DIANA tidak membiarkan Gery melupakan janji terapi mereka dengan Dokter Rayhan. Sebelum jam makan siang, ia sudah di kantor Gery, distro pertamanya sekaligus kantor pusat merek pakaian pria itu. Ruangan Gery ada di lantai dua.
Melangkah masuk, beberapa karyawan langsung menyapanya. Diana hanya mengangguk dan tersenyum ramah, sekalian bertanya keadaan pengunjung hari ini. Semuanya baik, menandakan Gery kemungkinan besar tengah dalam perasaan terbaiknya untuk diajak bicara.
Diana naik ke atas. Sebenarnya lantai dua masih dihiasi pakaian. Namun, lantai ini lebih difungsikan sebagai tempat pertemuan kolega dan presentasi desainer pakaian dan agen model yang akan bekerja sama dengan mereka. Pakaian yang ada di sini berfungsi sebagai dekorasi saja.
Lantai ini sepi. Begitupun ruangan Gery di pojoknya. Diana melangkah ke sana, mengetuk pintunya.
"Masuk!"
Kenop pintu ditarik. Diana mendorong pintu itu pelan-pelan. Begitu pintu memperlihatkan sosok pemilik ruangan, Diana mengulas senyum. "Jadi, kan?"
Dari monitor komputernya, Gery mengangkat wajah. "Ah, ya, jadi. Duduk dulu, sayang."
Dee mengangguk, kemudian duduk di sofa dekat jendela. Itulah tempat favoritnya di ruangan ini. Jendela menyuguhkan pemandangan langit selatan Jakarta yang cerah hari ini. Biru. Sabut awan terlihat tipis saja di atas sana.
"Gimana setengah hari ini? Baik-baik aja?"
"Baik, baik." Gery menjawab dengan mata yang masih terfokus pada komputernya. "How's yours?"
"Boring."
Gery terkekeh. "Boring gimana?"
Memalingkan wajah kepada Gery yang masih kelihatan sibuk, Diana menjawab, "Nothing to do."
"Then find something to do."
Jujur saja, Dee gemas dengan jawaban itu. "Yang adalah ...?" Tidak, ia berucap demikian tak sambil mendekati meja Gery. Diana diam di sofanya, memandang reaksi sang suami atas pertanyaan itu dengan lebih menyeluruh.
Reaksinya adalah Gery mengalihkan fokusnya kepada Diana, lalu bertanya, "Mau makan dulu di sini atau langsung jalan aja? Aku minta Fany belikan makanan ke bawah."
Diana terdiam. Reaksi itu mengandung maksud yang tak biasa. Jadilah, daripada mengintervensi lebih lanjut, ia memilih untuk mengikuti alur kemauan Gery. "Makan."
"Oke." Gery lantas menghubungi stafnya di bawah. "Fan, beliin padang ya dua bungkus. Cepet."
Dan, selesai. Tatapan Gery kembali tertuju padanya. Dingin. Seketika suasana di antara mereka berubah kikuk.
"Kenapa?" Diana memberanikan diri bertanya.
"Kita gak ke sana." Gery berkata tiba-tiba. "Gak akan ke sana."
Dari susunan katanya, nada berucapnya, Diana tahu yang berucap bukanlah Gery yang tadi pagi. Sorot mata itu telah berubah menatapnya dengan tajam. "Kamu sama aja mempermalukan aku kalau tetap maksa untuk ke sana."
Tenang .... Diana mengingatkan dirinya sendiri dan berdehem. "Oke. It's okay. Tapi boleh aku tau alasannya kenapa?"
"Sederhana, kamu harus terima kegilaanku." Gery bergeming di kursinya, berucap tegas. "Kamu tau aku gak segila itu, Dee. Seharusnya kamu tau apa yang aku butuhkan."
Do I? Diana membisu, memilih memalingkan wajahnya kembali ke langit biru, berusaha meredakan ketakutannya saat melihat kemarahan asing di wajah Gery.
"Kenapa kamu bohong?"
Sayang, pertanyaan itu membuatnya kembali menoleh. Diana berusaha menahan ekspresi normalnya dan menatap Gery. "Bohong soal apa?"
Menjawabnya, pria itu sama sekali tak bereaksi seperti orang normal. Gery kalap--benar-benar kalap. Tak peduli dengan pintu yang diketuk, tak mempedulikan cerahnya hari yang sebenarnya bagus untuk berkencan siang, tak mempedulikan raut wajah ngeri dan perasaan Dee, ia hempaskan benda di atas meja dalam sekali tepak.
PRANGG!
Monitor jatuh ke lantai, berkas-berkas di atas meja berhamburan, suara gelas kopi yang pecah memekakan telinga.
Seketika, ruangan hening. Saat Gery mendekatinya, Diana bimbang, antara lari atau membiarkan orang itu melakukan apa pun padanya. Namun, Diana tak bisa menyembunyikannya lagi. Ia takut, sangat takut ketika Gery menyentuh dahinya, menyibakkan anak rambutnya. Tangan itu dingin, tanda Gery sedang marah besar. Tanda kepribadian anjing gila itu tengah menguasainya. Kali ini entah karena apa.
"Kenapa kamu bohong, hm?"
Diana tak berani menjawab. Ia tak tahu kebohongan mana yang dimaksud Gery, Dee hanya bisa menggeleng pelan. Udara semakin panas di sekitar mereka. Ia tercekat, terlebih saat pria itu mengempaskan tubuhnya ke ujung sofa. Gery menatapnya jijik.
"JAWAB!"
"Bohong apa, sih?" Nada suara Dee sudah bergetar, tapi ia masih di sana, tak beranjak. Bahkan, Diana kembali duduk. Ia ingin apa pun yang dilakukan Gery kali ini berakhir di sini saja. Tidak perlu sisi anjing gila itu dibawa ke rumah.
"Gak sadar juga kamu?"
"Aku gak paham maksud kamu, sayang. What's wrong?"
"This is wrong!" Gery menarik kepalanya dan mengempaskannya kembali. Kasar. Tak menghiraukan ringisan Dee, Gery beranjak ke pintu.
Segera, Diana menahannya. "Hei, hei...." Tangan kanan Gery berhasil ditariknya. "Apa? Bilang ke aku apa yang salah?" Sengaja, Dee menatap lurus ke dalam mata bermanik hitam itu. Ia ingin menemukan Gery Bramastya yang manis, bukan yang lain. Diana tahu sosok itu masih di sana.
Sepersekian detik dalam keterdiaman Gery, ia merasa harapannya akan terkabul. Gery akan lemas tiba-tiba, terkena serangan panik singkat, lalu kembali menjadi dirinya lagi. Kemudian mereka akan menikmati makan siang bersama dan berangkat ke Dokter Rayhan. Lalu terapi mereka akan berjalan lancar ... Gery membaik, dan---
PLAK!
Sayang sekali, ternyata tamparan keraslah yang ia terima. Kepala Diana terhentak hingga menoleh ke samping. Pipi kanannya terasa panas sekarang, tapi Dee masih bertahan untuk tidak menangis. Belum saatnya, meski harga dirinya kembali merasa tercabik.
"Kamu bilang soal aku ke papa? Kamu bilang aku gak normal? Kamu bilang semuanya!? Kamu janji, Dee! YOU DID PROMISE TO ME, DIANA! Kenapa kamu bohong dengan bilang pertemuan sama Rayhan itu rahasia!?"
Dee menghela, diam-diam ia lega karena tenyata yang marah padanya sekarang adalah Gery yang normal. Tapi, tetap saja ia merasa harus menyelesaikan masalah ini sekarang sebelum sisi anjing gila itu sungguhan muncul. "Papa telepon kamu?"
"Jadi benar kamu kasih tau mereka?"
Kembali, tangan kekar itu berontak dari kekangannya. Kali ini lebih kuat, membuat Diana harus memeluk pinggang Gery erat-erat. "Let's finish here, sayang. Jangan keluar dulu."
"Kamu kasih tau mereka?"
Kini tubuh mereka bergetar. Gery menggigil karena amarah, sedangkan Diana dikuasai ketakutan akan perubahan kepribadian prianya. Meskipun demikian, ia tetap menjawab dengan jujur. Masih memeluk Gery di depan daun pintu, Dee mengangguk. Gerakan kepala itu terasa di bahu Gery, ia yakin, tapi Diana tak peduli. Ia memang harus jujur soal ini, dan sudah jujur. Kalau memang ia harus mati, matilah.
Apa yang lebih membahagiakan dari mati di tangan orang yang dicintai?
Emosi Diana sudah meledak sebab tangis. Tak hanya tamparan tadi, sorot terluka Gery tak sangka juga menyakitinya.
Dee sepenuhnya sadar ia telah mengkhianati janjinya pada Gery. Namun, apa yang dilakukannya di Bandung kemarin bukanlah tanpa alasan. Ia ingin ada lebih banyak orang yang memahami Gery secara utuh. Kondisi kejiwaan Gery bukan untuk ditakuti, melainkan untuk dikuatkan. Dengan kejujuran yang ia kemukakan dua hari lalu sebelum kembali ke Jakarta, Diana hanya ingin orang tuanya turut membantu dr. Rayhan mengingatkan jati diri Gery. Turut menjadi orang tua yang seharusnya Gery miliki. Yang menyayanginya. Sayang, tampaknya tanggapan yang salah dari mereka membuat Gery tersinggung dengan kejujuran itu.
"I'm so sorry ...."
"Aku gak bisa ngomong sama kamu sekarang."
Namun, langkah pergi Gery ditahan lagi. Diana belum menyerah mencengkeram pinggang suaminya kuat-kuat. "Aku cuma pengen mereka bantu kita. Itu aja. Aku mau kamu sembuh."
"Tapi tanggapan mereka gak begitu."
Tanggapan itu memancing Diana untuk mengangkat wajahnya, memandang Gery dengan penasaran. "G-gimana...?"
"Papa suruh kita cerai, Dee."
Diana terenyak. Tangisnya langsung mereda. Sorot ketakutan itu berganti menatap Gery dengan perhatian. Pria itu masih memalingkan wajah darinya, tapi dengan pipi yang telah memerah menahan kesakitan. Sakit, karena sebentar lagi ia akan kehilangan Diana hanya karena tak normal....
Hanya karena takdir membuatnya tak normal.
"Tadinya, kamu itu alasanku untuk sembuh. Tapi sekarang, no. Setelah apa yang takdir ambil dariku, kamu alat tukar yang pantas buat kebahagiaan yang seharusnya aku dapatkan. The four of me won't let you go again."
"Gery---"
"Diam di sini." Dan, pria itu melepaskan diri darinya. Diana tersungkur, tak bisa berbuat apa pun lagi saat Gery melangkah keluar dan mengunci dirinya di dalam sana bersama dua nasi padang.
Di sana, di ruangan itu, Dee meluapkan penyesalannya telah salah langkah. Setelah ini ia yakin Gery takkan pernah mengizinkannya keluar dari sini. Sepenuhnya ia telah menjadi tawanan dalam kemewahan sangkar kaca.
.
.
.
BERSAMBUNG.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments