...CAT AND MOUSE...
...(KUCING DAN TIKUS)...
...●...
...●...
...●...
HARI ini suasana meja makan berubah. Yang biasanya cuma ada empat kursi sekarang bertambah dua sehingga genap jadi enam buah. Tak lama setelah Sarah bersuara mereka semua pun datang dengan setelan lengkap. Akash dengan setelan kantor ditambah dasi merah hati sebagai pemanis, Nakula dengan kemeja beserta jeans khas anak kuliahan, sementara Aurel, Davina, dan Danial dengan setelan lengkap sekolah.
"Danial, kamu sakit?" tanya Sarah yang seketika mengurungkan niat untuk meraih sendok nasi.
Seketika semua perhatian mengarah kepada Danial yang memang tampak pucat.
"Danial gak sakit kok Tan," jawab Danial atas pertanyaan yang dilayangkan oleh Sarah beberapa waktu lalu.
"Kalau memang gak enak badan lebih baik istirahat dulu di rumah," kata Akash dengan bijaknya.
"Danial baik-baik aja kok Om."
"Terus kenapa mukanya pucat gitu," Davina menceletuk.
"Kurang tidur aja," Danial memaksakan senyum sesudah menandaskan apa yang hendak diucapkannya.
Saat ini Aurel mungkin diam menyimak, namun tidak dengan akalnya. Setelah mendengar pengakuan Danial barusan Aurel begitu yakin pria itu kesulitan tidur semalam. Nyatanya tidak mudah bertingkah seolah buta mengabaikan sekitarnya. Insting seorang anak indigo terlalu kuat untuk sekadar merasakan hadirnya makhluk dari dimensi lain.
"Perut lo gak bisa kenyang kalo lo malah ngelamun kayak gitu," Nakula meruntuhkan lamunan yang dibangun oleh imaji Aurel. "Mikirin apa sih?" tanya Nakula lebih lanjut.
"Gak mikirin apa-apa kok," sahut Aurel.
"Sekarang kan lo udah kelas dua belas. Fokus aja sana sama sekolah, gak usah mikirin status jomblo lu yang udah ada sejak jaman Indonesia belum merdeka." cercah Nakula tidak tanggung di depan Danial dan juga Davina.
Okelah kalau misalnya di tempat ini hanya ada dia dan keluarganya. Aurel bahkan selalu mencoba bersabar menghadapi label jomblo yang kerap kali diarahkan padanya. Tapi sekarang di ruangan ini juga ada Davina, selain itu juga ada manusia paling menyebalkan bernama Danial. Yakin sekali Aurel akan di-bully habis-habisan saat tiba di kelas.
"Nakula!" geram Aurel menyentak meja makan.
"Aurel!" tegur Akash.
"Nakula tuh Pah!" Aurel menunjuk Nakula yang hanya menerbitkan senyum samar.
"Yang gue omongin barusan kan fakta, emangnya situ udah laku?" lanjut Nakula.
"Nakula!" kini giliran Nakula yang mendapatkan teguran dari Akash.
"Iya Pah, maaf."
"Nakula, kamu sekalian nganterin mereka ke sekolah ya!" Sarah bersuara.
Lebih dulu menghabiskan makanan dalam mulutnya, Nakula pun menatap sang mama lalu menjawab, "Siap Mah!"
"Gak usah repot-repot!" ucap Davina memborong perhatian.
"Gak repot kok," Nakula menjawab. Sedetik setelah kalimatnya berakhir, senyuman manis pun lahir dari bibirnya yang berwarna merah muda.
"Biar Kak Danial aja yang ikut sama Kak Nakula, kan sekolahnya aku gak searah sama kalian. Aku bisa naik taksi kok."
"Gapapa, kan Nakula bisa nganterin kamu dulu sebelum lanjut nganterin Danial sama Aurel," Sarah bersikeras. Semuanya harus berangkat bersama-sama. Tidak peduli mau searah atau tidak.
...●●●●●...
"MASUKIN KAKI BAJUNYA!" tegur Davina melihat kaki baju kakaknya dibiarkan menggantung.
"Ini gaya Davina." Jawabnya penuh penegasan.
"Sekarang Davina nanya, tujuan Kakak ke sekolah pengin belajar atau cuma pengin gaya-gayaan doang?" tajam Davina.
Saat itu Danial jalan bersisian dengan adik perempuannya menuruni anak tangga penghubung ke lantai 1. Tujuan utama mereka adalah menghampiri Nakula di luar rumah sedang memanaskan mesin mobil.
"Jadi kapan nih," tanya Davina menggantung.
"Maksudnya?"
"Bukannya Kakak pernah bilang gak sudi nginep di rumah ini?"
Danial pun menyengir lalu mencubit pipi sang adik, perpaduan antara gemas dan kesal. "Ya kali lo tega gorok leher kakak, yang ada lo malah nyesel setelah kehilangan saudara dengan visual superior." Kelakar Danial menutupi sumpah serapah yang pernah dia ucapkan waktu Davina menyuruhnya bersiap-siap ke rumah megah ini.
Davina mengedikkan bahunya menghirup udara bebas lalu membuangnya, "Visual superior tapi IQ jongkok."
"Kakak mah baek, nyisain gen pinter untuk lo! Kakak kan gak serakah jadi cuma ngambil gen rupawannya doang."
"Bisa aja nyari alasan."
Sampai ketika Danial dan Davina masuk ke mobil.
"Lama amat sih," Aurel mulai mencibir saat Davina dan Danial masuk ke dalam mobil.
"Maaf ya Kak!" ucap Davina merasa tidak enak.
"Bukan buat kamu sayang," tegur Aurel saat mendengar Davina melantunkan permohonan maaf.
"Terus buat siapa?" Danial memotong. Lebih dulu ia menutup pintu mobil.
"Buat elo lah. Kalau Davina gue gak masalah."
"Kok gitu?" protes Danial, "Kok lo rasis sih! Jangan mentang-mentang gue dari kaum visual superior sampai lo seenaknya ngintimidasi gue!" sambung Danial merasa terdzolimi. Meski begitu dia tetap saja menyombongkan diri dengan alibi wajah tampannya.
"Cih, ganteng pantat lo!"
Seperti itulah Danial dan Aurel. Kalau diibaratkan mereka berdua sudah mirip kucing dan tikus. Setiap kali ketemu selalu ada saja bahan untuk mereka perdebatkan.
Nakula sebagai yang tertua memilih menyimak sambil geleng-geleng membiarkan perdebatan itu berakhir dengan sendirinya.
Untuk saat ini Davina merasa sifatnya sedikit lebih dewasa dibanding Aurel dan juga Danial. Meskipun masih SMP tapi pola pikirnya sudah menyamai pola pikir Nakula yang sudah duduk di bangku perkuliahan. Beda dengan Danial dan juga Aurel yang senang memperdebatkan sesuatu yang tidak berfaedah.
...●●●●●...
SAAT sampai di sekolah Aurel dan Danial turun bersama-sama. Keduanya sengaja merenggangkan jarak. Aurel tidak mau menanggung risiko dengan rumor berpacaran dengan Danial jika terus berada di sisinya.
Ketika sampai di lorong koridor pun Aurel masih saja memperhatikan punggung Danial yang tentu saja semakin menjauh. Kaki panjangnya mudah membuatnya mempercepat langkah.
Sesekali menyentak pria itu dikagetkan oleh sosok di sepanjang koridor. Satu persatu dari mereka memperlihatkan dirinya.
"Eh anjing," umpat Danial yang sebetulnya kaget.
Meneguk ludah Aurel merasa kasihan melihat sentakan badan Danial begitu mendapati sosok menyeramkan di sepanjang koridor sekolah.
Perasaan takut itu jelas membayang-bayangi langkahnya.
"Hayo, lo liatin Danial ya?" dibilang kaget sudah pasti Aurel akan mengakuinya. Kehadiran Leana mendaratkan tangan di punggungnya membuat dirinya terpelonjak.
"Astaga Leana," geram Aurel mengelus dadanya yang memperdengarkan dentuman tak keruan. "Lo ngagetin gue."
"Liatin hantu aja lo berani, masa liat gue yang cantiknya sejak jaman orok malah kaget." Pede Leana mengibaskan rambut hitam bergelombangnya.
"Karena muka lo lebih serem dari hantu, makanya gue kaget." Perasaan kesalnya jelas masih terasa hingga detik ini. Buktinya Aurel memilih mengeluarkan kalimat tajam alih-alih dengan kalimat selembut sutra.
"Lo gak demam kan Rel?" gadis itu mengudarakan tangan memeriksa suhu tubuh Aurel, "Kok gak bisa bedain mana hantu mana manusia cantik."
Lebih dulu Aurel berdecak sebal, menjauhkan tangan milik Leana, "Lama-lama lo udah mirip kek Danial, dikit-dikit muji diri sendiri." Aurel bergidik ngeri.
"Berarti dugaan gue bener dong kalo sebelumnya lo liatin Danial?"
"Kata siapa?" elak Aurel tak terima.
"Gue liat sendiri kali."
"Siapa yang liatin si kunyuk? Salah liat kali lo." Aurel berdalih.
"Mata gue masih normal Rel, gue liat dengan mata kepala gue kalo lo liatin Danial."
"Terserah," Aurel mulai dongkol.
"Elah baper," seolah sudah jadi kebiasaannya Leana selalunya menggoda disaat dirinya mendapati bibir mengerucut memancar dari wajah sahabatnya.
Ambyar! Satu kata itu adalah kata yang pas untuk mewakili perasaan Aurel. Tiap kali ia dibuat kesal oleh Leana pastinya akan berakhir seperti ini. Ekspresi marah yang dipertegas oleh bola mata jengah juga bibir mengerucut langsung pudar tatkala Leana menggodanya.
...~To be Continued~...
...●●●●●...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments