Aksara membalikkan badan sesaat setelah memasuki pintu utama rumahnya bersama Kintan. Ia menatap nanar pada wajah cantik milik istri keduanya itu. Tidak ada senyuman sama sekali di wajah Aksara, bahkan ekspresi yang tertera di parasnya itu terlihat sangat membenci objek pengamatannya. Hingga sekian detik kemudian, Aksara menghela napas—menahan gejolak perasaan marahnya.
“Kintan," ucap Aksara sampai membuat Kintan tersentak dari kegemingan yang berisikan kebingungan. Kemudian, pria itu menunjuk sebuah ruang tertutup yang tampaknya merupakan kamar tamu. “Tidur saja di sana.”
Napas Kintan seolah dibuat terhenti detik itu juga. Sesak, sungguh hatinya merasa tidak dihargai. Hari ini merupakan hari kedua pernikahannya dengan Aksara, tetapi ia justru dianggap tak lebih dari sekadar tamu belaka. Ya, meski pada akhirnya Kintan hanya bisa mengangguk tanpa bisa menyanggah sama sekali.
“Baik, Mas.” Wanita itu menjawab setelah menyadari Aksara tengah menunggu jawaban mantap darinya.
Benar saja, setelah Kintan memberikan sahutan, Aksara lantas mengubah sikap yang sejak tadi berdiri tegak menatap sang istri kedua, kini berangsur membalikkan badan lagi sembari berkacak pinggang.
“Jangan pernah membuka kamar pribadiku bersama istriku, Kintan.” Pernyataan mengejutkan Aksara lontarkan sesaat setelah menghentikan kakinya yang baru mengambil langkah. Ia berbalik lagi dan menatap Kintan dengan tatapan matanya yang begitu dingin. “Jangan langgar apa yang aku katakan barusan,” lanjutnya ketus.
Kintan menghela napas. “Iya, Mas, aku tahu. Jangan khawatir.”
“Bagus! Dan satu lagi, ... rumah ini sangat sederhana jika dibandingkan istana megah milik ayahmu. Enggak ada fasilitas mewah, semua barang pun sangat murah. Jangan manja, karena kami enggak memiliki pembantu.”
“Ya, aku tahu.”
Aksara mengangkat satu alisnya. “Nggak! Kamu enggak akan tahu dan paham bagaimana cara hidup orang susah, terlebih bersuamikan karyawan biasa. Kamu kaya raya, tapi meski begitu, aku sama sekali nggak bakal ngasih kesempatan bagimu untuk berleha-leha. Selama kamu tinggal di rumah ini sebagai istri pengganti, maka bertindaklah seperti kebiasaan Nila!”
Seketika itu juga, hati Kintan semakin merasa nyeri luar biasa. Istri pengganti kata suaminya? Memang benar, bahkan tidak perlu disangkal lagi. Kintan tahu betul tentang siapa dan situasi dirinya.
Namun, ... wanita itu menyesalkan bagaimana Aksara menatap sekaligus bersikap padanya. Tatapan mata Aksara yang ia tahu tengah memancarkan sebuah kebencian begitu besar. Mengapa? Karena Kintan pulang lebih awal dan menyebabkan Nila celaka, kala reuni itu berlangsung?
“Istirahat sana, sore nanti kamu harus memasakkan makanan untukku seperti kebiasaan Nila,” titah Aksara.
Kintan terkejut. “Me-memasak?” tanyanya memastikan.
“Tentu! Apa kamu tuli? Kenapa harus bertanya lagi kalau sudah dengar?”
“Maaf, tapi aku enggak yakin soal itu, Mas. Ak—"
“Barusan aku bilang jangan manja, Kintan! Di sini enggak ada pembantu, kalau bukan kamu lalu siapa lagi yang mau memasak? Aku? Jangan gila! Aku harus menunggu istriku setelah mandi, aku sudah beri waktu agar kamu istirahat dan itu aku pikir sudah cukup!” tegas Aksara panjang yang juga dengan ekspresi menyeramkan.
Sementara Kintan hanya mampu mengepalkan kedua tangan. Sejujurnya, sejak Aksara menumpahkan kesalahan padanya, ia sudah tidak menyukai pria itu. Bahkan, jika bisa ia tidak mau bertemu lagi. Namun, takdir mengatakan hal sebaliknya, Kintan malah menikahi dengan Aksara demi keinginan Nila, termasuk demi si kecil Gibran yang selama beberapa hari ini tak bertemu sang ibu.
Kintan menghela napas. “Aku akan melakukannya, tenang saja!” ucapnya ketus.
Aksara tersenyum sinis. “Itu bagus dan itu memang tugasmu. Kamu harus ingat jika kam—”
“Aku ingat, aku istri pengganti. Tapi, ....” Kintan melangkahkan satu kaki ke depan. “Aku enggak selemah yang kamu pikir, Mas. Dan kamu juga harus ingat, aku bersedia melakukan pernikahan ini demi sahabatku dan putra kalian. Aku enggak akan mengemis sepeser pun sama kamu.”
“Oh! Aku sama sekali nggak butuh penjelasanmu, Kintan. Apa pun maksud dan tujuanmu, kamu tetap orang lain bagiku, bahkan bagi putraku.”
“Benar! Tapi, aku bukan orang lain bagi istrimu. Setidaknya, jika kamu membenciku, tahan sedikit. Hargai aku seperti manusia bukan hewan, atau bahkan patung yang hanya bisa diam. Itu sudah cukup, Mas! Dan aku ... aku juga sangat membencimu!”
Aksara terkesiap. Wanita itu membencinya? Ironis, karena orang yang berhak membenci adalah dirinya bukan Kintan. Kintan tidak berhak. “Kebencianmu tak lebih besar dari kebencianku, Tan. Camkan itu!” tegasnya berusaha menjadi penguasa dari perdebatan itu.
“Benarkah? Bisa saja kamu jatuh cinta padaku, Mas. Laki-laki zaman sekarang bukannya enggak betah hidup terlalu tanpa seorang istri? Hanya karena aku sahabat Nila, makanya kamu berontak, berusaha menahan diri agar tidak runtuh akan pesonaku, bukan? Oleh sebab itu, kamu sok bengis, padahal kamu lebih lemah dari dugaanmu sendiri.”
“Hanya Nila!” sahut Aksara. Ia memelototkan matanya. “Jangan harap aku bisa mencintai kamu seperti aku mencintai istriku. Kamu istriku? Bukan, kamu hanya pengganti dan tak lebih dari itu. Dan aku pikir kamu yang akan jatuh cinta padaku duluan.”
“Enggak! Sampai Nila sembuh, aku enggak akan menjatuhkan hatiku pada pria kasar macam dirimu, Mas Aksara!”
“Ya, aku berharap hal itu memang terjadi. Nila-ku akan sembuh dalam hitungan hari, tidak, tapi hitungan jam dan kamu hanya akan menjadi wanita menyedihkan. Janda kembang yang bercerai karena ke-naif-anmu sendiri!”
“Jika hal itu memang akan terjadi, tak apa, aku justru rela jika demi Nila. Aku cantik, aku kaya, janda kembang? Enggak terlalu buruk juga. Memangnya kalau menjadi janda, lantas hina, begitu? Nyatanya enggak begitu, Mas! Bukankah janda malah selalu di depan? Apalagi jika janda itu masih perawan. Dan aku akan jadi pahlawan bagi Nila serta Gibran, mereka akan berterima kasih padaku. Meski jujur aku enggak membutuhkan hal itu. Tapi, aku akan bertindak jika kamu semakin enggak sopan, Tuan Aksara!”
Kintan mengangkat dagu—bersikap lebih angkuh—kemudian, ia berbalik badan. Detik berikutnya, Kintan mengambil langkah untuk menuju kamar tamu yang sebelumnya telah ditunjuk oleh suaminya. Dan di setiap langkahnya yang terayun tegas, Kintan berusaha mengumpulkan kepingan asa. Ia kuat, lebih tegar, dan segarang singa. Ia tidak akan tumbang atau bahkan hancur hanya karena sikap Aksara. Semua demi amanat istri pertama pria itu.
Waktu berjalan se-bagaimana mestinya, Kintan terbangun dari tidur yang ia lalui setelah berdebat dengan Aksara. Ia mengerjapkan mata, kemudian menatap jam tangan yang belum terlepas dari lengannya. Sudah siang, hampir jam dua belas tengah hari. Lalu, dengan terpaksa Kintan berangsur membangkitkan. Ia harus memasak agar bisa mengirim bekal makan ke rumah sakit.
“Memasak?" gumam Kintan kemudian menelan saliva. “Aku enggak yakin.”
Kebimbangan kembali merasuki hati Kintan. Pasalnya, meski terbilang pintar, Kintan memiliki kelemahan yang berkaitan dengan dapur. Wajar, lantaran ia anak orang kaya. Namun jika tidak dapat melakukannya, Aksara akan marah besar. Lebih parahnya lagi, pria itu akan menghinanya lebih dari sebelumnya. Kintan tidak mau harga dirinya dicabik-cabik oleh keangkuhan sikap pria itu.
Perlahan, Kintan turun dari ranjang yang tak sebagus miliknya itu. Memasak memang tidak meyakinkan jika dilakukan oleh dirinya, tetapi zaman sudah maju. Ada ponsel dan internet, sudah pasti ribuan resep tertera di sana. Setidaknya, ia memiliki guru secara tak langsung. Namun jika Aksara masih tak puas, apabila masakan Kintan berbeda rasa dengan hasil masakan Nila, dapat dipastikan Kintan akan menumpahkan semua hasil masakan ke wajah pria itu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Bit Douw
Kintan kmu kuat dan tangguh.
2021-02-14
0
mbak i
suka karakter kintan,,,bagus Tan kamu kuat
2021-01-27
0
Amalia gunawan
aku nungguin Kintan numpahin masakannya ke wajah Aksara .. 😂😂
2021-01-22
1