Pagi ini, aku datang ke markas komando resimen paling akhir. Kudengar sekali lagi tentang longsor Kemanukan dari komandanku Qomarudin, bahwa Kemanukan dan beberapa desa mengalami bencana yang mirip dengan Banjarnegara. Banyak korban mengalami trauma dan jerit tangis terdengar di seluruh ruangan pengungsian saat dia datang kesana subuh tadi. Dia juga bilang, keluarga Firman ikut menjadi korban. Meski rumahnya tak separah kondisi tetangga lain. Keluarga bibinya semua tertimbun. Hanya paman Firman, yang kebetulan mengantar ibunya tadi malam ke rumah sakitlah yang selamat.
Aku tak bisa membayangkan kondisi yang sekarang sedang melanda mereka. Indahnya pemandangan alam di Kemanukan, asri dan sejuk dengan rangkaian pegunungan yang hijau bak permadani kini berubah menjadi tumpukan tanah yang tak beraturan, bukit yang dipenuhi dengan berbagai macam tanaman buah yang pernah kunikmati saat latihan berganda sebulan lalu, mungkin kini telah terkoyak. Hancur rata dengan tanah.
Beberapa minggu lalu, kami juga bertemu di acara pembaretan. Di sana, di teras sebuah rumah saat aku dan rekan-rekan resimen mengadakan koordinasi merencanakan kegiatan di malam hari. Rumah Firman yang kami jadikan pos sekarang telah rusak. Kebahagiaan keluarga besar Firman saat kami datang bisa jadi tak akan kutemui lagi di masa yang akan datang.
Merinding bulu kudukku, saat Qomar mengatakan bahwa Bu Darmi dan Pak Sadio, Pak syukur dan Bu Sati, petani yang membantu keluarga Firman menjemur cengkih, yang di sela-sela pekerjaannya, membantu kami memasak konsumsi latihan, menjadi korban yang tertimbun bersama keluarganya. Bulu kudukku berdiri saat mendengar satu bayi selamat karena tersangkut di rumpun bambu sementara sang ayah dan ibu meninggal terbawa arus.
Kata Qomar, jerit tangis penduduk terdengar menyayat hati. Tak ada sesuatu yang lebih berharga dari nyawa manusia. Dan Engkau Yaa Allah, apapun bisa Kau lakukan untuk membuat manusia istirahat sejenak dari aktifitas hariannya. Kau buat mereka diam di rumah tanpa melakukan aktivitas. Kau selimuti mereka dengan kedukaan, yang semoga segera tersibak dan memunculkan satu cahaya terang di masa yang akan datang.
"Aku nyaris tak bisa mengenali Kemanukan saat ini. Kondisi alam yang asri sudah hilang tertutup longsoran." Qomar kembali angkat bicara.
"Kapan Kak Qomar ke Kemanukan ?" tanyaku perlahan.
"Tadi pagi bersama Santoso." jawabnya singkat.
Aku tak bisa membayangkan suasana di Kemanukan. Semua orang dalam kepanikan, berlari tunggang langgang menyelamatkan diri tak memikirkan orang lain. Ah, jangankan orang lain, anggota keluarga sendiri mungkin mereka lupakan. Anak lupa bapaknya atau bahkan ibu dan bapak lupa pada anaknya. Akhirnya mereka berkumpul di pengungsian tanpa membawa bekal. Mereka berkumpul menunggu kepastian nasib saudaranya yang bisa jadi selamat atau bahkan tertimbun di rumahnya. Kepanikan mungkin terjadi dimana-mana. Apalagi gelap malam tanpa penerangan listrik menambah mencekamnya suasana. Aku juga tak bisa membayangkan bagaimana anak-anak menangis panik dalam ketakutan dan mungkin juga trauma mulai melanda karena beberapa dari mereka kehilangan orang tua dan saudaranya.
Aku hanya bisa berfikir sendiri. Tapi Tuhan ! Apa yang harus kami lakukan?. Kami hanya manusia biasa. Kami juga hanya seorang mahasiswa biasa. Kondisi kami tak segagah mereka para anak konglomerat yang dengan mudah menghamburkan rupiah.
"Tidak usah melamun. Saat ini kita harus bangkit untuk mengulurkan tangan kita membantu korban longsor di Kemanukan, meski hanya dengan tenaga." ucap Qomar seolah tahu apa yang sedang ku pikirkan.
***
Jarak aman longsor memang lima kilometer. Namun efeknya bisa mencapai radius puluhan kilometer. Inilah KuasaNya. Kuasa Allah, Tuhan seru sekalian alam. Sungguh tak terkira, hikmah apa di balik sebuah bencana. Semoga kami tidak akan mengalami musibah yang membuat kami trauma.
Kukumpulkan pakaian pantas pakai yang sudah terkumpul di markas. Sesuai instruksi Ketua BEM melalui Whatsapp grup, semua barang yang sudah dikemas akan dibawa ke Posko Bencana. Semua pakaian pemberian teman sekampus kutata di beberapa kardus yang kuambil dari gudang.
Mobil kampus sudah siap mengantar kami menuju lokasi. beberapa personel Resimen MAhasiswa sibuk menata barang dan tak lebih dari setengah jam kemudian kami sudah melaju di jalan raya. Bersama Rofi, Jannah, Sulis dan beberapa pengurus BEM kami berangkat paling awal. Komandan menyarankan agar kami menjadi ujung tombak relawan kampus.
Kuarahkan pandanganku keluar, melihat jalanan yang basah karena hujan yang sejak seminggu lalu mengguyur bumiku, masih setia menemani kami, menciptakan hawa dingin yang menusuk tulang. Aliran sungai Bogowonto yang menggelegak melimpah saling berebut untuk mendahului melintasi jalurnya seolah menantang siapapun yang memandangnya untuk bertarung melawan arusnya. Air keruh yang syarat dengan muatan akhirnya kuabaikan.
Waktu masih menunjukkan pukul 09.00 pagi. Namun suasana di sekeliling kami sangat ramai. Beberapa kali kami mendengar sirene mengaung, menyibak kendaraan kecil yang berderet menuju satu arah yang sama.
Kemanukan.
Hp ku berbunyi. Pelan kuraih dengan debar yang setia menemani hatiku sejak tadi, kubuka dan kubaca pesan Sisy.
“Kalau boleh aku ikut ke Kemanukan, “ Aku hanya bisa diam. Termenung untuk memikirkan jawaban sejenak, agar tak membuatnya kecewa. Jujur saya lupa mengajaknya karena Qomar bilang, belum ada relawan dan bantuan datang sehingga kedatangan kami sangat dinantikan.
“Ada apa ? “ Sulis memandangku dan ponselku bergantian. Ada rasa penasaran yang tak dapat ia sembunyikan. Mungkin karena wajahku nampak bingung.
“Sisy tadi berpesan padaku akan ikut, karena kesibukanku aku melupakannya. “ Ucapku pelan. Sulis tersenyum.
“Itu yang membuatmu bingung ?” Aku hanya bisa mengangguk. “Katakan saja padanya kalau kau sudah berangkat. Selesai kan ?” Ah, mudah sekali dia bicara. Dia tak tahu bagaimana rasa bersalah yang bersemayam di lubuk hatiku. Meski ragu akhirnya kupencet tuts-tuts yang akhirnya membentuk sebuah kalimat yang saya pastikan akan membuat Sisy kecewa “ Maaf, Sy, saya sudah berangkat, saya lupa kalau tadi sudah berjanji untuk mengajakmu serta. “ kukirim pesan ke Sisy segera. Balasan Sisy pun datang. Ia mengatakan tidak apa-apa. Tapi aku tetap merasa tidak enak.
Setengah jam berlalu, mobil kampus kami memarkirkan diri di tengah kerumunan manusia yang sedang mengantri mencari tempat parkir motornya. Jas hujan setiap pengendara melambai, berkibar seolah-olah ikut merasakan duka korban longsor Kemanukan.
Kami masih harus berjalan sepanjang satu kilometer menuju lokasi. Banyak warga ingin menyaksikan kejadian secara langsung berjalan beriringan dengan anggota TNI dari beberapa satuan, dan organisasi masyarakat yang baru tiba di tempat. Banyak anak menangis dalam gendongan sang ibu dan entah berapa orang lagi yang termenung di sudut ruangan sebuah bangunan tak jauh dari lokasi longsor.
Setelah meletakkan beberapa kardus isi pakaian pantas pakai yang mampu kami bawa, saya kembali ke halaman rumah. Maksud hati akan mengambil bantuan lain, apa daya semua sudah diangkut oleh warga masyarakat. Akhirnya kami menuju tempat pengungsian di balai desa dan bergegas menuju dapur umum. Banyak ibu sedang menyiapkan bahan makanan yang akan dimasak untuk makan.
“ Risa, kita ke bawah saja. Ke lokasi longsor untuk ikut dalam pencarian korban. “ baru saja tanganku meraih pisau, Sulis dan Rofi memanggilku.
“Iya, Mbak. Tolong anda semua ke lokasi. Meski perempuan saya yakin anda bisa menyumbangkan tenaga anda untuk pencarian korban. Belum banyak petugas di sana, alat berat belum bisa masuk lokasi karena tanah labil dan jalur kendaraan terputus. Mbak bisa menuju ke sana dengan jalan kaki tapi tetaplah waspada karena longsor susulan masih sangat mungkin terjadi.”Seorang laki-laki paruh baya membenarkan ucapan Sulis.
“Baik, Pak.” Ucapku sambil mengangguk pelan. Kuarahkan pandangan ke Vita, sekretaris BEM.
“Apakah kau juga akan ke bawah ?”tanyaku.
“Tidak Risa. Kami kembali ke dapur saja membantu ibu-ibu menyiapkan makanan.” Meta yang menjawab.
“Baiklah, biar kami yang turun , selamat bertugas, assalamualaikum”
“Waalaikum salam warahmatullah.”
Beginilah akhirnya kami menuruni jalan setapak licin yang menyajikan pemandangan lebih mengerikan. Sebuah kondisi dimana lokasi pemukiman porak poranda. Dinding tebing yang nyaris 90 derajat di sebelah timur sungai runtuh dan meluluh lantakkan semuanya. Bukan tebing gundul seperti teori terjadinya longsor yang ada di pelajaran geografi di sekolah dasarku.
"Subhanallah !!" Sulis berteriak sambil menutup wajahnya. kami segera melemparkan pandangan ke arahnya, penuh tanya.
"Ada apa, Lis? " tanyaku penasaran. Sulis hanya menggeleng. air matanya nampak mulai mengalir membasahi pipinya sambil memandang tebing yang sudah terbelah. Tebing longsor yang sekarang kami hadapi justru lebat dengan tumbuhan, terbukti banyak sekali tumbuhan tumbang menutup lokasi, memutus jalan yang menghubungkan satu desa dengan desa lain.
Satu buah gergaji mesin nampak sedang memotong kayu-kayu yang tumbang menjadi potongan-potongan kecil yang siap untuk diangkat, belum ada alat berat masuk yang bisa memperingan pencarian korban, sehingga relawan harus menggali tanah dengan peralatan seadanya untuk mencari korban yang katanya berjumlah empat puluh lima orang yang semuanya adalah warga sekitar longsor.
" Kalau melihat kondisi ini, Ris, aku tak bisa membayangkan bagaimana kondisi mereka saat kejadian tadi malam." ucap Rofi. "Mereka pasti panik luar biasa."
Aku hanya mengangguk. kutebarkan pandanganku ke sekeliling. Melihat betapa banyak warga masyarakat yang berjejer melihat proses evakuasi. kucari celah untuk bisa masuk menuju lokasi longsor. dengan susah payah, kusibak kerumunan warga diikuti oleh Sulis dan Nurjanah serta Rofi.
Mendung masih menggelayut manja di permukaan langit yang terhampar luas di atas kepalaku, membuat sang bagaskara enggan menampakkan kegagahannya.
Dengan mengucap bismillah kami mulai mengangkut tanah yang digali oleh beberapa laki-laki di hadapan kami dengan diam. Kerumunan masyarakat yang menonton kejadian ke lokasi menghambat aktivitas pencarian sehingga beberapa kali seorang komandan TNI yang baru datang bersama rombongan mengingatkan warga untuk segera menjauhi lokasi. Karena keterbatasan relawan, titik pencarian hanya ada dua tempat, yang masing-masing terdiri dari dua puluh orang.
Kuambil cangkul yang tergeletak di tanah. dengan tanganku, kugaruk tanah-tanah galian untuk membantu memberi ruangan lebih luas untuk relawan menaruh tanah yang digali dari bawah. beberapa kali kuseka wajahku yang mulai berpeluh. sesekali kulihat teman-temanku yang sibuk menyingkirkan batang-batang pohon.
Setelah beberapa menit, mataku melihat sepasukan tentara datang. mereka terdiri dari sekitar satu kompi pasukan berseragam hijau doreng, bertopi rimba dan langsung membaur bersama relawan lainnya menjadi dua bagian.
Jarum jam menunjukkan pukul setengah sebelas. Serombongan pasukan Artileri Medan datang. Lalu disusul teman-teman resimenku berjumlah sepuluh dan resimen dari satuan lain dengan jumlah lebih besar. Pasukan yang baru datang diarahkan untuk membuat pasukan baru di arah seberang sungai sebelah utara. sehingga resmi titik pencarian dibagi menjadi tiga titik. Dua di arah barat sungai karena ada dugaan banyak korban terbawa arus dan tertimbun di sana dan satu titik berada di sebelah timur. Aku dan kedua temanku memilih untuk tetap berada di timur.
Subhanallah !!!
Kerja kami siang ini sungguh sangat berat. Namun alhamdulillah, setelah satu jam pencarian seorang korban berhasil ditemukan. Di kedalaman dua setengah meter, seorang perempuan tengah baya dengan kondisi memprihatinkan sudah tak bernyawa ditemukan. Sekujur tubuhnya biru, lebam penuh luka. Semua mengucapkan istighfar karena betapa sulitnya mengangkat seorang jenasah. Lubang yang sudah digali selalu dipenuhi air sehingga relawan yang akan mengangkat selalu terpeleset jatuh menimpa si korban.
Adzan duhur berkumandang di kejauhan. Peringatan untuk semua relawan agar menghentikan pencarian, namun semua mengabaikan. kulihat mereka masih sibuk dengan kegiatannya.
Aku tak tega melihat kondisi perempuan yang semoga meninggal dalam keadaan sahid. Berkali-kali kuucapkan istighfar, dan tanpa terasa air mataku yang sejak tadi menggenang mengalir membasahi pipi bersama peluh yang mengalir deras. Rasa haus mulai menyerang.
“Tuhan ! Ampunilah dia, hambaMu yang terpaksa harus menjadi korban bencana tadi malam.” batinku. Seluruh persendianku lemas tanpa daya. Ini membuatku terduduk setelah menjauhi galian. Tanganku sibuk mencari barangkali ada satu sapu tangan di sakuku. Namun nihil. Tak ada tisu atau sapu tangan yang sempat kuletakkan di saku celana resimenku, dan ini membuatku bingung.
“Pakailah !” Qomar komandan resimenku menyodorkan sapu tangan warna biru padaku. Sejenak aku ragu. Aku segera memalingkan wajahku menyadari betapa bodohnya diriku. Ingin sekali kuseka wajahku dengan sapu tangan itu, namun aku malu. Bagiku tidak etis menggunakan barang milik orang lain untuk membersihkan keringatku.
“Terimalah !” tegasnya.
“Terima kasih.” hanya kalimat itu yang bisa kuucapkan. Hatiku tersanjung karena ternyata Qomar begitu perhatian padaku. Kuterima kain warna biru tua yang masih rapi karena baru diseterika. Belum terlihat sedikitpun noda, karena pasti si pemilik belum sempat menggunakannya. Suara orang di sekeliling kami yang berjuang mengangkat jenazah mengalihkan perhatian orang-orang di sekelilingku pada kami.
“Mbak boleh naik, tempat ini terlalu keras untuk kalian bertiga, Kalau ingin membantu, bantulah dapur umum. “ Komandan pasukan artileri medan memberi instruksi. Sejenak kami hanya saling berpandangan. Qomar sang komandan resimenku memandangku dan menganggukkan kepalanya. Aku paham sebenarnya, tenaga kami tidak dibutuhkan di sini. Benar yang mereka katakan, terlalu keras bagi kami, wanita yang cengeng, menjadi relawan di lapangan. Aku tahu Sulis dan Rofi masih ingin berada di tempat, tapi aku yakin, meski sendiri, aku bisa sampai di dapur umum dan membantu proses penyiapan makan siang relawan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
mariana hoesny
Bagus sih Thor, cuma cara nulisnya mungkin agak dikasi jarak antar paragraf supaya lebih nyaman dibaca 🙏🏻🙏🏻 sekedar kritsar dari pemula
2020-05-30
2