Wanita bergaya elegan tetapi agak cuek itu, tengah berjalan menuju pintu utama dari gedung perusahaan ayahnya sendiri. Adalah Kintan Kinanti yang mana rela bekerja dari bawah, dalam artian sebagai karyawan ayahnya sendiri, hanya demi meniti karir dengan usahanya sendiri. Meski sebenarnya ia tidak berniat bekerja di sana, tetapi apa daya ketika sang ayah telah meminta belajar mengatasi perusahaan, di saat sakit kala itu. Permintaan sang ayah pada akhirnya membuat Kintan terpaksa manut.
Sabtu ini, Kintan telah mengambil izin untuk pulang lebih cepat. Bukan tanpa sebab, ia hendak menghadiri undangan reuni yang diberikan salah satu teman seangkatan tiga hari yang lalu. Dengan menggunakan mobil dengan merek standar, Kintan akan menuju kediaman sahabatnya terlebih dahulu. Nila—sahabatny—memintanya untuk menjemput ketika dirinya akan berangkat.
Senandung merdu Kintan gumamkan melalui bibir tipis yang terpulas liptint cherry. Sementara kedua tangannya tampak sibuk mengendalikan setir untuk melajukan mobilnya dengan kecepatan lebihteratur. Wajah Kintan yang tampak ceria, meskipun ia kerap menunjukkan kejutekannya. Pasalnya, sebentar lagi ia akan bertemu para teman yang berjuang bersamanya di kala masih menempuh pendidikan di bangku kuliah. Hanya saja ... ia perlu mempersiapkan hati jika nanti muncul pertanyaan perihal pernikahan, sebab Kintan masih saja belum punya pasangan.
“Menikah? Kenapa orang-orang selalu begitu tega tanya kapan aku bakal nikah? Seharusnya mereka simpan pertanyaan itu dalam hati mereka saja, 'kan?”
Kintan menghela napas. Apa yang ia inginkan selalu tidak sama dengan pemikiran orang. Tentu saja sebagai seorang wanita yang juga manusia berhati, Kintan masih kerap tersinggung dengan setiap kalimat tanya itu. Bahkan, ada yang bilang; apa gunanya jadi anak orang kaya kalau tidak laku? Kintan mendesis, kemudian menggelengkan kepala. Ia harus kembali elegan dan tidak peduli. Toh, senjata paling mujarab untuk menghindari cibiran orang hanyalah diam dan pura-pura tidak mendengar.
Kintan memilih kembali bersenandung, sembari membelokkan arah mobilnya untuk menuju rumah Nila. Mungkin terhitung sepuluh menit saja, Kintan akan sampai di rumah sahabatnya itu. Ia memarkir mobilnya di tepi jalan yang memiliki tempat agak luas, lantaran malas untuk memasukkan kendaraannya itu ke dalam rumah Nila. Detik berikutnya, Kintan beranjak turun kemudian berjalan masuk.
“Kintan!” Nila berseru dari teras rumahnya. Tampaknya, wanita itu sudah menunggu Kintan sejak tadi.
“Wauw, cantik!” balas Kintan sembari masih melanjutkan langkah kaki.
Nila berangsur mengambil langkah untuk menghampiri sahabatnya itu. Mereka bertemu di pertengahan antara jarak rumah dan gerbang. Gaya kasual yang melekat pada Kintan selalu sukses membuat Nila berdecak kagum. Pasalnya, dengan gaya biasa bahkan jauh dari kata glamor, Kintan justru tetap terlihat elegan dan tentu saja cantik.
“Kamu jauh lebih cantik tahu, Tan. Apa pun yang kamu pakai, kamu selalu tampak sempurna, mungkin karena badan kamu bagus juga kali ya? Enggak kayak aku yang perutnya ada belut besar!” Nila berkelakar dengan menggunakan fisiknya sendiri.
Kintan mendengkus. “Tapi masih kelihatan kurus kok, Nil. Kamu pintar jaga penampilan buat ngumpetin tuh belut.” Ia tertawa kecil. “Lagian, sudah punya anak ya wajar. Kamu kan sudah laku, enggak kayak aku.”
“Eh! Aku enggak ke situ maksudnya, Tan! Sudahlah, entar malah makin ngaco. Kita berangkat saja!”
“Iya, iya.”
Sepasang sahabat yang memiliki tipikal kecantikan berbeda itu bergegas menuju mobil milik Kintan—si anak orang kaya. Selama terjalinnya oertemanan, terhitung jarang ada perselisihan di antara keduanya. Mungkin hanya kesalahpahaman kecil yang sempat datang menerpa, tetapi bisa hilang secara singkat. Entah Kintan maupun Nila sama-sama cocok satu sama lain, sehingga persahabatan mereka berlanjut sampai bertahun-tahun.
Kintan memasuki kabin bagian pengemudi, kemudian Nila berada di sampingnya. Setelah dirasa sudah sama-sama siap, Kintan segera melajukan mobilnya tanpa izin dari Nila.
“Tan?” ucap Nila tanpa menatap pada Kintan.
“Iya. Kenapa, Nil?” tanya Kintan tanpa mengubah arah pandangan.
Nila menghela napas. “Enggak apa-apa sih. Cuma ingin manggil saja.” Ia tertawa kecil sembari menatap Kintan.
“Ais! Ada-ada saja.”
“Ya, terima kasih ya kamu sudah bersedia jadi sahabat aku yang selalu lemah ini. Bahkan, ketika kita memiliki perbedaan hidup antara si kaya dan aku si miskin.” Nila tersenyum tipis. “Kamu sudah kayak saudara perempuanku sendiri, Tan. Kamu salah satu rezeki besar yang diberikan oleh Tuhan buat aku, selain suami dan anakku.”
Kintan berdecak sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak banyak respon yang ia berikan selain bersikap mencibir. Pasalnya, Nila sungguh konyol dengan tiba-tiba saja mengatakan hal itu. Lagi pula, persahabatan mereka sudah sangat lama, mengapa baru berterima kasih sekarang? Kintan tidak menyangka saja dan pada akhirnya menganggap ucapan Nila sebagai gurauan belaka.
Suasana kembali senyap, hanya embusan napas mereka beserta deru mobil yang terdengar. Nila sudah enggan untuk berbincang, entah, rasanya hatinya merasa sedih tanpa tahu alasannya. Kegembiraan yang sempat terpancar juga mendadak redup. Jantung Nila masih berdetak, tetapi justru lebih kencang daripada sebelumnya. Perasaan yang aneh itu seolah memberinya firasat buruk. Nila hanya bisa berharap agar semua orang tersayang dilindungi oleh Tuhan.
Karena merasa tidak nyaman dengan kegemingan, Kintan membuka perbincangan lagi dengan bertanya, “Dapat izin dari suami, Nil? Gibran ke mana dong?”
Nila tersentak. Lamunannya buyar detik itu juga, sampai kemudian ia menjawab, “Da-dapat. Gibran aku titip ke mamaku.”
“Mm ... gitu. Terus kamu kenapa tiba-tiba pucat gitu?”
“Eh?” Nila mengamati wajahnya sendiri melalui kaca yang terpasang di depannya. “Ah, enggak kok! Mungkin lipstiknya pudar aja.”
“Aku pikir kamu sakit gara-gara aku.”
Nila tertawa. “Lah, enggak, Tan! Mana ada.”
Benar kok, aku baik-baik saja, Nila terus meyakinkan dirinya. Tidak ada bagian tubuh manapun yang terasa sakit. Jadi, firasat hanyalah firasat yang mungkin saja sedang lewat. Ketika sampai di pesta reuni, ia akan lantas bergembira.
Meski Kintan sendiri juga merasa aneh pada Nila yang tiba-tiba pucat pasi. Apalagi sempat mengatakan terima kasih padanya. Namun tetap tidak ada yang terjadi, mungkin saja hanya pandangan dan pemahamannya yang salah. Kintan hanya perlu sampai di tempat tujuan tanpa hambatan. Ia akan membuat Nila ceria lagi di sana.
***
Terdengar suara benda jatuh yang merupakan gelas kaca karena tidak sengaja terkena tangan Aksara. Pria itu mengernyitkan dahi sembari menatap pecahan gelas itu. Ia menghela napas, kemudian berjongkok untuk membersihkan pecahan itu dengan tangannya sendiri.
“Ck, sayang banget jatuh. Masih bagus juga,” gumam Aksara. Ia mendengkus kesal. “Semoga aja bukan pertanda buruk.”
Mendadak wajah Nila—istrinya—muncul di benak Aksara seiring gerak tangannya yang juga turut terhenti. Ia menjadi kepikiran soal keadaan istrinya itu, ketika sang istri pergi ke tempat reuni tanpa ia temani. Rasa khawatir sebagai seorang suami muncul menyelimuti hatinya saat ini. Lebih tidak beruntungnya lagi, Aksara mendapat jam lembur yang kemungkinan besar akan selesai ketika pukul tujuh atau bahkan sembilan malam.
“Ck, semoga Nila masih bareng sahabatnya itu.”
Kini yang bisa Aksara percayai hanyalah Kintan, sebagai sahabat yang paling dekat dengan Nila. Namun, kendati begitu hatinya tak lantas tenang jika tidak menjemput Nila dengan dirinya sendiri. Untuk pulang cepat juga tidak mungkin terjadi, karena perusahaan itu milik atasannya dan Aksara hanya sekedar bawahan saja.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
A4
👍👍👍👏👏👏👏👏👏👏👏
2021-01-07
1
Ulfa
dag dig dug
2020-12-31
1
Ulfa
hadir thor
2020-12-31
0