Sesampainya di rumah...
Seusai berganti pakaian, aku segera mengobatinya menggunakan bahan baku dari alam. Ibuku tampak memperhatikanku dari balik pintu dapur. Sepertinya ibu senang bercampur khawatir karena melihatku membawa seorang teman ke rumah papan ini.
"Ibu sudah buatkan sup. Makanlah selagi hangat."
Ibuku hanya berpesan seperti itu yang ditanggapi ucapan terima kasih dari pemuda yang berada di hadapanku ini.
Aku mengambilkannya nasi beserta sup jamur dan dua iris tempe goreng. Kulihat pemuda ini seperti kebingungan melihat wujud makanan keluargaku. Namun, lambat laun dia seperti menikmatinya.
"Kau dari mana? Mengapa bisa sampai terjebur di laut?" tanyaku memberanikan diri.
Pemuda itu meneguk segelas air sesudah menghabiskan hidangan yang kusajikan. Dia seperti orang yang kelaparan.
"Aku berasal dari tempat yang begitu jauh dari sini. Dan aku juga tidak mengerti mengapa harus sampai terjebur di laut," jawabnya heran.
Kulihat senyuman manis menawan hati. Jantungku berdebar, ada rasa tertarik yang membuatku ingin lebih mengetahui tentangnya.
"Bolehkah aku menumpang di sini untuk beberapa malam?" tanyanya yang sontak membuyarkan lamunanku.
"Menumpang? Maksudmu?" tanyaku kaget.
"Iya. Hanya beberapa malam saja. Itu pun kalau diizinkan. Aku sedang mencari sesuatu yang katanya ada di sini," jawabnya.
Aku menarik napas dalam-dalam, memikirkan bagaimana respon ayah dan ibu nantinya. Apakah mereka akan mengizinkan teman baruku ini untuk menginap di rumah? Terlebih aku baru saja mengenalnya. Belum tahu asal usul dan kejelasan akan dirinya. Ucapannya membuat kepalaku pusing seketika.
"Aku yang akan meminta izin kepada mereka, jangan cemas."
Perkataan darinya membuatku dejavu. Seperti sudah mengenalnya tapi entah di mana. Dia begitu percaya diri dan berani. Mungkin karena niatnya memang benar-benar baik sehingga tidak ada ketakutan atau keraguan di dalam hatinya. Hanya saja aku yang terlalu menggunakan perasaan dalam hal ini. Hatiku masih was-was atas kejadian aneh yang kualami.
Setelah menyelesaikan makan siang, aku lalu menghampiri ibu, mencoba bernegosiasi. Ibu terlihat sedikit cemas menanggapinya. Rasa khawatir semakin menjadi saat ayah dan adikku pulang dari pasar. Namun, ibu segera menceritakan kejadian yang kualami.
Bersyukurnya mempunyai seorang ibu yang sangat pengertian terhadap anaknya. Wajah muram ayah lambat laun terlihat cerah kembali. Ayah lalu berkenalan dengan teman baruku. Di hadapanku kini ada dua orang pria yang mulai akrab dalam sekejap. Hampir-hampir saja aku tidak percaya atas apa yang terjadi.
Keesokan harinya...
"Cloud!"
Aku menyambutnya pulang dari pasar dengan gembira. Kulihat raut ayah cemberut saat aku tidak menyapanya kala keduanya tiba di rumah. Kupikir ayah sudah ada ibu yang menyambut.
"Bagaimana di pasar?" tanyaku kepada Cloud, teman baruku.
Cloud tersenyum, dia berjalan berdampingan denganku. Aku berada di sisi kirinya, menuju ke dalam rumah.
"Sangat ramai tapi aku senang," jawabnya seraya tersenyum.
Pemuda itu mengaku bernama Cloud. Seperti awan saja. Namun, jika dilihat lagi dia memang seperti awan di saat langit cerah. Senyumnya menenangkan hatiku. Walaupun begitu, aku masih tetap berjaga kalau-kalau dia melakukan sesuatu yang buruk.
Tapi kalau dipikir lebih lanjut, sepertinya aku tidak harus berprasangka buruk kepadanya, karena dia begitu baik mau membantu ayahku berjualan di pasar bahkan sampai memetik sayuran. Dan karena kedatangannya pula, dagangan ayahku laris manis tak bersisa.
Kami berkenalan singkat semalam sebelum Cloud beristirahat dari perjalanannya. Dia tidur di ruang tamu beralaskan tikar dan kasur kapuk seadanya, ditemani sebuah bantal yang cukup untuk menemaninya beristirahat.
Pukul dua siang...
Siang hari seperti biasa aku melakukan tugasku, memancing. Kali ini aku tidak sendiri, Cloud menemani. Entah mengapa semenjak Cloud yang memegang pancingan, ikan yang didapat begitu banyak tidak seperti biasanya. Baru sekitar setengah jam sudah mendapat lima ekor ikan. Aneh memang, tapi mungkin ini yang dinamakan rezeki.
Aku memandanginya, melihat perawakannya yang begitu tenang, membuatku terpukau dan tidak ingin mengalihkan pandangan. Terlebih dia juga mempesona di pandanganku.
Kami berdiam diri sedari tadi. Saat sudah mulai memancing, tak ada satu-dua patah kata yang terdengar dari bibir tipisnya.
"Kau lucu, ya?"
Tiba-tiba Cloud berkata sambil menarik kail pancingnya. Dan ternyata lagi-lagi dia mendapatkan seekor ikan.
"Hah? Lucu?" tanyaku bingung.
"Kau tidak menyadari jika dirimu itu lucu, Ara?" katanya lagi seraya memasukkan ikan ke dalam ember.
"Hm, sepertinya sudah cukup untuk hari ini."
Aku meminta Cloud untuk berhenti memancing. Kupikir enam ekor ikan itu sudah cukup untuk lauk makan siang hari ini sampai dengan esok pagi.
"Jangan mengalihkan pembicaraan. Aku merasakan apa yang kau rasakan."
"Ap-apa?! Maksudmu?"
Cloud tidak menjawab pertanyaanku dan hanya tertawa kecil sambil mendayung sampan hingga ke tepian. Aku dibuatnya penasaran.
"Cloud ...?"
Sesampai di tepian, kami pun berjalan bersama. Hanya saja dia berjalan lebih dulu di depanku.
"Cloud, kau belum memberi penjelasan atas kata-katamu tadi."
Aku meminta Cloud menjelaskan akan maksud dari kata-katanya. Atau mungkin lebih tepatnya memaksa.
Cloud pun menghentikan langkah kakinya. Dia berbalik menghadapku, meletakkan ember dan pancingan yang dia bawa sekaligus.
"Kau gadis yang penuh dengan rasa penasaran. Di setiap saat kita berdekatan, kulihat dirimu selalu memandangiku. Namun saat aku menoleh ke arahmu, kau segera memalingkan pandangan."
Tidak!
Aku merasa tersudut. Apa yang dikatakannya memanglah benar.
Apa aku terlalu agresif padanya? Sungguh malunya jika dia sampai menilaiku yang macam-macam.
"Ara ...."
Sentuhan lembut mendarat di pucuk kepalaku. Dia mengusap poniku tanpa aba-aba terlebih dahulu.
"Percayalah, aku tidak seperti dugaan burukmu. Aku punya tugas yang harus segera diselesaikan."
Aku terdiam, seperti terhipnotis. Cloud lalu mengajakku pulang dan aku pun tidak berdaya untuk menolaknya. Padahal aku ingin sekali bisa lebih lama bersamanya.
Hari-hariku berubah setelah kedatangan dirinya. Aku menjadi lebih bersemangat dalam menjalani kehidupanku. Cloud pun benar-benar menunjukkan jati dirinya. Dia begitu ringan tangan kepada keluargaku hingga berhasil mencuri hati ayah dan ibu. Sepertinya dia memang bukanlah orang jahat. Sampai saat ini aku belum pernah melihat pergerakan yang mencurigakan darinya.
Malam harinya...
Malam ini bulan purnama, kulihat Cloud memandangi rembulan di depan rumah. Kudekati dia lalu kucoba untuk mengajaknya berbincang.
"Kau seperti memikirkan sesuatu. Kalau berkenan, bisa berbaginya denganku."
Aku berdiri di sampingnya sambil ikut memandangi rembulan yang bersinar terang. Rasanya begitu nyaman sekali, hatiku dilanda rasa campur aduk saat berduaan dengannya. Mungkinkah ini hasil dari rasa ketertarikanku padanya?
"Hm, ya benar. Memang ada yang sedang kupikirkan saat ini. Apa kau dapat membantuku?" sahut Cloud seraya menoleh ke arahku.
"Mungkin aku bisa membantu jika sudah mengetahui apa permasalahannya," jawabku bersemangat.
"Ara ...."
Cloud memperbaiki sikap tubuhnya, dia kini berdiri sambil menyilangkan kedua tangan di dada.
"Aku membutuhkan seorang ahli untuk negeriku, bisakah kau bekerja untukku?" tanyanya pelan.
"Bekerja?"
Suasana menjadi hening sejenak. Cloud berbalik menghadapku.
"Aku punya tugas yang sangat menumpuk. Aku membutuhkanmu untuk membantuku."
Kata-katanya sedikit membingungkanku.
Kenapa harus aku yang membantunya? Apa yang dimaksud sesuatu itu adalah aku? Apa dia akan menculikku jika aku menolak permintaannya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 369 Episodes
Comments
¢ᖱ'D⃤ ̐NOL👀ՇɧeeՐՏ🍻
mungkinkah Cloud itu seorang dr negri di atas awan???
2021-07-13
2
Ummiknya Zezah
Dunia yang berbeda.
Bagus thor ceritamu😘😘
2021-03-08
4
Bunda hayfa
menarik,lanjut baca mudah2an tambah penasaran....
2021-02-21
6