Pagi baru datang. Keduanya belum beranjak dari ruangan masing-masing---Diana masih tertidur di kamar Axel, sementara lelaki itu justru terjaga semalaman. Bagaimana tidak? Pria yang ia ingat terakhir kali sebagai yang amat memperjuangkan cintanya kepada Dee, justru memperlakukannya dengan buruk seperti itu.
Like ... what the f*ck!?
Untuk sejenak saja, Axel terpikir menemui Gery dan memberitahu keberadaan Dee. Pertemuan itu ia bayangkan sebagai reuni biasa saja antarteman kuliah. Namun, setelah dipikir-pikir, ditimbang-timbang, sepertinya tidak. Memberitahu Gery bukan opsi yang bagus. Bisa-bisa Dee diperlakukan lebih buruk daripada yang sudah ia terima.
Dan demi Tuhan! Dia mengandung! Kesal Axel sampai ke ubun-ubun ketika mengingat itu semua. Ia sampai urung menyentuh pekerjaannya lagi karena tidak ingin revisi itu kacau balau karena mood-nya yang hancur.
Ia kemudian beranjak, benar-benar memulai harinya. Axel menyalakan laptopnya. Sambil menunggu, ia menyiapkan sarapan untuk Dee, dan kopi serta sekaleng biskuit untuknya. Sederhana saja untuk Dee---standar makanan ibu hamil. Teh hangat, sup ayam, dan nasi. Lima belas menit kemudian, semua siap. Axel beruntung karena kemarin ia hanya makan sekali. Sisa nasi masih cukup banyak dan layak.
Sarapan untuk Dee diangkut ke atas nampan. Lelaki itu hanya yakin, setelah harinya kemarin, Dee akan berminat sarapan di kasur.
"Morning," sapa sebuah suara.
Batal. "Pagi." Axel tersenyum, beralih mempersiapkan meja makannya. "Tidurnya lelap?"
"Lumayan," Dee tersenyum tipis, "tadinya aku pikir kamu belum bangun. You know ... i must do a favor."
Axel tahu maksudnya, maka ia hanya mengibaskan tangan. "Lo tamu di sini. It's fine."
Tak membiarkan pikirannya mengembara lagi akan alasan keberadaan wanita itu di sini, Axel segera menata meja makan empat kursinya---yang sekarang hanya berisi dua kursi. Semangkuk sup, sepiring nasi, dua gelas air putih, dan sarapan ala-nya: kopi herbal dengan biskuit cokelat.
"Silakan."
"Hm." Dee mengangguk sekali, canggung. Pandangannya terarah mengamati yang tersaji di meja makan. Ia melirik Axel. "Kok cuma kopi dan biskuit? Gak makan berat?"
"Enggak," Axel menggeleng, "nanti setelah workout baru makan berat."
"Ach, so." Dee akhirnya hanya mengangguk. "Syukurlah sekarang lebih healthy."
"Ya." Axel menyeringai. "Duduk."
Dan, mereka berdua duduk. Berhadapan. Namun, Dee terlihat masih ragu untuk memulai makan duluan.
"Kenapa?"
"Aku cuma merasa kabur ke orang yang salah." Dee menyeringai.
"Yang gak bisa masak lebih baik dari lo maksudnya?"
"Bukan begitu!" Dee tergelak. Senyuman tulus pertamanya hari ini. Senyum itu menular pada Axel, hangat.
"Ya udah, coba dulu aja. Gue udah lama tinggal sendiri---and you don't see any junkfood here, do you? Gue terbiasa masak, tenang aja." Axel berusaha meyakinkan Dee. Nampaknya itu berhasil. Diana bermimik setuju, lalu mencoba supnya terlebih dahulu setelah memanaskan tenggorokan dengan seteguk air putih.
"Enak juga." Senyum Diana melebar, tepat ketika Axel menemui sesapan pertamanya.
"Senang lo suka."
"Nanti pinjam kamar mandinya duluan, ya." Dee berdeham, Axel mengernyit tipis. "Flight-nya jam 9:45. Udah pesen tiket."
"Ada rencana ke mana?"
"Flores."
"Ada kerabat di sana?"
Dee menggeleng. "Just alone. Lagi pula aku cuma mau menenangkan diri aja. Nanti juga pulang lagi."
"Ke Gery, maksudnya?"
Pertanyaan itu dibiarkan tak terjawab. Untuk beberapa saat, yang terdengar dari mereka berdua hanya dentingan sendok garpu, dan bunyi kunyahan biskuit. Axel memutuskan memecah keheningan, mengemukakan pertanyaannya.
"Boleh gue tau gimana semuanya bisa jadi seburuk ini?" Ia segera menambahkan, "I mean, semalam jelas lo nggak baik-baik aja."
"Kenapa kamu merasa berhak untuk tahu soal itu?"
"Karena lo mau pergi. Jadi, seenggaknya kalau Gery ke sini pun---atau something's happen to you, gue tau harus gimana."
Dee bungkam. Alih-alih menjawab, ia melanjutkan makan. Axel masih menunggu. Ia menilai raut wajah Dee, terlihat menyimpan trauma di sana.
"Dee?"
"I turned into someshit, Sel." Sekarang suara itu sudah kembali berat. Selanjutnya, Diana terisak. "Dia psiko."
"Bisa diperjelas?"
"Yakin nggak bakal jijik mendengarnya?"
Kini, giliran Axel yang bungkam. Diam-diam ia menelan saliva, menyangsikan bayangannya akan sosok psikopatlah yang telah membuat Dee menjadi seperti ini. Bayangan bahwa Gery suka kekerasan, dingin, dan berubah menjadi predator kelamin pada Dee memenuhi kepalanya.
"Sebaiknya aku gak menjelaskan itu. I keep it myself."
"Tapi gue tetap harus tau."
Tepat usai kalimat itu terucap, sarapan Dee selesai. Tanpa menjawab, ia beranjak ke kamar.
Axel menahan diri untuk memanggil Dee. Lebih memilih bersikap membiarkan. Mungkin Dee butuh waktu. Ia akan bertanya lagi setelah orang itu siap pergi.
Beranjak, Axel membereskan meja makan, lalu langsung melanjutkan pekerjaan semalam dengan membawa setengah gelas kopi herbal ke sisi laptopnya. Musik dinyalakan. Kardio jarinya di atas keyboard dan mouse dimulai.
Tepat pukul setengah delapan, aktivitas orang mandi itu berhenti. Tak lama kemudian, Dee keluar, menenteng tas selempangnya, koper, dan tas punggungnya bersamaan.
Axel melirik jam, nyaris jam 8.
"Gue antar, ya, Dee?"
"Gak usah, ngerepotin ntar. Mau pesan ojol aja."
Keep refusing.... Axel memutar otak, ia harus mendapat keterangan dari Dee. "Oke, tapi lo harus jawab pertanyaan gue yang tadi."
"Yang tadi?"
"Yang tadi," Axel mengangguk, lalu menghampiri Dee untuk memperjelas urgensi permintaannya, "gue gak bisa izinin lo pergi sebelum lo jujur."
"Aku yakin kamu udah tau cerita lengkapnya dari ekspresiku...."
"What if i don't?" Axel menantang argumen itu kali ini. "Gue nggak mau berprasangka buruk ke Gery, Dee."
"Kalau nyatanya dia memang seburuk itu?"
"Make it clear," Axel mempertahankan raut wajah mengibanya, "please?"
Napas terembus berat. "Kalau kamu mau bilang dia khilaf atau apa pun itu, no ... don't. Nyatanya dia memang senang melukai fisik seseorang. And these past three months ... dia menyerang psikis. Aku gak mau gila, makanya kabur."
"Dan?"
Dee mendengkus. "Dia psiko, Sel! Gak ngerti?"
"Enggak."
"Polos banget, sih." Kembali, Dee mendengkus. Tapi, langkah beranjaknya kali ini ditahan Axel yang menyergap tangannya.
"Did he ... did he make you a slave?"
Tanpa menatapnya, Dee mengangguk.
"Buat dirinya sendiri?"
Kali ini, Dee menggeleng. "Men. Aku bahkan nggak tau anak siapa ini...."
Keterangan itu meruntuhkan seluruh perasaan positif yang sedang coba dibangun Axel pagi ini. Gery-Diana, sejoli anak populer dan pintar di kampus ternyata berakhir seperti ini? Ia tak menyangka.
Axel kalap. Namun, ia tak melepaskan tangan Dee begitu saja. "Dan lo mau pergi dalam keadaan begini? Kenapa gak ke orang tua dulu? Jangan ke Flores."
"They eat everything---semua omongan Gery yang memutarbalikan fakta, mereka percaya. Aku gak mungkin balik ke papa mama."
"Kenapa?"
"Kami serasi, back then. Masa kamu lupa?"
Setelahnya, Axel menggigit bibir. Sungguh, ia tak tega membiarkan Dee pergi sendirian.
"Udah, ya?" Ucapan Dee memecah kebuntuan pikirannya. "Semua udah jelas sekarang. Let me go."
Ya, Axel melepas tangan berlapis jaket itu. Namun, kemudian ia dengan cepat mengemas beberapa barang; laptop, buku catatannya, dan pakaian. Lalu, kunci mobil diambil.
"Ayo. Gue antar."
.
.
......BERSAMBUNG..........
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments