Ken melirik jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 malam tapi Billie, gadis yang ditunggunya belum pulang. Seharusnya di jam segini sudah tidak ada lagi kelas ataupun kegiatan ekstrakurikuler di sekolah ini. Satu hal lagi yang aneh gadis yang terkenal rakus itu biasanya tidak pernah melewatkan makan malam, apalagi jika Ken sudah berjanji mentraktirnya.
Firasat buruk yang Ken rasakan sedari siang membuatnya tidak bisa duduk tenang. Setelah lama berdebat dalam batin, Ken akhirnya memutuskan untuk mencari tahu sendiri sebabnya. Dia yang sejak tadi duduk diam di balik kursi kemudi, melangkah turun dari mobilnya.
"Apa kau sedang menunggu anak gadismu, Pak Polisi?"
Suara seorang pemuda yang muncul tiba-tiba mengagetkan Ken setengah mati. Jantung Ken serasa copot terutama saat pemuda asing itu memanggilnya "Pak Polisi" dengan nada sarkastik.
"Kau? Bagaimana kau tahu?" Tanya Ken pada pemuda asing yang berambut panjang sebahu itu. Tanpa menutupi jati dirinya lagi dengan suara yang dibuat kemayu, Ken menatap Ice tajam.
"Jika kau ingin menyamar sebagai wanita, sebaiknya cukur bulu kakimu dulu!" Komentar Ice terkesan menggelitik. Senyum tipis terukir di sudut bibirnya saat menatap ke arah kaki Ken.
"Brengsek!" Ken mengumpat dan dengan refleks menatap kaki telanjangnya yang berbulu lebat. Dia sadar saat ini memang belum mencopot penyamarannya. Dia masih berpakaian wanita tapi karena tak tahan dengan rasa gatal dan panas diaterpaksa melepas stokingnya.
"Ckrek" Bunyi Pistol diaktifkan. Dengan gerak cepat Ken meraih pistol yang tersembunyi di tas kecilnya dan menodongkannya tepat ke wajah Ice.
"Hei, kau! Berandalan! Katakan siapa kau?! Bagaimana kau bisa tahu kalau aku seorang Polisi?!" Gertak Ken, sengaja ingin menunjukkan ororitasnya.
Ken sebenarnya sudah tahu jika pemuda ini adalah murid di sekolah ini, Ezra Hunter siswa tingkat akhir Diamond Art School yang lebih dikenal dengan panggilan Ice alias pangeran es. Dia juga merupakan teman sekamar Billie. Ken bahkan masih ingat jika salah satu foto Ice juga ada di koleksi milik korban bernama Mila. Tapi bagaimanapun tingkah pemuda yang langsung mengkonfrontasi dirinya seperti ini jelas sangat mencurigakan.
"Tidak perlu menggunakan kekerasan padaku, Detektif Ken. Aku kan datang dengan damai."
Mata Ken semakin membelalak lebar dan adrenalinnya seolah terpacu saat mendengar Ice menyebut namanya. Namun seperti biasa murid aneh itu malah balas menatapnya dengan gaya santai. Sikap tenangnya itu semakin membuat Ken gusar.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, katakan siapa kau yang sebenarnya!?!" Dengan sedikit gemetar Ken sengaja memutar revolver pistolnya dan mengarahkannya pada wajah tampan murid lelaki itu. Dia sebenarnya tak tega tapi situasi membingungkan ini membuatnya harus tetap waspada.
"Akulah yang menghubungi kalian untuk mengungkap kasus ini..." Pengakuan mengejutkan Ice ucapkan dengan nada datar. Dia menunjukkan layar handphonenya. Sebuah email top secret yang pernah dia kirim ke kepolisian.
"Kau? Yang menghubungi kepolisian?! Apa?! Jangan bercanda! Jangan bilang kalau kau adalah bagian Eyes?"
"Memangnya kenapa? Siapapun bisa melapor dan menjadi Eyes! Benar kan!"
Senyuman penuh arti dari bibir Ice cukup menjadi jawaban bagi pertanyaan Ken. Sejauh yang Ken ketahui selama ini Eyes adalah komplotan hacker handal misterius yang sudah lama menjadi target pencarian departemennya. Dan yang dikatakan Ice memang benar, siapapun bisa menjadi anggota Eyes. Komplotan hacker itu tak mengenal batas umur, gender ataupun profesi. Aktivitas mereka diantaranya meretas akun perusahaan ataupun akun pribadi dari para publik figur seperti pejabat, petinggi perusahaan ataupun selebritis. Mereka seringkali mengirimkan email ancaman dan sengaja mengungkap skandal para publik figur demi kepentingan pribadi. Tindakan mereka ini memang ilegal dan bisa disebut kriminalitas, tapi Ken akui keberadaan Eyes sedikitnya beberapa kali membantu pihak kepolisian terutama jika berkaitan dengan skandal korupsi ataupun perbuatan kriminal dan asusila dari para pejabat negara ini.
Hanya saja saat ini Ken tak menyangka murid sekolahan elit yang lahir dan tumbuh dari kalangan kapitalis seperti Ice adalah salah satunya. Sungguh ironis, tapi apapun itu Ken pikir jika dia bisa menangkap pemuda ini dan mengungkap lebih lanjut tentang keberadaan Eyes sudah bisa dibayangkan reputasinya sebagai detektif akan langsung meroket. Berbagai pertanyaan muncul dalam benak Ken sekarang.
"Kenapa pemuda ini melaporkan skandal yang terjadi di sekolahnya sendiri pada Polisi dan mengambil resiko untuk membuka kedoknya sendiri? Apa motif pemuda ini sebenarnya?" Ken mengkerutkan keningnya dan matanya memicing semakin tajam.
"Katakan apa maksudmu yang sebenarnya? Apa kasus yang terjadi di sekolah ini juga semua adalah ulahmu?" Ken mulai mencoba menginterogasi.
"Pembunuhan bukanlah minatku, tuan Detektif! Apa kau pikir aku orang bodoh yang akan dengan mudah menyerahkan diri? Jika kau ingin segera menolong gadis itu, ikuti aku!"
"Pembunuhan?"
Mendengar kata itu jantung Ken seolah berhenti berdetak, hatinya mencelos dan dirinya semakin diliputi kegelisahan. Jawaban pemuda ini terdengar ambigu di telinga Ken, sangat sulit dipercaya dan setiap gerak-geriknya mencurigakan. Tapi sebagai detektif Ken tidak bisa membiarkan pemuda ini pergi begitu saja dari hadapannya, terutama jika dia tahu dimana Billie berada.
...----------------...
Di sebuah ruangan gelap yang tersembunyi.
Billie yang tak sadarkan diri terbaring telentang di atas meja beralaskan logam yang dingin. Udara pengap dam sumpek yang terhirup hidung dan paru-parunya membuatnya refleks terbatuk. Billie perlahan membuka matanya. Efek sisa obat bius yang menyerang sistemnya membuat kepalanya sedikit pusing. Billie mengedarkan pandangannya ke segala arah hanya untuk mendapati cahaya merah yang mengisi ruangan.
"Dimana aku? Apa-apaan ini?!" Billie seketika panik mendapati tangan dan kakinya di borgol dengan rantai yang terkoneksi ke setiap sudut alas tidurnya.
"Kau sudah bangun? Tidurmu nyenyak juga ya!"
Bayangan hitam seorang pemuda bertubuh tinggi besar berdiri memunggunginya. Di sekelilingnya tampak foto-foto polaroid hitam putih para murid dan guru yang Billie kenal sebagai korban kasus bunuh diri berantai menempel menghiasi dinding ruangan. Billie bisa tebak ruangan ini adalah sebuah kamar gelap klub fotografi. Perhatian Billie kembali pada pemuda yang tampak sibuk menempelkan sehelai foto di dinding yang tidak lain adalah wajah Billie endiri.
"Godfrey! Kau gila! Apa yang ingin kau lakukan padaku?! Kau akan menyesal nanti!" Billie berontak, Gemerincing suara borgolnya terdengar begitu keras saat dia mencoba melepaskan diri dari jeratan logam metal itu tapi usahanya nihil.
"Hehe... bodoh! Bukan aku yang kau seharusnya kau khawatirkan saat ini, tapi dirimu sendiri, Billie!" Cetus Godfrey sambil terkekeh. Dia membalikkan badannya dan menghampiri Billie yang masih tidur terlentang.
"Apa ini? Lepaskan aku?! Jangan sentuh!"
Billie kembali meronta, kepanikan melanda dirinya saat melihat kilatan cahaya dari sebuah pisau kecil di tangan Godfrey mengarah padanya.
"Dasar manja! Kenapa harus malu, eh? Kita ini sesama laki-laki kan?"
Dengan perlahan tapi pasti Godfrey memainkan pisau kecilnya untuk melucuti kancing baju seragam Billie.
"Oh Tidak! Apa ini? Apa yang ingin dia lakukan padaku! Apa dia berniat untuk... memperkosaku?"
Batin Billie menjerit, dia tak ingin membayangkan apa yang akan terjadi padanya. Situasi ini sungguh berbeda dengan saat dia pertama kali bertemu Ice, tatapan Godfrey yang liar saat ini berbeda dengan Ice yang saat itu sedang mabuk. Rasa takut dan tak berdaya membuat air matanya mulai menetes, tapi dalam keputusasaannya itu Billie berusaha tetap tenang, tegar dan tak gentar.
"Kau membenci kaum gay tapi yang kau lakukan padaku ini adalah pelecehan seksual! Apa kau sadar itu, huh!?! Kau brengsek! Bajingan! Inikah yang kau lakukan kepada semua korban sebelum mereka memutuskan bunuh diri, huh? KAU SAKIT JIWA, GODFREY!!!!"
Billie menggeram hebat, tangannya mengepal erat Ingin sekali melayangkan tinjunya pada wajah pemuda penyerangnya ini.
"Pelecehan? Bukankah ini yang biasa kalian para kaum gay lakukan, huh? Hahaha..." Godfrey tertawa terbahak seperti maniak.
"Kau tidak perlu gugup seperti itu Billie... Aku dengar kau tak berbakat dalam kelas akting... tapi tenang saja saat ini aku akan menjadikanmu sebagai bintang utama dalam video yang sebentar lagi akan viral! Ayo lihat ke kamera ini, senyum dan mendesahlah seperti pelacur..." Ujarnya sembari menunjuk ke kamera ponsel yang tengah terpasang di sudut ruangan.
"BRENGSEK! KAU MANIAK! LEPASKAN AKU!" Teriak Billie.
Tidak butuh waktu lama seragam Billie terkoyak, kancing-kancing kemejanya berjatuhan. Billie memejamkan mata dan spontan mengernyit dan meringis saat ujung pisau tajam itu menggores kulit mulusnya. Namun sesuatu yang tak Godfrey duga membuatnya seketika pucat pasi bahkan pisau yang dipegangnya terjatuh ke lantai.
"K-kau? B-bukan laki-laki?!" Tanya Godrey dengan nada terbata. Dia menelan ludah kasar, ekspresinya seperti yang begitu terkejut saat menyadari sesuatu yang disembunyikan di balik bebat yang selama ini membelit dada Billie.
"IYA MEMANGNYA KENAPA? APA KAU KECEWA, HUH?! JADI SIAPA YANG GAY SEKARANG, HUH?! HAHAHA!!!"
Sahut Billie sarkastik. Matanya yang berlinang menatap Godfrey nyalang, menghiraukan rasa takut dan malu walaupun buah dadanya saat ini jelas-jelas terekspose di hadapan Godfrey. Penyamarannya kini sudah terbongkar dan saat ini dirinya dalam situasi yang sangat berbahaya. Apa yang akan Godrey lakukan setelah mengetahui kebenaran tentang identitas Billie yang sebenarnya?
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
rushiver
lol, kebayang tampilannya Ken pasti kocak
2021-08-08
1
Isnaaja
oow kamu ketahuan
2021-02-14
2