengangguk.

“ OK, Kalau Adik manisku siap, beritahu Kakak,” Kutinggalkan Nina dan berjalan menghampiri beberapa anak yang sedang bermain pasir di halaman. Kondisinya jauh lebih baik dari Nina.

***

Terpopuler

Comments

Aniest.nisya

Aniest.nisya

bagus thor semangat ya..

maaf baru mampir🧡🧡🤗

2020-08-19

0

lihat semua
Episodes
1 Mimpi Dini Hari
2 Ujung Tombak Relawan
3 Kembang Kampus
4 Gadis Sombong yang Sebatang Kara
5 Perhatian Komandan
6 Debat Kusir
7 Camp Pengungsian
8 Camp Pengungsian 2
9 Camp Pengungsian 3
10 Longsor Susulan
11 Posko Kesehatan 1
12 Posko Kesehatan 2
13 Posko Kesehatan 3
14 Camp Pengungsian 4
15 Camp Pengungsian 5
16 Pernikahan
17 Persiapan ke Ibukota
18 Persiapan ke Ibukota 2
19 Ibukota 1
20 Ibukota 2
21 Ibukota 3
22 Gadis Teraneh di Kampus
23 Perayaan di Kampus
24 Kembali ke Camp Pengungsian
25 Cemburu pada Syamsa
26 Telepon dari Prasetyo
27 Pesan misterius
28 Irawan Adityawarman
29 Aku Mencintaimu Risa
30 Rahasia Terungkap
31 Laki-laki dalam Mimpi
32 Kembali Menjadi Teman
33 Demam Band
34 Kembali ke Gebangrejo
35 Teman Kos Marah Lagi
36 Gayung Bersambut
37 Bertemu Calon Mertua
38 Pulang ke Yogyakarta
39 Lamaran
40 Separuh Dinn
41 Es Teh Panas Dingin
42 Miniatur Gebangrejo
43 Kejutan
44 S2 Hal Baru di Kos Flamboyan
45 Tetaplah Seperti ini
46 Pingsan
47 Bangunlah Sayang!
48 Hasil Laborat
49 Semoga Aku Segera Menyusul
50 Aku Tidak Mengijinkan
51 Anak Flamboyan
52 Koma
53 Ada Apa dengan Anakku
54 Aku Benci Kamu
55 Aku Ingin Menikah Dengannya
56 Dia Sudah Kembali
57 Apapun Untuk Putriku
58 Aku Akan Menikah
59 Jangan Banyak Alasan
60 Pertengkaran
61 Awas Nanti
62 Jangan Berprasangka
63 Kau Tidak Ingin Menyambutku?
64 Jangan Pernah Menyakitinya
65 Aku Lelah
66 Aku Harap Begitu
67 Kelihatannya Benar
68 Aku Khilaf
69 Kala Itu
70 Aku Sigit
71 Terpaksa Memendam Rasa
72 Perjanjian tetap Berlaku
73 Lain di Bibir Lain di Hati
74 Penyambutan Nyonya Baru
75 Imbas Buruk
76 Dia Sudah Melakukannya
Episodes

Updated 76 Episodes

1
Mimpi Dini Hari
2
Ujung Tombak Relawan
3
Kembang Kampus
4
Gadis Sombong yang Sebatang Kara
5
Perhatian Komandan
6
Debat Kusir
7
Camp Pengungsian
8
Camp Pengungsian 2
9
Camp Pengungsian 3
10
Longsor Susulan
11
Posko Kesehatan 1
12
Posko Kesehatan 2
13
Posko Kesehatan 3
14
Camp Pengungsian 4
15
Camp Pengungsian 5
16
Pernikahan
17
Persiapan ke Ibukota
18
Persiapan ke Ibukota 2
19
Ibukota 1
20
Ibukota 2
21
Ibukota 3
22
Gadis Teraneh di Kampus
23
Perayaan di Kampus
24
Kembali ke Camp Pengungsian
25
Cemburu pada Syamsa
26
Telepon dari Prasetyo
27
Pesan misterius
28
Irawan Adityawarman
29
Aku Mencintaimu Risa
30
Rahasia Terungkap
31
Laki-laki dalam Mimpi
32
Kembali Menjadi Teman
33
Demam Band
34
Kembali ke Gebangrejo
35
Teman Kos Marah Lagi
36
Gayung Bersambut
37
Bertemu Calon Mertua
38
Pulang ke Yogyakarta
39
Lamaran
40
Separuh Dinn
41
Es Teh Panas Dingin
42
Miniatur Gebangrejo
43
Kejutan
44
S2 Hal Baru di Kos Flamboyan
45
Tetaplah Seperti ini
46
Pingsan
47
Bangunlah Sayang!
48
Hasil Laborat
49
Semoga Aku Segera Menyusul
50
Aku Tidak Mengijinkan
51
Anak Flamboyan
52
Koma
53
Ada Apa dengan Anakku
54
Aku Benci Kamu
55
Aku Ingin Menikah Dengannya
56
Dia Sudah Kembali
57
Apapun Untuk Putriku
58
Aku Akan Menikah
59
Jangan Banyak Alasan
60
Pertengkaran
61
Awas Nanti
62
Jangan Berprasangka
63
Kau Tidak Ingin Menyambutku?
64
Jangan Pernah Menyakitinya
65
Aku Lelah
66
Aku Harap Begitu
67
Kelihatannya Benar
68
Aku Khilaf
69
Kala Itu
70
Aku Sigit
71
Terpaksa Memendam Rasa
72
Perjanjian tetap Berlaku
73
Lain di Bibir Lain di Hati
74
Penyambutan Nyonya Baru
75
Imbas Buruk
76
Dia Sudah Melakukannya

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!