PERWUJUDAN kalimat "Ayo, gue antar." nyatanya tidak semudah itu. Perasaan iba mengkhianati logikanya. Axel akhirnya membeli tiket pula, nekat berangkat menemani Dee yang sudah menyerah mencegahnya untuk ikut.
Di pelabuhan---karena untuk mencapai Flores harus menyeberang dulu dari Bali---kini keduanya tengah menunggu travel hotel menjemput mereka. Seketika Axel merasa beruntung hotel yang dipilih Dee masih menyediakan kamar yang bersebelahan untuk mereka berdua. Syukurlah ia langsung terpikir booking kamar begitu mendarat di Bandara I Gusti Ngurah Rai....
Dari mengamati kanan-kiri dermaga, Axel teralihkan pada Dee yang duduk memeluk kopernya. Angin pantai membelai rambut hitam itu. Raut wajahnya jauh lebih damai daripada semalam dan tadi pagi, saat Axel meminta penjelasan mengenai kelakuan Gery. Jelas Diana rindu diperlakukan manis seperti ini.
Axel tercenung, menyadari bahwa emosinya pada Gery belumlah surut.
"Tuh, udah datang!"
Axel menoleh ke arah pandang Dee. Benar, minibus dari hotel mereka menyongsong di jalanan. Ia bersiap mengangkut tasnya---dan memaksa membawa serta tas punggung dan koper milik Dee.
Mobil berhenti di depan mereka.
"Gue aja." Axel segera menyergah, kemudian dibantu satu kru penjemput mereka, memasukan barang-barang itu ke bagasi.
Dan, mereka melanjutkan perjalanan.
......***......
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Dua kru penjemput di kursi depan menjelaskan suasana sekitar dengan ramah. Logat daerah masih kental, dan entah kenapa terdengar membuai telinga Axel. Rasanya seperti inilah seharusnya jenis wisata yang Indonesia banget.
Sesekali ia menimpali---Dee pun begitu. Mereka mencoba masuk ke dalam penjelasan dua petugas hotel. Yang dibalik kemudi namanya Theo, yang di sisinya dikenalkan sebagai Beny. Keduanya memiliki logat khas Manggarai, Flores; berparas seperti pemuda-pemuda lokal pula.
Baguslah, pariwisata lokal memang seharusnya dikembangkan orang lokal....
"Eh, iya, boleh kami tanya, Bapak-Ibu?" Beny bersuara.
"Silakan." Axel menjawab, sementara Dee membeo, "Ya."
"Anu ... Ibu Dee sakit, ya? Kami lihat sejak tadi pucat mukanya."
Pertanyaan Beny itu dijawab langsung oleh Dee, "Mabok laut aja tadi sebentar. Gak ada yang serius, kok, Ben---Theo."
"Syukurlah kalau begitu." Theo mendengkus. "Tak seru soalnya kalau menikmati Labuan Bajo dalam keadaan sakit. Begitu, ya, Beny?"
"Betul!" Beny tersenyum lebar ketika menoleh kepada Axel dan Dee. "Tapi tenang saja, kalau tidak membaik pun, hotel kami punya dokter khusus! Jadi, semua aman-aman, Bu. Ibu bisa sembuh cepat nanti. Bapak Axel juga jadi ga perlu khawatir lagi toh?"
Sementara Dee terkekeh ramah, sebagian besar diri Axel canggung.
Canggung---seketara itukah? Ia ragu harus bagaimana membalas lirikan mengonfirmasi dari Beny. Alhasil, lelaki itu hanya membeo, "Iya ...."
Kemudian, kendaraan itu menyongsong sebuah kompleks bangunan bertingkat. Mereka tiba di hotel---masuk ke parkiran.
"Biar kami saja yang bawakan barangnya ke kamar." Theo memberitahu.
"Iya. Nanti sekalian diantarkan dengan room service untuk makan siang."
"Ah, oke ...." Axel mengangguk, bersamaan dengan mobil yang berhenti. "Eh, tapi bisa request mau makan siang di mana, kan?"
Beny mengangguk kuat-kuat. "Asal masih di hotel, silakan, Bapak."
"Di mana yang bagus?" Dee ikut bertanya.
"Kolam renang?" Theo mengusul, membiarkan Beny membuka bagasi lebih dulu. "Biar sekalian mandi. Itu view-nya menghadap pantai juga, jadi mantaplah pokoknya!"
Untuk sesaat, Axel dan Dee berpandangan. Kemudian, mereka kompak menyetujui usul itu.
......*......
Mereka memang memilih kolam renang, tapi tidak ada yang berminat menceburkan diri ke air. Terlihat dari ekspresi masing-masing. Yang satu terpikirkan naskah, yang lainnya menikmati suasana damai hotel ini di hari kerja.
Axel dan Dee duduk bersisian di *s*un lounger masing-masing. Lelaki itu mulai membuka laptopnya. Bersyukur juga baterai gawai itu terisi penuh.
"Dee ...."
Dari posisi terlentangnya, Diana memiring supaya bisa balas memandang Axel. "Hm?"
"Happy?" Ketika Axel bertanya demikian, mereka bersitatap.
"Kalau itu bermaksud sarkas karena aku sudah berhasil memaksa kamu kerja di sini, no, i'm not happy at all."
Tampang Axel melurus, menyadari Dee salah menangkap maksudnya. "Yah, bukan gitu maksudnya. Gue tanya serius, lho."
"Aku juga jawabnya serius." Dee menyambar ucapan itu. "Kamu melakukan ini semua bukan karena kalimat konyolku semalam, kan?"
Yang "I miss you"? Axel mengernyit tipis, tapi menahan mulutnya untuk menimpali ucapan itu dengan kalimat bernada aneh yang akan memicu perasaan tidak bagus di antara mereka. Tujuannya ikut kemari untuk menjaga Dee, bukan untuk semakin menyakitinya.
Sampai pramusaji hotel mengantarkan makan siang, pertanyaan itu belum terjawab. Ketika si pelayan pergi, barulah pembicaraan itu dilanjutkan:
"Bukan," Axel menjawab, dengan kalimat yang semoga bisa menenangkan Dee, "first, gue emang udah lama gak pergi jauh begini. Kedua, rezekinya memang lagi ada. Ketiga, sebelum lo dateng pun memang lagi kesel sama penulis yang seenaknya dewek. Jadi, gue memang butuh suasana baru, dan kebetulan lo pilih tempat kabur yang bagus. Kenapa gak sekalian aja bareng?"
Dee memang telah kembali bersandar, menghadapkan tubuhnya pada matahari. Namun, Axel tahu perempuan itu menyimak penjelasannya. "I have nothing to lose dengan ikut ke sini, Dee."
Balasannya, Dee mengatupkan tangan ke muka. Mimik wajahnya frustrasi. "Ternyata sesukses itu kamu sekarang--sampai ada yang mendadak pergi ke Labuan Bajo, langsung kamu temenin."
"Gak ada yang bilang kalo gue harus bayarin lo juga, kan? So, relax ... santai aja kita di sini."
"Gimana kalau Gery cari kamu?"
"Tinggal jawab."
"Kamu akan dalam masalah."
Melirik Dee sejenak, Axel menyeringai. "Emang gue peduli?"
Tawa Diana meledak. "Heh!" Dalam senyumnya yang kembali lebar, ia memandang Axel dengan sangsi. "Aku jadi nggak yakin kamu pernah baca defenisi psikopat di KBBI."
Axel tersenyum saja. Diam-diam, ia jadi semakin memahami tujuan dirinya di sini selain bekerja. Membuat Dee tersenyum dan tertawa adalah pekerjaan sampingannya sekarang. Setidaknya, kalau perempuan itu harus bertemu Gery kembali, jiwanya akan lebih kuat.
Kalau tidak?
Axel mengerjap, menghentikan revisinya pada satu kalimat sumbang di akhir paragraf. Ia mencoba mengenyahkan pikiran untuk merebut Diana dari Gery.
Kalau tidak, berarti orang tua Dee berhak tahu keadaan rumah tangga anak semata wayang mereka. Mereka berhak tahu bahwa Gery jahat. Mereka berhak tahu semua luka yang Diana sembunyikan selama ini. Dee berhak menggapai mimpi-mimpinya yang tertunda.
"Sel," panggil Diana tiba-tiba.
Axel menjeda ketikannya lagi. "Kenapa?"
"Ternyata mereka bener. Kamu itu bocah gemblung, tau nggak?"
"Thank you."
Dee tertawa lagi. "Dikatain gemblung malah terima."
"Dari dulu kan memang gue gemblung." Axel menoleh lagi. "Biarin aja, sih, gemblung begini juga banyak yang suka!"
"Iya, kertas."
Axel menjentikan jemarinya. "Betul."
Kembali, Dee tertawa. Walau tawa itu surut dengan cepat, senyuman lebar masih membekas di bibir Dee. "Seandainya, ya ...." Ia menoleh pada Axel, "seandainya Gery tiba-tiba telepon atau ketemu kita di sini, kamu mau apa?"
"Pura-pura gak tau lo ada di sini juga." Axel menjawab santai. "Ngapain bikin susah sesuatu yang mudah?"
"Dia gampang mencium kebohongan, Sel...."
Axel melengos, mempertahankan wajah jengahnya terhadap argumen Dee yang meragukan niat keberadaannya di sini. "Gue juga gampang ngarang cerita."
"Why'd you always being positive?"
"Karena itulah yang dibutuhkan orang pesimis, Dee."
Giliran Dee yang melengos. "Jadi maksud kamu, aku orang yang pesimis?"
"Yep." Sebelum Dee dapat mendebatnya lagi, Axel segera menambahi ucapannya, "Pokoknya tenang aja. Lo aman, gue aman. Seandainya nanti Gery bersikap impulsif, tinggal usir aja dia dari sini. We're safe here. Kita kan bayar juga."
"Kamu kira dia enggak? Ingat soal kebiasaan Gery memutarbalikan fakta, kan?"
"Ingat," Axel mengangguk cepat, "kalau begitu dia berhadapan dengan orang yang tepat."
.......
.......
...BERSAMBUNG .......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments