Chika menuruni anak tangga dengan malas. Di belakangnya ada Alfan yang memastikan Chika berjalan ke dapur. Setelah tiba di dapur, Chika menoleh pada Alfan. "Mulai dari mana?" tanyanya dengan malas.
Alfan menahan tawa melihat Chika sekarang ini. "Ambil beras, terus cuci berasnya. Masaknya satu liter aja."
Chika menaikan satu alisnya. "Mana gue tau satu liter segimana."
Alfan menarik tangan Chika menuju tempat beras di letakan. "Kamu lihat mug itu? Nah dua mug itu berarti satu liter," kata Alfan sambil menunjukkan mug stainless.
"Jadi setiap beras itu diukur sama mug?" tanya Chika.
Alfan menarik nafas panjang. "Ya tergantung orangnya lah, dan tergantung seberapa besar ukurannya. Ada yang ngukur pakai kaleng susu, dan lain-lain."
"Kok lo tau sih?" tanya Chika.
"Karena aku sering lihatin mamahku masak," jawab Alfan. "Udah buruan cuci berasnya."
Chika menurut. Ia mengambil baskom kecil, lalu mengambil beras sesuai takaran yang diperintahkan oleh Alfan. Setelah itu ia berjalan ke wastafel dan mulai mencuci berasnya. Setelah beras bersih, Alfan memberikan arahan agar Chika memasukkan beras tersebut ke dalam rice cooker.
"Kasih air sampai batas satu buku. Buku yang paling ujung," kata Alfan memberikan arahan selanjutnya.
"Apa? Buku? Memangnya bisa? Yang ada basah bukunya." Chika tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh Alfan.
Alfan mengusap wajahnya kasar. "Chikkkka, buku jari, bukan buku bacaan," geram Alfan sambil menunjukkan persendian di setiap jarinya.
"Owh, memangnya apa pengaruhnya air harus diukur?" tanya Chika lagi.
Alfan sudah mulai kesal. Ia sampai menjambak rambutnya sendiri. "Ya ampun, seumur hidupmu gak pernah masak ya?" tanya Alfan kesal. "Kalau airnya kurang dari satu buku jari ini, nanti nasinya keras, tapi kalau pas satu buku ini, nanti nasinya sedang, pas untuk dimakan."
Chika mendengus kesal. "Ribet amat sih," gerutunya.
"Gak akan ribet kalau kamu bisa masak" Alfan merapikan rambutnya kembali. "Sekarang terusin," perintah Alfan.
Tidak ingin terus berbicara, akhirnya Chika hanya bisa menuruti semua perintah Alfan.
Setengah jam kemudian, Chika sudah selesai masak dengan bantuan Alfan yang terus memberikan arahan. Kini nasi hangat sudah matang.
"Terus lauknya?" tanya Chika.
Alfan yang sedang membersihkan bekas masak Chika hanya menoleh sekilas. "Aku udah pesen. Aku tau kamu gak mungkin bisa masak sayur. Jadi untuk sekarang cukup belajar masak nasi dulu."
"Hufft, baguslah. Sekarang gue bisa santai-santai." Chika berjalan menuju sofa ruang tengah.
Setelah selesai membersihkan meja dapur, Alfan ikut bergabung dengan Chika di ruang tengah. Ia mengambil remote AC lalu menyalakan pendingin ruangan itu.
"Besok aku ada rapat pagi-pagi, aku gak bisa nganter kamu ke kampus. Aku udah memperkerjakan sopir pribadi. Mulai besok dia yang bertugas untuk nganter jemput kamu ke kampus. Dan kalau aku masib di kantor, dia juga yang bakal nganter kamu kalau ada urusan."
Chika menoleh pada Alfan. "Gue bisa berangkat bareng Rio dan pulang dianter dia. Lo gak usah buang-buang duit cuma untuk bayar sopir."
"Memperkerjakan satu orang, berarti aku udah bantu pemerintah untuk ngurangin pengangguran. Jadi apa salahnya?"
Alfan merasa lelah. Ia tidak ingin berdebat dengan Chika. Lagi pula, cara untuk membuat Chika tidak membantah adalah dengan berhenti bicara dengannya. Akhirnya Alfan memutuskan untuk naik ke kamar.
Chika melihat kepergian Alfan dengan senyum misterius. Setelah Alfan menghilang dari pandangan, ia langsung berdiri dan mengeluarkan ponselnya.
Ia menghubungi seseorang. "Halo ... lo udah ada di sana, kan? ... ok, gue langsung ke sana." Setelah menutup telepon, dengan cepat Chika berlari ke belakang rumah.
Alfan menarik nafas panjang lalu merebahkan diri ke atas ranjang. Hari ini ia baru mengajari Chika cara memasak nasi, lain kali ia akan mengajari Chika cara memasak sayur.
Baru saja akan memejamkan mata, samar-samar Alfan mendengar keributan dari belakang rumah. Dengan segara ia bangkit dan melihat keadaan lewat balkon kamar yang mengarah ke luar.
Begitu keluar kamar, Alfan membulatkan matanya. "Chika!"
Alfan berbalik dan berlari cepat menuju taman belakang. Begitu sampai di pintu belakang, ia melihat dua penjaga yang bertubuh tegap sedang uring-uringan memegang 'sesuatunya'. Alfan mengalihkan pandangan ke gerbang belakang. "Chika! Berhenti!" teriak Alfan memanggil Chika yang kini sudah berlari menjauh.
Tanpa pikir panjang lagi, Alfan berlari ke garasi yang ada di belakang rumahnya. Ia membuka garasi itu dan masuk ke dalamnya.
Chika berlari sekencang mungkin. Ia ingin sekali cepat sampai di tempat di mana Rio telah menunggunya. Samar-samar Chika mendengar suara derung motor. Begitu melihat ke belakang, ia berhenti berlari dan melongo kaget. Bagaimana tidak, Alfan sedang mengendarai motor besar dengan gagahnya.
Tak butuh waktu satu menit, Alfan sudah berhenti tepat di depan Chika. Ia turun dari motor dan menghampiri istrinya.
"Mau ke mana kamu?" tanya Alfan. Ekspresinya tidak bersahabat. Sepertinya ia sedang sangat kesal.
Alfan terus maju sedangkan Chka terus mundur. Mata Alfan tidak pernah lepas dari menatap Chika.
"Gu-gu-gue mau ... kabur."
Saat Chika akan berlari, Alfan sudah menangkapnya lebih dulu. Tentu saja Chika berontak dengan sekuat tenaga. "Lepassin gue! Nanti ada yang lihat."
"Gak akan." Alfan juga ingin sama keras kepalanya dengan Chika.
"Rio! Tolongin gue!" teriak Chika ketika terdengar suara derung motor lain. Benar saja, itu adalah suara dari motor Rio. Rio berhenti di depan motor Alfan.
Saat Alfan sedang lengah melihat kedatangan Rio, Chika menginjak kaki Alfan dengan sangat kuat. Tidak lupa ia menendang 'sesuatunya' Alfan dengan dengkulnya. Tentu saja Alfan terhuyung ke belakang sambil meringis dan membungkuk kesakitan.
Chika berlari pada Rio lalu naik ke atas motornya. Rio langsung tancap gas meninggalkan Alfan yang uring-uringan dan mengaduh kesakitan.
"Chikka!!" Alfan berteriak untuk terakhir kalinya ketika Chika dan Rio hilang dari pandangan.
* * * *
Rio dan Chika berhenti di depan motor yang berjajar rapi. Banyak muda-mudi yang sedang duduk menunggu. Di antara mereka, ada yang lebih senang lagi begitu melihat kedatangan Chika, orang itu adalah Vino.
Chika turun dari motor dan disusul oleh Rio. Chika menyalami seluruh temannya, dan yang terakhir adalah Vino.
"Wah.. pengantin baru mau ikut balapan lagi nih ye." Vino tertawa kecil.
"Hahaha, iyalah. Gue udah kangen banget sama balapan." Chika juga tertawa kecil.
"Bentar lagi gelap. Kita mulai balapannya jam 7.00 aja lah," kata salah satu dari teman Chika.
Chika mengerutkan keningnya. "Lah kenapa? Kok berubah jadwal? Gak seru dong."
Rio menepuk bahu Chika dari belakang hingga membuat Chika menoleh padanya. "Lo nyadar gak? Di antara kita ada yang kurang?" tanya Rio.
Chika memeriksa satu-persatu orang yang ada di sana. "Loh, Mila sama Jozo mana?" tanya Chika.
"Akhir-akhir ini, banyak polisi yang patroli di jam 10 malem. Itu mereka lakuin karena dapat laporan dari warga kalau sering ada balap motor di jalan sini, di jam segitu. Nah, si Mila sama Jozo ketangkep, mereka gak berhasil kabur. Jadi sekarang kita ubah jadwal," jawab Rio.
"Owh..ya gak apa-apalah. Yang penting kita masih bisa balapan." Chika beralih lagi pada Vino. "lo mau taruhan berapa juta sama temen-temen gue?" tanya Chika.
"75 juta,"jawab Vino.
"Bukan sama yang aneh-aneh, kan?" tanya Chika memastikan.
"Kalau iya, kenapa? Bukannya lo udah bekas suami lo?"
Chika memalingkan wajah dengan kesal. "Lo mikirnya begitu ya? Gue belum ngapa-ngapain sama dia."
"Kalau gitu baguslah." Vino menyeringai lebar.
"Ayo kita makan dulu, sambil nunggu jam tujuh," kata Rio sambil merangkul bahu Chika.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
🌻Miss Kalem🌻
smngt up Thor.. salam hangat dari ADA APA DENGAN JODOHKU
2021-02-03
1
Susi Ana
jempol hadir, mampir ya
2021-02-02
1
Shakira Keyyila Zahra
udh dong cika jg balapan trs,bahaya tau.lanjut
2021-02-02
1