Pukul sebelas siang, relawan datang dari tempat pencarian jenazah. Hujan deras mengguyur bumi Kemanukan, koordinator pencarian korban mengumumkan untuk menghentikan pencarian demi keselamatan tim. Qomar komandanku dan teman-teman lain dari kampusku bergabung dengan relawan lain. Hatiku senang. Aku tahu sebenarnya ini tak boleh terjadi, sebab ayah selalu mengatakan, dengan atau tanpa sepengetahuannya aku dilarang berkhalwat, berpacaran, berdua- dua dengan laki-laki non muhrim atau menyimpan rasa suka pada laki-laki, membiarkan hati ternodai oleh cinta selain cinta untukNya.
“Ayah, maafkan aku.” Gumamku sambal menutup wajahku. “Tapi rasa ini tidak bisa kututupi ayah.” Sambungku dalam hati. Sekali lagi kututup wajahku dan dengan kesal kubuang semua anganku ingin sekali kulangkahkan kaki dan berjalan keluar tapi kuurungkan.
“Tapi aku manusia, ayah, yang ditakdirkan memiliki rasa dan sebagai seorang wanita, aku ingin memilih pria yang bisa kuandalkan. Dari segi keimanan dan kegigihannya menghadapi hidup. Sudah kutemukan padanya. Namun aku takut. Aku takut menghadapi kenyataan bahwa sebenarnya sudah ada cinta di hatiku untuknya. Aku takut.” Sekali lagi aku menggumam.
“ Assalamualaikum, Risa ?”Sasa sang sekretaris BEM membuyarkan lamunanku. Dia baru saja datang bersama pihak rektorat menyalurkan bantuan.
“ Wa alaikum salam, Sa.”
Sasa memandangku lalu mengarahkan pandangan menuju sudut ruangan.
“ Mereka masih trauma menerima peristiwa mengerikan kemarin. ” ucapku dengan nada prihatin. Sasa menarik nafas berat
“Tapi setidaknya, kita sudah berupaya untuk mengulurkan bantuan. Kamu tidak ingin ikut dalam pencarian korban di bawah ? ” tanyanya. Pandangan mataku kutujukan keluar.
“ Tidak. Banyak yang bisa kita lakukan di sini. Di dapur umum masih memerlukan bantuan tenaga untuk memasak dan menyediakan makanan untuk pengungsi dan relawan. Semampu kita. Pencarian korban biar mereka kaum adam.” Ucapku pelan. Sasa mengangguk.
Baru saja relawan masuk balai desa, Semua orang dikejutkan oleh Syamsya yang jatuh di lantai dan semua orang panik. Dia pingsan. Semua perhatian tertuju kepadanya. Berdua aku dan Sasa, membawanya ke dipan di ruang kepala perangkat desa yang sejak hari pertama menjadi pos kesehatan. Dokter Wildan langsung memeriksa. Beberapa perawat sudah mulai menyiapkan infus.
Aku hanya bisa menunggu instruksi. Kupegang lengan Syamsya yang lemah. Suhu badannya panas. Beberapa kali ia mengigau sesuatu yang tidak jelas. Wajahnya mulai berkeringat. Ada gurat ketakutan dan sedih di sana. Aku mencoba untuk memijitnya seraya berdoa dalam hati, agar Allah menguatkannya. Tak dapat kubayangkan seandainya itu terjadi padaku. Mungkin aku akan mengalami kondisi yang sama lemahnya dengannya.
Aku tidak tahu sudah berapa menit menunggu dan mengurusnya. Siang ini kami bisa mengganti bajunya dan membersihkannya. Aku dan Sulis yang mengganti pakaiannya. Mengelap tubuhnya dan mengoleskan minyak kayu putih untuk mengurangi penatnya. Sekali lagi kuambil minyak hangat di dapur dan kuurut tubuh Syamsya dengan hati-hati.
Setelah kuurut pelan, kupegang tangan dan dahi Syamsya berulang-ulang.
“Sudah mulai dingin, “ kata Sulis pelan. Aku hanya mengangguk.
“Dia cantik sekali ya? “ tambahnya. Sekali lagi aku hanya bisa mengangguk. Ia memang kembang kampus. Kecantikannya belum ada tandingannya di kampusku.
“Aku iri melihat kecantikannya.”ucap Sulis pelan. Kali ini aku menggeleng.
“Allah sudah memberikan bentuk terbaik untuk kita. Jangan kotori hati kita dengan nafsu. Kalau kita syukur, Allah akan menambah lagi kenikmatan yang sangat banya,”
“ Kamu yakin tidak ingin memiliki wajah sepertinya ?”
“Sulis ! Tidak” ucapku tegas. Kali ini Sulis hanya tersenyum.
“Salut untukmu. “ ucapnya sambal melangkah meninggalkanku.
***
Tiga hari kami bergantian menunggu Syamsya. Namun sejauh itu, kami belum bisa membuat dia mengembalikan ekspresinya. Walaupun sudah sadar, ia masih belum mau bicara. Masih tidak mau makan dan suka melamun dan bergumam sendiri. Mendengar cerita kami, Qomar datang menemui Syamsya malam hari.
“ Kamu sendiri, Ris ?” Qomar memandangku lembut.
“ Seperti yang Mas Qomar lihat. “Qomar menarik kursi dan duduk di hadapanku.
“ Bagaimana keadaannya sekarang?” tanyanya sambil melihat wajah Syamsya yang masih tanpa ekspresi.
“ Sudah lumayan, dia tidak sepucat kemarin, Cuma masih belum mau makan dan bicara. Rasanya aku hampir putus asa menghadapinya.”kuarahkan pandanganku keluar menyaksikan hilir mudik pengungsi dan relawan yang menginap di balai desa. Reporter televisi lokal nampak ikut andil meramaikan tempat ini. Banyak pejabat yang sedang diwawancarai. Semua tenaga medis hilir mudik ke sana kemari.
“ Tumben.” Qomar memandangku heran.
“ Tumben ? Kenapa ?” tanyaku penasaran.
“ Selama aku mengenalmu, belum pernah kudengar nada putus asa seperti malam ini.” Katanya sambil tersenyum menggoda.
“ Dia keras kepala.” Ucapku sambil menggaruk kepala yang tidak gatal menutupi kelemahanku.
“ Menurutku, kamu lebih keras kepala darinya.” Qomar berdiri menjauhiku sambil tersenyum menggoda. Meski sebel tetap kuakui hatiku bahagia karenanya.
Astaghfirullaah.
“ Kenapa diam ?” godanya.
“ Terima kasih” ucapku sambil menunduk. Tak ingin kubiarkan bunga-bunga bermekaran di hatiku untuk seorang laki-laki non muhrim yang sekarang berada satu ruangan denganku. Aku tahu hatiku memang sedang merasakan wangi dan semerbak aroma bunga. Tapi aku juga harus tahu bahwa saat ini juga aku harus menggantikan aromanya dengan kembali ke kesadaranku.
“ Kok terima kasih ? Bukannya marah kek, sebel apa bagaimana kok terima kasih, padahal aku sudah mengolokmu lho.” Qomar memandang Syamsya. Aneh katanya ? Aku memang aneh. Tapi menurutku dia jauh lebih aneh.
“Kok diam ?”
“ Males saja meladeni orang.”sengaja aku berdiri dan meninggalkannya seorang diri, namun kuurungkan. Disaat yang genting seperti ini, Lina masuk. Tanpa salam dia duduk memandang kami yang sejak tadi berselisih.
“ Eh kalau males meladeni orang lalu siapa yang akan kau ladeni ? Monyet ?” goda Qomar sekali lagi.
“ Lebih enak sama monyet barangkali.” Ucapku ketus. Lina yang baru masuk ruangan hanya tersenyum melihat kami.
“ Eh, maaf ya, aku akan coba mengajaknya bicara.”pinta Qomar perlahan.
“ Silahkan ! Barangkali dengan Mas Qomar dia mau.”kataku ketus. Aku tahu sebenarnya ada rasa tak suka kala melihat Qomar menjadikan Syamsya sebagai bahan mengolokku, tapi akupun tahu bagaimana cara untuk menyembunyikannya jauh di lubuk hatiku yang paling dalam.
“ Kalau dia mau bicara apa taruhannya ?” sekali lagi ia memandangku. Penasaran dengan reaksinya, akupun mencoba untuk memandangnya. Tapi, Masya Allah, baru kali ini aku bisa memandang wajahnya dengan jelas. Dia gagah sekali. Wajahnya yang sederhana nampak sangat berwibawa dan ini baru kutahu hari ini. Padahal saya sudah mengenalnya lebih dari tiga tahun.
“ Ambil saja dia untuk Mas Qomar.”ucapku sekenanya.
“ Benar nih ?” tanya Qomar sengaja menggoda. Dia nampak sangat antusias. Dalam hati aku mengutuk semua perkataanku yang ditanggapinya dengan senyum bahagia.
“ Iya, benar. Kalau memang Mas Qomar mau.” Sahutku sewot. Aku hamper saja menangis melihat dia benar-benar bersemangat. Ada hati yang terluka.
“ Siapa yang tidak mau dengan gadis secantik dia ?” aku tahu hatiku bergetar mendengar kalimatnya. Ada nyeri yang muncul di ulu hatiku. Nyeri yang aku sendiri tidak tahu mengapa harus datang dalam situasi seperti saat ini. Tuhan, benarkah yang dia katakan tadi ? Dia mau dengan Syamsya ?
“ Eh, kok diam ? Cemburu ya ?” Ledek Lina yang sejak tadi tak bersuara.
“ cemburu ?”
“ iya, cemburu pada Mbak Syamsya.”jawab Lina sambal mengerlingkan matanya pada Qomar. Aku diam. Memang sih aku cemburu tapi gengsi dong kalau aku katakan iya. Sebenarnya aku tahu Qomar tak pernah memendam rasa pada Syamsya, tapi entah mengapa rasa sakit selalu muncul kala mendengar Qomar menggodaku untuk memiliki Syamsya.
“ Syamsya ?” panggil Qomar sambal memegang pundaknya. Luar biasa. Kali ini dia melihat Qomar meski hanya sebentar.
“ Masih ingat apa yang terjadi kemarin ?”Masih dengan tatapannya, Syamsya diam.“ Orang bilang, ayah, ibu dan saudaramu hilang ?”sambung Qomar dengan suara sedikit ketus. Raut wajah Syamsya berubah. Awal yang baik. Qomar yang luar biasa atau hanya kebetulan saja Syamsya sudah bosan diam. Yang jelas bagiku ini kemajuan. Ataukah ini tanda-tanda sesuatu akan memisahkan kami?Aku tak perduli.
Kalau memang dia mengambil Syamsya sebagai barang taruhannya berarti bisa kupastikan ucapan Lina tentang dia yang katanya mencintaiku hanyalah palsu. Tapi kalau dari keberhasilannya dia masih mencintaiku, ini baru namanya cinta sejati.
“ Kamu pasti sedih sekali ya ? Harus kehilangan mereka, dan hidup sendiri saat ini?”Genangan air mata mulai mengalir di pipinya yang lembut. Inilah keberhasilan. Dia pancing emosi Syamsya dan mungkin setelah ini dia akan tahu arah mana yang akan dia tuju untuk menyembuhkannya seperti sediakala. Aku ingin bertepuk tangan untuk keberhasilannya membangkitkan emosi Syamsya, kalau saja tidak melihat pandangan mencemooh Qomar yang ditujukan padaku.
“ Mbak Syamsya, kalau mau menangis, menangis saja, tidak usah di tahan. Tumpahkan semua keluh kesah, kesedihan dan mungkin kebencianmu pada siapa saja. Ayo” ucap Lina bersemangat. Kulihat Syamsya mulai bereaksi.
“ Aku benci pada Tuhan.”Lirih dia katakan kalimat itu.
“ Kenapa ? Kok bencinya pada Tuhan? Bukan pada dia ?”Qomar menunjuk ke arahku, yang tentunya diikuti pandangan Syamsya untukku.
“ Mengapa harus benci padanya ?”tanyanya penasaran.
“Kamu ingat padanya?. Dia orang yang sudah menolongmu saat kamu pingsan. Kamu masih ingat kemarin kamu pingsan ?”Dia menggeleng.
“ Sama sekali ?”Sekali lagi dia menggeleng.
“ Dia yang sudah menolongmu, membawamu kemari, menjagamu sepanjang siang dan malam dan akhirnya kamu selamat. Ucapkan terima kasih padanya ya ?”Lama sekali Syamsya menatapku. Aku coba untuk tersenyum, meski aku tahu balasan untukku nihil.
“ Syamsya, Kamu pasti tahu, bagaimana ayah, ibu dan saudaramu saat mereka masih hidup?”
Syamsya diam. “ Mereka semua orang baik kan ?’Kali ini dia mengangguk. Bagiku itu sudah jauh dari cukup. Sebuah kemajuan yang luar biasa terjadi setelah beberapa hari Syamsya menutup diri.
“ Kamu tahu kalau orang baik itu disayang Tuhan ?”
“ Disayang Tuhan katamu ?”Di luar dugaanku, reaksinya sangat luar biasa. Bagiku, inilah kata yang pantas untuk mengungkapkan kemajuannya “ Luar biasa” Dia bicara dengan nada yang keras, seolah hendak dia lampiaskan seluruh kemarahannya pada Tuhan.
“ Kenapa ? Kamu marah pada Tuhan ?” Qomar memandang Syamsya.
“ Sangat.”
“ Kenapa ?”
“ Karena Tuhan telah mengambil semua orang yang aku cintai. Tidakkah Dia tahu mereka itu orang baik ? Mengapa harus mereka yang Dia ambil bukan aku ?”
“ Kamu juga baik kan ?”tegas Qomar sambil memandangnya tajam.Tangisnya meledak. Dia pukuli kepalanya dan ini diluar dugaan kami. Aku berlari mendekati dan mendekapnya.
“ Maaf Mas, tolong dihentikan dulu, jangan dilanjutkan . Kasihan dia.”pintaku memelas. Qomar hanya memandangku. Dia sedang menyelidik wajahku, dan terbukti pikiranku benar. Sejenak dia angkat bicara.
“ Dan kau akan memberikan dia sebagai hadiah taruhanku ?” goda Qomar sekali lagi.
“ Kalau dia mau silahkan.” Akhirnya kubentak dia. Bisa-bisanya dalam situasi seperti ini masih mengingat balasan atas tindakan yang dilakukan.
“ Kau tak cemburu ?” godanya menyebalkan.
“ Cemburu ? “
“ Iya, cemburu . Melihat keberadaanku bersamanya’
“ Kalau Mas Qomar pacarku, pasti aku cemburu, tapi dari situ aku bisa tahu bahwa kualitas cinta Mas Qomar padaku sangatlah rendah.“ Dia diam. Terpancing dengan ucapankukah ? Syamsya masih menangis di pelukanku. Seorang perawat datang bersama seorang perempuan paruh baya dan suaminya, yang ternyata adalah paman Syamsya yang tinggal di Jakarta.
“Syamsya, kau selamat, Nak ?” tanya si ibu dan langsung memeluk Syamsya. Syamsya yang melihat saudaranya dating langsung menangis.
“ Bulik, “Hanya itu yang diucapkan Syamsya. “Mama, Papa dan Kakak.” Sambung Syamsya sambal terus memeluk ibu paruh baya yang ternyata buliknya Syamsya hanya mengangguk sambal terus memeluk Syamsya. Tangannya Mereka saling berpelukan dan saling sesenggukan.
“Mengapa harus mereka yang diambil, Bulik? “ tanya Syamsya. Suaranya mengiris semua yang mendengarnya.
“Karena Tuhan saying mereka, Sya. Mereka semua orang baik. Ikhlaskan. Semoga Tuhan memberikan jalan yang terang pada mereka untuk kembali ke pangkuanNya. “ kali ini sang bapak yang menjawab.
“Om, Syamsya sebatang kara Om,” jerit Syamsya. “aku sebatang kara.”
Aku tak kuasa mendengar suaranya.
“Ada Om dan Bulikmu, Syamsya. Ada kami yang akan menjagamu. Tidak usah khawatir,” Om Syamsya menghibur.
“Apakah mereka sudah ditemukan Om? “ tanya Syamsya penasaran. Sang paman memandangku. Aku hanya menggeleng. Dan melihatku menggeleng Syamsya langsung memegang tanganku.
“Tolong cari mereka, Please ! Aku mohon segera cari mereka.” Ucapnya histeris. Mendengar tangisan Syamsya, dokter Wildan yang sedari tadi di luar ruangan masuk dan mendekati Syamsya.
“Relawan selalu berusaha mencari orang tua serta kakak Mbak. Bersabarlah. Kita semua berdoa untuk keberhasilan semuanya. Yang sudah menjadi korban, kita doakan semoga semua dosanya diampuni, dan diterima di sisi Tuhan serta bagi yang mengungsi, semoga diberi kesabaran. Manusia hanya berusaha, setelahnya, segala keputusan kita serahkan pada yang MAha Kuasa. “ Kulihat Syamsya hanya terisak mendengar kalimat dokter Wildan.
“Seharusnya aku yang diambilNya dokter. Aku orang jahat yang pantas menerima musibah ini, bukan Mama, papa dan kakakku. “
“Semua hak prerogative Tuhan. Tak ada yang kebetulan. Semua sudah sesuai dengan takdir yang sudah digariskan. Dan kita yang masih hidup saat ini pun, sedang menanti kapan saatnya harus kembali dengan cara yang kita sendiri tidak tahu bagaimana. " suara dokter Wildan bergetar seolah dia sedang marah melihat betapa rapuhnya pasiennya.
"Iya, Dok. kami tahu keponakan saya pasti terpukul dengan keadaannya sekarang. Kami sebagai wakil dari keluarga mengucapkan terima kasih atas apa yang sudah kalian lakukan kepadanya. Semoga Tuhan membalas baik budi kalian," kata Omnya Syamsya pelan.
Setelah beberapa saat, kami pamit setelah menyerahkan tanggung jawab perawatan kepada keluarga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments