‘Ada kalanya kita harus bersikap biasa terhadap sesuatu yang luar biasa.’
Park Chanyong masih berada di depan gerbang panti asuhan. Semalaman ia memikirkan maksud dari perkataan HMD03, Choi Jaewon, dari mana sebuah robot mendapatkan identitas. Dia menarik punggung yang bersandar di dahan pohon. Melangkah tanpa gairah, terasa hampa, pikiran tak masuk akal menyergap dan dengan wajah gusarnya ia kembali melirik bangunan di belakangnya.
Dari arah berlawanan terlihat Oh Sejun memasuki panti asuhan. Sejun sempat melirik kepergian Chanyong. Pandangan mereka bertemu dalam seperkian detik.
“Semoga kali ini benar,” kata Sejun menarik napas lalu mengeluarkannya dengan kasar.
“Maafkan aku tapi tidak ada anak yang bernama Oh Sejun yang pernah tinggal di sini,” sesal wanita berumur akhir tiga puluhan, ia melanjutkan dengan ragu, “Atau mungkin datanya ada di tempat lain, ah… maaf pemilik panti asuhan baru saja pergi.”
“Tak perlu meminta maaf, aku hanya ingin memastikan saja, apa benar ini panti asuhan yang pernah aku tinggali,” jawab Sejun agak tak enak karena telah merepotkan.
“Kalau begitu aku akan menghubungimu jika pemilik panti sudah ada, setelah itu akan aku carikan lagi datamu.” Ramahnya seraya menaruh berkas tebal di atas meja yang juga terdapat dua cangkir teh.
“Aku tidak punya ponsel, jadi nanti aku akan berkunjung lagi ke sini,” kata Sejun cepat-cepat, ia tidak ingat nomor telepon rumah dan tak mempunyai ponsel untuk dihubungi.
Sejun berpamitan pada wanita yang diketahuinya sudah menjadi sukarelawan tetap di panti asuhan tersebut. Lagi-lagi ia menghela karena harus pergi dengan rasa kecewa, sudah lima panti asuhan yang dia datangi seharian ini. Tiba-tiba sebuah bola menggelinding mengenai kakinya.
“Ahjusshi (Paman), tolong tendang bolanya!” teriak anak laki-laki di tengah lapangan yang sedang bermain.
Menendang bola adalah sesuatu yang belum pernah Sejun lakukan, maka ini akan menjadi tendangan pertamanya. Ia bersiap mengayunkan kaki dan bola melambung jauh menembus jaring gawang, anak-anak bersorak untuknya, mereka terkagum-kagum dan si anak yang menyuruhnya untuk menendang bola mendekatinya.
“Hebat sekali, sama hebatnya dengan ayahku ... dia juga bisa menendang bola sejauh itu,” ujarnya tersenyum dengan mata berkilat-kilat.
“Benarkah, kalau begitu lain kali aku akan kemari untuk bermain bola dengan ayahmu. Katakan padanya kalau aku menantangnya, OK!” Sejun menjadi lebih bersemangat dan melupakan kekecewaannya, anak kecil itu mengangguk. “Berapa usiamu?” tambahnya sembari membelai pucuk rambut laki-laki yang setinggi pinggangnya.
“Bulan depan usiaku tepat tujuh tahun!” mendadak perkataan itu terngiang dalam pikirannya, suara anak laki-laki lain terdengar pernah mengatakan hal yang sama persis dibarengi dengan kilas balik dalam pikirannya yang buram.
“Bulan depan usiamu tepat tujuh tahun!” Sejun terhenyak dari ingatannya, ia pernah mengalami ini sebelumnya.
Anak kecil itu dipanggil temannya dan ia pamit untuk kembali bermain. Sejun melihatnya berlari menuju teman-temannya, dan ingatan kembali ke masa lampau dengan kejadian yang sama. Siapa anak laki-laki yang dulu pernah mengatakan hal serupa padanya? Teman, iya, mungkin mereka sama-sama tinggal di panti asuhan dan berteman.
ΘΘΘ
“Turunkan aku di apotek depan sana,” kata Seora menunjuk bangunan yang tak begitu besar, namun di dalamnya banyak obat-obat berjejer rapih dan seorang wanita berkacamata berseragam putih berdiri di balik lemari kaca setinggi dadanya.
Mobil berhenti di bahu jalan tepat di depan apotek yang dimaksud, Choi Hyojung masih meragu untuk membukakan kunci pintu mobil. “Seharusnya kau menyuruhku untuk membeli obatnya.”
“Sudah kubilang manajer sebelumnya juga memperbolehkanku untuk membeli obat sendiri, dan ini hanya obat tidur saja aku sudah mendapatkan resep dokter... jadi tolong buka pintunya sekarang juga,” pinta Seora tak terlalu berharap, dia sudah sangat yakin dapat keluar dan benar saja kunci mobil terbuka dengan bunyi klik.
“Jangan lupa penyamaranmu.” Hyojung mengingatkan.
Seora berjalan memasuki apotek dengan menggunakan kacamata hitam dan masker berwarna sama. Ia baru akan mengatakan sesuatu sebelum suara laki-laki menyelanya.
“Berikan obat untuk lukaku ini,” katanya dengan tampang datar, melihat penampilan dan wajahnya yang babak belur si penjaga apotek segera melayaninya.
Tentu saja Seora tak terima karena ia datang lebih dulu, perlahan ia menoleh untuk melihat siapa orangnya. Dahinya mengeryit melihat wajah yang dikenalnya di balik kacamata hitam yang ia pakai, sampai-sampai menurunkan kacamatanya untuk melihat lebih jelas laki-laki berpakaian serba hitam di sebelahnya itu.
“Dia lagi... pertama menyerobot masuk ke ruang ganti dan sekarang tak mengantri,” gumam Seora kemudian berdehem, “Permisi tuan!” tambahnya keras-keras hingga membuat pegawai apotek yang sedang memasukkan obat untuk pelanggannya tersentak.
“Ini obatmu tuan,” si pegawai apotek tersadar, “Nona, obat apa yang kau inginkan?”
Seora terlanjur sakit hati. Mengembuskan napas yang lalu merampas plastik obat dari tangan Chanyong.
“Kau tidak adil, jelas-jelas aku yang datang lebih dulu jadi kau seharusnya melayaniku dulu bukan dia!” protes Seora membuat pegawai apotek serba salah.
“Tapi aku lebih dulu mengatakan pesanannya.” Chanyong mengambil paksa plastik obatnya, ia segera menambahkan, “Berapa?” si pegawai masih belum menjawab. “Ambil saja kembaliannya,” katanya buru-buru keluar dari apotek.
“Anda ingin obat apa?”
“Aku tidak jadi beli!” sahut Seora menyusul Chanyong dengan tampang kesal. “Berani sekali dia memperlakukanku seperti ini.”
ΘΘΘ
Di luar tak begitu ramai sehingga membuat Seora berani berjalan di tempat umum, dari dalam mobil Hyojung melihatnya pergi menjauh. “Kemana dia akan pergi?” tanyanya agak was-was sembari menyalakan mesin.
“Kau tidak ingat denganku?” tanya Seora terus menyamakan langkahnya dengan langkah yang lebih lebar darinya. “Di butik waktu itu ….”
“Bukan masalah besar jadi untuk apa aku mengingatnya,” jawab Chanyong.
“Bukan masalah besar... aakh, baiklah bagimu ini sesuatu yang sepele tapi bagiku tidak! Memangnya kau tidak mengenaliku?” Seora membuka kacamatanya dan kembali berkata, “Aku seorang idol terkenal tak seharusnya kau memperlakukanku seperti ini, lihatlah dirimu... begitu gelap! Apa pekerjaanmu?” ia meremehkan melihat pakaian berwarna hitam yang dipakai Chanyong sembari terus mencoba menyamakan langkahnya.
“Tidak ada urusannya denganmu!” kata Chanyong kasar, perasaannya sedang buruk sekarang, pikirannya dipenuhi keingintahuan tentang rahasia apa yang disembunyikan oleh sang ayah dan kenapa sebuah robot dapat mengeluarkan cairan seperti darah.
“Pekerjaanmu memang bukan urusanku,” kata Seora pelan.
“Im Seora, Seora-ya!” Hyojung memanggilnya dari dalam mobil, kepalanya menoleh keluar jendela sembari sesekali melihat jalan di depannya. “Apa yang kau lakukan, cepat kembali ke mobil!” tegurnya terlihat begitu tegas.
“Iiish, apa dia ingin terlihat sebagai manajer yang kejam,” sebal Seora saat beberapa orang di sekitarnya mulai berbisik tentangnya.
“Bukankah itu Im Seora!” seru laki-laki gembul berdiri sekitar empat meter dari Seora.
“Sial,” rutuk Seora di balik senyum ramahnya pada penggemar yang mengenalinya, terpaksa ia harus berlari menuju mobil lalu dengan cepat menutup pintu. “Cepat jalan!”
Pandangan Chanyong mengikuti laju mobil yang semakin jauh, sebenarnya dia ingat pernah bertemu dengan gadis itu tapi tidak ada alasan untuknya mengatakan bahwa ia mengingatnya. Sudah lama sekali semenjak terakhir kali ia berbicara dengan seseorang, selain robot yang dimilikinya di rumah.
ΘΘΘ
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments