"KENAPA dia berubah? Sejak kapan?"
Pertanyaan itu terlontar di sela sinar senja yang menghangatkan wajah mereka. Siluet dua manusia duduk bersisian ditampilkan pasir pantai, sinar jingga mengelilingi mereka. Hangat, seolah mencerminkan suasana percakapan serius yang akan kembali terjalin di antara mereka. Masih soal Gery dan perilaku impulsifnya.
Dee menoleh, "He always is, Sel. Dia sejatinya nggak pernah normal."
Jawaban itu membisukan Axel. Teringat olehnya, memori kebersamaan mereka sebagai teman sekelas saat kuliah. Sesungguhnya, Axel memang tak terlalu akrab dengan Gery, tapi teman tetaplah teman. Yang setiap hari tahu interaksinya dengan orang lain, yang beberapa kali mengobrol panjang dengannya. Axel mengingat Gery sebagai orang normal.
"He obsessed with me, Gery mengakuinya. Sayangnya, dalam pikirannya aku ini tahanan."
Axel bisa membayangkannya. "Tapi dia ngaku soal itu?"
"Mengaku," Dee mengangguk, "dengan bangganya." Kemudian, helaan napas berat terdengar dari Dee. "Dia sempat berusaha lepas, panggil psikiater dan lain-lain ... tapi itu cuma bertahan dua bulan."
"Kenapa?"
Dee menoleh, seakan dengan itu Axel bisa menemukan jawaban atas pertanyaan singkatnya. Perempuan itu tersenyum tipis, miris, lalu tertunduk. "Dia dibunuh, pake obat tidur, di apartnya. Mungkin ada perkataan psikiater itu yang mengganggu Gery."
Axel semakin membisu mendengar kesaksian itu, apalagi ketika menyadari ada beberapa memar tipis di bagian leher dan tulang pipi Dee. Seperti habis dicengkeram.
"Dia nggak tau kalau aku tau, kok." Menatap laut, Diana lanjut menjelaskan, "Aku iyakan aja waktu dia bilang dokternya lagi nggak bisa datang. Tingkah Gery mulai normal waktu itu--itulah kenapa aku percaya. Sampai beberapa hari kemudian aku dengar dari temanku soal dokter itu. Meninggal karena overdosis obat tidur."
"Sejak saat itu, sikap Gery makin buruk. Dia mulai banyak party ... karena kebetulan bisnisnya lagi melejit juga. Pergi-pergi ke luar kota, main perempuan. Saat pulang ke rumah, he's become a beast. Sampai suatu hari dia ajak aku ke Bali. Pembukaan outlet distronya di sana."
Cerita terhenti. Diana menoleh, kembali mengekspresikan 'aku rasa kamu tahu cerita selanjutnya' itu lagi.
Raut wajah pasrah itu membuat Axel mengembuskan napas. Dalam posisi berdirinya sekarang, lututnya lemas. Ya, dia tidak bodoh. Axel sudah paham cerita lengkapnya.
"Menikahi dia selama empat tahun, rasanya bahagiaku cuma setahun. Setelah itu, semuanya mimpi buruk."
Hening. Yang Axel sadari selanjutnya dari cerita Diana adalah ada sedikit perasaan tak rela saat menyebut tiga tahun pernikahannya dengan mimpi buruk. Diana rindu Gery-nya yang dulu. Gery-nya yang manis. Pandangan perempuan itu yang terlempar ke laut menyiratkan kesakitan dan kerinduan, terlihat menyesakkan.
"Padahal lo bisa pergi begitu tau sifat asli Gery."
"Aku cuma percaya setiap orang bisa berubah. Selama pacaran sikapnya juga manis---kamu kan tau."
"Tapi akhirnya lo yang babak belur begini, Dee."
"Iya," Diana tertawa pelan, tawa yang penuh kecewa, "aku goblok memang."
Axel segera tak setuju dengan ucapan itu. "Lho? Bukan gitu maksud gue---"
"That's from me. Aku memang bodoh, setiap Gery minta maaf setelah dia aniaya aku, i melted like a goddamn chocolate ice cream. Dia bersikap manis sampai dimaafin. Bodohnya, aku percaya dan terus percaya."
Dee terkekeh, begitupula dengan Axel. Entah apa yang Diana rasakan saat menceritakan semua ini, yang jelas Axel tahu takdir telah mempermainkan Diana sejak lama sekali.
"Sampai empat tahun lamanya."
"Empat tahun, ya .... Sekarang, this toxic relationship is killing me."
"I won't let you."
Karena perkataan yakin itu, Diana menoleh. Axel lekas mempertahankan pandangan meyakinkannya pada sepasang manik mata cemerlang itu. "Mumpung deadline yang urgen banget udah kelar, gue temenin lo self healing di sini. Kita liburan. Liat orang-orang, liat interaksi mereka. Itu yang lo butuhkan, kan?"
Menjawabnya, Diana menunduk, "Aku nggak yakin. Keramaian nggak pernah terlalu jadi sahabatku."
"Jadi, lo pengen stay di hotel aja ditemenin Theo dan Beny? Besok ada paket trip ke Pantai Pink, lho."
Kali ini Dee meragu. Ia menggigit bibir, menahan jawaban untuk keluar terlalu cepat.
"Ayolah, temenin gue, ya?"
Axel merapalkan doa dalam hati, mau ... mau ... mau ... mau ... m---
"Oke."
Senyum lebar terbit di bibir berkumis tipis itu. "No gadget, ya!"
Jawabannya, Dee hanya mengisyaratkan kata 'oke' dengan jemarinya. Jawaban yang sederhana, tapi melegakan.
Dan, entah bagaimana amarah pada Gery lenyap seketika karena persetujuan itu. Sisa harinya terasa seperti bertahun-tahun yang lalu, saat pertama kalinya Diana mengiyakan ajakan jalannya ke sebuah tempat rekreasi di ketinggian Bandung.
Mentari meredup, bersembunyi di balik laut. Petang kemudian menemani mereka kembali ke hotel, langsung disambut dua set makan malam di kamar masing-masing.
Mereka tidak saling menghampiri atau melakukan panggilan video. Setelah memastikan Dee memakan makanannya, Axel baru masuk kamar.
Di ruangannya, sambil menyantap makan malam, lelaki itu membagi fokusnya pada dua hal: melacak pergerakan akun media sosial Gery, dan susunan rencana trip istimewanya dengan Dee besok.
Tiba-tiba balon percakapan muncul di ponselnya. Dari Gery. Pucuk dicinta, ulam pun tiba.
**Gery:
Malam, Sel. How r u?
^^^^^^Axel:^^^^^^
^^^^^^Hai, fine fine, as always. ^^^^^^
^^^Ada apa, Ger**?^^^
Gery:
Boleh gue telepon?
...*...
"Permisi, Mbak."
Pukul 8 malam, yang ia lakukan adalah menyapa meja resepsionis dengan membawa serta tas punggunya. Axel rapi, seperti sudah mau kembali lagi ke Jakarta. Tentunya, telepon tadilah penyebabnya.
Resepsionis berumur 20-an tersenyum kepadanya. "Iya, ada apa, Pak?"
"Saya mau check out malam ini, bisa?"
"Atas nama siapa?"
"Axel Adiputra."
Si resepsionis terlihat mencari namanya di laptop. Begitu menemukan nama yang dimaksud, gadis itu memandang Axel dengan heran. "Maaf, Bapak baru check in hari ini, dan dijadwalkan dapat trip besok. Kenapa sudah mau check out, Pak?"
"Ada kerjaan di Jakarta." Axel beralasan. "Mendadak, baru ditelepon bos tadi."
"Ah, baik." Si resepsionis terlihat memproses permintaannya. "Tapi kena charge 200 ribu, ya, Pak. Gak papa? Itu untuk pembatalan trip satu kursi."
"Gak papa."
"Baik." Kemudian penghitungan segera diproses. "Jadi semuanya 700 ribu, ya, Pak. Menginap semalam."
Axel menyodorkan kartu kreditnya. Tak lama, transaksi itu selesai. Ia pergi dari sana, tanpa diketahui Diana.
Namun, sebenarnya Axel tak kembali ke Jakarta. Ia tetap di Flores, menyewa motel di sana. Memutuskan tinggal dekat dengan warga demi kepentingan rencananya.
......***......
"Kenapa ke sini, deh? Dari sekian banyak tempat malam mingguan di Bandung, kenapa Cartil? Bisa aja kamu ajak aku ngopi lagi di Gedogan atau di mana gitu? Makan ramen atau ngapain. Kenapa malah ke Cartil?"
"Pertama, gue lagi bokek."
"Gak ada yang nyuruh kamu bayarin aku juga, kan?"
"Kedua, semua tempat yang lo sebutin tadi nggak ada hijau-hijaunya. Mau ke Lembang, kejauhan."
Kekehan pelan lolos dari Diana. Ia mencolek suiran ayam penyetnya ke sambal, memulai makan. "Tapi ini juga jauh, kan."
"Seenggaknya gak sampai 48 kilo, Dee!" Axel mengeluarkan tampang memprotesnya. "Siapa coba yang kemaren bilang mau ke Cartil?"
"Nanti, pas lulus. Bukan setelah UN, dih. Belom pantes seneng-seneng sekarang, tau."
"Yaudah," Axel mengangkat bahu, "buat gue udah. Dengan bisa tiba-tiba jadi serajin lo belajar buat UN, itu udah poin plus yang patut dirayakan."
Diana tidak membalas lagi. Ia hanya tersenyum melihat tingkah Axel, melanjutkan makan.
"Jadi mau lanjut di UI, Dee?"
"Yep. Semoga nilaiku nggak kalah saing."
"Yah, kita LDR dong?"
Tampang jijik dikeluarkan Dee begitu saja. "Kapan kita pacarannya, ya, btw?"
"Kan long distance relationship, bukan long distance lover-relationship." Axel mendengkus, wajahnya malas sekarang. "LDR ga selalu antarpasangan."
Tapi, kemudian wajah tak berkacamata itu berubah dengan cepat menjadi jenaka, lucu. "Tapi kalau lo mau, bolehlah. Ayo, jadian."
"Yuk."
"Beneran?"
Dee mengangguk, mencuci jemari kanannya dengan air kobokan. "You're not bad afterall."
Tanpa mempedulikan makna ledekan yang terselubung dalam ucapan itu, Axel membalas usai menyesap cappucinonya, "Yaudah, gue nyusul ke UI kalo gitu. Pake SBM, mandiri, atau apalah nanti."
"Kok? Memangnya nilai kamu nggak sampe?"
"Kalau nggak lulus via SNMPTN. Kayaknya sih ngepas kalau lulus juga."
Dee menyeruput teh hangatnya dulu sebelum menjawab, "Semangat kalau begit--"
DAR!
"AXEL!"
Bunyi pistol memotong perbincangan. Selongsong peluru menembus bahu Axel dengan cepat. Dari sosok yang dikenalinya.
Membangunkannya.
Suasana mencekam.
.............
.......
......BERSAMBUNG ..........
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Dinda Natalisa
Hai author aku mampir nih kasih like jangan lupa mampir di novel ku "menyimpan perasaan" mari saling mendukung.
2021-03-08
1