Dua Pangeran Satu Cinta
Siang ini rasa bosan menyelimutiku. Panasnya cuaca membuat tubuhku gerah seakan membutuhkan lemari pendingin. Jam kuliahku pun berakhir cepat. Dengan segera kulangkahkan kaki menuju halte bus di depan kampus, seraya berulang kali mengipasi kepala menggunakan buku tipis yang kupegang. Bus pun tak lama datang dan segera saja aku menaikinya.
Aku duduk di kursi nomor tiga dari belakang, dekat jendela. Cukup mendapatkan pendingin walaupun tidak terlalu terasa.
Di dalam bus, bisik-bisik terdengar membicarakan sebuah buku fantasi. Aku menoleh ke asal suara yang berada di belakang. Kulihat segerombolan siswi SMA duduk histeris saat membaca cerita dari buku tersebut. Kudengar pelan namun sangat jelas pembicaraan mereka. Kutatap sendu pemandangan seru anak-anak SMA yang sedang mencari jati dirinya.
Andai masa SMA-ku indah seperti mereka.
Aku membalikkan pandangan kembali ke depan, melihat pemandangan lalu lintas perkotaan dari jendela bus. Perjalanan kali ini benar-benar membuatku tidak dapat tidur sejenak seperti biasanya. Maklum cuaca begitu panas, sepanas omongan tetangga yang tidak berujung.
Memasuki jalan pedesaan, aku turun di tempat pemberhentian bus yang ada di muka jalan raya desa. Untuk sampai memasuki desa, aku membutuhkan transportasi kembali. Seperti biasa, Pak Nanang menawarkan jasa pengantaran kepadaku. Dan tanpa perlu tawar-menawar harga, aku segera saja menaiki ojeknya.
Hanya lima belas menit dari jalan raya, aku telah sampai di depan rumah papanku. Rumah papan yang terlihat gelap karena masih banyak pepohonan tinggi mengelilingi rumahku.
...
Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Adik terakhirku masih kecil, dia baru saja menginjak usia lima tahun seminggu yang lalu. Sedang adikku yang satunya baru saja masuk SMP.
Aku bukanlah anak orang kaya yang bisa foya-foya, ber-selfie ria dengan siapapun seperti kebanyakan gadis di masa kini. Kehidupanku sungguh dramatis. Untung saja alam masih bersedia bersahabat denganku, sehingga aku bisa bertahan hidup sampai saat ini. Walaupun begitu, aku sangat mensyukurinya.
"Sudah pulang, Ra?"
Suara lembut yang kurindukan itu terdengar. Kulihat penuh iba seorang wanita berusia 40 tahun yang sedang sibuk melayani adik bungsuku. Di usia balita ini tidak dapat kupungkiri jika adik kecilku sangat menyita banyak waktu ibu.
"Sudah, Bu. Adit sudah pulang sekolah?" tanyaku seraya meletakkan tas kuliahku.
"Adit ikut Ayah ke pasar, hasil kebun sayur kita lumayan Minggu ini."
Jawaban singkat membuatku tersenyum kecil. Di dalam benak ini selalu bertekad untuk merubah kehidupan keluargaku menjadi lebih layak lagi. Mungkin dengan memberikan tempat tinggal dan menyewakan seorang pembantu untuk mengurusi pekerjaan rumah tangga yang tidak ada habisnya.
Tekadku itu masih menjadi mimpi sampai saat ini. Entah kapan Tuhan akan mewujudkannya. Namun aku percaya, semua yang diinginkan akan datang jika kita sudah siap menerimanya. Tugasku hanya memantaskan diri.
"Ara ke belakang dulu, Bu."
Tak ingin lama terhanyut dalam impian, aku segera menjalankan tugas keseharian untuk mencari ikan di tepi laut sebagai lauk makan siang ini. Segera saja aku berganti pakaian santai, memakai topi jerami dan membawa kail pancing menuju tepi laut.
Rumahku terletak di kaki gunung yang mana di belakang rumahku ada jalan setapak menuju lautan. Melewati hutan, menuju semak belukar yang ada di tepi laut. Kulihat sampanku sudah menunggu untuk kegunaan menjemput rezeki hari ini.
Di Tepi Laut...
Belasan menit sudah kulalui, namun tak kudapat seekor ikan pun. Kuganti umpan yang lebih besar berharap akan mendapatkan ikan yang besar juga. Namun, tak kusangka langit tiba-tiba menitikkan air hujan untukku. Rintik-rintik hujan itu mengundang angin yang kencang hingga menggoyangkan sampanku.
"Ke-kenapa tiba-tiba begini?" tanyaku sambil memegangi sampan kecil kepunyaan keluargaku.
Keadaan di sekeliling berubah drastis menjadi gelap, matahari seakan lenyap dari pandanganku. Kabut pun datang hingga membuat penglihatanku menjadi kabur. Kabut itu seperti membawa sebuah lubang besar yang berwarna hitam.
Dalam keadaan seperti ini aku berusaha untuk tetap tenang. Kupegang erat-erat gagang pancingan dan sampanku. Tak lama terdengar gemercak air laut di depanku seperti ombak yang begitu besar. Sampanku pun terasa sangat berat. Aku kehilangan kendali.
"Aku jatuh! Jatuh!" teriakku, sebelum kehilangan keseimbangan dan akhirnya sampanku terbalik.
Segera aku berenang ke tepian sambil tetap memegangi gagang pancinganku. Namun, tubuhku terasa begitu berat. Kulihat ke belakang dan betapa terkejutnya aku saat melihat sesosok tubuh mengambang di atas permukaan air yang mana kail pancingku menariknya.
"Ma-ma-ma-"
Aku seperti tahu apa yang ada di depan mataku ini. Tapi aku tidak dapat mengatakannya, seakan kata-kata itu tertahan di tenggorokan.
Tenang, tetap tenang. Tarik napas dalam-dalam lalu keluarkan perlahan.
Aku mencoba tenang menghadapi situasi aneh ini. Sudah terlanjur basah sekalian saja menyelam, pikirku. Karena khawatir pancingan yang kupunya hilang terbawa ombak jika kulepas, akhirnya kutarik saja sosok yang mengait di kail pancinganku ini. Kutarik sekuat tenaga lalu kubawa ke tepian. Kubalikkan badannya dengan perasaan takut dan cemas yang tak menentu.
"Astaga!"
Sosok itu ternyata seorang pemuda berkulit putih kemerah-merahan. Dia menggenakan pakaian yang serba putih. Rambutnya pirang, meyakinkanku jika dia bukanlah penduduk setempat.
Aku tidak mungkin melarikan diri saat ini. Rasa empati sekaligus penasaran begitu menyelimutiku. Kuberanikan diri untuk mendekatkan telingaku di dadanya, memastikan apakah jantungnya masih berdetak atau tidak.
Masih hidup.
Kudengar detak jantung yang melambat, memaksaku untuk segera memberikan pertolongan. Kutekan dadanya dengan kedua tanganku, kupompa sekuat tenaga untuk mengeluarkan air yang masuk ke dalam perutnya.
Satu... dua... tiga!
Kuulangi berkali-kali sampai terdengar cekukan dari pemuda itu. Hingga akhirnya pemuda itupun tersadar lalu memuntahkan semua air yang masuk.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku pelan sambil melihatnya lebih jelas.
Pemuda itu berusaha bangun lalu aku membantunya agar dapat duduk. Dia duduk di depanku sedang aku menekuk kedua lutut sambil terus melihatnya untuk memastikan keadaannya baik-baik saja.
"Aku rasa aku terjatuh," jawabnya sambil memegangi kepala dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya menjadi tumpuan tubuhnya yang baru saja tersadar.
Kuamati dirinya baik-baik. Sekilas ada perasaan yang menggelitikku. Tak kusangka jika aku dapat bertemu bule kesasar seperti ini. Atau mungkin lebih tepatnya, bule kejebur di laut.
"Sepertinya kau membutuhkan perawatan. Baiknya kau ikut denganku agar dapat segera diobati."
Aku berusaha menawarkan jasa kepadanya, walau kutahu dampak dari semua ini pastilah ayah dan ibu akan memarahiku. Tapi sebagai manusia, rasa empati itu mendorongku untuk menolongnya.
Pemuda itu tidak menjawab, dia hanya mengangguk pelan. Mungkin tubuhnya masih lemah dan aku berusaha untuk memakluminya. Segera saja kubantu dia berdiri lalu kupapah agar dapat berjalan.
Tingginya...
Setelah berdiri bersama, ternyata tubuhnya cukup tinggi untuk kubantu berjalan, mungkin sekitar 175cm, sedang aku 160cm saja tak sampai. Aku merasa keadaan ini begitu tak adil.
"Aduh!"
Teriakannya membuyarkan lamunanku. Sepertinya aku harus menyingkirkan rasa minderku untuk sementara waktu dan lebih fokus menolongnya. Akupun terus membantunya berjalan hingga sampai di depan rumah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 369 Episodes
Comments
olid
wow tulisannya sangat rapi dengan kata kata yg mudah dipahami,
tapi ini masih baru awal, semoga bab selanjutnya tidak membosankan dan bisa baca sampai tamat ya.
krn setiap kali aku baca novel yg bab panjang awalnya memang seru,
tapi lama kelamaan membosankan,
semangat 🔥🔥🔥
2023-03-24
1
¢ᖱ'D⃤ ̐𝗡𝗢𝗟ՇɧeeՐՏ🍻
permisi thor... aku hadir lg... ijin nyimak thor🙏🏻
2021-07-13
3
Intan Syakilah
👍👍
2021-05-13
1