Kintan duduk dengan gelisah di tepi ranjang tidurnya. Kepalanya tertunduk, jantungnya berdebar tak karuan. Balutan piyama masih melekat di tubuhnya, menjadi bukti bahwa ia belum membersihkan diri saat ini.
Sementara itu, sudah sepuluh menit lamanya Aksara berjalan mondar-mandir di depan sang istri. Ada hal yang mengganggunya sejak insiden malam pertama.
“Ada yang aneh,” ucap Aksara sembari menghentikan gerak kaki. Kemudian, ia menghadap Kintan dan memberikan tatapan tajam. “Kamu tahu apa yang aneh itu, Kintan?” tanyanya pada wanita itu.
Kintan menelan saliva, matanya mengerjab cepat. Lalu, dengan ragu ia menggelengkan kepala. “Enggak, Mas,” jawabnya lirih.
“Bohong! Kamu pasti tahu.” Mata Aksara memicing. “Kintan, kamu menipuku ya?”
Kintan menggigit bibir bagian dalam sembari memejamkan mata. Ketika Aksara semakin menekannya dengan tatapan, detik itu juga napasnya sulit untuk diembuskan. Ibarat senjata makan tuan, atau lebih tepatnya ia dijebak kebohongannya sendiri.
Terdengar helaan napas yang diambil oleh Aksara. Saat Kintan mulai memberanikan diri membuka mata, Aksara tampak berkacak pinggang dan sesekali menggelengkan kepala. Bukan tanpa sebab, lantaran Kintan begitu lihai dalam memerankan akting penipu. Aksara tidak habis pikir saja, bagaimana bisa wanita itu berbuat demikian dengan tidak tahu malu.
“Kenapa kamu menipuku, Kintan?” tanya Aksara kemudian duduk di samping wanita itu.
“I-itu, karena kamu sering bilang cerai. Ta-tadinya cuma buat iseng, tapi kamu percaya. Ya sudah ...,” jawab Kintan.
“Ya sudah apa?”
“Ya, buat senjata-lah! Biar kamu nggak bilang cerai lagi.”
“Kamu memang kancil kecil yang licik.”
“Kancil?” Kintan menatap wajah Aksara dengan perasaan tidak terima. “Enggak ada kancil yang secantik aku, Mas!”
“Ada! Dan itu kamu sendiri.”
Kintan mendengkus, bahkan hampir memukul bahu suaminya itu. Beruntung, ia masih bisa menahan niat demi usainya pertengkaran yang tengah terjadi. Kemudian, ia memilih memalingkan wajah juga tubuhnya. Jangan sampai, Aksara menghinanya lagi. Harga dirinya terlalu tinggi untuk direndahkan.
Dari belakang punggung sang istri, Aksara masih menatap tidak menyangka. Pasalnya, Kintan tidak hanya licik, melainkan nakal dan keras kepala. Namun, satu hal yang membuatnya kagum adalah cara wanita itu menjaga harga dirinya. Padahal, status anak orang kaya melekat pada diri Kintan. Yang mana, biasanya atau sebagian besar dari kalangan mereka memiliki gaya hidup tinggi, pergaulan bebas, gemar berpesta-pora.
Sementara Kintan masih bisa mempertahankan yang namanya kehormatan. Padahal, jelas-jelas ia sangat mencintai mantan kekasihnya. Selain itu, wanita itu mampu beradaptasi di hidupnya saat ini.
Perlahan, Kintan menoleh ke belakang. “A-apa kamu mau—”
“Aku nggak nyangka kamu sepintar ini dalam merencanakan sesuatu, Kintan. Menjebakku di malam itu, mengaku kalau aku berbuat aneh-aneh sama kamu. Di momen yang tepat kamu menyetujui perceraian dan pasti sudah memprediksi apa responku. Kamu tahu aku takut kamu hamil, 'kan? Dan tentu saja aku nggak akan melepasmu," potong Aksara.
Kintan menggeleng cepat. “Enggak begitu, Mas! Bahkan, aku nggak nyangka kamu bakal mm ... i-itu, tadi malam ....”
“Ck, ya sudah, toh, aku nggak berniat menceraikanmu lagi.”
“Tapi, kenapa tiba-tiba berubah begitu? Kamu takut aku mendapatkan pria tampan, mapan, dan tentu saja baik hati? Nggak kayak kamu.”
Tatapan tajam kembali Aksara berikan pada Kintan. Membuat Kintan harus menelan saliva. Bibirnya memang sulit diatur, ia selalu berkata seperti apa yang ada di dalam pikirannya. Apalagi jika ditambahi perasaan tak suka sekaligus penasaran yang tinggi, ucapannya meluncur tanpa bisa dikendalikan lagi.
Aksara menghela napas dalam-dalam, berusaha menahan dirinya agar tidak berkata kasar. Andai saja tidak berada di situasi semacam sekarang, kata 'cerai' pasti akan ia layangkan lagi. Wanita itu selalu sukses membuat darahnya mendidih. Namun pada akhirnya, Aksara tetap tidak mampu memberikan balasan apa pun.
Kintan terlalu sempurna. Ia cantik, kaya, pintar, bahkan menguasai hal-hal baru secara cepat. Kalau dipikir-pikir, serangan yang Aksara berikan memang selalu berkaitan dengan kata pisah.
“Begini,” ucap Aksara memulai pembicaraannya lagi. “Aku sebenarnya nggak membenci kamu, Kintan. Aku sengaja melakukan hal-hal kasar, supaya kamu nggak betah,” ungkapnya.
“Ck, aku nggak selemah yang kamu pikirkan, Mas. Pada akhirnya aku tetap bertahan,” sahut Kintan.
Aksara mendongak. “Ya, aku tahu. Pada akhirnya aku yang menyerah. Padahal kalau kamu setuju, sejak dulu kamu bisa mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Kamu kaya dan pintar, rasanya aku nggak selevel denganmu.”
“Kamu minder atau memang kasihan sama aku?”
“Kasihan dan ... minder.”
“Tapi, kenapa saat aku setuju kamu malah menahanku?”
Aksara menjitak dahi Kintan, sampai membuat wanita itu kesakitan.
“Itu karena tipuanmu soal malam itu. Aku takut kalau kamu hamil. Dan tadi malam aku sudah ....” Aksara menelan saliva. “Kali ini ada kemungkinan kamu bisa mengandung. Meskipun nggak ada rasa suka, hal seperti ini akan terjadi. Aku tetap seorang pria, makanya aku nggak pernah ke kamar kamu. Tapi, kamu malah ...,” katanya malu-malu.
“Lagian malam itu aku cuma mau iseng doang, kok! Eh kamunya malah dapat mimpi buruk. Sudah membuka mata, malah halu mengganggap kalau aku Nila dan main nyosor saja! Enggak semua yang aku bilang itu bohong, Mas!”
“Ny-nyosor?”
Kintan mengangguk, berdecak, kemudian membelakangi suaminya lagi. Ia masih menggerutu karena sikap Aksara yang terus menumpahkan segala kesalahan padanya. Lagipula, seharusnya Aksara berterima kasih. Kalau bukan karena kebohongannya, tadi malam tidak akan ada yang terjadi. Setidaknya, Aksara mendapatkan sesuatu yang berharga darinya. Sebuah kehormatan yang Kintan jaga sampai di usia hampir 29 tahun.
Perlahan, mentari pun mulai menyingsing di langit timur. Cahayanya berpendar dan menyelinap memasuki kamar di mana sepasang suami istri itu berada. Namun hawa dingin masih terasa di bahu Kintan, membuatnya berangsur memeluk tubuhnya sendiri.
“Mandi air hangat, urus Gibran, kemudian kita daftarkan pernikahan,” celetuk Aksara.
Kintan memutar badan lagi. “Kamu ...?”
“Ya. Aku memang nggak berniat bercerai lagi, jadi kita segera resmikan saja pernikahan ini.”
“Tapi, Mas? Apa kamu sanggup hidup bersamaku tanpa cinta seperti ini?”
“Setidaknya kita impas. Aku masih mencintai Nila, dan kamu pada mantan kamu itu.”
“Maaf, David masih bisa aku temui kapan saja dan tentu itu akan membuat aku sulit melupakannya.”
“Makanya, jangan pernah bertemu!” Aksara menunduk. “Aku ... akan belajar menerima kamu.”
“Menerimaku atau menyukaiku? Ngomong yang jelas!”
“Mencintaimu!”
Mendengar sahutan tegas dan keras itu, mata Kintan reflek membelalak. Napasnya tersendat di tenggorokan. Kemudian, rona merah jambu perlahan menghiasi sekujur wajahnya yang ayu. Pria itu terlalu jujur. Entah dengan alasan kesal atau memang benar, yang pasti sukses membuat Kintan salah tingkah dan nyaris berdebar-debar.
Sementara Aksara hanya berdecak melihat ekspresi imut istrinya. Ia menggelengkan kepala lagi. Dan sekian detik kemudian, ia berdiri. Aksara mengambil langkah pergi dari kamar itu, meninggalkan Kintan agar segera membersihkan diri.
Selepas Aksara menutup pintu kamar, Kintan bergumam, “Harusnya kamu kayak Mas Aldebaran yang jaim akut, Aksara. Jangan malah terlalu jujur begitu, aku 'kan jadi malu. Uh ....”
Kintan bergeleng cepat dan sampai beberapa kali. Ia tidak mau terpengaruh apalagi goyah akan sikap Aksara barusan, lantaran bisa jadi hanya iseng untuk membalas perbuatannya perihal malam itu. Setelah itu, Kintan menghela napas dalam. Pasca ketenangan sudah didapatkan, ia beranjak—berencana membersihkan diri sekaligus bertugas sebagai ibu dan istri.
***
Jangan lupa jempolnya ಠ_ಠ
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Yulia Citra Abdullah
penggemar ikatan cinta yah thor😂
2021-06-04
0
Novita Nathan
kontan korban ikatan cinta nich... keseringan nonton mas Aldebaran....
2021-03-05
0
🌸つみれ🌸
kintan kebanyakan nonton sinetron ikatan cinta nih sampai nge-fans Mas Aldebaran 🤭🤭🤭
2021-02-01
2