RINTIK hujan menyapa bumi dengan teriakan-teriakannya yang memekakan hati. Hari sudah malam. Pintu-pintu rumah terkunci rapat, orang-orang di dalamnya berselimut kehangatan yang lekat. Ada yang beristirahat, ada yang masih asyik bercengkerama dengan kerabat, ada pula yang masih berkoneksi dengan teman sejawat.
Axel Adiputra salah satunya. Pria berkacamata itu tengah berada di hadapan laptop yang layarnya menampilkan paragraf-paragraf distabilo kuning, biru, dan bagian-bagian yang dicoret oleh garis merah.
Rekan sejawat yang tengah dihubunginya ada di seberang telepon. Suara-suara bingung menguar dari kedua mata headsetnya, semakin pula membingungkan Axel.
"Oke, gini, yaudah ... jadinya Mbak maunya gimana? Saya rasa revisi di sana sudah jelas. Masih banyak plot hole minor, kalimat-kalimat rancu, yang seharusnya itu direvisi sama Mbak. Ini novel situ, lho. Saya jadi editor bukan buat menulis ulang naskah orang. Kalau kurang paham sama apa yang saya tuliskan di sini, harusnya jangan di hari dekat deadline begini dong bilangnya. Saya sudah kasih waktu dari kemarin---"
"...."
Tapi kemudian, tampang Axel melurus. Kacamatanya mengembun tipis, tanda ia mendengkus kesal. "Oke. Jadi serahkan ke saya, ya? No protest, kan? Minggu depan sudah harus saya serahkan ke layouter soalnya."
Tensi pembicaraan itu tampaknya mengendur. Sebuah kesepakatan tercapai antara Axel dengan penulisnya di seberang sana. Tak lama kemudian, sambungan diputus.
Lagi, Axel mendengkus. Ia beranjak ke coffemaker di dapur. Sudah pukul 9 malam, hujan masih enggan reda. Selain kedinginan, Axel pun butuh fokus. Espresso masih menjadi favoritnya sejak zaman kuliah.
Coffemaker berbunyi, rendah. Kemudian, cairan espresso keluar dari sana, langsung menempati cangkir putih favoritnya.
Pria itu kembali duduk. "Oke, kita mulai." Matanya segera memindai kesalahan yang belum diperbaiki si penulis dengan sempurna. Bergantian ia melihat berkas materi promosi yang sudah dibuat orang itu pula, tapi pada monitor eksternalnya. Menyesuaikan kalimat-kalimat. Memastikan pembaca karya ini tidak akan kecewa karena menemukan perbedaan antara poster prapesan dengan isi novelnya.
Namun, baru saja ia merevisi dua halaman, ketukan pintu depan terdengar kasar dan terburu-buru. Ruang kerjanya yang dibuat tanpa sekat dengan ruang depan dan dapur, membuatnya dapat mendengar ketukan itu dengan jelas.
Axel kembali beranjak. Siapa yang bertamu malam-malam begini?
Kunci pintu ia putar, tuas ia tarik. Pintu dibuka---dan satu pelukan erat langsung menyambarnya.
"I miss you," kata orang itu, dengan suara yang tertekan dan putus asa.
Membiarkan bahunya menjadi tumpuan orang itu untuk sejenak, Axel mencoba membalas pelukannya. Hanya ingin memastikan sosok itu nyata atau tidak.
Siapa yang tahu apa yang akan bisa datang saat hujan begini---dan malam?
Sosok itu nyata. Tubuhnya bergetar, entah karena tangis, kedinginan, atau keduanya.
"Masuk dulu, yuk? Gak enak di depan begini."
Anggukan terasa di bahunya. Axel berniat melepaskan pelukan, tapi sepertinya perempuan itu tidak mengizinkannya untuk menjauh melangkah lebih dulu---bahkan untuk mengambilkan sesuatu. Tangan dingin yang tadinya bercincin itu merangkulnya. Rambut lepek, payung rusak, dan wajah kotor ... penampilan perempuan ini mengenaskan. Dia seperti habis kabur dari ... sesuatu.
Atau seseorang?
"Oke." Axel mengangguk, mengizinkan rangkulan itu. Ia membawa tamunya ke dalam, tapi saat di dekat sofa, Axel menyuruhnya duduk. "Duduk, Dee."
Dengan telaten, kemudian ia melepas barang bawaan tamunya, sepatunya, jaketnya, hingga jam tangan yang melekat di pergelangan tangan kanan.
Saat kembali pada posisi berdiri, Axel menatap perempuan itu---yang lagi-lagi tengah berjuang menahan luapan air matanya. "Gue ambilin handuk dulu, ya?"
Hanya anggukan yang menjadi balasannya. Tanpa kata. Axel bingung. Perempuan---wanita!---yang setahunya sudah menikah, tiba-tiba bertamu ke rumahnya, membawa koper, tanpa cincin kawin, dan berkata i miss you.
Axel masih mencoba berpikir jernih. Ia menyegerakan mengambil handuk bersih untuk Dee, mencoba mengajak temannya itu bicara.
Handuk bersih diberikan, lalu Axel bergegas membuatkan teh hangat. "Masih teh, kan?"
"H-m."
Tenang, Sel. "Manis?"
"Iya."
Tak lama, segelas teh manis hangat disodorkan pula kepada Diana. Yang dituju masih mengeringkan rambut dan tubuhnya tanpa minat. Masih terisak.
Duduk di sofa seberang Diana, Axel hanya bisa memecah keheningan dengan sebuah pertanyaan bodoh.
"Are you okay, Dee?"
"Jelas enggak."
Axel menelan saliva, menatap Dee dengan canggung. "Suami lo tau lo ke sini?"
"Maaf soal itu omong-omong, aku bawa kamu ke dalam masalah dengan datang ke sini."
"Gak akan jadi masalah kalau bisa dibicarakan baik-baik, kan?"
"That's the thing. Semuanya gak akan bisa dibicarakan dengan baik-baik." Dee mengambil gelas teh manisnya di atas meja tamu. "Tapi aku nggak akan lama di sini. Besok pagi berangkat lagi, kok." Ia kemudian mengangkat gelasnya, tanda berterima kasih. "Thanks, ya... sori ngerepotin."
Nyatanya yang menjadi fokus Axel bukanlah ucapan terima kasih itu. "Ke mana?"
"Suatu tempat yang jauh." Dee menyeringai. "Bali, mungkin? Flores? I don't know."
"Kenapa lo pergi? Gery tau?" Ya, Gery, pria yang terakhir kali Axel tahu sebagai suami Diana.
"Karena dia aku pergi." Sorot mata itu kembali sendu. "Aku muak, Sel. Muak, semuak-muaknya."
"Kalian udah berusaha bicarakan ini baik-baik? You love him, don't you?"
"Love? Bullshit." Kini, Diana tersenyum miris. "Ya, aku cinta dia. Dia? Entahlah."
Lagi, Dee menyeruput teh hangatnya. "Kalau cinta, setahuku dia gak akan bersikap psikopat dengan coba mencelakai calon anaknya sendiri."
.
.
...BERSAMBUNG .... ...
Pagi baru datang. Keduanya belum beranjak dari ruangan masing-masing---Diana masih tertidur di kamar Axel, sementara lelaki itu justru terjaga semalaman. Bagaimana tidak? Pria yang ia ingat terakhir kali sebagai yang amat memperjuangkan cintanya kepada Dee, justru memperlakukannya dengan buruk seperti itu.
Like ... what the f*ck!?
Untuk sejenak saja, Axel terpikir menemui Gery dan memberitahu keberadaan Dee. Pertemuan itu ia bayangkan sebagai reuni biasa saja antarteman kuliah. Namun, setelah dipikir-pikir, ditimbang-timbang, sepertinya tidak. Memberitahu Gery bukan opsi yang bagus. Bisa-bisa Dee diperlakukan lebih buruk daripada yang sudah ia terima.
Dan demi Tuhan! Dia mengandung! Kesal Axel sampai ke ubun-ubun ketika mengingat itu semua. Ia sampai urung menyentuh pekerjaannya lagi karena tidak ingin revisi itu kacau balau karena mood-nya yang hancur.
Ia kemudian beranjak, benar-benar memulai harinya. Axel menyalakan laptopnya. Sambil menunggu, ia menyiapkan sarapan untuk Dee, dan kopi serta sekaleng biskuit untuknya. Sederhana saja untuk Dee---standar makanan ibu hamil. Teh hangat, sup ayam, dan nasi. Lima belas menit kemudian, semua siap. Axel beruntung karena kemarin ia hanya makan sekali. Sisa nasi masih cukup banyak dan layak.
Sarapan untuk Dee diangkut ke atas nampan. Lelaki itu hanya yakin, setelah harinya kemarin, Dee akan berminat sarapan di kasur.
"Morning," sapa sebuah suara.
Batal. "Pagi." Axel tersenyum, beralih mempersiapkan meja makannya. "Tidurnya lelap?"
"Lumayan," Dee tersenyum tipis, "tadinya aku pikir kamu belum bangun. You know ... i must do a favor."
Axel tahu maksudnya, maka ia hanya mengibaskan tangan. "Lo tamu di sini. It's fine."
Tak membiarkan pikirannya mengembara lagi akan alasan keberadaan wanita itu di sini, Axel segera menata meja makan empat kursinya---yang sekarang hanya berisi dua kursi. Semangkuk sup, sepiring nasi, dua gelas air putih, dan sarapan ala-nya: kopi herbal dengan biskuit cokelat.
"Silakan."
"Hm." Dee mengangguk sekali, canggung. Pandangannya terarah mengamati yang tersaji di meja makan. Ia melirik Axel. "Kok cuma kopi dan biskuit? Gak makan berat?"
"Enggak," Axel menggeleng, "nanti setelah workout baru makan berat."
"Ach, so." Dee akhirnya hanya mengangguk. "Syukurlah sekarang lebih healthy."
"Ya." Axel menyeringai. "Duduk."
Dan, mereka berdua duduk. Berhadapan. Namun, Dee terlihat masih ragu untuk memulai makan duluan.
"Kenapa?"
"Aku cuma merasa kabur ke orang yang salah." Dee menyeringai.
"Yang gak bisa masak lebih baik dari lo maksudnya?"
"Bukan begitu!" Dee tergelak. Senyuman tulus pertamanya hari ini. Senyum itu menular pada Axel, hangat.
"Ya udah, coba dulu aja. Gue udah lama tinggal sendiri---and you don't see any junkfood here, do you? Gue terbiasa masak, tenang aja." Axel berusaha meyakinkan Dee. Nampaknya itu berhasil. Diana bermimik setuju, lalu mencoba supnya terlebih dahulu setelah memanaskan tenggorokan dengan seteguk air putih.
"Enak juga." Senyum Diana melebar, tepat ketika Axel menemui sesapan pertamanya.
"Senang lo suka."
"Nanti pinjam kamar mandinya duluan, ya." Dee berdeham, Axel mengernyit tipis. "Flight-nya jam 9:45. Udah pesen tiket."
"Ada rencana ke mana?"
"Flores."
"Ada kerabat di sana?"
Dee menggeleng. "Just alone. Lagi pula aku cuma mau menenangkan diri aja. Nanti juga pulang lagi."
"Ke Gery, maksudnya?"
Pertanyaan itu dibiarkan tak terjawab. Untuk beberapa saat, yang terdengar dari mereka berdua hanya dentingan sendok garpu, dan bunyi kunyahan biskuit. Axel memutuskan memecah keheningan, mengemukakan pertanyaannya.
"Boleh gue tau gimana semuanya bisa jadi seburuk ini?" Ia segera menambahkan, "I mean, semalam jelas lo nggak baik-baik aja."
"Kenapa kamu merasa berhak untuk tahu soal itu?"
"Karena lo mau pergi. Jadi, seenggaknya kalau Gery ke sini pun---atau something's happen to you, gue tau harus gimana."
Dee bungkam. Alih-alih menjawab, ia melanjutkan makan. Axel masih menunggu. Ia menilai raut wajah Dee, terlihat menyimpan trauma di sana.
"Dee?"
"I turned into someshit, Sel." Sekarang suara itu sudah kembali berat. Selanjutnya, Diana terisak. "Dia psiko."
"Bisa diperjelas?"
"Yakin nggak bakal jijik mendengarnya?"
Kini, giliran Axel yang bungkam. Diam-diam ia menelan saliva, menyangsikan bayangannya akan sosok psikopatlah yang telah membuat Dee menjadi seperti ini. Bayangan bahwa Gery suka kekerasan, dingin, dan berubah menjadi predator kelamin pada Dee memenuhi kepalanya.
"Sebaiknya aku gak menjelaskan itu. I keep it myself."
"Tapi gue tetap harus tau."
Tepat usai kalimat itu terucap, sarapan Dee selesai. Tanpa menjawab, ia beranjak ke kamar.
Axel menahan diri untuk memanggil Dee. Lebih memilih bersikap membiarkan. Mungkin Dee butuh waktu. Ia akan bertanya lagi setelah orang itu siap pergi.
Beranjak, Axel membereskan meja makan, lalu langsung melanjutkan pekerjaan semalam dengan membawa setengah gelas kopi herbal ke sisi laptopnya. Musik dinyalakan. Kardio jarinya di atas keyboard dan mouse dimulai.
Tepat pukul setengah delapan, aktivitas orang mandi itu berhenti. Tak lama kemudian, Dee keluar, menenteng tas selempangnya, koper, dan tas punggungnya bersamaan.
Axel melirik jam, nyaris jam 8.
"Gue antar, ya, Dee?"
"Gak usah, ngerepotin ntar. Mau pesan ojol aja."
Keep refusing.... Axel memutar otak, ia harus mendapat keterangan dari Dee. "Oke, tapi lo harus jawab pertanyaan gue yang tadi."
"Yang tadi?"
"Yang tadi," Axel mengangguk, lalu menghampiri Dee untuk memperjelas urgensi permintaannya, "gue gak bisa izinin lo pergi sebelum lo jujur."
"Aku yakin kamu udah tau cerita lengkapnya dari ekspresiku...."
"What if i don't?" Axel menantang argumen itu kali ini. "Gue nggak mau berprasangka buruk ke Gery, Dee."
"Kalau nyatanya dia memang seburuk itu?"
"Make it clear," Axel mempertahankan raut wajah mengibanya, "please?"
Napas terembus berat. "Kalau kamu mau bilang dia khilaf atau apa pun itu, no ... don't. Nyatanya dia memang senang melukai fisik seseorang. And these past three months ... dia menyerang psikis. Aku gak mau gila, makanya kabur."
"Dan?"
Dee mendengkus. "Dia psiko, Sel! Gak ngerti?"
"Enggak."
"Polos banget, sih." Kembali, Dee mendengkus. Tapi, langkah beranjaknya kali ini ditahan Axel yang menyergap tangannya.
"Did he ... did he make you a slave?"
Tanpa menatapnya, Dee mengangguk.
"Buat dirinya sendiri?"
Kali ini, Dee menggeleng. "Men. Aku bahkan nggak tau anak siapa ini...."
Keterangan itu meruntuhkan seluruh perasaan positif yang sedang coba dibangun Axel pagi ini. Gery-Diana, sejoli anak populer dan pintar di kampus ternyata berakhir seperti ini? Ia tak menyangka.
Axel kalap. Namun, ia tak melepaskan tangan Dee begitu saja. "Dan lo mau pergi dalam keadaan begini? Kenapa gak ke orang tua dulu? Jangan ke Flores."
"They eat everything---semua omongan Gery yang memutarbalikan fakta, mereka percaya. Aku gak mungkin balik ke papa mama."
"Kenapa?"
"Kami serasi, back then. Masa kamu lupa?"
Setelahnya, Axel menggigit bibir. Sungguh, ia tak tega membiarkan Dee pergi sendirian.
"Udah, ya?" Ucapan Dee memecah kebuntuan pikirannya. "Semua udah jelas sekarang. Let me go."
Ya, Axel melepas tangan berlapis jaket itu. Namun, kemudian ia dengan cepat mengemas beberapa barang; laptop, buku catatannya, dan pakaian. Lalu, kunci mobil diambil.
"Ayo. Gue antar."
.
.
......BERSAMBUNG..........
PERWUJUDAN kalimat "Ayo, gue antar." nyatanya tidak semudah itu. Perasaan iba mengkhianati logikanya. Axel akhirnya membeli tiket pula, nekat berangkat menemani Dee yang sudah menyerah mencegahnya untuk ikut.
Di pelabuhan---karena untuk mencapai Flores harus menyeberang dulu dari Bali---kini keduanya tengah menunggu travel hotel menjemput mereka. Seketika Axel merasa beruntung hotel yang dipilih Dee masih menyediakan kamar yang bersebelahan untuk mereka berdua. Syukurlah ia langsung terpikir booking kamar begitu mendarat di Bandara I Gusti Ngurah Rai....
Dari mengamati kanan-kiri dermaga, Axel teralihkan pada Dee yang duduk memeluk kopernya. Angin pantai membelai rambut hitam itu. Raut wajahnya jauh lebih damai daripada semalam dan tadi pagi, saat Axel meminta penjelasan mengenai kelakuan Gery. Jelas Diana rindu diperlakukan manis seperti ini.
Axel tercenung, menyadari bahwa emosinya pada Gery belumlah surut.
"Tuh, udah datang!"
Axel menoleh ke arah pandang Dee. Benar, minibus dari hotel mereka menyongsong di jalanan. Ia bersiap mengangkut tasnya---dan memaksa membawa serta tas punggung dan koper milik Dee.
Mobil berhenti di depan mereka.
"Gue aja." Axel segera menyergah, kemudian dibantu satu kru penjemput mereka, memasukan barang-barang itu ke bagasi.
Dan, mereka melanjutkan perjalanan.
......***......
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Dua kru penjemput di kursi depan menjelaskan suasana sekitar dengan ramah. Logat daerah masih kental, dan entah kenapa terdengar membuai telinga Axel. Rasanya seperti inilah seharusnya jenis wisata yang Indonesia banget.
Sesekali ia menimpali---Dee pun begitu. Mereka mencoba masuk ke dalam penjelasan dua petugas hotel. Yang dibalik kemudi namanya Theo, yang di sisinya dikenalkan sebagai Beny. Keduanya memiliki logat khas Manggarai, Flores; berparas seperti pemuda-pemuda lokal pula.
Baguslah, pariwisata lokal memang seharusnya dikembangkan orang lokal....
"Eh, iya, boleh kami tanya, Bapak-Ibu?" Beny bersuara.
"Silakan." Axel menjawab, sementara Dee membeo, "Ya."
"Anu ... Ibu Dee sakit, ya? Kami lihat sejak tadi pucat mukanya."
Pertanyaan Beny itu dijawab langsung oleh Dee, "Mabok laut aja tadi sebentar. Gak ada yang serius, kok, Ben---Theo."
"Syukurlah kalau begitu." Theo mendengkus. "Tak seru soalnya kalau menikmati Labuan Bajo dalam keadaan sakit. Begitu, ya, Beny?"
"Betul!" Beny tersenyum lebar ketika menoleh kepada Axel dan Dee. "Tapi tenang saja, kalau tidak membaik pun, hotel kami punya dokter khusus! Jadi, semua aman-aman, Bu. Ibu bisa sembuh cepat nanti. Bapak Axel juga jadi ga perlu khawatir lagi toh?"
Sementara Dee terkekeh ramah, sebagian besar diri Axel canggung.
Canggung---seketara itukah? Ia ragu harus bagaimana membalas lirikan mengonfirmasi dari Beny. Alhasil, lelaki itu hanya membeo, "Iya ...."
Kemudian, kendaraan itu menyongsong sebuah kompleks bangunan bertingkat. Mereka tiba di hotel---masuk ke parkiran.
"Biar kami saja yang bawakan barangnya ke kamar." Theo memberitahu.
"Iya. Nanti sekalian diantarkan dengan room service untuk makan siang."
"Ah, oke ...." Axel mengangguk, bersamaan dengan mobil yang berhenti. "Eh, tapi bisa request mau makan siang di mana, kan?"
Beny mengangguk kuat-kuat. "Asal masih di hotel, silakan, Bapak."
"Di mana yang bagus?" Dee ikut bertanya.
"Kolam renang?" Theo mengusul, membiarkan Beny membuka bagasi lebih dulu. "Biar sekalian mandi. Itu view-nya menghadap pantai juga, jadi mantaplah pokoknya!"
Untuk sesaat, Axel dan Dee berpandangan. Kemudian, mereka kompak menyetujui usul itu.
......*......
Mereka memang memilih kolam renang, tapi tidak ada yang berminat menceburkan diri ke air. Terlihat dari ekspresi masing-masing. Yang satu terpikirkan naskah, yang lainnya menikmati suasana damai hotel ini di hari kerja.
Axel dan Dee duduk bersisian di *s*un lounger masing-masing. Lelaki itu mulai membuka laptopnya. Bersyukur juga baterai gawai itu terisi penuh.
"Dee ...."
Dari posisi terlentangnya, Diana memiring supaya bisa balas memandang Axel. "Hm?"
"Happy?" Ketika Axel bertanya demikian, mereka bersitatap.
"Kalau itu bermaksud sarkas karena aku sudah berhasil memaksa kamu kerja di sini, no, i'm not happy at all."
Tampang Axel melurus, menyadari Dee salah menangkap maksudnya. "Yah, bukan gitu maksudnya. Gue tanya serius, lho."
"Aku juga jawabnya serius." Dee menyambar ucapan itu. "Kamu melakukan ini semua bukan karena kalimat konyolku semalam, kan?"
Yang "I miss you"? Axel mengernyit tipis, tapi menahan mulutnya untuk menimpali ucapan itu dengan kalimat bernada aneh yang akan memicu perasaan tidak bagus di antara mereka. Tujuannya ikut kemari untuk menjaga Dee, bukan untuk semakin menyakitinya.
Sampai pramusaji hotel mengantarkan makan siang, pertanyaan itu belum terjawab. Ketika si pelayan pergi, barulah pembicaraan itu dilanjutkan:
"Bukan," Axel menjawab, dengan kalimat yang semoga bisa menenangkan Dee, "first, gue emang udah lama gak pergi jauh begini. Kedua, rezekinya memang lagi ada. Ketiga, sebelum lo dateng pun memang lagi kesel sama penulis yang seenaknya dewek. Jadi, gue memang butuh suasana baru, dan kebetulan lo pilih tempat kabur yang bagus. Kenapa gak sekalian aja bareng?"
Dee memang telah kembali bersandar, menghadapkan tubuhnya pada matahari. Namun, Axel tahu perempuan itu menyimak penjelasannya. "I have nothing to lose dengan ikut ke sini, Dee."
Balasannya, Dee mengatupkan tangan ke muka. Mimik wajahnya frustrasi. "Ternyata sesukses itu kamu sekarang--sampai ada yang mendadak pergi ke Labuan Bajo, langsung kamu temenin."
"Gak ada yang bilang kalo gue harus bayarin lo juga, kan? So, relax ... santai aja kita di sini."
"Gimana kalau Gery cari kamu?"
"Tinggal jawab."
"Kamu akan dalam masalah."
Melirik Dee sejenak, Axel menyeringai. "Emang gue peduli?"
Tawa Diana meledak. "Heh!" Dalam senyumnya yang kembali lebar, ia memandang Axel dengan sangsi. "Aku jadi nggak yakin kamu pernah baca defenisi psikopat di KBBI."
Axel tersenyum saja. Diam-diam, ia jadi semakin memahami tujuan dirinya di sini selain bekerja. Membuat Dee tersenyum dan tertawa adalah pekerjaan sampingannya sekarang. Setidaknya, kalau perempuan itu harus bertemu Gery kembali, jiwanya akan lebih kuat.
Kalau tidak?
Axel mengerjap, menghentikan revisinya pada satu kalimat sumbang di akhir paragraf. Ia mencoba mengenyahkan pikiran untuk merebut Diana dari Gery.
Kalau tidak, berarti orang tua Dee berhak tahu keadaan rumah tangga anak semata wayang mereka. Mereka berhak tahu bahwa Gery jahat. Mereka berhak tahu semua luka yang Diana sembunyikan selama ini. Dee berhak menggapai mimpi-mimpinya yang tertunda.
"Sel," panggil Diana tiba-tiba.
Axel menjeda ketikannya lagi. "Kenapa?"
"Ternyata mereka bener. Kamu itu bocah gemblung, tau nggak?"
"Thank you."
Dee tertawa lagi. "Dikatain gemblung malah terima."
"Dari dulu kan memang gue gemblung." Axel menoleh lagi. "Biarin aja, sih, gemblung begini juga banyak yang suka!"
"Iya, kertas."
Axel menjentikan jemarinya. "Betul."
Kembali, Dee tertawa. Walau tawa itu surut dengan cepat, senyuman lebar masih membekas di bibir Dee. "Seandainya, ya ...." Ia menoleh pada Axel, "seandainya Gery tiba-tiba telepon atau ketemu kita di sini, kamu mau apa?"
"Pura-pura gak tau lo ada di sini juga." Axel menjawab santai. "Ngapain bikin susah sesuatu yang mudah?"
"Dia gampang mencium kebohongan, Sel...."
Axel melengos, mempertahankan wajah jengahnya terhadap argumen Dee yang meragukan niat keberadaannya di sini. "Gue juga gampang ngarang cerita."
"Why'd you always being positive?"
"Karena itulah yang dibutuhkan orang pesimis, Dee."
Giliran Dee yang melengos. "Jadi maksud kamu, aku orang yang pesimis?"
"Yep." Sebelum Dee dapat mendebatnya lagi, Axel segera menambahi ucapannya, "Pokoknya tenang aja. Lo aman, gue aman. Seandainya nanti Gery bersikap impulsif, tinggal usir aja dia dari sini. We're safe here. Kita kan bayar juga."
"Kamu kira dia enggak? Ingat soal kebiasaan Gery memutarbalikan fakta, kan?"
"Ingat," Axel mengangguk cepat, "kalau begitu dia berhadapan dengan orang yang tepat."
.......
.......
...BERSAMBUNG .......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!