Sepanjang malam, Aksara menjaga Nila yang masih tidak membuka mata. Ia memutuskan untuk tinggal dan meminta semua keluarganya lekas pulang, agar menjaga Gibran yang masih dititipkan pada adiknya. Wajahnya yang tampan cenderung manis, benar-benar lesu. Air mata masih sering menetes seolah tidak ada habisnya dari pasang mata pria itu. Bagaimana tidak, jika sang istri tercinta tengah menderita sendirian tanpa bisa ia gantikan.
Sementara kedua telapak tangan berjari kekar miliknya masih menggenggam jemari Nila. Tidak hanya itu, gumaman berisi kata 'maaf' terus terlontar pelan, berharap Nila bisa mengerti dan lekas bangun saat ini. Aksara tidak tahu jika kemungkinan paling buruk terjadi, tetapi sudah dapat dipastikan hidupnya tanpa Nila hanya akan hampa dan selamanya penuh nestapa. Belum lagi bagi Gibran yang masih membutuhkan figur seorang ibu.
Saat Aksara menunduk sembari menahan isak tangis yang hampir tidak dapat dikendalikan, jari Nila terasa bergerak. Detik itu juga, Aksara membuka mata. Ia lantas menatap sang istri dengan antusias. Benar, Nila tampak membuka mata, meski terlihat sangat berat.
“Sa-sayang,” ucap Aksara. “Ma-mas pa-panggil dokte—”
“Mas ...,” potong Nila.
“I-iya, Sayang.”
“Gibran?”
“Gi-gibran aman, dijaga sama Mama, Sayang.”
“Sakit, Mas ....”
Aksara mencengkeram kuat jemari Nila, bahkan tetesan air matanya sampai terjatuh membasahi tangan istrinya itu. “Ka-kamu sabar, ya. Setelah ini, enggak, besok kamu pasti sembuh. Mas bakal bawa kamu berlibur.” Ia menggigit bibir dengan kuat agar tidak mengeluarkan suara isakan. “Kamu mau berjuang 'kan, Sayang?”
Nila tersenyum tipis. “Mas ... sebelum itu, bisa, 'kan, panggil Kintan sekarang?”
Dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar dan tentu saja menahan segala rasa sakit yang menghujam, Nila meminta Aksara untuk memanggilkan Kintan. Aksara yang tidak mengerti apa maksud istrinya itu lantas mengernyitkan dahi.
“Ke-kenapa, Sayang, ka-kamu? Kintan?” ucap Aksara gelisah.
Nila tersenyum. “Waktu aku enggak banyak, Mas. Ini terlalu sakit buat aku. Tapi, sebelum aku pergi aku ... ingin berbicara dengan kalian berdua.”
“Kamu jangan ngomong kayak gitu dong, Nila. Kamu enggak bisa ninggalin Mas sama Gibran seperti ini, Sayang.”
“Mas ... maaf, i-ini terlalu sakit.”
“Nila ...?”
“Ba-wa Kintan, Mas.”
Aksara kehilangan kuasa. Ia tidak bisa membantah permintaan istrinya. Aksara sangat tahu jika Kintan begitu dekat dengan Nila, bahkan Nila menceritakan setiap kebersamaannya dengan Kintan. Semua kebaikan Kintan selama ini, sekaligus bagaimana mereka berjanji akan berteman sehidup semati.
“Iya, Mas bakal panggil dia.”
“Te-rima kasih.”
Sesaat setelah memutuskan, Aksara lantas berdiri. Dengan penuh ragu, ia melangkah menuju pintu ruang rawat itu. Sesekali ia masih menoleh ke arah istrinya, khawatir jika kemungkinan buruk akan terjadi. Paras Nila yang pucat pasi dan pandangan matanya yang redup, seolah tidak ada daya hidup, membuat Aksara benar-benar takut.
Beruntung, Kintan memutuskan untuk tinggal menggantikan orang tua Nila beberapa saat yang lalu. Dan kini wanita itu tengah berjaga di luar atau sesekali kembali ke ruang perawatan kakak iparnya. Keberadaan Kintan di tempat itu, membuat Aksara tidak kesulitan dalam mencarinya.
Benar saja, Kintan tampak duduk sembari memejamkan mata. Ia tampak lelah, membuat Aksara berangsur iba.
“Kintan,” ucap Aksara sembari menepuk pelan pundak Kintan.
Kintan menggeragap. Ia berdiri cepat, tetapi justru bingung. “Kenapa, kenapa, Mas? Nila kenapa?” tanyanya panik.
Aksara menggeleng. “Nila ingin bertemu denganmu.”
“Nila sadar?” tanya Kintan dengan mata terbuka lebar.
“Ya.”
Kintan bergerak cepat. Ia berlari menuju pintu ruang rawat itu yang tidak terlalu jauh. Dengan terburu-buru, ia masuk dan menghampiri ranjang di mana Nila terbaring lemah.
Kintan berdiri tegak, detik berikutnya mengambil posisi duduk. Ia menatap prihatin pada kondisi Nila saat ini. Balutan perban di kepala, tangan, juga kaki. Mungkin ada beberapa bagian lagi, tetapi tidak nampak oleh mata Kintan.
Bulir air mata pun kembali muncul membasahi pipi kiri Kintan. Isakan tangis, cenderung mendesis juga keluar dari bibirnya. Dan ketika mendengar suara itu, Nila membuka matanya yang sempat terpejam.
Nila tersenyum tipis. “Kintan.” Ia berkata sangat pelan, nyaris berbisik.
“Iya, Nila, ini aku. Aku minta maaf,” sahut Kintan cepat sembari menggenggam jemari Nila.
“Mas?” ucap Nila sembari mengalihkan pandangan ke arah suaminya yang masih berdiri di samping Kintan.
Aksara segera merundukkan badan agar lebih jelas dilihat oleh mata sang istri. “Mas di sini, Sayang,” ucapnya.
“Jaga Gibran.”
“Iya, kita pasti jaga sama-sama, Nila.”
“Kintan." Tidak memedulikan ucapan suaminya, Nila kembali memandang paras ayu milik sahabatnya itu. “Jaga Gibran, ja-ga suamiku.”
Kintan melongo, bahkan sampai membuka rahangnya. Permintaan Nila sudah seperti hendak pamit saja. Selain itu, mengapa harus menitipkan suami dan anak padanya? Bukankah Nila akan segera sembuh, sebab sudah sadar layaknya sekarang?
Pun pada Aksara yang bahkan semakin bingung. Ia tidak tahu apa yang dimaksud oleh istrinya itu. Namun firasat buruk terbersit di benaknya. Kemungkinan terfatal yang selalu ia takutkan mungkin akan terjadi. Dan ketika Nila tampak kesulitan bernapas ataupun membuka mata, Aksara semakin didera rasa takut.
“Nila percaya ... sama Kintan. Nila enggak kuat ... ini terlalu sa-kit. To-long ... gantikan aku, Tan.” Nila tersenyum.
“A-apa maksudmu, Nila. Kamu bakal sembuh, kamu kuat. Dan itu yang ....” Kintan menangis, terlalu sakit untuk mengatakan motivasi yang kemungkinan besar hanya akan berakhir sia-sia. “Kamu bisa sembuh, pasti! Kamu bisa jaga anak dan suami kamu sendiri, Nila.”
“Enggak, Tan, rasanya ... detak jantungku semakin lemah saja. Aku ... enggak punya waktu lagi. Aku bisa lihat cahaya putih itu.”
Aksara panik. “Kamu jangan bodoh! Mana mungkin, Nila, itu hanya halu. Kamu bisa sembuh, Sayang.”
“Mas ... Nila selalu sayang sama kamu, Mas. Terima kasih, sudah memberi izin agar Nila bahagia. Nila ... mau Mas jaga Gibran bersama Kintan, Mas.”
“Nila!” ucap Aksara dan Kintan secara bersamaan.
“Nila ... mau kalian menikah.” Air mata membasahi bantal di bawah kepala Nila. “Ini amanat Nila sebelum waktu Nila habis, Nila ... mau kalian menikah secepatnya. Tolong, Mas, Kintan. Tolong.”
Entah Aksara ataupun Kintan tidak dapat berkata-kata. Mereka berdua enggan untuk menyetujui sekaligus menolak permintaan Nila. Sementara Nila mulai memejamkan matanya kembali setelah mengatakan permintaan yang ia sebut sebagai amanat itu. Mungkin saja, permintaannya memang menjadi keputusan terakhir untuk menjaga suami dan putranya sebelum pergi jauh.
“Aku bersedia, Nila,” ucap Kintan tiba-tiba.
Aksara tercengang. “Apa maksudmu, Kintan?” tanyanya tidak terima.
Kintan tidak menjawab, melainkan menatap Nila lebih saksama. Aroma duka seolah menguar memenuhi penjuru ruangan. Meskipun sudah Kintan setujui, Nila tidak membuka mata lagi. Denyut nadinya terasa lebih lambat ketika Kintan memeriksa.
Aksara yang menyadari hal itu terduduk. Tubuhnya kaku, tetapi perasaannya lemah.
“Kita akan menikah besok di sini, Mas. Itu yang istrimu mau.”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
lina
berjuang nila
2023-06-20
0
Amalia gunawan
Amanat nya bikin aku sedih
2021-01-19
0
A4
👍👍👍👏👏👏👏👏👏
2021-01-07
1