‘Mengenal banyak wajah di kehidupan baru.’
“APA!”
Serin membuka kacamata hitamnya, suster itu sedikit terkejut dengan suara yang cukup keras, mampu mengalihkan beberapa pandang mata ke arah mereka.
“Dia pergi begitu saja? Tanpa memberitahukan namanya?” suster mengangguk, Serin meneruskan, “Apa menurutmu dia baik-baik saja?”
“Aku sempat memeriksanya lagi, suhu tubuhnya kembali normal dan tidak ada luka selain goresan sepanjang tiga centi meter di wajahnya,” kali ini perkataan suster terdengar meyakinkan.
Beberapa penghuni rumah sakit berbisik-bisik memandang Serin, rupanya mereka mulai mengenali aktris yang baru menerima penghargaan itu. Kyungmin menyadarinya, ia berkata pelan, “Serin-ah, sebaiknya kita pergi sekarang.”
Bola mata Serin bergulir, melihat sekeliling yang riuh, dengan santai ia kembali memakai kacamatanya. Memberi salam pada suster sambil menyunggingkan senyum tipisnya. Kyungmin juga melakukan hal yang sama, tak lupa mengucapkan terima kasih pada suster yang terlihat sedang menebak-nebak siapa wanita di hadapannya dengan tatapan menyelidik.
ΘΘΘ
Di lain tempat, Oh Sejun berdiri mematung dengan tatapan kosong. Sekarang bagaimana laki-laki itu bisa menemukan keluarganya, ketika ia sendiri tak yakin memilikinya. Terlebih lagi hanya ia yang selamat dari ledakan itu. Mendadak hatinya merasa sesak dan cairan hangat keluar dari sudut matanya.
Dia menangis? Pertanyaan yang selalu ingin diutarakannya dan berharap akan ada seseorang yang menjawabnya, benarkah dia bisa menangis? Bisakah seorang robot menangis? Ia pun hanya menghela napas sambil mendongak melihat bintang di langit hitam.
Lampu penyeberangan menunjukkan warna hijau bagi para pejalan kaki. Orang-orang mulai berjalan melewatinya dan Sejun masih terdiam di tempat. Apa ia juga harus pergi? Sampai keramaian jalan digantikan oleh kendaraan beroda empat, ia tahu kendaraan itu adalah mobil. Jaewon selalu mengatakan bahwa kelak ia ingin mengemudikan sebuah mobil.
“Jaewon Hyung,” gumam Sejun menatap sedih lalu lalang di depannya, kegamangan menyelimuti pikirannya. “Sekarang apa yang harus aku lakukan tanpamu, Hyung… bisakah aku hidup sebagai manusia?”
Seorang wanita yang berdiri di sebelahnya, mengerutkan dahi dengan alis bertaut. “Apa dia bukan manusia?” katanya keheranan sambil menatap aneh Sejun yang bergeming. “Memang untuk ukuran manusia, dia sangat tampan,” ia sempat terkesima, sebelum berlalu menyeberangi jalan yang kembali dipenuhi pejalan kaki.
Sejun masih terpaku menatap segerombolan manusia yang berlari diakhir-akhir lampu yang akan berubah kembali. Kemudian ia memilih untuk menyeberang, tetapi traffic light (lampu lalu lintas) itu tidak mengizinkannya, sekarang ini giliran pengendara untuk memakai jalan.
“Pemuda itu tertabrak!”
Kedua kalinya tubuh Sejun terhantam mobil. Sebagai manusia dia harus terlihat lemah. Namun ia tak terbiasa melakukannya, memegangi asal kakinya yang terbentur bagian depan mobil. Sedetik kemudian pandangannya tertuju pada mobil yang penyok, ini pasti karena kakinya yang terlalu kuat.
Beberapa orang melihat ke arahnya dan saling berbisik menanyakan sekiranya bagaimana keadaan lelaki yang tertabrak itu. Telinga Sejun berkedut, ia dapat mendengarnya, sebagian ada yang mengkhawatirkan kondisinya dan ada yang menyalahkannya karena menyeberang sembarangan. Sebelum pemilik mobil itu keluar, Sejun harus lari, ia tidak tahu masalah apa yang akan dialaminya nanti.
Sementara itu di dalam mobil si pengemudi hendak keluar untuk memeriksa. “Ouh, dia pergi,” katanya urung membuka pintu mobil, seperkian detik kemudian suara klakson dari mobil lain berbunyi saling susul. “Bagaimana ini Seora-ssi, apa kita pergi saja?” ia bertanya pada seorang wanita yang duduk tenang di bangku belakang.
Seora menurunkan penutup mata. Manajer barunya sangat kaku sehingga membuat ia tidak nyaman. “Lalu kau akan memarkirkan mobil di sini,” jawabnya berpangku tangan, meneruskan dengan santai. “Kau harus lebih hati-hati jika mengendarai mobil di penyeberangan jalan.”
“Nde, Seora-ssi,” balas sang manajer melajukan mobil pelan.
“Pasti orang yang tertabrak itu baik-baik saja, makanya dia tidak mempermasalahkannya dan sudah aku bilang jangan terlalu sopan padaku, kau adalah manajer yang mengatur semua jadwal artisnya, kenapa berbicara formal begitu. Aku bukan direktur, ataupun CEO … Kau juga lebih tua dariku, cukup panggil Seora, karena aku akan memanggilmu Eonni. Hyojung Eonni. OK,” kata Seora dengan nada sedikit menuntut.
“Baiklah, aku mengerti,” ujar Hyojung tersenyum kikuk.
“Hyojung Eonni (Kakak, panggilan wanita pada wanita yang lebih tua), kau beruntung karena menjadi manajerku, aku ini aktris dengan citra baik dan ramah. Kau tidak perlu sungkan, santai saja,” kata Seora, pemikirannya memang lebih sederhana dibanding Serin yang suka mencari banyak kemungkinan yang timbul dari satu masalah.
Hyojung manggut-manggut. Sementara Seora menggunakan kembali penutup matanya. “Aku akan tidur, menyetirlah dengan baik.”
“Tenang saja, akan aku pastikan selamat sampai tujuan.” Choi Hyojung mulai merasa nyaman dengan situasi sekarang, ia senang karena di hari pertamanya bekerja sebagai manajer berjalan lancar walau harus keluar kota.
Keahlian akting Seora juga diakui, dan mendapat apresiasi dari dunia perfilman. Seora menggerutu ketika mengetahui teman, sesama anggota grupnya, datang terlambat saat acara, namun segera pergi di akhir acara.
“Auh, Kim Serin! Dia tidak pernah menganggapku sebagai leader (ketua dalam grup),” keluh Seora sambil memberengut kesal ketika mengingat kejadian beberapa saat lalu.
Mobil melaju di antara kendaraan lain meninggalkan kota Busan menuju Seoul. Hyojung menegakkan pundaknya, agak tersentak dengan ucapan Seora, terlintas dalam pikirannya tentang aktris yang baik dan ramah. Semoga saja Seora memang seperti itu, ia tidak harus kerepotan mengurus aktris yang berperilaku tidak baik dan hanya membuat skandal untuk melambungkan namanya di dunia hiburan. Dia bersyukur karena bukan seorang Kim Serin yang harus diurusnya.
ΘΘΘ
Busan Station, Busan, Korea Selatan
Dengan hanya beralaskan kardus bekas, berselimut koran, beberapa gelandangan meringkuk di koridor stasiun. Terlihat Sejun yang juga menarik korannya setinggi leher. Sejun memperhatikan syal yang terpasang di pergelangan tangan, berpikir bagaimana ia bisa mengembalikannya.
Di sebelahnya seorang kakek tengah merajut syal berwarna merah, yang sepertinya hampir selesai. Melirik ingin tahu apa yang sedang anak muda itu gumamkan, ia menimpali, “Syal yang bagus, sepertinya mahal.”
Merasa ada yang berbicara, Sejun bangkit dari tidurnya dan menemukan si kakek sedang menatap ke arahnya. Sejun menoleh ke kanan lalu ke kiri, memastikan apa benar kakek itu berbicara padanya.
“Iya kau, siapa yang memberimu syal itu?” tanya kakek mengedikkan kepala pada syal di tangan Sejun, pandangannya menyiratkan tak mungkin seorang gelandangan memiliki benda sebagus itu. “Kekasihmu?”
Rasanya senang sekali ada orang yang mengajaknya bicara, ini pertama kalinya Sejun berbicara dengan manusia di luar pabrik. Sejun menunjukkan syal, kebingunga. “Kekasih? Apa itu?”
“Seseorang yang kamu kasihi, masa tidak tahu.” Kakek mengerutkan dahi.
Sejun gelagapan, bisa-bisa identitasnya ketahuan kalau ia bilang tidak tahu. “Tentu saja aku tahu, maksudku … aku tidak memiliki kekasih. Ketika terbangun ini sudah berada di tanganku,” kata Sejun dengan suara meyakinkan, dilihatnya kain bermotif bunga-bunga kecil itu, ia menunjukkan tulisan yang tersulam di syal.
“Kim Serin, wanita pemilik syal ini telah menyelamatkanku, dia memintaku mengembalikannya untuk kemudian membalas budi padanya,” jelasnya tanpa minat, namun ia setuju untuk membalas budi pada orang yang telah menyelamatkannya.
“Oh, begitu ya,” kata kakek manggut-manggut dengan tangan yang masih sibuk merajut, perkataannya terdengar lebih ramah dari sebelumnya. “Memangnya kau tau dia berada di mana?” tanya kakek menghentikan gerak tangannya, ingin lebih fokus mengobrol dengan anak muda itu.
Sejun menggeleng tak yakin. “Aku tidak tahu.”
“Asalmu dari mana?” perhatian kakek teralihkan sepenuhnya pada Sejun.
“Seoul, Jaewon Hyung bilang aku berasal dari Seoul,” ujar Sejun merana, pikirannya kembali ke saat ledakan hebat terjadi, saat itu dia sudah berhasil keluar dari lumbung dan menyaksikan kehancuran lumbung yang di dalamnya terdapat rekan kerja yang sudah seperti keluarga.
“Namamu?” kakek membuyarkan lamunannya.
“Sejun, Oh Sejun.” Rasanya bangga sekali bisa menyebutkan nama itu, rasa terima kasihnya tak bisa diucapkan lagi kepada Jaewon yang sudah memberitahukan nama tersebut.
Sejun masih tidak tahu dari mana Jaewon mengetahui nama itu, ia tersenyum miris mengingat cerita tentangnya, tentang mereka, yang belum sempat diselesaikan Jaewon.
“Aku bisa membantumu menemukan Kim Serin,” kata kakek tiba-tiba.
“Harabeoji (Kakek)?” tukas Sejun menyangsikan.
“Emm, aku bahkan tahu dia tinggal di mana.”
Sejun masih belum yakin. Sedang kakek kembali merajut dan menyuruh Sejun agar segera tidur, karena besok pemuda itu akan melalui perjalanan yang panjang. Entah apa yang dimaksud sang kakek dengan perjalanan panjang itu, Sejun tak menanyakannya dan kembali mengikatkan syal di pergelangan tangannya.
Tak lama setelah Sejun tertidur, seseorang melepaskan syal dari tangannya, mengambilnya tanpa sepengetahuan Sejun.
ΘΘΘ
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments