AXEL tahu Dewi meliriknya heran ketika tiba di kantor pagi ini. Belum banyak yang datang. Seperti biasa, kantor pukul setengah 8 pagi adalah milik pegawai yang masa kerjanya di bawah lima tahun. Baru ia, Dewi, Heri, Bambang, Eti, Lina, dan Ferdian yang datang. Di luar terdengar sayup suara Pak Andi yang mengobrol dengan seseorang. Baru datang.
Dewi menghampiri kubusnya. "Eh, bukannya lo cuti, ya?"
"Gak jadi," jawab Axel acuh tak acuh, "mau nge-proofread layout 'Running Away'."
"Tapi kan tetep aja pengurangan hari kerja mah udah diproses HRD?"
Kali ini, Axel mengangkat wajah. Seringai lebar terulas ketika ia menatap Dewi seolah ucapan itu omong kosong. "Tenang, Dew. Udah diproses ulang sama Mbak Puji. Denda 100-200 mah it's okay lah."
Akhirnya, Dewi mengangguk mengerti. Masih dengan jaket yang melekat di tubuhnya---karena ia baru tiba juga dan langsung ke meja Axel---Dewi duduk di kursi Berto. Pertanyaan Dewi selanjutnya sudah diduga Axel.
Terus ngapain---
"... cuti kalau di-cancel?"
"Urusan di Bandung udah beres." Lagi, nada acuh tak acuh diperdengarkannya.
Namun, sebelum sempat Dewi menyahut lagi, seseorang sudah lewat di dekat mereka. Langsung melangkah masuk ke ruang redaksi. Mengenakan stelan santai---jeans dan hoodie, membawa tas punggung dan goodie bag. Axel dan Dewi sama-sama melirik ke arah sana.
Dari tempat mereka sekarang, dari tempat Axel, yang terlihat dari ruangan bertirai putih jarang-jarang itu adalah Andah yang langsung memulai harinya di hadapan laptop. Ia menyalakan AC ruangannya dulu dan melepas hoodie sebelum mulai zoomeeting dengan seseorang. Ternyata ada kemeja biru yang rapi di balik jaketnya.
"Gila, pagi-pagi udah meeting aja." Dewi tak habis pikir. "Apa, ya, kira-kira? Kerja sama baru?"
Axel menoleh, tertarik dengan dugaan itu. Dari pekerjaan sampingannya sebagai editor juga, banyak penerbit yang mulai menaken kontrak dengan platform baca-tulis online. Seingatnya, setahunya, kalau memang yang di dalam itu adalah pertemuan virtual untuk kontrak kerja sama, Drupadi Books akan jadi penerbit mayor pertama yang bekerja sama dengan platform literasi digital.
"Berharap aja." Axel mendoakan hal yang sama--tapi di saat yang bersamaan, ia terpikir sesuatu. "Tapi, don't you think itu terlalu serakah? Kita bisa aja nerbitin naskah yang pembacanya udah jutaan. Gak usah bangun kerja sama."
Dewi terkekeh, tak sangka Axel akan menanggapi gumamannya dengan serius. "Betul juga. Tapi siapa tau? Seandainya itu yang terjadi di dalam, lo mau ingetin hal yang sama ke Mbak Andah?"
Axel mengangkat bahu, tapi di saat yang sama ekspresinya mengiyakan pertanyaan Dewi. "Senior yang baik kan yang kasih kesempatan ke adik-adiknya."
"Ouch."
Mereka berdua tertawa, inside jokes itu berhasil menghibur mereka di hari yang mendung ini.
Pak Andi masuk ke ruangan editor. Seperti biasa, dia membawa dagangannya plus sarapan pagi untuk seisi departemen publishing. Axel dan Dewi mendekati meja besar di belakang mereka. Pak Andi menggelar dagangannya. Lontong, gorengan, dan satu tupperware berisi sambal kacang. Jajanan pasar pun ia keluarkan, mengisi salah satu laci di rak arsip. Itulah warung sederhana Pak Andi di kantor ini.
Kalau ditanya apa penerbit ini punya kantin, ya mereka punya. Namun, tampaknya setiap hari kantin itu hanya dipenuhi oleh pegawai percetakan, HRD, dan para kaum non mageran. Editor dan layouter, apalagi kalau sedang dikejar deadline, mana sempat mereka ke kantin yang letaknya di lantai dasar---sementara lantai mereka justru di lantai empat? Jadi, Pak Andi meminta izin pada Andah untuk membuka warung saja di sini. Lumayan, jajanan ini bisa jadi pengganjal perut.
Eti dan Ferdian, editor kumcer dan antologi puisi itu mendekati meja yang sama, tinggalah orang-orang di ruang layouter yang belum disapa dagangan Pak Andi.
"Hoi! Sarapan dulu, ayo!" Pak Andi memanggil Heri, Bambang si descov, dan Lina yang layouter juga. Satu persatu berdatangan ke meja besar itu. Meja bundar di tengah ruangan editor tempat mereka mengobrol.
Axel mengambil dua bakwan dan satu lontong, kemudian ia membaluri makanan itu dengan sambal kacang, dimakan saja pakai tangan. Sementara itu Dewi mengambil dua lontong, langsung duduk di kursi Berto kembali setelah membayar jajanannya. Yang lainnya beragam. Ada yang membeli bakwan satu saja, tapi mengambil nabati 5 batang. Ada yang langsung menyerbu popcorn 1000-an, dan apa pula yang langsung menyeduh kopi renceng bawaan Pak Andi.
Orang yang melakukan hal terakhir itu adalah Andah. Pak Andi mendongak, tersenyum pada ibu bosnya. "Pagi, Ibu."
"Pagi, Pak Andi." Andah menggunting bungkus kopi itu, langsung menuangnya ke gelas miliknya. Melirik dagangan lontong Pak Andi, ia terkekeh, takjub. "Udah habis aja tuh, Pak. Laris manis pagi-pagi."
"Iya, Bu." Pak Andi tersenyum lebar.
Ferdian menyahut, "Atau kurang, Pak, maksud ibu. Jadi pada kehabisan terus."
Seisi meja tertawa, Andah pun demikian saat meletakan sejumlah uang seharga kopi satu sachet ke laci itu. "Makanya, kamu ke rumah saya pagi-pagi, bantuin istri masak!"
Eti menyela, "Tapi emang mending gini sih, Pak. Daripada bikin banyak gak habis?"
Serentak Pak Andi menunjukan tampang setujunya. "Itu dia."
"Axel," Andah memanggilnya tiba-tiba, "ke ruangan saya sekarang."
Segera, Axel menyelesaikan makannya dan mencuci tangan di kamar mandi ruang editor. Andah tidak menungguinya, ia masuk duluan. Tatapan-tatapan penasaranlah yang menyatroninya hingga masuk ke ruangan Andah.
Pintu ruangan Andah kembali ditutup setelah Axel masuk.
"Kenapa, Mbak?"
"ISBN 'Running Away' sudah saya buat," kata Andah serius. Dalam hati, Axel nyaris tak percaya. Ini bahkan belum masuk jam kerja.
"....sudah dioper ke layouter juga. Saya minta ke Bani hari ini jadi jam 9. Kamu nanti tolong kontrol aja semua prosesnya, tata letak dan kovernya jangan sampai punya makna yang kocar-kacir dari isi ceritanya. Bahaya."
"Baik, Mbak." Axel mengangguk menyanggupi. Andah menyerahkan selembar kertas padanya.
"Itu checklist proofread-nya." Ia memperjelas maksud dan isi kertas itu. "Sambil menunggu, event 'Drupadi Writing Challenge' kan baru selesai kemarin. Nanti kamu bareng Eti dan Ferdi tolong seleksi naskahnya, ya. Ada 567 yang tersaring sistem."
567 ... Axel meneguk saliva. Itu naskah yang banyak. "Ada dari penulis famous, gak, Mbak?"
"Kalo penulis famous dari mayor juga, enggak. Mereka kebanyakan indie, tapi emang track record-nya bagus. Prosedur seleksinya kayak biasa. Kalau pusing baca dari komputer, print aja dulu."
Axel mengangguk sekali, mengiyakan perintah langsung itu. Namun, baru saja ia hendak pamit, Andah kembali menghentikan niatannya dengan ....
"Gimana kemarin Bandung? Saya lihat di story, kamu reunian?"
Axel tersenyum sungkan, teringat kebersamaannya dengan Diana di balik foto yang dilihat Andah itu. "Iya, sama temen kuliah."
"Dua-duanya?"
"H-hm." Axel mengangguk polos.
"Semoga cukup terobati kangennya sehari kemarin, ya."
Axel terkekeh, mengangguk lagi. Namun, tiba-tiba saja ia merasa tak sopan ketika tidak melakukan ramah tamah yang sama pada Andah.
"How's your weekend anyway, Mbak?"
"Good," Andah melirik Axel dalam senyumannya, "lebih baik."
"Syukurlah."
"Oh ya," Andah teringat sesuatu, "lusa kan peluncuran bukunya Hastari. Kamu kan editor naskahnya? Minat jadi host nggak? Tempatnya di Gramedia Matraman."
Mendengarnya, Axel mengulum senyum. Ia senang. Kembali, tugasnya untuk seminggu ini bertambah lagi. Bertambah pula alasannya untuk benar-benar melupakan dan merelakan Dee setelah pertemuan mereka kemarin.
Pertemuan mendadak mereka dengan Gery di Tegalegalah yang membuat Axel pulang lebih awal.
Usai menyatakan penolakannya terhadap bujukan Axel, dan keyakinannya terhadap usaha mempertahankan rumah tangganya bersama Gery, Diana ditelepon Gery. Ia jujur, sedang lari pagi bersama Axel. Gery menyuruh mereka menunggu di sana.
Awalnya, Axel meragu pertemuan mereka akan berjalan tanpa keributan. Terakhir kali Gery mengacak-acak rumahnya, ingat?
Gery sungguhan datang ke sana, setengah jam kemudian ia tiba di Tegalega. Kalimat pertama yang ia ucapkan ketika melihat Axel ialah, "Maaf, ya, soal kemarin, Sel."
Melihat Gery yang langsung merangkul Diana dan sebaliknya, Axel mulai mengamati raut wajah mereka. Lamat-lamat. Jangan sampai satu jengkal keanehan terlewat. Diam-diam Axel berencana menarik Dee dengan cepat jika Gery bersikap mencurigakan.
"I was ... pfft...." Gery seolah menertawakan kebodohannya sendiri. "Bodoh. Gue bodoh banget memang kemarin, terpancing emosi sampai segitunya."
"Sisi mana yang lagi bicara sama gue sekarang?"
Axel tak peduli bila Diana memandangnya aneh. Menurutnya pertanyaan semacam itu memang harus ditanyakan ketika Gery baik-baik saja.
Menjawabnya, Gery mencibir pertanyaan itu. Sorot matanya seperti Gery delapan tahun lalu, yang ia kenal di bangku kuliah. Gery yang Axel setujui untuk bersanding dengan Diana. "Yang baik. Sisi yang sama dengan yang melamar Diana di depan lo."
"Ini bukan mau memanipulasi perasaan gue, kan?" tanya Axel penuh curiga.
"Kalau yang itu, iya. Waktu itu emang gue mau bikin lo cemburu. Tapi kalau yang ini, murni permintaan maaf."
Axel menoleh pada Diana, masih ragu akan sikap baik dan normal itu. "Boleh ... gue make sure?"
"Silakan." Gery yang menjawab.
"Do you love her?"
"Axel!" Pertanyaan yang kelewat personal itu membuat Diana memelototinya. "Nanyanya aneh, deh."
"It's okay." Gery menepuk lengan Dee, lantas menoleh pada Axel kembali. "Ya, i do. Kenapa? So do you, right?"
Mengabaikan pertanyaan terakhir itu, Axel lanjut mencecar Gery, "Jadi kenapa lo sakitin dia?"
Gery dan Diana berpandangan. Kemudian, "Pesan makanan sana." Gery menunjuk kedai ketupat sayur tak jauh dari mereka. "Biar aku yakinkan Axel dulu."
"Oke." Diana akhirnya mengangguk, menuju ke kedai itu duluan.
Sekarang tinggalah dirinya dan Gery. Axel bersikap menunggu.
"Kenapa?" Gery memulai jawabannya. "Dee pernah cerita I was a victim, kan?"
"Ya."
"Gue terlahir sebagai anak yang kurang beruntung. Kecil sakit-sakitan, keluarga broken home, korban pelecehan pula.... Coba pikir ... siapa yang nggak terguncang jiwanya melalui semua itu?"
Duduk di sisinya, Gery melempar pandang pada Dee yang tengah memesan ketupat sayur untuk mereka bertiga. Tatapannya sama seperti sorot mata penuh kasih di Sumba kemarin. Axel sedikit terenyuh melihatnya.
"Dan tiba-tiba gue dapatkan perempuan itu, rasanya itulah nikmat terbesar yang dikasih Tuhan dalam hidup gue."
Axel jadi penasaran akan satu hal. "Gimana rasanya tau Dee dihamili orang lain karena ulah lo?"
Gery berdecak, getir. "At first, yang gue ingat adalah fun-nya malam itu. Tapi kemudian, pas kabar itu tiba dan gue sadar how i am---gak bisa ... menghamili, gue kalap. I lost my self, literaly. Marah berhari-hari ke Dee. Menyakiti dia. Ketika sadar, i regret it. Sangat."
"Bisa separah itu?" Axel bergumam tak menyangka. "Jadi bener-bener kayak menjadi orang lain? Begitu?"
"Iya." Gery mengangguk.
"Dan Dee menawarkan terapi, lagi, gimana kalo hal unexpected terjadi?"
"Dan pelakunya mereka...."
"Ya. Gimana?"
Kembali, pandangan Gery tertuju pada Diana. Senyumnya tipis saja mengembang di bibir tak berkumis itu.
"Then Dee akan bunuh gue dengan tangannya sendiri. Kami sudah sepakat." Kemudian, di sela kekagetan Axel, Gery menoleh padanya, "Apa yang lebih membahagiakan dari mati di tangan orang yang lo cintai?"
Kini, memikirkannya, Axel hanya terdiam. Namun ia tak membiarkan dirinya larut dalam rangkaian kejadian pengandaian kalau itu sampai terjadi.
Balik kanan ke mejanya, ia langsung menginstruksikan perintah Andah pada Ferdian dan Eti.
.
.
BERSAMBUNG .....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments