Amanat Istri Pertama
PROLOG
Aksara membalikkan badan sesaat setelah memasuki pintu utama rumahnya bersama Kintan. Ia menatap nanar pada wajah cantik milik istri keduanya itu. Tidak ada senyuman sama sekali di wajah Aksara, bahkan ekspresi yang tertera di parasnya itu terlihat sangat membenci objek pengamatannya. Hingga sekian detik kemudian, Aksara menghela napas—menahan gejolak perasaan marahnya.
“Kintan," ucap Aksara sampai membuat Kintan tersentak dari kegemingan yang berisikan kebingungan. Kemudian, pria itu menunjuk sebuah ruang tertutup yang tampaknya merupakan kamar tamu. “Tidur saja di sana.”
Napas Kintan seolah dibuat terhenti detik itu juga. Sesak, sungguh hatinya merasa tidak dihargai. Hari ini merupakan hari kedua pernikahannya dengan Aksara, tetapi ia justru dianggap tak lebih dari sekadar tamu belaka. Ya, meski pada akhirnya Kintan hanya bisa mengangguk tanpa bisa menyanggah sama sekali.
“Baik, Mas.” Wanita itu menjawab setelah menyadari Aksara tengah menunggu jawaban mantap darinya.
Benar saja, setelah Kintan memberikan sahutan, Aksara lantas mengubah sikap yang sejak tadi berdiri tegak menatap sang istri kedua, kini berangsur membalikkan badan lagi sembari berkacak pinggang.
“Jangan pernah membuka kamar pribadiku bersama istriku, Kintan.” Pernyataan mengejutkan Aksara lontarkan sesaat setelah menghentikan kakinya yang baru mengambil langkah. Ia berbalik lagi dan menatap Kintan dengan tatapan matanya yang begitu dingin. “Jangan langgar apa yang aku katakan barusan,” lanjutnya ketus.
Kintan menghela napas. “Iya, Mas, aku tahu. Jangan khawatir.”
“Bagus! Dan satu lagi, ... rumah ini sangat sederhana jika dibandingkan istana megah milik ayahmu. Enggak ada fasilitas mewah, semua barang pun sangat murah. Jangan manja, karena kami enggak memiliki pembantu.”
“Ya, aku tahu.”
Aksara mengangkat satu alisnya. “Nggak! Kamu enggak akan tahu dan paham bagaimana cara hidup orang susah, terlebih bersuamikan karyawan biasa. Kamu kaya raya, tapi meski begitu, aku sama sekali nggak bakal ngasih kesempatan bagimu untuk berleha-leha. Selama kamu tinggal di rumah ini sebagai istri pengganti, maka bertindaklah seperti kebiasaan Nila!”
Seketika itu juga, hati Kintan semakin merasa nyeri luar biasa. Istri pengganti kata suaminya? Memang benar, bahkan tidak perlu disangkal lagi. Kintan tahu betul tentang siapa dan situasi dirinya.
Namun, ... wanita itu menyesalkan bagaimana Aksara menatap sekaligus bersikap padanya. Tatapan mata Aksara yang ia tahu tengah memancarkan sebuah kebencian begitu besar. Mengapa? Karena Kintan pulang lebih awal dan menyebabkan Nila celaka, kala reuni itu berlangsung?
“Istirahat sana, sore nanti kamu harus memasakkan makanan untukku seperti kebiasaan Nila,” titah Aksara.
Kintan terkejut. “Me-memasak?” tanyanya memastikan.
“Tentu! Apa kamu tuli? Kenapa harus bertanya lagi kalau sudah dengar?”
“Maaf, tapi aku enggak yakin soal itu, Mas. Ak—"
“Barusan aku bilang jangan manja, Kintan! Di sini enggak ada pembantu, kalau bukan kamu lalu siapa lagi yang mau memasak? Aku? Jangan gila! Aku harus menunggu istriku setelah mandi, aku sudah beri waktu agar kamu istirahat dan itu aku pikir sudah cukup!” tegas Aksara panjang yang juga dengan ekspresi menyeramkan.
Sementara Kintan hanya mampu mengepalkan kedua tangan. Sejujurnya, sejak Aksara menumpahkan kesalahan padanya, ia sudah tidak menyukai pria itu. Bahkan, jika bisa ia tidak mau bertemu lagi. Namun, takdir mengatakan hal sebaliknya, Kintan malah menikahi dengan Aksara demi keinginan Nila, termasuk demi si kecil Gibran yang selama beberapa hari ini tak bertemu sang ibu.
Kintan menghela napas. “Aku akan melakukannya, tenang saja!” ucapnya ketus.
Aksara tersenyum sinis. “Itu bagus dan itu memang tugasmu. Kamu harus ingat jika kam—”
“Aku ingat, aku istri pengganti. Tapi, ....” Kintan melangkahkan satu kaki ke depan. “Aku enggak selemah yang kamu pikir, Mas. Dan kamu juga harus ingat, aku bersedia melakukan pernikahan ini demi sahabatku dan putra kalian. Aku enggak akan mengemis sepeser pun sama kamu.”
“Oh! Aku sama sekali nggak butuh penjelasanmu, Kintan. Apa pun maksud dan tujuanmu, kamu tetap orang lain bagiku, bahkan bagi putraku.”
“Benar! Tapi, aku bukan orang lain bagi istrimu. Setidaknya, jika kamu membenciku, tahan sedikit. Hargai aku seperti manusia bukan hewan, atau bahkan patung yang hanya bisa diam. Itu sudah cukup, Mas! Dan aku ... aku juga sangat membencimu!”
EPISODE 1-Sebelum Duka
Nila tersenyum-senyum sembari menghampiri suaminya di tempat kerja yang menjadi satu dengan kamar pribadi mereka. Sembari bergerak manja, ia mencoba memberikan sebuah rayuan. Ketika Aksara—suaminya—masih asyik dengan laptopnya, bibir Nila seketika mengerucut. Ia merasa kesal, pasalnya usahanya menjadi sia-sia.
Karena tidak mau lagi mendapat harapan palsu, Nila menegakkan badannya. Ia berjalan lebih tegas menghampiri Aksara yang masih tidak mengubah sikap sama sekali. Helaan napas panjang, Nila ambil kemudian ia embuskan dengan kasar.
“Mas!” pekik Nila beberapa detik setelah mendengkus kesal. “Lihat aku, dong!”
“Bentar dong, Sayang, Mas masih kerja,” balas Aksara tanpa mengindahkan ucapan istrinya.
Lagi-lagi, hati Nila dibuat kesal. Ia tidak mau dianggap bak patung batu yang tidak penting bagi pria itu. Kemudian, ia menarik salah satu tangan Aksara sampai sukses membuat pria itu berangsur menatapnya.
Nila tersenyum puas. Ia berhasil. Kendati, sempat berwajah masam, Aksara segera mengulas senyuman. Kemudian, ia merangkul pinggang sang istri dengan gemulai manja.
“Kenapa sih, Sayang?” tanya Aksara memastikan keinginan istrinya.
Nila menyisipkan badan di antara Aksara dan meja kerja, kemudian ia duduk di atas pangkuan suaminya itu. “Aku kangen kamu, Mas,” ucapnya.
“Hmm ... pasti ada maunya.”
Nila memutar mata, masih dengan bibir yang mengerucut dan berekspresi seimut mungkin. “Enggak ada kok!” tandasnya.
Aksara tidak lantas percaya. Ia menggelengkan kepala, kemudian mengecup punggung telapak tangan istrinya itu. “Ayo, apa? Jujur saja sama Mas, Sayang.”
“Beneran enggak ada, Mas.”
“Hmm ... oke! Kalau begitu Mas mau kerja lagi.”
“Sebentar! Cuma, mm ... Nila dapat undangan, Mas.”
Dahi Aksara berkerut. “Undangan?”
Sembari mengangguk, Nila menjawab, “Iya, Mas. Undangan reuni teman-teman kampus aku. Boleh enggak, kalau Nila datang?”
Sejenak Aksara berpikir. Ada kebimbangan di hatinya. Sekalipun selalu memanjakan Nila, karena rasa sayangnya yang memang luar biasa pada wanita itu, Aksara akan berpikir panjang jika harus memberikan izin pada Nila untuk agenda bepergian. Rasanya akan aneh, jika Nila tidak pergi bersama seorang suami. Selain itu, Aksara tidak mau jika Nila sampai terkena masalah di luar sana.
Sementara di sisi lain, Aksara mungkin tidak bisa ikut karena kesibukannya. Ia yang sudah dipercaya menjadi salah seorang karyawan penting dari sebuah perusahaan yang merambah di bidang tekstil, membuatnya kekurangan waktu senggang.
“Memangnya reuni kapan diadakan, Sayang?” tanya Aksara ketika menyadari jika malam hari mungkin ia memiliki kesempatan untuk mengantar.
“Hari sabtu, Mas. Cuma siang hari, nah kan siang tuh, jadi boleh, ya?” balas Nila.
Aksara menghela napas. “Mas belum pulang kerja, Sayang. Lagian kenapa harus sabtu siang, enggak malam saja? Memangnya teman-teman kamu enggak kerja?”
“Ini cuma teman-teman seangkatan yang bisa kok, Mas. Sebagian besar mereka kan kerja setengah hari, makanya pada bisa. Ya, walaupun bakal telat. Nanti aku bakal berangkat dijemput Kintan, Mas.”
“Kintan? Si nona muda itu?”
Nila mengangguk pelan. “Iya, Mas. Dia kan sahabat aku, kalau soal nyetir dia jago banget. Jadi nanti aku baliknya kamu jemput.”
Aksara bimbang. Entah mengapa ia tidak setuju dengan permintaan istrinya itu. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, tetapi entah apa, Aksara tidak tahu.
Ingin melarang, Aksara masih merasa tidak tega. Pasalnya, Nila selalu menghabiskan waktu untuk membereskan rumah dan mengurus putra kecilnya yang masih berusia empat tahun. Sudah pasti Nila jenuh dengan keadaan yang selalu sama setiap harinya. Untuk bertemu teman-temannya juga akan kesulitan, jika tidak memanfaatkan reuni itu untuk melepas penat.
“Sayang?” ucap Aksara.
Nila menatapnya penuh harap. “Iya, Mas-ku sayang. Jadi, gimana?” balasnya.
“Terus Gibran sama siapa? Diajak?”
“Diajak boleh, Mas?”
“Enggak, pasti teman-teman kamu ada yang bikin asap dan ada pula yang minum. Mas enggak bakal kasih izin kalau kamu bawa Gibran.”
“Kalau begitu ... titip ke mamaku dulu ya, Mas. Cuma sehari kok, enggak penuh hari juga.”
“Ya sudah, asal Mama juga enggak keberatan, boleh saja. Tapi, kamu jauhi barang terlarang, ya? Ingat, kamu punya suami dan anak yang harus kamu jaga nama baiknya.”
“Jadi, boleh?”
“Mm ... enggak!”
“Ih, Mas Aksa!”
Nila memukul-mukul pelan badan suaminya itu, sesekali ia beri cubitan. Sementara, Aksara sibuk mengaduh kesakitan. Namun ketika pria itu memiliki tenaga lebih besar, ia segera mengangkat tubuh istrinya. Ia berjalan menuju ranjang yang tidak jauh dari tempat kerjanya.
Sekian detik kemudian, Aksara menaruh tubuh istrinya di atas ranjang itu. Sejenak, ia menatap Nila dalam-dalam. Selama lima tahun hidup bersama, Nila betul-betul tidak banyak berubah. Selain memang cantik, tingkah laku manja wanita itu padanya tidak pernah pudar. Pun meski sudah menjadi seorang ibu dari anak laki-laki bernama Gibran, Nila tetap sama seperti saat pertama kali menjadi istri dari Aksara.
“Pekerjaannya belum selesai lho, Mas,” ucap Nila sembari menyentil hidung Aksara.
“Biarin, aku maunya kamu, Sayang,” jawab Aksara.
Wajah Nila berangsur memerah. Tatapannya menjadi sendu. Sedangkan hatinya tengah menunggu aksi lanjutan dari suaminya itu.
Namun ... belum sempat menjatuhkan sebuah kecupan, seruan seorang anak kecil mendadak terdengar. Oleh sebab itu, Aksara menelan saliva. Sementara Nila sibuk tertawa. Ternyata pintu kamar itu belum ditutup rapat, sehingga Gibran dapat memasukinya tanpa halangan apa pun.
Sepasang suami-istri itu segera memperbaiki posisi. Mereka duduk bersebelahan, tanpa melanjutkan keromantisan. Aksara masih diam, agak kesal karena sudah kepalang tanggung, tetapi apa yang ia inginkan justru tidak terlaksanakan. Sementara istrinya tampak biasa saja.
“Bundaaa, Giblan takut,” rengek Gibran sesaat setelah sampai di hadapan ibunya.
Sembari mengangkat tubuh Gibran, Nila berkata, “Uluh-uluh anak Bunda. Takut sama siapa, sih?”
“Bunda enggak ada di samping Giblan. Telnyata di cini sama Ayah, Bunda jahat.”
“Ih, kok gitu sama Bunda? Bunda pikir Gibran sudah tidur nyenyak. Ya sudah maafin Bunda ya, Sayang. Tapi, Gibran janji sama Bunda ya? Semisal Bunda nggak ada ya harus berani, oke!”
Gibran tidak menjawab. Ia menjatuhkan diri ke dalam pelukan sang ibu dan wajahnya masih terhiasi oleh raut yang sendu. Anak itu seperti baru saja bermimpi akan sesuatu. Sesuatu yang berkaitan dengan hal yang paling ia takutkan.
Tak lama berselang, Aksara memberikan belaian di kepala istri dan juga putranya. Ia merasa bersyukur sebab diberikan kesempatan untuk memiliki mereka berdua. Aksara tidak pernah membayangkan hidupnya tanpa Nila ataupun Gibran.
Namun entah mengapa, sejak tadi ada yang janggal di salah satu ruang sanubarinya. Karena merupakan pria yang selalu realistis, Aksara terus menepis perasaan itu. Ia mengira hanya sedang lelah dan akhirnya menjadi agak sensitif.
“Gibran bobok sini sama Ayah, mau?” tawar Aksara sesaat setelah putranya itu memberikan tatapan.
Gibran mengangguk pelan. “Iya, Ayah,” jawabnya.
“Sama Bunda juga, ya?” sambung Nila.
“Giblan di tengah-tengah ya, Nda, Ayah?"
“Siap, Bos!” sahut Aksara sembari mengangkat tangan kemudian menyentuh keningnya untuk menunjukkan isyarat hormat.
“Ciap, ciap, ciaaap!” Gibran sudah mulai riang. Ia melepaskan diri dari pelukan Nila, kemudian meloncat-loncat di atas ranjang kamar itu.
Diam-diam, Aksara menatap istrinya dengan sendu. Namun sikapnya hanya dibalas senyuman manis oleh Nila yang tentu saja mengerti arti di balik raut wajah suaminya. Detik berikutnya, Nila memberikan kecupan manis di pipi Aksara sampai sukses membuat wajah pria itu memerah malu-malu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Bundanya Pandu Pharamadina
awal yg menegangkan
nyimak marahon
2023-03-30
0
Amalia gunawan
baru sempet baca , nimbun dulu babnya sampai banyak. eh gak sabaran buat baca ternyata ..
2021-01-16
5
🥂🍒⃞⃟🦅off hiat 👻ᴸᴷ📴
weeew
2021-01-08
0