NovelToon NovelToon

Senyum Tuhan Untuk Marissa

Mimpi Dini Hari

Hilir mudik kendaraan di jalan raya di sekitarku ketika aku sedang menikmati keramaian jalan, melangkah dalam tergesa tanpa arah.

Tak seorangpun di sekelilingku. Lina dan Santi sahabat yang selalu menemani kemanapun aku pergi, sekarang sedang ke ibu kota, mewakili kampus bersama dua mahasiswa lain, Teguh dan Aris Sulistiawan, mengikuti lomba desain robot tingkat nasional. Mereka jago dalam mendesain berbagai robot. Desainnya memenangkan medali emas di kompetisi robot tingkat wilayah sehingga mereka harus mewakili provinsi bertanding di tingkat nasional.

Sisy teman kosku sedang pulang ke orang tuanya di Asrama tentara di kotaku. Meski tempat tinggalnya di wilayah kampus, ia memilih untuk kos di Flamboyan bersamaku.

Maulida juga sedang sibuk menyelesaikan tugas kuliahnya di rumah Nina. Aku tak punya teman. Semua sibuk dengan urusannya. Sementara aku masih tidak punya beban apapun. Tak ada deadline tulisan dari majalah kampus atau tugas lain yang harus kuselesaikan seperti hari-hari lalu. Semua laporan kegiatan resimen sudah kuselesaikan, artikel kampus sudah kukirim via email kemarin dan tugas kuliah tinggal menunggu dijilid oleh Meta.

Di hiruk pikuknya kota, aku hanya bisa mengayunkan langkah menyusuri trotoar sambil sesekali memandang sekeliling. Belum juga kutemukan tujuanku, aku dikejutkan oleh sebuah salam dari seorang makhluk Tuhan bernama laki-laki yang bersepeda yang mengikutiku dari belakang. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun, hanya mengikutiku dengan setia, sebelum akhirnya sebuah salam lembut kudengar di telinga untuk yang kedua kalinya. Antara percaya atau tidak, aku mencoba untuk membalas salam itu, namun mulutku bungkam, tak mampu mengucap sebaris jawaban yang sudah kuhafal di luar kepala. Sejenak kutekuni wajah tirus yang tersenyum memamerkan sebaris gigi rapinya.

“Masya Allah, Tuhan ! Sempurna sekali ciptaan-Mu yang sekarang berdiri di hadapanku.”batinku. Bola mataku masih kupaku di pemandangan indah anugrah Tuhan saat ini, seolah enggan kuajak berpaling melihat arah lain. Lidahku tak mampu mengeluarkan sepatah katapun seolah ribuan ton tali mengikatnya erat di mulutku.

Pria berwajah tirus dan berambut cepak mengucapkan salam untuk ketiga kalinya. Tapi Tuhan, mengapa mulutku masih belum bisa terbuka untuk sekedar bisa menjawab salamnya. Hanya hatiku yang mengucapkan wa alaikum salam, dan itu artinya betapa bodohnya aku. Aku masih terpana apalagi saat kulihat dia turun dari sepedanya dan berjalan menjejeriku. Mengikuti langkahku dan sebelum dia menyapaku dengan kalimat pertamanya, tiba-tiba . . . “Dhuuuuuung, “ sebuah ledakan tertangkap telingaku.

Laki-laki misterius yang baru saja turun dari sepedanya dan mendekatiku hilang. Kutemukan diriku masih telentang di kamar kosku. Aku terjaga dari tidur. Aku tak percaya dengan apa yang kualami karena mimpi yang baru saja datang adalah mimpi yang sama dengan mimpi-mimpiku beberapa hari ini. Sejenak aku masih berbaring dan kulemparkan pandanganku ke ranjang Sisy di seberangku. Aku terlonjak, kutemukan Sisy terbaring di sana, tidak pulang seperti dalam mimpi yang baru saja kualami. Kukucek kelopak mataku, meyakinkan bahwa pemandangan yang tersaji di hadapanku adalah benar- benar Sisy temanku, bukan hantu.

Berkali-kali kututup mataku dan kubuka, ternyata tubuh Sisy tetap di ranjangnya. Aku segera bangun dari tidur dan duduk termenung di dipan kecilku. Listrik mati lagi. Tanganku meraba kasur untuk mencari seluler yang seingatku kuletakkan di atas kepala, sekedar untuk memberi penerangan di kamar. Mungkin ledakan yang baru kudengar adalah ledakan di gardu listrik di sebelah timur kotaku. Beberapa menit kubuang untuk meraba dan akhirnya seluler kutemukan. Bukan diatas kasur tapi di meja belajar. Kuusap layar dan sedikit cahaya terpancar. Waktu menunjukkan pukul dua tiga puluh menit. Masih sangat pagi karena alarm yang kupasang untuk membangunkanku menunjuk pukul tiga, belum berbunyi.

Malas sekali kuturuni dipan untuk meraih lampu penerang yang sudah ku cas kemarin. Tertatih kuajak langkahku menuju ruang wudhu dan mendirikan isya dan tahajjudku.

Ba’da maghrib, aku merasakan kepalaku pusing dan berat yang tak bisa kutahan. Kutolak ajakan teman-temanku untuk menikmati pertunjukan drama anak bahasa di kampus karena aku harus menjaga kondisiku. Saat kepalaku pusing, tidur adalah obat mujarabnya, sehingga malam ini, saat teman-temanku pergi, kurebahkan tubuhku. Tujuanku satu, menyiapkan tubuh yang sehat esok hari demi melaksanakan kegiatan di kampus. Aku hidup jauh dari keluargaku. Tak ingin rasanya membebani teman-teman seperjuangan.

Usai tahajjudku, dzikir malam kupanjangkan. kutengadahkan kepalaku, dan kuangkat kedua tangan, dengan sedikit bergetar, kuucapkan rasa syukurku pada Tuhan atas semua anugerah yang terindah yang selalu tercurah kepadaku.

"Yaa Rabb, Yaa Rahman, puji syukur kupanjatkan kehadapanMu atas semua limpahan rahmatMu kepadaku. Aku hambaMu, mengucapkan syukur alhamdulillah, atas semua nikmat yang kurasakan saat ini. " tiba-tiba anganku mengingat pemuda dalam mimpiku beberapa menit lalu. " Yaa Allah, aku tahu, mimpi-mimpi sama yang Kau kirimkan padaku sangat nyata dan indah. Namun aku tak ingin mendahului takdirMu, aku tak ingin menyimpulkan sendiri apa tafsirnya, dan dengan doaku ini Yaa Rabb, aku memohon petunjukMu."

Tiga puluh menit kuselesaikan shalat dan doaku. Kutelentangkan tubuhku di dipan. Mataku terpejam namun sayang, otakku tak bisa kuajak untuk tidur lagi. Mimpi yang kualami berkali-kali mengusik pikiranku. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi ? Mimpi yang sama dan itu tak pernah kupikirkan. Aku tak tahu apa artinya. Yang kutahu wajah laki-laki dalam mimpiku sangat kukenal namun aku tak tahu itu wajah siapa. Tak ada satu pun temanku yang berwajah seperti laki-laki itu.

Kututup wajahku dengan bantal. Konsentrasi kufokuskan untuk tidur , namun aku gagal. Entah berapa lama, pertahananku tak cukup kuat untuk menghentikan otakku yang sedang berfikir keras mencari barangkali ada orang-orang yang mirip dengan laki-laki di mimpiku.

Baru saja kantuk menyerang, kudengar Sisy bangun lalu keluar kamar. Anganku tentang mimpi yang membuatku sulit untuk memejamkan mata datang dan mengajakku untuk berfikir lagi. Ingin sekali kubuang sejauh arah mata memandang, namun sayang, aku gagal. Anganku memaksaku untuk kembali mengingat mimpi-mimpi yang baru kualami.

“Kamu sudah bangun atau memang tidak bisa tidur, Risa ?“ sapa Sisy sambil menyalakan telepon genggamnya. Aku tak percaya pada pendengaranku. Rupanya dia tahu aku terjaga.

“Aku terjaga saat listrik padam. “ sahutku sekenanya.

“O iya ? Mengapa ? “Tanyanya penasaran. “mimpi yang sama datang lagi ?’ sambungnya.

“Dari mana kamu tahu ?” tanyaku tanpa menutupi keterkejutanku. Ini bukan kali pertama Sisy berhasil menebak pikiranku. Dia seperti manusia berindera keenam. Kalimat yang asal saja ia lontarkan selalu tepat.

“Tak perlu memikirkan darimana informasi itu berasal, yang jelas, adzan subuh seharusnya sudah berkumandang, hanya kita saja yang tak mendengar. Inilah saatnya kita mendirikan shalat menghadapkan diri pada Yang Maha Kuasa.’ Katanya sambil berjalan meninggalkan kamar. Kuikuti langkahnya dan berdua kami shalat berjamaah.

***

05.30

Alhamdulillah listrik sudah menyala.

Aku masih asik bergulat dengan laptopku. Jari jemariku menari di atas tuts, dan akhirnya kuhasilkan kalimat demi kalimat yang membentuk paragraf dalam file buku harianku. Kawan, buku harian pertamaku sudah menjadi sebuah buku yang sudah memberiku koin yang cukup lumayan yang bisa kugunakan untuk membiayai kuliahku. Buku yang kutekuni pagi ini, adalah buku harian ketigaku. Bismillah, aku ingin buku harian kedua dan ketigaku memberiku banyak manfaat yang kelak akan membawaku pada sebuah kemakmuran dan kepuasan hidup yang sesungguhnya. Aku ingin sekali berbagi, secara moril maupun materiil pada orang-orang di sekelilingku seperti yang sudah kulakukan beberapa waktu lalu. Bukuku memang baru dinikmati oleh mahasiswa di wilayah kampusku, tapi insya Allah, aku akan menjadi penulis terkenal di Indonesiaku. Aamiin.

Sekali lagi kubaca diaryku. Mataku masih asik meresapi kalimat pertamaku saat tiba-tiba Sisy datang. Tergopoh dan berteriak panik.

“ Kemanukan longsor, Risa.” ucap Sisy sambil duduk di hadapanku. Terlihat sekali nafasnya terengah-engah, seperti ia baru saja melakukan perjalanan jauh.

Sejenak aku terpaku, anganku menerawang jauh ke arah timur kotaku. Bulu kudukku berdiri. Aku ingat, baru satu minggu yang lalu aku dan teman-teman resimen menginap di salah satu rumah di Kemanukan dan sekarang berita menggemparkan tentang longsor datang.

Kabupaten ini memang sering tertimpa bencana. Beberapa bulan lalu longsor menimpa sebuah rumah dan menewaskan empat orang dalam satu keluarga, ibu dan tiga anaknya sekaligus, terjadi ketika para korban sedang tidur. Korban selamat saat itu sang ayah, menceritakan bahwa ia bisa selamat karena baru saja bangun untuk mengambil wudhu hendak melaksanakan shalat subuh di masjid, sedang korban meninggal karena susah dibangunkan untuk shalat. Audzubillah, memang sering kita berfikir bahwa ajal masih jauh. banyak dari kita mengira kita selalu aman dari berbagai macam bencana. Sehingga kita sering menunda untuk melakukan ibadah, atau bahkan meninggalkan sama sekali.

"Marissa !" Sisy memanggilku dengan gemas.

"I . . . iya ? " aku hanya terpesona dengan panggilan Sisy. Tidak tahu mengapa dia melotot seperti itu kepadaku.

"Kamu melamun dan tidak memperhatikanku ?"

"Aku mendengar." sahutku pelan.

"Kau bilang dengar tapi tidak merespon apapun" ucapnya sambil memanyunkan bibirnya.

"Kemanukan longsor, Rissa." sekali lagi Sisy memberitahuku. "Longsor juga menimpa kecamatan lain. Meski tak separah Kemanukan."

“Darimana kamu tahu ? “ tanyaku penasaran.

“Tadi saya bertemu Firman saat pulang dari pasar pagi. Dia bilang, dia terjebak longsor dan tak bisa pulang. Ledakan keras dari arah timur yang terdengar tadi malam itu ternyata bunyi longsor. Firman juga bilang setelah ledakan itu, listrik mati. Tapi aneh ya, aku kok tidak mendengar. “lanjut Sisy sambil membaringkan diri dan memiringkan tubuhnya menghadapku.

“Jadi bunyi yang keras tadi itu bunyi longsor ? Bukan ledakan gardu listrik di pantok ?” sahutku.

“Kamu mendengar bunyi keras tadi ? Bukannya kamu sedang tidur ?” tanya Lusi dan Ana yang tiba-tiba masuk penasaran.

“Iya, duuung, bunyi keras seperti ledakan TNT saat kita stelling di pendidikan dasar resimen di Dodik Belanegara Magelang. Saat itu saya sedang bermimpi. Mimpi yang sama dengan beberapa hari lalu. Akhirnya aku terjaga. Kuambil hpku dan kulihat waktu menunjuk pukul dua tiga puluh. Aku bangun, menyalakan lampu cadangan dan mengambil wudhu lalu shalat. Setelahnya aku mencoba untuk tidur lagi namun gagal. Aku hanya membolak-balik tubuhku sampai akhirnya kudengar kau menyalakan handphone dan shalat subuh ” kataku sambil membetulkan posisi dudukku.

Kulihat Sisy gelisah.

“ Firman bilang tidak bisa pulang. Akses jalan menuju rumahnya terputus longsor. Padahal nanti kelompok kami akan mengerjakan tugas di sini. Semua materi dibawanya dan kamu bisa membayangkan Risa, kalau dia tidak bisa pulang, bagaimana nasib kami ? Bisa kubayangkan bagaimana kelompokku mati kutu maju tanpa materi.” Jerit Sisy histeris.

Sejenak aku termenung membayangkan peristiwa yang semoga tak terjadi pada Sisy.

"Ada apa Firman keluar malam-malam ?"

“Firman bilang, Ibunya diare akut semalam. Bersama dengan tetangga dan dua adiknya mereka mengantar ibunya ke rumah sakit. Ketika sang ibu menyuruhnya pulang itulah mereka terjebak.”Lusi menjelaskan.

“Bagaimana kondisi rumah Firman ya ?” tambah Sisy penasaran. Aku hanya bisa mengedikkan bahu pertanda tidak tahu. " Aku tidak tahu. Semoga semua selamat. "

"aamiin."

"Indonesia diguncang bencana untuk yang ke sekian kalinya, setelah Sinabung memuntahkan lahar panasnya, Kelud membuat kalut, Merapi memuntahkan api, gempa melanda dimana-mana, muncul berita baru bahwa Kemanukan, Semagung, Caok dan beberapa desa di Purworejo mengalami tanah longsor yang memakan banyak korban. Salah satu desa bagian dari propinsi tempatku belajar di Purworejo, Jawa Tengah. "

"Iya ya, Ris? ada apa dibalik bencana yang dialami negara ini ya ?"

Sejenak aku hanya menghela nafas.

"Bencana datang mungkin karena Allah murka pada kita. Coba kita bayangkan! betapa durhaka kita pada Allah. Perzinaan dan LGBT merajalela dimana-mana. "

"Tapi, Ris. perzinaan dan LBGT kan tidak dilakukan oleh para korban kan ? Mengapa mereka yang tidak bersalah justru menjadi korban ?"

" Bencana datang bukan hanya sekedar sebagai teguran, Sy. Bagi korban yang tidak melakukan tindakan yang dimurkai Allah, bencana bisa juga kita jadikan sebagai peringatan dan ujian kepada hambaNya. Belajar dari semua ini, mari kita tingkatkan keimanan kita. kita tingkatkan kewaspadaan dan kepedulian kita kepada sesama."

“Ris !” Sisy menyenggol lenganku. Dia tatap wajahku dan kubalas tatapannya dalam diam. Aku hanya membayangkan bagaimana model pencarian korban.

“Ris! “ sekali lagi Sisy menyenggol lenganku.

“Iya ? Ada apa ?”

“Kamu tidak mendengar pertanyaanku ?,’ tanyanya sambil merebahkan tubuhnya di dipanku. “ Aku ingin ikut ke lokasi hari ini boleh? Bukannya kamu mau menjadi relawan di Kemanukan ? “ sambungnya

“Insya Allah. Nanti saya akan meminta ijin Mas Qomar untuk mengajakmu serta.”

“Kalau begitu, mari kita bersiap” Ajak Sisy bersemangat. Aku dan Sisy bangun, mengambil handuk dan menuju kamar mandi disusul oleh Lusi dan Ana yang akan memasak untuk sarapan pagi kami.

***

Usai mandi, kulihat Sisy sedang mengiris bawang merah bersama Lusi dan ana. Matanya nampak merah menahan air mata karena uap bawang. Aku hanya bisa memandangnya dengan iba.

"Apaan sih, Ris? kamu melihatku terus ?" rengeknya menggemaskan.

aku hanya tersenyum

"Ada apa sih, Ris ? Kamu kok memandang Sisy seperti itu ?' Tanya Lusi sambil mengambil tempat nasi. kulihat kemudian ia sibuk memasukkan nasi ke wadah. kami tidak suka memasak menggunakan rice cooker, sehingga harus sedikit berjuang untuk mendapatkan makanan sehat setiap hari.

"Kasihan dia, " sahutku sambil beranjak meninggalkan mereka dan tak lupa kudaratkan sebuah cubitan di pipi manis milik Sisy.

"Rissaaaaa"

Ujung Tombak Relawan

Pagi ini, aku datang ke markas komando resimen paling akhir. Kudengar sekali lagi tentang longsor Kemanukan dari komandanku Qomarudin, bahwa Kemanukan dan beberapa desa mengalami bencana yang mirip dengan Banjarnegara. Banyak korban mengalami trauma dan jerit tangis terdengar di seluruh ruangan pengungsian saat dia datang kesana subuh tadi. Dia juga bilang, keluarga Firman ikut menjadi korban. Meski rumahnya tak separah kondisi tetangga lain. Keluarga bibinya semua tertimbun. Hanya paman Firman, yang kebetulan mengantar ibunya tadi malam ke rumah sakitlah yang selamat.

Aku tak bisa membayangkan kondisi yang sekarang sedang melanda mereka. Indahnya pemandangan alam di Kemanukan, asri dan sejuk dengan rangkaian pegunungan yang hijau bak permadani kini berubah menjadi tumpukan tanah yang tak beraturan, bukit yang dipenuhi dengan berbagai macam tanaman buah yang pernah kunikmati saat latihan berganda sebulan lalu, mungkin kini telah terkoyak. Hancur rata dengan tanah.

Beberapa minggu lalu, kami juga bertemu di acara pembaretan. Di sana, di teras sebuah rumah saat aku dan rekan-rekan resimen mengadakan koordinasi merencanakan kegiatan di malam hari. Rumah Firman yang kami jadikan pos sekarang telah rusak. Kebahagiaan keluarga besar Firman saat kami datang bisa jadi tak akan kutemui lagi di masa yang akan datang.

Merinding bulu kudukku, saat Qomar mengatakan bahwa Bu Darmi dan Pak Sadio, Pak syukur dan Bu Sati, petani yang membantu keluarga Firman menjemur cengkih, yang di sela-sela pekerjaannya, membantu kami memasak konsumsi latihan, menjadi korban yang tertimbun bersama keluarganya. Bulu kudukku berdiri saat mendengar satu bayi selamat karena tersangkut di rumpun bambu sementara sang ayah dan ibu meninggal terbawa arus.

Kata Qomar, jerit tangis penduduk terdengar menyayat hati. Tak ada sesuatu yang lebih berharga dari nyawa manusia. Dan Engkau Yaa Allah, apapun bisa Kau lakukan untuk membuat manusia istirahat sejenak dari aktifitas hariannya. Kau buat mereka diam di rumah tanpa melakukan aktivitas. Kau selimuti mereka dengan kedukaan, yang semoga segera tersibak dan memunculkan satu cahaya terang di masa yang akan datang.

"Aku nyaris tak bisa mengenali Kemanukan saat ini. Kondisi alam yang asri sudah hilang tertutup longsoran." Qomar kembali angkat bicara.

"Kapan Kak Qomar ke Kemanukan ?" tanyaku perlahan.

"Tadi pagi bersama Santoso." jawabnya singkat.

Aku tak bisa membayangkan suasana di Kemanukan. Semua orang dalam kepanikan, berlari tunggang langgang menyelamatkan diri tak memikirkan orang lain. Ah, jangankan orang lain, anggota keluarga sendiri mungkin mereka lupakan. Anak lupa bapaknya atau bahkan ibu dan bapak lupa pada anaknya. Akhirnya mereka berkumpul di pengungsian tanpa membawa bekal. Mereka berkumpul menunggu kepastian nasib saudaranya yang bisa jadi selamat atau bahkan tertimbun di rumahnya. Kepanikan mungkin terjadi dimana-mana. Apalagi gelap malam tanpa penerangan listrik menambah mencekamnya suasana. Aku juga tak bisa membayangkan bagaimana anak-anak menangis panik dalam ketakutan dan mungkin juga trauma mulai melanda karena beberapa dari mereka kehilangan orang tua dan saudaranya.

Aku hanya bisa berfikir sendiri. Tapi Tuhan ! Apa yang harus kami lakukan?. Kami hanya manusia biasa. Kami juga hanya seorang mahasiswa biasa. Kondisi kami tak segagah mereka para anak konglomerat yang dengan mudah menghamburkan rupiah.

"Tidak usah melamun. Saat ini kita harus bangkit untuk mengulurkan tangan kita membantu korban longsor di Kemanukan, meski hanya dengan tenaga." ucap Qomar seolah tahu apa yang sedang ku pikirkan.

***

Jarak aman longsor memang lima kilometer. Namun efeknya bisa mencapai radius puluhan kilometer. Inilah KuasaNya. Kuasa Allah, Tuhan seru sekalian alam. Sungguh tak terkira, hikmah apa di balik sebuah bencana. Semoga kami tidak akan mengalami musibah yang membuat kami trauma.

Kukumpulkan pakaian pantas pakai yang sudah terkumpul di markas. Sesuai instruksi Ketua BEM melalui Whatsapp grup, semua barang yang sudah dikemas akan dibawa ke Posko Bencana. Semua pakaian pemberian teman sekampus kutata di beberapa kardus yang kuambil dari gudang.

Mobil kampus sudah siap mengantar kami menuju lokasi. beberapa personel Resimen MAhasiswa sibuk menata barang dan tak lebih dari setengah jam kemudian kami sudah melaju di jalan raya. Bersama Rofi, Jannah, Sulis dan beberapa pengurus BEM kami berangkat paling awal. Komandan menyarankan agar kami menjadi ujung tombak relawan kampus.

Kuarahkan pandanganku keluar, melihat jalanan yang basah karena hujan yang sejak seminggu lalu mengguyur bumiku, masih setia menemani kami, menciptakan hawa dingin yang menusuk tulang. Aliran sungai Bogowonto yang menggelegak melimpah saling berebut untuk mendahului melintasi jalurnya seolah menantang siapapun yang memandangnya untuk bertarung melawan arusnya. Air keruh yang syarat dengan muatan akhirnya kuabaikan.

Waktu masih menunjukkan pukul 09.00 pagi. Namun suasana di sekeliling kami sangat ramai. Beberapa kali kami mendengar sirene mengaung, menyibak kendaraan kecil yang berderet menuju satu arah yang sama.

Kemanukan.

Hp ku berbunyi. Pelan kuraih dengan debar yang setia menemani hatiku sejak tadi, kubuka dan kubaca pesan Sisy.

“Kalau boleh aku ikut ke Kemanukan, “ Aku hanya bisa diam. Termenung untuk memikirkan jawaban sejenak, agar tak membuatnya kecewa. Jujur saya lupa mengajaknya karena Qomar bilang, belum ada relawan dan bantuan datang sehingga kedatangan kami sangat dinantikan.

“Ada apa ? “ Sulis memandangku dan ponselku bergantian. Ada rasa penasaran yang tak dapat ia sembunyikan. Mungkin karena wajahku nampak bingung.

“Sisy tadi berpesan padaku akan ikut, karena kesibukanku aku melupakannya. “ Ucapku pelan. Sulis tersenyum.

“Itu yang membuatmu bingung ?” Aku hanya bisa mengangguk. “Katakan saja padanya kalau kau sudah berangkat. Selesai kan ?” Ah, mudah sekali dia bicara. Dia tak tahu bagaimana rasa bersalah yang bersemayam di lubuk hatiku. Meski ragu akhirnya kupencet tuts-tuts yang akhirnya membentuk sebuah kalimat yang saya pastikan akan membuat Sisy kecewa “ Maaf, Sy, saya sudah berangkat, saya lupa kalau tadi sudah berjanji untuk mengajakmu serta. “ kukirim pesan ke Sisy segera. Balasan Sisy pun datang. Ia mengatakan tidak apa-apa. Tapi aku tetap merasa tidak enak.

Setengah jam berlalu, mobil kampus kami memarkirkan diri di tengah kerumunan manusia yang sedang mengantri mencari tempat parkir motornya. Jas hujan setiap pengendara melambai, berkibar seolah-olah ikut merasakan duka korban longsor Kemanukan.

Kami masih harus berjalan sepanjang satu kilometer menuju lokasi. Banyak warga ingin menyaksikan kejadian secara langsung berjalan beriringan dengan anggota TNI dari beberapa satuan, dan organisasi masyarakat yang baru tiba di tempat. Banyak anak menangis dalam gendongan sang ibu dan entah berapa orang lagi yang termenung di sudut ruangan sebuah bangunan tak jauh dari lokasi longsor.

Setelah meletakkan beberapa kardus isi pakaian pantas pakai yang mampu kami bawa, saya kembali ke halaman rumah. Maksud hati akan mengambil bantuan lain, apa daya semua sudah diangkut oleh warga masyarakat. Akhirnya kami menuju tempat pengungsian di balai desa dan bergegas menuju dapur umum. Banyak ibu sedang menyiapkan bahan makanan yang akan dimasak untuk makan.

“ Risa, kita ke bawah saja. Ke lokasi longsor untuk ikut dalam pencarian korban. “ baru saja tanganku meraih pisau, Sulis dan Rofi memanggilku.

“Iya, Mbak. Tolong anda semua ke lokasi. Meski perempuan saya yakin anda bisa menyumbangkan tenaga anda untuk pencarian korban. Belum banyak petugas di sana, alat berat belum bisa masuk lokasi karena tanah labil dan jalur kendaraan terputus. Mbak bisa menuju ke sana dengan jalan kaki tapi tetaplah waspada karena longsor susulan masih sangat mungkin terjadi.”Seorang laki-laki paruh baya membenarkan ucapan Sulis.

“Baik, Pak.” Ucapku sambil mengangguk pelan. Kuarahkan pandangan ke Vita, sekretaris BEM.

“Apakah kau juga akan ke bawah ?”tanyaku.

“Tidak Risa. Kami kembali ke dapur saja membantu ibu-ibu menyiapkan makanan.” Meta yang menjawab.

“Baiklah, biar kami yang turun , selamat bertugas, assalamualaikum”

“Waalaikum salam warahmatullah.”

Beginilah akhirnya kami menuruni jalan setapak licin yang menyajikan pemandangan lebih mengerikan. Sebuah kondisi dimana lokasi pemukiman porak poranda. Dinding tebing yang nyaris 90 derajat di sebelah timur sungai runtuh dan meluluh lantakkan semuanya. Bukan tebing gundul seperti teori terjadinya longsor yang ada di pelajaran geografi di sekolah dasarku.

"Subhanallah !!" Sulis berteriak sambil menutup wajahnya. kami segera melemparkan pandangan ke arahnya, penuh tanya.

"Ada apa, Lis? " tanyaku penasaran. Sulis hanya menggeleng. air matanya nampak mulai mengalir membasahi pipinya sambil memandang tebing yang sudah terbelah. Tebing longsor yang sekarang kami hadapi justru lebat dengan tumbuhan, terbukti banyak sekali tumbuhan tumbang menutup lokasi, memutus jalan yang menghubungkan satu desa dengan desa lain.

Satu buah gergaji mesin nampak sedang memotong kayu-kayu yang tumbang menjadi potongan-potongan kecil yang siap untuk diangkat, belum ada alat berat masuk yang bisa memperingan pencarian korban, sehingga relawan harus menggali tanah dengan peralatan seadanya untuk mencari korban yang katanya berjumlah empat puluh lima orang yang semuanya adalah warga sekitar longsor.

" Kalau melihat kondisi ini, Ris, aku tak bisa membayangkan bagaimana kondisi mereka saat kejadian tadi malam." ucap Rofi. "Mereka pasti panik luar biasa."

Aku hanya mengangguk. kutebarkan pandanganku ke sekeliling. Melihat betapa banyak warga masyarakat yang berjejer melihat proses evakuasi. kucari celah untuk bisa masuk menuju lokasi longsor. dengan susah payah, kusibak kerumunan warga diikuti oleh Sulis dan Nurjanah serta Rofi.

Mendung masih menggelayut manja di permukaan langit yang terhampar luas di atas kepalaku, membuat sang bagaskara enggan menampakkan kegagahannya.

Dengan mengucap bismillah kami mulai mengangkut tanah yang digali oleh beberapa laki-laki di hadapan kami dengan diam. Kerumunan masyarakat yang menonton kejadian ke lokasi menghambat aktivitas pencarian sehingga beberapa kali seorang komandan TNI yang baru datang bersama rombongan mengingatkan warga untuk segera menjauhi lokasi. Karena keterbatasan relawan, titik pencarian hanya ada dua tempat, yang masing-masing terdiri dari dua puluh orang.

Kuambil cangkul yang tergeletak di tanah. dengan tanganku, kugaruk tanah-tanah galian untuk membantu memberi ruangan lebih luas untuk relawan menaruh tanah yang digali dari bawah. beberapa kali kuseka wajahku yang mulai berpeluh. sesekali kulihat teman-temanku yang sibuk menyingkirkan batang-batang pohon.

Setelah beberapa menit, mataku melihat sepasukan tentara datang. mereka terdiri dari sekitar satu kompi pasukan berseragam hijau doreng, bertopi rimba dan langsung membaur bersama relawan lainnya menjadi dua bagian.

Jarum jam menunjukkan pukul setengah sebelas. Serombongan pasukan Artileri Medan datang. Lalu disusul teman-teman resimenku berjumlah sepuluh dan resimen dari satuan lain dengan jumlah lebih besar. Pasukan yang baru datang diarahkan untuk membuat pasukan baru di arah seberang sungai sebelah utara. sehingga resmi titik pencarian dibagi menjadi tiga titik. Dua di arah barat sungai karena ada dugaan banyak korban terbawa arus dan tertimbun di sana dan satu titik berada di sebelah timur. Aku dan kedua temanku memilih untuk tetap berada di timur.

Subhanallah !!!

Kerja kami siang ini sungguh sangat berat. Namun alhamdulillah, setelah satu jam pencarian seorang korban berhasil ditemukan. Di kedalaman dua setengah meter, seorang perempuan tengah baya dengan kondisi memprihatinkan sudah tak bernyawa ditemukan. Sekujur tubuhnya biru, lebam penuh luka. Semua mengucapkan istighfar karena betapa sulitnya mengangkat seorang jenasah. Lubang yang sudah digali selalu dipenuhi air sehingga relawan yang akan mengangkat selalu terpeleset jatuh menimpa si korban.

Adzan duhur berkumandang di kejauhan. Peringatan untuk semua relawan agar menghentikan pencarian, namun semua mengabaikan. kulihat mereka masih sibuk dengan kegiatannya.

Aku tak tega melihat kondisi perempuan yang semoga meninggal dalam keadaan sahid. Berkali-kali kuucapkan istighfar, dan tanpa terasa air mataku yang sejak tadi menggenang mengalir membasahi pipi bersama peluh yang mengalir deras. Rasa haus mulai menyerang.

“Tuhan ! Ampunilah dia, hambaMu yang terpaksa harus menjadi korban bencana tadi malam.” batinku. Seluruh persendianku lemas tanpa daya. Ini membuatku terduduk setelah menjauhi galian. Tanganku sibuk mencari barangkali ada satu sapu tangan di sakuku. Namun nihil. Tak ada tisu atau sapu tangan yang sempat kuletakkan di saku celana resimenku, dan ini membuatku bingung.

“Pakailah !” Qomar komandan resimenku menyodorkan sapu tangan warna biru padaku. Sejenak aku ragu. Aku segera memalingkan wajahku menyadari betapa bodohnya diriku. Ingin sekali kuseka wajahku dengan sapu tangan itu, namun aku malu. Bagiku tidak etis menggunakan barang milik orang lain untuk membersihkan keringatku.

“Terimalah !” tegasnya.

“Terima kasih.” hanya kalimat itu yang bisa kuucapkan. Hatiku tersanjung karena ternyata Qomar begitu perhatian padaku. Kuterima kain warna biru tua yang masih rapi karena baru diseterika. Belum terlihat sedikitpun noda, karena pasti si pemilik belum sempat menggunakannya. Suara orang di sekeliling kami yang berjuang mengangkat jenazah mengalihkan perhatian orang-orang di sekelilingku pada kami.

“Mbak boleh naik, tempat ini terlalu keras untuk kalian bertiga, Kalau ingin membantu, bantulah dapur umum. “ Komandan pasukan artileri medan memberi instruksi. Sejenak kami hanya saling berpandangan. Qomar sang komandan resimenku memandangku dan menganggukkan kepalanya. Aku paham sebenarnya, tenaga kami tidak dibutuhkan di sini. Benar yang mereka katakan, terlalu keras bagi kami, wanita yang cengeng, menjadi relawan di lapangan. Aku tahu Sulis dan Rofi masih ingin berada di tempat, tapi aku yakin, meski sendiri, aku bisa sampai di dapur umum dan membantu proses penyiapan makan siang relawan.

Kembang Kampus

God, Mungkinkah Engkau telah bosan melihat tingkah laku warga kami ? Mungkinkah ini sebuah ujianMu untuk menguatkan iman kami atau Azab pedihkah yang sedang melanda wilayah kami ? Beribu pertanyaan berebut keluar. Rasanya baru kemarin Indonesiaku mengalami peristiwa yang sangat memukul perasaan. Rasanya baru kemarin, Indonesia menggeliat bangkit dari keterpurukan. Baru beberapa saat lalu di sekitar wilayah kami bangkit, membangun semua yang runtuh, mendirikan rumah dan bersemangat mewarnai hidup untuk menjadi yang lebih baik. Rasanya belum lama mereka lepas dari sebuah bencana mengerikan yang membuat mereka trauma. Bencana longsor yang meski tak sebesar sekarang namun mampu membuat bergetar saat mengingatnya.

Purworejo memang langganan longsor. Kondisi alam yang dikelilingi bukit dengan struktur tanah gembur memudahkan tanah mudah bergerak saat hujan mengguyur. Aku baru saja tiba di dapur umum dengan pakaian yang basah dan kotor. Kubersihkan diri di sumur belakang balai desa. Kucoba untuk mengeringkan pakaian, karena aku tidak sempat membawa baju ganti.

“Mbak Risa !” Panggilan Pak Syamsul kepala desa membuyarkan lamunanku.

“ I. . . iya, Pak.”

“ Hari ini pencarian akan segera dihentikan karena adzan dhuhur sudah berkumandang. Tolong Mbak Risa bantu menyiapkan makan siang, ya.”

“Iya, Pak. Insya Allah.” Jawabku sambil berjalan menuju dapur. Belum sampai dapur, kutemukan seorang ibu yang sedang duduk merenung di teras balai desa. Tubuhnya nampak lelah, lusuh dan wajah muramnya tak sempat ia sembunyikan.

“ Assalamualaikum, Bu. Bagaimana keadaan Bu Siti hari ini ?” sapaku sambil menjabat tangan Bu Siti. Warga desa yang pernah membantu resimen memasak di dapur umum kami.

“ Wa alaikum salam, Mbak Risa. Terima kasih telah datang, Mbak. ” Kupeluk tubuhnya erat. Ingin kuambil separuh penderitaannya. Getar tubuhnya terasa semakin keras dan sesekali ia seka air matanya dengan ujung lengan bajunya. Kami saling menitikkan air mata. Tak kuhiraukan tatapan mata yang memandang kami.

“Bu Siti yang tabah ya! Meski berat sekali menerima cobaan ini. Tapi tidak ada hal buruk yang diberikan Allah pada makhlukNya. Kita tidak tahu hikmah di balik bencana ini, Bu. Semoga ini adalah ujian yang akan meningkatkan kualitas kita di hadapanNya. “aku tahu banyak mata menyaksikan kami. Tak ada suara dari orang dalam pelukanku, namun aku tahu ia menganggukkan kepalanya tanda setuju. Suara aamiin masih kudengar, meski lirih, dan ini membuatku lega. Aku tahu bahwa beliau ikhlas. Bu Siti melepaskan pelukanku perlahan. Ia pandang wajahku dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipinya yang sudah mulai berkerut.

“ Mbak Risa, anak yang baik. Terima kasih telah datang. “ Bu Siti memelukku sekali lagi. Tak ada suara yang keluar dari bibirnya. Beban berat yang seolah hendak ia bagi kepadaku tak kuasa ia lakukan saat seorang anak laki-laki datang menghampiri kami, dan mengatakan “Lik Siti, Danang sudah ditemukan, Lik. “

Danang adalah keponakan Bu Siti yang tertimbun tanah bersama dengan keluarganya. Bu Siti melepaskan pelukanku dan berlari menuju rombongan relawan yang datang membawa sebuah kantong jenazah menuju arah kami. Ia segera menubruk jenazah yang sudah dimasukkan dalam kantong jenazah, mencoba memeluknya dan beberapa orang mencoba untuk melepaskannya. Kuikuti perempuan paruh baya yang sedang berduka dan kupeluk ia yang sekarang bersimpuh di tanah pasrah.

“Astahgfirullahal adhiim” Kubisikkan istighfar di telinga Bu Siti pelan. Bibirku bergetar karena jujur situasi ini sungguh tak pernah kualami. “ Bu, ikhlaskan Danang, agar ia mendapat jalan yang lapang menuju ke hadapan Allah. “ Bu Siti hanya mengangguk, setelah beberapa kali kubujuk dia melafalkan istighfar.

“ Hu . . .hu . . .hu, keponakanku Mbak. Dia . .. bersama dengan adikku dan iparku . . .” Sekali lagi Bu Siti menangis. Ia tunjuk jenazah yang sudah berlalu dari hadapan kami.

“Iya Bu, sekarang Danang sudah diambil oleh yang Maha Memiliki Jiwa, kita doakan semoga ia mendapat tempat yang baik di sisiNya.”

“Danang . . .hu .. .hu .. .hu “ sekali lagi Bu Siti histeris.

Keponakan laki-laki Bu Siti selalu menyapaku saat mereka melihatku datang ke rumah mereka meminta bantuan budhenya. Hari ini, dia sudah terbujur kaku dan sudah dibawa ke balai desa untuk dimandikan, dishalatkan dan akhirnya diserahkan ke pihak keluarga untuk segera dimakamkan. Akhirnya kulepaskan Bu Siti yang sudah dijemput suaminya yang mengajaknya berembug tentang pemakaman keluarganya.

Kuberanikan diri untuk menyapa semua warga satu persatu sebelum akhirnya kulangkahkan kaki menuju dapur umum. Kubawa piring yang sudah disiapkan menuju ke meja makan di tengah aula balai desa. Setelah piring yang kubawa dari dapur kuletakkan di meja panjang, sejenak aku terpana. Kusapukan pandangan ke ruangan berukuran Sembilan kali tujuh meter dan akhirnya kutemukan seorang gadis yang terdiam di sudut ruangan. Gadis kakak tingkatku, Gadis ayu bunga kampusku.

“Syamsya. “ gumamku.

Dia nampak sangat kotor. Perlahan aku berjalan, mendekatinya yang nampak sedang tak bergairah dengan dijemput suaminya yang mengajaknya berembug tentang pemakaman keluarganya.

Kuberanikan diri untuk menyapa semua warga satu persatu sebelum akhirnya kulangkahkan kaki menuju dapur umum. Kubawa piring yang sudah disiapkan menuju ke meja makan di tengah aula balai desa. Setelah piring yang kubawa dari dapur kuletakkan di meja panjang, sejenak aku terpana. Kusapukan pandangan ke ruangan berukuran Sembilan kali tujuh meter dan akhirnya kutemukan seorang gadis yang terdiam di sudut ruangan. Gadis kakak tingkatku, Gadis ayu bunga kampusku.

“Syamsya. “ gumamku.

Dia nampak sangat kotor. Perlahan aku berjalan, mendekatinya yang nampak sedang tak bergairah dengan hidupnya.

“ Dia kehilangan orang tua dan saudaranya, Mbak. Mereka baru saja pulang dari wisata di luar daerah. Baru saja turun dari mobil dan harus di kagetkan dengan adegan yang mencengangkan. Hampir tak ada niat untuk menyelamatkan diri. Melihat kami berlari, mereka justru tercengang, meski akhirnya, mereka ikut rombongan kami, namun sayang, langkah kaki mereka, masih kalah cepat dengan tanah yang berpindah.” Seorang bapak menceritakan banyak hal tentang Syamsya. “Kedua orang tuanya bersama dengan satu kakaknya tertimbun di depan rumahnya.” Sambung Bu Laminah.

“ Bagaimana bisa dia selamat sendiri, Bu ?” tanya Santi yang tiba-tiba muncul di sebelahku.

“ Tidak ada yang tahu, kami semua sibuk dengan diri masing-masing. Setelah lampu padam, saya mencoba untuk mencari lilin. Baru dua langkah kaki kami beranjak, kudengar suara keras seperti bangunan runtuh karena gempa. Saya berlari menuju kamar anak-anakku sambil menjerit memanggil bapaknya anak-anak. Kami berkumpul di ruang tamu menunggu takdir yang akan menghadiri kami. Tak ada yang kami lakukan selain pasrah pada Gusti Allah. Jeritan di luar rumah tak kami hiraukan. Kami bertekad untuk tetap bersama di rumah. Setelah getaran berhenti, suamiku mencoba bangkit dan membuka pintu. Dengan lilin yang kecil, kami mencoba melihat keadaan. Halaman rumahku sudah penuh dengan gundukan tanah. Kulihat semua tetangga berlari tunggang langgang, mencari saudara dan tidak ada yang memperhatikan orang lain, semua mencari selamat sendiri-sendiri. Ayah dan ibunya serta satu saudara laki-lakinya tertimbun material tanah. Dia selalu meronta, meratap dan memanggil, ingin menyusul mereka dari awal kejadian. Ia mungkin sudah lelah, sehingga sekarang diam. Kami berisik mendengarnya Mbak. sepanjang malam ia menangis dan baru beberapa jam ini ia diam. Diam sejenak mengumpulkan tenaga, kalau sudah terkumpul ia menjerit lagi dan meronta.” Begitu penjelasan Bu Laminah.

“ Jadi , . . . dia sendiri sekarang, Bu ?”trenyuh hatiku melihatnya. Gadis cantik dengan kondisi compang-camping dan sebatang kara.

“ Iya, Mbak. Hanya kami orang-orang yang hidup di sekitarnya, yang sekarang dia miliki. Dia, gadis cantik yang sombongnya luar biasa, sekarang sebatang kara, sama miskinnya dengan kami.” Pak Darmo menyambung lalu menarik nafas sejenak, sebelum akhirnya ia bicara. “ Kita hidup bersamanya, di lingkungan yang sama, namun dia sama sekali tidak pernah menyapa apalagi memperdulikan kami. Kami memang orang-orang miskin, yang kebetulan memang beruntung mempunyai tetangga kaya seperti keluarganya. Keluarganya selalu memberi banyak manfaat pada kami, tapi dia sama sekali tak punya hati.”

“ Maksud Pak Darmo ?”

“ Dia semau sendiri, kasar dan sombong. Tapi orang tua dan saudaranya luar biasa baik. Sekarang dia sendiri, tanpa saudara, tanpa harta, sama seperti kami.”Sekali lagi Pak Darmo memandang gadis di sudut ruangan dengan emosi.

“ Bapak masih marah padanya ?”tegasku.

“ Kalau mengingat kebaikan keluarganya, rasanya tak tega, Mbak. Tak sampai hati ini marah, tapi kalau ingat tabiatnya, hati ini juga tak rela berbaik-baik dengannya. Semoga Tuhan mengampuni dosanya.”

“ Maaf, Pak, saya akan ke sana. ”

“ Silahkan saja. Semoga bersama Mbak dia menjadi baik.”

Perlahan kudekati Syamsya. Kuamati dia yang kusut dengan luka yang menghiasi tubuhnya. Tampak sekali kecantikan menghiasi wajahnya, meski dengan kondisi yang seperti gelandangan.

“Mbak Syamsya. Assalamualaikum” Kujabat tangannya yang lemah. Namun dia diam. Pandangannya kosong tanpa arti. Dalam hati aku hanya bisa berdoa semoga ia diberi kekuatan.

“Mbak Syamsya? “ sekali lagi kupanggil namanya. Dia masih diam. Yang paling mengherankan, dia sama sekali tak menghiraukan kedatanganku. Tatapannya kosong. Lumpur kering dan compang- camping bajunya, menandakan bahwa perjuangannya untuk hidup sangatlah luar biasa. Aku tak bisa membayangkan, bagaimana seorang gadis seperti dia yang anak orang kaya, dan sudah terbiasa hidup dengan kemewahan, kemegahan dan semua yang serba ada, harus menginjakkan kaki di lumpur, berlari dan ah entah apa lagi, hal yang baru saja dia alami, adalah sebuah pengalaman baru yang sangat buruk.

“Mbak Syamsya! “ Dia masih membisu.Ya Tuhan. Sombong sekali dia, yang tak mau menengokkan kepala. Ah, tapi aku maklum. Dia mungkin belum bisa melupakan peristiwa yang baru saja ia alami, melihat bagaimana ganasnya tanah longsoran menimbun ayah, ibu dan saudaranya di depan mata. Aku mungkin harus sedikit berbesar hati, menerima kenyataan bahwa Syamsya, bunga kampusku yang sekarang sangat kotor, mengacuhkanku. Sama seperti aku dulu, saat gempa melanda wilayahku, saat aku harus menghadapi kenyataan rumahku rata dengan tanah. Aku merasa semuanya telah hancur. Hatiku sangat terpukul, padahal jelas sekali berbeda dengan peristiwa yang dialami Syamsya. Orang tuaku semua selamat. Aku masih bisa hidup bersama mereka sampai saat ini. Sedang dia ? Dia sebatang kara. Syamsya, sungguh malang nasibmu. Kehilangan orang-orang yang kamu cintai, tanpa kamu mampu melakukan apapun untuk menolong.

“Mbak Syamsya !!! “Kucoba sekali lagi menyapanya, meski aku tahu jawaban yang akan aku terima darinya nihil. Sejenak aku terpaku. Bingung memikirkan sesuatu yang akan aku lakukan untuk sekedar meringankan beban pengungsi di desa ini ?Aku mencoba bangkit, berdiri dan melangkahkan kakiku ke halaman balai desa. Mendekati ibu-ibu yang sedang menemani anaknya bermain. Meski masih dengan sisa tangisnya, mereka tersenyum menerima kedatanganku. Kudekati bocah kecil di pangkuan seorang ibu.

“ Ini putri, Ibu ?” Tanyaku sambil mengusap kepalanya. Gadis kecil di pangkuan ibunya menjauhkan kepalanya dariku.

“ Iya, Mbak. Namanya Nina. Dia yang paling ketakutan diantara sekian banyak anak yang ada. Saat kejadian itu berlangsung, dia sedang terjaga. Bencana datang saat ia merasa ketakutan karena gelap. Baru saja dia terjaga dan menangis, tiba-tiba suara ledakan datang di sekeliling kami.”

“ Assalamualaikum, sayang. Namanya siapa ?”Mata kecilnya menatapku. Aku tersenyum. Kuulurkan tanganku mengajaknya bersalaman.

“ O, iya, nama Kakak Marisa, Kak Risa, namamu siapa ?” Kuucapkan kalimat selembut mungkin, namun tetap, dia belum mau menjawab pertanyaanku. Ibunya menitikkan airmata.

“ Namanya Nina, Mbak. Dia mungkin masih takut menerima kenyataan semalam. Maaf ya, Mbak.”Aku tersenyum dan mengangguk. Kutatap mata bening yang sekarang nampak redup.

Tetap telaten, kuajak dia bicara. Meski awalnya bungkam, tapi Alhamdulillah, akhirnya dia mau juga buka suara.

“ Allah itu jahat .”Aku terkejut mendengar kalimatnya. Tapi aku yakin ada titik terang yang secara tersirat bisa kugunakan untuk memberi pembelajaran berharga bahwa tanah yang berdiri kokoh membentuk dinding dengan ditumbuhi pohon, dan sekarang berpindah tempat menimbun desa itu atas kuasaNya.

“ Kenapa kok jahat ? ”

“ Dia sudah membuat kami harus terusir dari rumah karena longsor.” Dia cerdas, hanya memerlukan sedikit trik untuk bisa membuat ia tahu bahwa ada hikmah dibalik longsor tanah di desanya.

“ Tapi ada satu yang harus kita syukuri, meskipun Allah sudah membuat longsor, namun Nina masih selamat. Rumah memang hilang, hancur tak berbekas, tapi bersyukurlah keluarga Nina masih hidup. Ayah, Ibu dan Nina masih hidup kan Sayang ? Kalian selamat. Itu mukjizat. Coba kalau bukan karena Dia sayang sama kita, bagaimana mungkin kita bisa ada di sini saat ini. Dia masih memberi kesempatan pada kita untuk hidup untuk menjaga Bumi yang kita cintai.”

“ Kok menjaga Bumi?” Nina mendongak kaget. Ia menatapku dengan mata melotot. “Kamu temannya Allah kan ? Makanya kamu membelanya terus ? “ aku terpana pada pendengaranku. Gadis kecil yang cerdas di hadapanku mengalihkan pandangannya ke luar. Kuikuti semua gerak-geriknya dengan sempurna. Akhirnya kukatakan dengan tenang sebuah kalimat yang bisa membuatnya diam merenung dan akhirnya mensyukuri karunia Tuhan yang tak ternilai untuknya.

“ Kita wajib menjaga bumi dari tangan-tangan jahil yang akan merusaknya dengan melestarikan alamnya, bukan mendewakannya. Tuhan sayang pada setiap makhlukNya. Dengan memindahkan tanah yang tadinya diatas bukit menuju rumah kita, Allah sedang memberitahu bahwa kita harus selalu waspada pada setiap keadaan apapun yang bisa saja terjadi. Tidak terlena dengan kenikmatan. Saat sepertiga malam yang terakhir sudah menyapa, saatnya kita bangkit mengambil air wudhu dan menyembahNya, bukan tidur atau tetap beraktifitas dengan pekerjaannya dan menunda melaksanakan ibadah padaNya. Saat sepertiga malam yang terakhir datang, semua malaikat Allah turun dan mendoakan setiap hamba yang sedang mendirikan tahajjud. ”

Nina diam. Tampak sekali dia merenungi kalimatku.

“ Jadi, kita harus menjaga alam, Kak ? Terus bagaimana desa dan rumah kami ?” lanjutnya. Perlahan dia turun dari pangkuan ibunya dan duduk di sampingku.

“ Semuanya masih bisa diperbaiki. Kita sedang diuji, dengan rumah rusak, dengan desa yang hancur, masihkah kita sayang sama Allah ? Bolehlah semua rusak tapi bukan berarti hati kita harus hancur. Hancurnya rumah masih bisa diperbaiki, tapi hancurnya hati karena kufur tak kan bisa kembali. Kita harus bangkit. Untuk membangun semua yang hancur. Nina masih beruntung karena hanya rumah yang hancur. Ibu dan bapak Nina masih hidup kan ? ” Nina mengangguk pelan. “ Coba Nina lihat di dalam, di sana ada Mbak Syamsya yang tidak hanya kehilangan rumahnya, tapi kehilangan ayah, ibu dan saudaranya.” Sambungku.

“ Karena kita yakin, Allah sayang pada kita ?.” Gadis mungil yang cerdas itu tersenyum padaku.

“ Bagaimanapun, kita harus waspada. Bahwa segala sesuatu bisa saja terjadi atas KuasaNya. Bumi akan tunduk pada Sang Maha Pencipta. Apapun perintahNya. Kita jalan-jalan yuk!”

Kualihkan pembicaraan. Aku yakin anak sekecil dia belum bisa diajak berdebat terlalu lama.

Dia menggeleng.

“ Kita bermain ?”Sekali lagi dia menggeleng.

“ Kenapa ?”

“ Malas.” Tangan mungilnya mengambil sebatang kayu kecil lalu ia gunakan untuk mengorek tanah basah di hadapannya.

“ Kamu tahu tidak, malas itu musuhnya orang Jepang lho. Mereka pantang sekali untuk malas makanya meskipun negaranya kecil dan tidak sesubur Indonesia, mereka bisa makmur.”

“ Jangan sekarang. “ Ucapnya lirih.

“ Kak Risa bercerita mau ?”

“ Kakak, Nina belum ingin mendengar apa-apa, belum ingin jalan-jalan dan belum mau berbuat apapun. Besok ya, jangan sekarang.”Aku tersenyum dan mengangguk.

“ OK, Kalau Adik manisku siap, beritahu Kakak,” Kutinggalkan Nina dan berjalan menghampiri beberapa anak yang sedang bermain pasir di halaman. Kondisinya jauh lebih baik dari Nina.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!