Sorak-sorai terdengar menggema di dalam restoran yang memiliki ruangan khusus untuk reservasi pribadi. Sekitar dua belas orang ada di dalam ruangan itu, termasuk Kintan dan Nila. Mereka tengah menikmati hidangan lezat yang tersaji. Beberapa orang menenggak minuman dengan aroma menguar, yang membuat rasa tidak nyaman bagi hidung Kintan maupun Nila.
Dua orang wanita yang telah bersuami bernama Yesy dan Berly menatap Kintan dengan serius. Bagi Kintan sikap mereka sangat memuakkan dan pasti hendak melesatkan pertanyaan seputar pasangan.
“Apaan sih kalian lihatin aku sampai begitu, hah?!” tanya Kintan dengan tegas ketika sudah tidak tahan menjadi bahan tontonan.
Berly tersenyum. “Enggak kok, cuma ... kami masih sendiri lagi? Aduh, Kintan! Ini sudah masuk tahun baru lagi dan kamu masih belum menikah aja? Ya ampun,” jawabnya.
“Ck, Kintan, Kintan! Aku kenalin ke teman suami aku saja, ya?” tambah Yesy memberikan saran.
Nila yang baru datang dari kamar kecil duduk di samping Kintan sembari memandangi Yesy dan Berly dengan nanar. “Aku dengar semua ucapan kalian barusan, tapi, ... enggak bisakah kalian berhenti tanya-tanya yang bukan urusan kalian? Lagian, setiap orang punya prinsip hidup sendiri-sendiri lho!” tegasnya.
“Halah! Mana ada wanita usia dua puluh delapan tahun masih berprinsip enggak mau menikah? Emangnya mau hidup sendiri seumur hidup? Kalau sudah kepala tiga, semua makin sulit, Nil. Ingetin dong si Kintan jangan malah membela,” tukas Yesy pada ucapan Nila yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Detik berikutnya, ia berangsur melipat kedua tangan ke depan dengan sikap angkuh.
Berly mencibir menggunakan bibirnya. “Jangan-jangan kalian berbagi suami? Waaah! Kalau benar, kalian berdua beneran sahabat sejati!”
Ketika Nila hampir tersulut emosi, Kintan segera mencegah Nila agar tidak terpancing ucapan Berly. Sejak dulu, Berly dan Yesy memang gemar bercanda, tetapi keterlaluan. Sebab lain, yang membuat kedua wanita itu begitu ketus adalah rasa iri lantaran Kintan memiliki kecantikan paripurna, termasuk berasal dari keluarga orang kaya. Alih-alih ingin mendekati, Yesy dan Berly justru bertekad untuk menjatuhkan Kintan.
Dering ponsel memutus serangan mata yang saling mereka lemparkan. Dan ternyata, ponsel milik Kintan yang tengah berbunyi nyaring, sehingga wanita cantik itu lantas berdiri. Kintan berjalan menuju area lain dari ruangan itu yang cukup sepi, agar ia dapat mendengar ucapan sang penelepon.
“Papa?” gumam Kintan sembari mengernyitkan dahi. Detik berikutnya, ia segera menggeser tombol hijau di layar ponsel itu dan meletakkannya di samping telinga sebelah kanan. “Halo, Papa.”
“Kamu di mana, Tan?” Tanpa basa-basi ayahnya yang bernama Chandra itu menanyakan keberadaan Kintan saat ini.
“Kintan sedang ada acara, Pa, kenapa? Tadi sudah izin kok sama direktur.”
“Pulang dulu, bisa? Maaf, Nak, kayaknya kakak iparmu mau melahirkan. Papa masih ada meeting.”
“Mas Diki enggak ada?"
“Ada, tapi masa' enggak ada yang temani dia?"
“Hmm ... iya deh, Pa. Kintan berangkat sekarang ke sana, nanti Kintan minta alamat rumah sakitnya.”
“Terima kasih, Sayang.”
“Iya, Papa, sama-sama.”
Kintan menghela napas sesaat setelah mematikan panggilan itu. Sebenarnya, ia ingin tinggal lebih lama, mungkin sampai acara selesai. Sayangnya, ia juga tidak tega untuk mengabaikan permintaan Chandra. Belum lagi, Diki—kakaknya—pasti akan kewalahan sendiri. Pun meski banyak asisten rumah tangga, tetapi seharusnya membutuhkan satu keluarga, bukan?
Dengan lunglai, Kintan menghampiri keberadaan Nila yang tengah berbincang dengan seorang wanita berkacamata. Tampaknya, Yesy dan Berly sudah berlalu. Itu lebih baik ketimbang harus beradu mulut lagi dengan mereka, karena Kintan pun sudah cukup muak.
“Nila, aku mau pulang duluan, ya?” ucap Kintan sesampainya di hadapan Nila dan temannya.
Nila mengernyitkan dahi. “Kenapa? Ada masalah?” tanyanya.
Kintan menggelengkan kepala. “Enggak ada sih, cuma kakak iparku akan melahirkan. Barusan papaku kasih kabar dan beliau sedang ada meeting.”
“Waaah!” Nila seketika berdiri. “Ya sudah, enggak apa-apa, Tan. Kamu harus temani kakakmu. Soalnya kalau cuma ditemani suami, si suami kadang justru enggak sanggup dengerin perjuangan sang istri.”
“Mm ... kamu enggak apa-apa? Apa mau ikut pulang juga?”
Nila menggeleng cepat. “Enggak! Enggak apa-apa. Ini momen yang jarang terjadi, jadi aku mau lewati sampai akhir. Bisa aja, aku enggak bisa datang lagi ke acara semacam ini. Lagian ada Dita di sini sama teman-teman yang lain, Tan. Tenang aja.”
“Pulangnya?”
“Mas Aksa bakal jemput aku kok, Tan.”
Kintan menghela napas lega. Dengan begitu ia tidak perlu khawatir lagi pada Nila. Setidaknya, wanita itu akan pulang dengan aman bersama sang suami. Kemudian, Kintan lantas memeluk tubuh Nila dengan erat yang berganti pada Dita—wanita berkacamata itu.
Setelah merasa cukup dalam memberikan salam pamit, Kintan berlalu. Ia menghampiri para teman yang asyik bercengkerama satu sama lain. Mereka tidak membawa pasangan, lantaran ada yang masih lajang atau suaminya sibuk layaknya suami Nila. Kintan berpamitan sebagai tanda menghargai satu sama lain. Dan setelah ritual itu selesai, Kintan baru benar-benar pergi.
Sepeninggalan Kintan, Nila semakin menikmati pesta kecil itu. Ibu rumah tangga yang sehari-harinya hanya mengurus anak, suami, serta rumah seolah mendapat obat atas kejenuhan yang mendera dirinya setelah sekian lama. Ia bercengkerama dengan yang lainnya dengan antusias.
“Enggak bawa suami tampanmu itu sih, Nil?” tanya Lusia menggoda.
Nila tersenyum tipis. “Sibuk, Lus. Mungkin nanti jam tiga baru balik,” jawabnya.
“Iya sih, suamiku juga begitu. Padahal kan ini hari sabtu. Kadang-kadang perusahaan suka kejam, ya,” gerutu Dita.
“Enak tuh Yesy, suaminya bos besar! Lihat aja penampilannya, glamor banget. Tapi, dia justru enggak mau ditemani sama suaminya karena takut ganggu katanya.” Lusia membuka gunjingan yang sekiranya hangat untuk dibicarakan.
“Hmm ... aku malah pengennya bawa suami, tapi ya bagaimanapun suamiku cuma bawahan orang.“ Dita memayunkan bibir.
Nila lantas menepuk bahu wanita berkacamata itu. “Jangan begitu, suami kamu kan lagi cari uang buat kamu, Dit.”
“Ya sih, cuma jujur kadang suka kangen masa-masa lajang. Bebas saja gitu, kayak Kintan. Datang ke acara ini saja, aku harus bertengkar dulu, Nil. Entah, tapi suami kadang-kadang suka posesif.”
Baik Nila maupun Lusia kompak menggeleng-gelengkan kepala. Pasalnya, Dita yang dilihat secara sekilas layaknya wanita kuat dan pintar justru mudah rapuh bahkan mengeluh. Bahkan, ia sampai membicarakan keburukan suaminya sendiri. Namun bagi Nila, mungkin saja Dita tidak memiliki teman bicara. Kendati agak tidak setuju dengan sikap Dita, Nila tetap mendengarkan dengan baik, pun Lusia.
Lalu, waktu tetap berjalan se-bagaimana mestinya. Ketika acara terakhir tiba, mereka saling bersulang gelas yang berisi minuman berbeda-beda. Penutupan acara dilaksanakan setelah kegiatan itu. Dan mereka saling berpamitan untuk pulang ke rumah masing-masing.
Hanya saja, Nila justru dibuat bingung. Pasalnya, Aksara tidak dapat datang untuk menjemput dirinya. Suaminya itu telah mengirimkan pesan singkat melalui whatsApp, ada jam lembur tambahan dan meminta Nila menumpang di mobil Kintan lagi.
“Sebaiknya, aku enggak usah bilang kalau Kintan sudah pulang. Takutnya pekerjaan Mas Aksa jadi runyam cuma gara-gara khawatir. Jam segini masih banyak taksi yang lewat, atau mungkin taksi online.”
Keputusan itu dibuat oleh Nila, setelah akhirnya ia meraih ponsel dari dalam tas selempang. Nila yang tidak mau mengacaukan pekerjaan suaminya bermaksud pulang sendiri dengan menggunakan taksi online.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
𝐵💞𝓇𝒶𝒽𝒶𝑒🎀
udah jls ini kemauan nila sendiri buat plng sendiri knp jdi kintan yg salah
2023-06-28
3
Amalia gunawan
berdebar debar gini aku
2021-01-18
0
A4
👍👍👍👍👍👍👏👏👏👏👏👏
2021-01-07
1