Aksara terus-terusan menggerutu pada tumpukan berkas yang seakan tidak ada habisnya. Tidak peduli bahwa hari ini adalah hari sabtu, tetapi atasannya begitu tega memberikan jam lembur yang dinilai tidak sopan. Sampai-sampai, Aksara sempat berpikir jika sang direktur divisi terkait yang mana ia juga bekerja di sana, sengaja membuatnya lantas tidak nyaman.
Namun, entah. Aksara tidak pandai menilai seseorang. Prasangka buruknya itu segera ia hempas tatkala pikiran sehatnya mulai tersadar. Rentetan pekerjaan masih menunggu untuk ia kerjakan, sehingga tidak ada waktu untuk menduga-duga hal-hal yang tidak perlu.
“Nila sudah sampai rumah belum, ya?” gumam Aksara bertanya sembari memainkan kursor pada monitor komputer.
Sejak Nila membalas pesannya dengan isi mengiyakan apa yang Aksara kirimkan, ponsel milik pria itu justru sejak tadi terus bergeming. Menurut waktu yang bergulir dari balasan Nila, sepertinya sudah sekitar satu jam berlalu. Seharusnya, Nila sudah sampai di rumah, kecuali jika terjebak macet di beberapa titik jalan.
“Aksa!” Seorang wanita menyerukan nama Aksara. Dan ketika pemilik nama menatap wanita itu, ia tampak tergopoh-gopoh menghampiri Aksara. “Ayo pulang.”
Aksara menggelengkan kepala. “Masih numpuk, ada tambahan di saya, Mbak Mergi, dari Pak Harry,” jawabnya lemah.
“Hmm ....” Wanita bernama Mergi itu lantas bersedekap. “Ada yang bisa kubantu?”
“Enggak perlu, Mbak. Mbak pulang duluan aja, anak di rumah sendiri, 'kan?”
“Iya sih. Tapi, kam—”
“Tenang saja, Mbak. Saya bisa selesaikan semuanya!” ucap Aksara antusias.
Mergi tersenyum. Baginya, Aksara memang luar biasa. Mau sekesal dan selelah apa pun, pria itu tetap bertanggung jawab atas pekerjaan yang diberikan oleh sang atasan. Sejujurnya, Mergi merasa kagum pada Aksara melebihi kekagumannya sebagai rekan kerja ataupun teman biasa.
Sayangnya, rasa kagum hanya sebatas kagum saja, Mergi tidak diperkenankan menyukai Aksara lebih dalam. Meski tidak memiliki suami pasca mengalami perceraian, Mergi tetap harus tahu batasan lantaran Aksara sudah berumah tangga.
Mergi menyentuh pundak Aksara sesaat setelah bergeming. Ketika pria itu menatapnya, Mergi berkata, “Ya sudah aku duluan, ya? Salam buat istri kamu, Sa.”
Aksara menaikkan telapak tangan dan lantas membentuk sikap hormat. “Siap, Mbak!” jawabnya antusias.
Tak lama berselang, Mergi berlalu. Ia meninggalkan suami orang itu setelah memberikan senyuman ramah. Sepeninggalan Mergi, Aksara kembali mengerjakan apa yang perlu ia tangani, dan rasa jenuh kembali menghampiri. Pun pada rasa khawatirnya tentang keberadaan Nila yang tidak kunjung memberikan kabar.
Aksara menghentikan aktivitasnya ketika mengingat seputar istrinya itu. Ia menyadari jika sejak tadi Nila tidak mengirimkan pesan. Lantas, dengan cepat pria itu meraih ponselnya yang berada di sudut kanan meja kerja. Aksara khawatir jika Nila sampai kecewa, lebih parahnya sampai kenapa-napa.
Suara tut terdengar di telinga Aksara sesaat setelah dirinya menempelkan ponsel itu di telinga kanannya, dan tentu saja ia sudah melakukan panggilan keluar pada nomor ponsel istrinya. Sekian detik berlalu, sementara telepon Aksara tidak diangkat sama sekali. Dua, tiga, dan bahkan sampai lima kali panggilan keluar terus saja dilakukan oleh pria itu, tetapi Nila sama sekali tidak merespon.
“Kamu di mana, Sayang?” gumam Aksara kemudian menggigit bibir. Perasaannya getir, juga khawatir yang semakin bertambah besar saja.
Lantaran merasa jengah karena Nila tidak memberikan jawaban, Aksara segera mencari nomor ponsel Kintan yang telah diberikan oleh istrinya tadi malam. Ia memang sempat meminta, untuk memastikan keadaan Nila di tempat acara. Sayangnya, ia justru lupa dan abai karena saking sibuknya.
Bunyi tut kembali terdengar di telinga Aksara, tetapi kini panggilan pada Kintan bukan lagi istrinya. Satu panggilan tidak dijawab oleh wanita yang Aksara ketahui, bahwa wanita itu adalah seorang nona muda. Tentu saja, kegetiran semakin bertambah besar, yang membuat Aksara kerap menelan saliva. Kedua telapak tangannya saja sampai gemetaran. Nila di mana? Itu pertanyaan yang terlintas di benaknya.
Beruntung, panggilan ketiga diterima oleh Kintan, membuat Aksara langsung bisa bernapas lega. Namun ... entah apa yang terjadi setelah kelegaan muncul di hatinya, sebab kabar Nila masih belum pasti.
“Halo, siapa ya?” sapa Kintan diiringi kalimat tanya perihal siapa pemilik nomor baru yang tidak tersimpan di ponselnya.
“Ini Aksara, Tan. Suaminya Nila,” jawab Aksara cepat.
“Oh, iya, Mas. Ada apa ya?”
“Lho? Enggak, a-anu kamu ada di mana?”
“Aku di rumah sakit, Mas.”
Jantung Aksara seolah dihunjam menggunakan sebuah parang bermata tajam dan tentu saja membuat merasa kesakitan. Keberadaan Kintan saat ini menimbulkan spekulasi tersendiri di benaknya. “Ru-rumah sa-sakit? Si-siapa yang sakit? Bukan Nila, 'kan?”
“Tentu saja bukan, Mas. Nila enggak sama aku.”
“Hah?!” Pengakuan Kintan sukses membuat Aksara terkejut. Pasalnya, menurut pesan dari Nila beberapa saat yang lalu, Nila hanya berkata 'iya' saja tanpa memberitahu bahwa sedang tidak bersama siapapun termasuk Kintan. “Lalu, Nila di mana?”
“Lho?” Dari kejauhan sana, sepertinya Kintan juga terkejut. Pasalnya, Nila sudah mengatakan jika suaminya akan datang menjemput. “Aku pulang lebih awal, Mas, bahkan baru jam tiga sudah undur diri. Katanya, Nila mau dijemput Mas Aksara sendiri. Soalnya kakak iparku sedang melahirkan.”
“Enggak ... bahkan, aku belum pulang dari kantor, Tan.”
“Lah? Kok bisa? Oh, mungkin Nila sudah di rumah kali, Mas. Kalau enggak ya masih terjebak macet. Menurut jam—”
“Aku tahu, Tan. Tapi, ... Nila selalu bilang sama aku kalau dia sudah sampai di suatu tempat. Bahkan, dalam keadaan sedang marah sekalipun, dia tetap bilang!”
Aksara menurunkan ponsel dari telinganya, tanpa menggubris suara Kintan lagi. Matanya masih menatap lurus ke depan dan terbilang kosong. Aksara tidak tahu apa yang terjadi pada Nila dan tentu saja, hatinya menjadi tidak baik-baik saja. Di mana istrinya itu berada? Lantas, apa yang terjadi pada Nila sampai tidak memberikan kabar sama sekali? Setidaknya Nila harus mengirimkan satu kata saja untuk membuat Aksara jauh lebih lega.
Demi membuang pikiran buruk, Aksara menghela napas untuk mencari ketenangan. Kendati masih gelisah, ia tidak punya pilihan selain bekerja. Sebab, bisa saja Nila mampir ke tempat orang tuanya dalam waktu yang lama dan asyik berbincang sampai melupakan beberapa hal.
“Ya, mungkin Nila di rumah Mama. Coba aku hubungi saj—” Belum sempat melanjutkan perkataannya, sekaligus meraih ponselnya kembali, Aksara dihampiri oleh seorang rekan. “Ke-kenapa, Bandi? Kenapa ngos-ngosan begitu?”
“Kamu ... uh! Anu ... itu, kenapa nomormu dialihkan, Sa?!” sahut Bandi masih tersendat karena kelelahan sehabis berlari.
Aksara mengernyitkan dahi. “Hah?! Kenapa memangnya? Aku ada telepon dengan teman, Ban, bukan dialihkan.”
“Polisi!”
“Po-polisi?” Aksara semakin tidak mengerti saja. “Kenapa polisi?”
“Sa! Polisi, uh! Polisi enggak bisa menghubungimu karena nomormu dialihkan itu!” Suara Bandi meninggi. “Dia menelepon perusahaan, mengatakan kalau istrimu kecelakaan!”
Aksara melongo. “Hah? A-apa ...?”
Kini keberadaan Nila sudah Aksara ketahui lewat penuturan Bandi. Namun, kabar itu sangat buruk untuk didengar oleh telinganya. Dunia Aksara seolah berhenti detik itu juga dan hanya terdengar penjelasan lebih panjang dari Bandi. Pun untuk kronologi sampai pihak aparat sampai menghubungi nomor perusahaan, sebab Nila selalu menyimpan kartu nama milik Aksara.
“Nggak mungkin ... Nila-ku.”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Arnie Cupin
lah kamu yg gak bsa jemput knpa nyalahin kintan
kan nila jg bilang berangkatnya bareng kintan pulangny enggak
2023-02-07
0
Yuanita Ratyaning Siwi
inimq bukan salah kintan dodol....
kan dia sendiri yg mau jemput malah batalin wkwkwk
2021-02-01
1
Sulami
seru Thor..,.....
2021-01-31
0