The Last Man Standing (For Her)
RINTIK hujan menyapa bumi dengan teriakan-teriakannya yang memekakan hati. Hari sudah malam. Pintu-pintu rumah terkunci rapat, orang-orang di dalamnya berselimut kehangatan yang lekat. Ada yang beristirahat, ada yang masih asyik bercengkerama dengan kerabat, ada pula yang masih berkoneksi dengan teman sejawat.
Axel Adiputra salah satunya. Pria berkacamata itu tengah berada di hadapan laptop yang layarnya menampilkan paragraf-paragraf distabilo kuning, biru, dan bagian-bagian yang dicoret oleh garis merah.
Rekan sejawat yang tengah dihubunginya ada di seberang telepon. Suara-suara bingung menguar dari kedua mata headsetnya, semakin pula membingungkan Axel.
"Oke, gini, yaudah ... jadinya Mbak maunya gimana? Saya rasa revisi di sana sudah jelas. Masih banyak plot hole minor, kalimat-kalimat rancu, yang seharusnya itu direvisi sama Mbak. Ini novel situ, lho. Saya jadi editor bukan buat menulis ulang naskah orang. Kalau kurang paham sama apa yang saya tuliskan di sini, harusnya jangan di hari dekat deadline begini dong bilangnya. Saya sudah kasih waktu dari kemarin---"
"...."
Tapi kemudian, tampang Axel melurus. Kacamatanya mengembun tipis, tanda ia mendengkus kesal. "Oke. Jadi serahkan ke saya, ya? No protest, kan? Minggu depan sudah harus saya serahkan ke layouter soalnya."
Tensi pembicaraan itu tampaknya mengendur. Sebuah kesepakatan tercapai antara Axel dengan penulisnya di seberang sana. Tak lama kemudian, sambungan diputus.
Lagi, Axel mendengkus. Ia beranjak ke coffemaker di dapur. Sudah pukul 9 malam, hujan masih enggan reda. Selain kedinginan, Axel pun butuh fokus. Espresso masih menjadi favoritnya sejak zaman kuliah.
Coffemaker berbunyi, rendah. Kemudian, cairan espresso keluar dari sana, langsung menempati cangkir putih favoritnya.
Pria itu kembali duduk. "Oke, kita mulai." Matanya segera memindai kesalahan yang belum diperbaiki si penulis dengan sempurna. Bergantian ia melihat berkas materi promosi yang sudah dibuat orang itu pula, tapi pada monitor eksternalnya. Menyesuaikan kalimat-kalimat. Memastikan pembaca karya ini tidak akan kecewa karena menemukan perbedaan antara poster prapesan dengan isi novelnya.
Namun, baru saja ia merevisi dua halaman, ketukan pintu depan terdengar kasar dan terburu-buru. Ruang kerjanya yang dibuat tanpa sekat dengan ruang depan dan dapur, membuatnya dapat mendengar ketukan itu dengan jelas.
Axel kembali beranjak. Siapa yang bertamu malam-malam begini?
Kunci pintu ia putar, tuas ia tarik. Pintu dibuka---dan satu pelukan erat langsung menyambarnya.
"I miss you," kata orang itu, dengan suara yang tertekan dan putus asa.
Membiarkan bahunya menjadi tumpuan orang itu untuk sejenak, Axel mencoba membalas pelukannya. Hanya ingin memastikan sosok itu nyata atau tidak.
Siapa yang tahu apa yang akan bisa datang saat hujan begini---dan malam?
Sosok itu nyata. Tubuhnya bergetar, entah karena tangis, kedinginan, atau keduanya.
"Masuk dulu, yuk? Gak enak di depan begini."
Anggukan terasa di bahunya. Axel berniat melepaskan pelukan, tapi sepertinya perempuan itu tidak mengizinkannya untuk menjauh melangkah lebih dulu---bahkan untuk mengambilkan sesuatu. Tangan dingin yang tadinya bercincin itu merangkulnya. Rambut lepek, payung rusak, dan wajah kotor ... penampilan perempuan ini mengenaskan. Dia seperti habis kabur dari ... sesuatu.
Atau seseorang?
"Oke." Axel mengangguk, mengizinkan rangkulan itu. Ia membawa tamunya ke dalam, tapi saat di dekat sofa, Axel menyuruhnya duduk. "Duduk, Dee."
Dengan telaten, kemudian ia melepas barang bawaan tamunya, sepatunya, jaketnya, hingga jam tangan yang melekat di pergelangan tangan kanan.
Saat kembali pada posisi berdiri, Axel menatap perempuan itu---yang lagi-lagi tengah berjuang menahan luapan air matanya. "Gue ambilin handuk dulu, ya?"
Hanya anggukan yang menjadi balasannya. Tanpa kata. Axel bingung. Perempuan---wanita!---yang setahunya sudah menikah, tiba-tiba bertamu ke rumahnya, membawa koper, tanpa cincin kawin, dan berkata i miss you.
Axel masih mencoba berpikir jernih. Ia menyegerakan mengambil handuk bersih untuk Dee, mencoba mengajak temannya itu bicara.
Handuk bersih diberikan, lalu Axel bergegas membuatkan teh hangat. "Masih teh, kan?"
"H-m."
Tenang, Sel. "Manis?"
"Iya."
Tak lama, segelas teh manis hangat disodorkan pula kepada Diana. Yang dituju masih mengeringkan rambut dan tubuhnya tanpa minat. Masih terisak.
Duduk di sofa seberang Diana, Axel hanya bisa memecah keheningan dengan sebuah pertanyaan bodoh.
"Are you okay, Dee?"
"Jelas enggak."
Axel menelan saliva, menatap Dee dengan canggung. "Suami lo tau lo ke sini?"
"Maaf soal itu omong-omong, aku bawa kamu ke dalam masalah dengan datang ke sini."
"Gak akan jadi masalah kalau bisa dibicarakan baik-baik, kan?"
"That's the thing. Semuanya gak akan bisa dibicarakan dengan baik-baik." Dee mengambil gelas teh manisnya di atas meja tamu. "Tapi aku nggak akan lama di sini. Besok pagi berangkat lagi, kok." Ia kemudian mengangkat gelasnya, tanda berterima kasih. "Thanks, ya... sori ngerepotin."
Nyatanya yang menjadi fokus Axel bukanlah ucapan terima kasih itu. "Ke mana?"
"Suatu tempat yang jauh." Dee menyeringai. "Bali, mungkin? Flores? I don't know."
"Kenapa lo pergi? Gery tau?" Ya, Gery, pria yang terakhir kali Axel tahu sebagai suami Diana.
"Karena dia aku pergi." Sorot mata itu kembali sendu. "Aku muak, Sel. Muak, semuak-muaknya."
"Kalian udah berusaha bicarakan ini baik-baik? You love him, don't you?"
"Love? Bullshit." Kini, Diana tersenyum miris. "Ya, aku cinta dia. Dia? Entahlah."
Lagi, Dee menyeruput teh hangatnya. "Kalau cinta, setahuku dia gak akan bersikap psikopat dengan coba mencelakai calon anaknya sendiri."
.
.
...BERSAMBUNG .... ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments