Siang ini rasa bosan menyelimutiku. Panasnya cuaca membuat tubuhku gerah seakan membutuhkan lemari pendingin. Jam kuliahku pun berakhir cepat. Dengan segera kulangkahkan kaki menuju halte bus di depan kampus, seraya berulang kali mengipasi kepala menggunakan buku tipis yang kupegang. Bus pun tak lama datang dan segera saja aku menaikinya.
Aku duduk di kursi nomor tiga dari belakang, dekat jendela. Cukup mendapatkan pendingin walaupun tidak terlalu terasa.
Di dalam bus, bisik-bisik terdengar membicarakan sebuah buku fantasi. Aku menoleh ke asal suara yang berada di belakang. Kulihat segerombolan siswi SMA duduk histeris saat membaca cerita dari buku tersebut. Kudengar pelan namun sangat jelas pembicaraan mereka. Kutatap sendu pemandangan seru anak-anak SMA yang sedang mencari jati dirinya.
Andai masa SMA-ku indah seperti mereka.
Aku membalikkan pandangan kembali ke depan, melihat pemandangan lalu lintas perkotaan dari jendela bus. Perjalanan kali ini benar-benar membuatku tidak dapat tidur sejenak seperti biasanya. Maklum cuaca begitu panas, sepanas omongan tetangga yang tidak berujung.
Memasuki jalan pedesaan, aku turun di tempat pemberhentian bus yang ada di muka jalan raya desa. Untuk sampai memasuki desa, aku membutuhkan transportasi kembali. Seperti biasa, Pak Nanang menawarkan jasa pengantaran kepadaku. Dan tanpa perlu tawar-menawar harga, aku segera saja menaiki ojeknya.
Hanya lima belas menit dari jalan raya, aku telah sampai di depan rumah papanku. Rumah papan yang terlihat gelap karena masih banyak pepohonan tinggi mengelilingi rumahku.
...
Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Adik terakhirku masih kecil, dia baru saja menginjak usia lima tahun seminggu yang lalu. Sedang adikku yang satunya baru saja masuk SMP.
Aku bukanlah anak orang kaya yang bisa foya-foya, ber-selfie ria dengan siapapun seperti kebanyakan gadis di masa kini. Kehidupanku sungguh dramatis. Untung saja alam masih bersedia bersahabat denganku, sehingga aku bisa bertahan hidup sampai saat ini. Walaupun begitu, aku sangat mensyukurinya.
"Sudah pulang, Ra?"
Suara lembut yang kurindukan itu terdengar. Kulihat penuh iba seorang wanita berusia 40 tahun yang sedang sibuk melayani adik bungsuku. Di usia balita ini tidak dapat kupungkiri jika adik kecilku sangat menyita banyak waktu ibu.
"Sudah, Bu. Adit sudah pulang sekolah?" tanyaku seraya meletakkan tas kuliahku.
"Adit ikut Ayah ke pasar, hasil kebun sayur kita lumayan Minggu ini."
Jawaban singkat membuatku tersenyum kecil. Di dalam benak ini selalu bertekad untuk merubah kehidupan keluargaku menjadi lebih layak lagi. Mungkin dengan memberikan tempat tinggal dan menyewakan seorang pembantu untuk mengurusi pekerjaan rumah tangga yang tidak ada habisnya.
Tekadku itu masih menjadi mimpi sampai saat ini. Entah kapan Tuhan akan mewujudkannya. Namun aku percaya, semua yang diinginkan akan datang jika kita sudah siap menerimanya. Tugasku hanya memantaskan diri.
"Ara ke belakang dulu, Bu."
Tak ingin lama terhanyut dalam impian, aku segera menjalankan tugas keseharian untuk mencari ikan di tepi laut sebagai lauk makan siang ini. Segera saja aku berganti pakaian santai, memakai topi jerami dan membawa kail pancing menuju tepi laut.
Rumahku terletak di kaki gunung yang mana di belakang rumahku ada jalan setapak menuju lautan. Melewati hutan, menuju semak belukar yang ada di tepi laut. Kulihat sampanku sudah menunggu untuk kegunaan menjemput rezeki hari ini.
Di Tepi Laut...
Belasan menit sudah kulalui, namun tak kudapat seekor ikan pun. Kuganti umpan yang lebih besar berharap akan mendapatkan ikan yang besar juga. Namun, tak kusangka langit tiba-tiba menitikkan air hujan untukku. Rintik-rintik hujan itu mengundang angin yang kencang hingga menggoyangkan sampanku.
"Ke-kenapa tiba-tiba begini?" tanyaku sambil memegangi sampan kecil kepunyaan keluargaku.
Keadaan di sekeliling berubah drastis menjadi gelap, matahari seakan lenyap dari pandanganku. Kabut pun datang hingga membuat penglihatanku menjadi kabur. Kabut itu seperti membawa sebuah lubang besar yang berwarna hitam.
Dalam keadaan seperti ini aku berusaha untuk tetap tenang. Kupegang erat-erat gagang pancingan dan sampanku. Tak lama terdengar gemercak air laut di depanku seperti ombak yang begitu besar. Sampanku pun terasa sangat berat. Aku kehilangan kendali.
"Aku jatuh! Jatuh!" teriakku, sebelum kehilangan keseimbangan dan akhirnya sampanku terbalik.
Segera aku berenang ke tepian sambil tetap memegangi gagang pancinganku. Namun, tubuhku terasa begitu berat. Kulihat ke belakang dan betapa terkejutnya aku saat melihat sesosok tubuh mengambang di atas permukaan air yang mana kail pancingku menariknya.
"Ma-ma-ma-"
Aku seperti tahu apa yang ada di depan mataku ini. Tapi aku tidak dapat mengatakannya, seakan kata-kata itu tertahan di tenggorokan.
Tenang, tetap tenang. Tarik napas dalam-dalam lalu keluarkan perlahan.
Aku mencoba tenang menghadapi situasi aneh ini. Sudah terlanjur basah sekalian saja menyelam, pikirku. Karena khawatir pancingan yang kupunya hilang terbawa ombak jika kulepas, akhirnya kutarik saja sosok yang mengait di kail pancinganku ini. Kutarik sekuat tenaga lalu kubawa ke tepian. Kubalikkan badannya dengan perasaan takut dan cemas yang tak menentu.
"Astaga!"
Sosok itu ternyata seorang pemuda berkulit putih kemerah-merahan. Dia menggenakan pakaian yang serba putih. Rambutnya pirang, meyakinkanku jika dia bukanlah penduduk setempat.
Aku tidak mungkin melarikan diri saat ini. Rasa empati sekaligus penasaran begitu menyelimutiku. Kuberanikan diri untuk mendekatkan telingaku di dadanya, memastikan apakah jantungnya masih berdetak atau tidak.
Masih hidup.
Kudengar detak jantung yang melambat, memaksaku untuk segera memberikan pertolongan. Kutekan dadanya dengan kedua tanganku, kupompa sekuat tenaga untuk mengeluarkan air yang masuk ke dalam perutnya.
Satu... dua... tiga!
Kuulangi berkali-kali sampai terdengar cekukan dari pemuda itu. Hingga akhirnya pemuda itupun tersadar lalu memuntahkan semua air yang masuk.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku pelan sambil melihatnya lebih jelas.
Pemuda itu berusaha bangun lalu aku membantunya agar dapat duduk. Dia duduk di depanku sedang aku menekuk kedua lutut sambil terus melihatnya untuk memastikan keadaannya baik-baik saja.
"Aku rasa aku terjatuh," jawabnya sambil memegangi kepala dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya menjadi tumpuan tubuhnya yang baru saja tersadar.
Kuamati dirinya baik-baik. Sekilas ada perasaan yang menggelitikku. Tak kusangka jika aku dapat bertemu bule kesasar seperti ini. Atau mungkin lebih tepatnya, bule kejebur di laut.
"Sepertinya kau membutuhkan perawatan. Baiknya kau ikut denganku agar dapat segera diobati."
Aku berusaha menawarkan jasa kepadanya, walau kutahu dampak dari semua ini pastilah ayah dan ibu akan memarahiku. Tapi sebagai manusia, rasa empati itu mendorongku untuk menolongnya.
Pemuda itu tidak menjawab, dia hanya mengangguk pelan. Mungkin tubuhnya masih lemah dan aku berusaha untuk memakluminya. Segera saja kubantu dia berdiri lalu kupapah agar dapat berjalan.
Tingginya...
Setelah berdiri bersama, ternyata tubuhnya cukup tinggi untuk kubantu berjalan, mungkin sekitar 175cm, sedang aku 160cm saja tak sampai. Aku merasa keadaan ini begitu tak adil.
"Aduh!"
Teriakannya membuyarkan lamunanku. Sepertinya aku harus menyingkirkan rasa minderku untuk sementara waktu dan lebih fokus menolongnya. Akupun terus membantunya berjalan hingga sampai di depan rumah.
Sesampainya di rumah...
Seusai berganti pakaian, aku segera mengobatinya menggunakan bahan baku dari alam. Ibuku tampak memperhatikanku dari balik pintu dapur. Sepertinya ibu senang bercampur khawatir karena melihatku membawa seorang teman ke rumah papan ini.
"Ibu sudah buatkan sup. Makanlah selagi hangat."
Ibuku hanya berpesan seperti itu yang ditanggapi ucapan terima kasih dari pemuda yang berada di hadapanku ini.
Aku mengambilkannya nasi beserta sup jamur dan dua iris tempe goreng. Kulihat pemuda ini seperti kebingungan melihat wujud makanan keluargaku. Namun, lambat laun dia seperti menikmatinya.
"Kau dari mana? Mengapa bisa sampai terjebur di laut?" tanyaku memberanikan diri.
Pemuda itu meneguk segelas air sesudah menghabiskan hidangan yang kusajikan. Dia seperti orang yang kelaparan.
"Aku berasal dari tempat yang begitu jauh dari sini. Dan aku juga tidak mengerti mengapa harus sampai terjebur di laut," jawabnya heran.
Kulihat senyuman manis menawan hati. Jantungku berdebar, ada rasa tertarik yang membuatku ingin lebih mengetahui tentangnya.
"Bolehkah aku menumpang di sini untuk beberapa malam?" tanyanya yang sontak membuyarkan lamunanku.
"Menumpang? Maksudmu?" tanyaku kaget.
"Iya. Hanya beberapa malam saja. Itu pun kalau diizinkan. Aku sedang mencari sesuatu yang katanya ada di sini," jawabnya.
Aku menarik napas dalam-dalam, memikirkan bagaimana respon ayah dan ibu nantinya. Apakah mereka akan mengizinkan teman baruku ini untuk menginap di rumah? Terlebih aku baru saja mengenalnya. Belum tahu asal usul dan kejelasan akan dirinya. Ucapannya membuat kepalaku pusing seketika.
"Aku yang akan meminta izin kepada mereka, jangan cemas."
Perkataan darinya membuatku dejavu. Seperti sudah mengenalnya tapi entah di mana. Dia begitu percaya diri dan berani. Mungkin karena niatnya memang benar-benar baik sehingga tidak ada ketakutan atau keraguan di dalam hatinya. Hanya saja aku yang terlalu menggunakan perasaan dalam hal ini. Hatiku masih was-was atas kejadian aneh yang kualami.
Setelah menyelesaikan makan siang, aku lalu menghampiri ibu, mencoba bernegosiasi. Ibu terlihat sedikit cemas menanggapinya. Rasa khawatir semakin menjadi saat ayah dan adikku pulang dari pasar. Namun, ibu segera menceritakan kejadian yang kualami.
Bersyukurnya mempunyai seorang ibu yang sangat pengertian terhadap anaknya. Wajah muram ayah lambat laun terlihat cerah kembali. Ayah lalu berkenalan dengan teman baruku. Di hadapanku kini ada dua orang pria yang mulai akrab dalam sekejap. Hampir-hampir saja aku tidak percaya atas apa yang terjadi.
Keesokan harinya...
"Cloud!"
Aku menyambutnya pulang dari pasar dengan gembira. Kulihat raut ayah cemberut saat aku tidak menyapanya kala keduanya tiba di rumah. Kupikir ayah sudah ada ibu yang menyambut.
"Bagaimana di pasar?" tanyaku kepada Cloud, teman baruku.
Cloud tersenyum, dia berjalan berdampingan denganku. Aku berada di sisi kirinya, menuju ke dalam rumah.
"Sangat ramai tapi aku senang," jawabnya seraya tersenyum.
Pemuda itu mengaku bernama Cloud. Seperti awan saja. Namun, jika dilihat lagi dia memang seperti awan di saat langit cerah. Senyumnya menenangkan hatiku. Walaupun begitu, aku masih tetap berjaga kalau-kalau dia melakukan sesuatu yang buruk.
Tapi kalau dipikir lebih lanjut, sepertinya aku tidak harus berprasangka buruk kepadanya, karena dia begitu baik mau membantu ayahku berjualan di pasar bahkan sampai memetik sayuran. Dan karena kedatangannya pula, dagangan ayahku laris manis tak bersisa.
Kami berkenalan singkat semalam sebelum Cloud beristirahat dari perjalanannya. Dia tidur di ruang tamu beralaskan tikar dan kasur kapuk seadanya, ditemani sebuah bantal yang cukup untuk menemaninya beristirahat.
Pukul dua siang...
Siang hari seperti biasa aku melakukan tugasku, memancing. Kali ini aku tidak sendiri, Cloud menemani. Entah mengapa semenjak Cloud yang memegang pancingan, ikan yang didapat begitu banyak tidak seperti biasanya. Baru sekitar setengah jam sudah mendapat lima ekor ikan. Aneh memang, tapi mungkin ini yang dinamakan rezeki.
Aku memandanginya, melihat perawakannya yang begitu tenang, membuatku terpukau dan tidak ingin mengalihkan pandangan. Terlebih dia juga mempesona di pandanganku.
Kami berdiam diri sedari tadi. Saat sudah mulai memancing, tak ada satu-dua patah kata yang terdengar dari bibir tipisnya.
"Kau lucu, ya?"
Tiba-tiba Cloud berkata sambil menarik kail pancingnya. Dan ternyata lagi-lagi dia mendapatkan seekor ikan.
"Hah? Lucu?" tanyaku bingung.
"Kau tidak menyadari jika dirimu itu lucu, Ara?" katanya lagi seraya memasukkan ikan ke dalam ember.
"Hm, sepertinya sudah cukup untuk hari ini."
Aku meminta Cloud untuk berhenti memancing. Kupikir enam ekor ikan itu sudah cukup untuk lauk makan siang hari ini sampai dengan esok pagi.
"Jangan mengalihkan pembicaraan. Aku merasakan apa yang kau rasakan."
"Ap-apa?! Maksudmu?"
Cloud tidak menjawab pertanyaanku dan hanya tertawa kecil sambil mendayung sampan hingga ke tepian. Aku dibuatnya penasaran.
"Cloud ...?"
Sesampai di tepian, kami pun berjalan bersama. Hanya saja dia berjalan lebih dulu di depanku.
"Cloud, kau belum memberi penjelasan atas kata-katamu tadi."
Aku meminta Cloud menjelaskan akan maksud dari kata-katanya. Atau mungkin lebih tepatnya memaksa.
Cloud pun menghentikan langkah kakinya. Dia berbalik menghadapku, meletakkan ember dan pancingan yang dia bawa sekaligus.
"Kau gadis yang penuh dengan rasa penasaran. Di setiap saat kita berdekatan, kulihat dirimu selalu memandangiku. Namun saat aku menoleh ke arahmu, kau segera memalingkan pandangan."
Tidak!
Aku merasa tersudut. Apa yang dikatakannya memanglah benar.
Apa aku terlalu agresif padanya? Sungguh malunya jika dia sampai menilaiku yang macam-macam.
"Ara ...."
Sentuhan lembut mendarat di pucuk kepalaku. Dia mengusap poniku tanpa aba-aba terlebih dahulu.
"Percayalah, aku tidak seperti dugaan burukmu. Aku punya tugas yang harus segera diselesaikan."
Aku terdiam, seperti terhipnotis. Cloud lalu mengajakku pulang dan aku pun tidak berdaya untuk menolaknya. Padahal aku ingin sekali bisa lebih lama bersamanya.
Hari-hariku berubah setelah kedatangan dirinya. Aku menjadi lebih bersemangat dalam menjalani kehidupanku. Cloud pun benar-benar menunjukkan jati dirinya. Dia begitu ringan tangan kepada keluargaku hingga berhasil mencuri hati ayah dan ibu. Sepertinya dia memang bukanlah orang jahat. Sampai saat ini aku belum pernah melihat pergerakan yang mencurigakan darinya.
Malam harinya...
Malam ini bulan purnama, kulihat Cloud memandangi rembulan di depan rumah. Kudekati dia lalu kucoba untuk mengajaknya berbincang.
"Kau seperti memikirkan sesuatu. Kalau berkenan, bisa berbaginya denganku."
Aku berdiri di sampingnya sambil ikut memandangi rembulan yang bersinar terang. Rasanya begitu nyaman sekali, hatiku dilanda rasa campur aduk saat berduaan dengannya. Mungkinkah ini hasil dari rasa ketertarikanku padanya?
"Hm, ya benar. Memang ada yang sedang kupikirkan saat ini. Apa kau dapat membantuku?" sahut Cloud seraya menoleh ke arahku.
"Mungkin aku bisa membantu jika sudah mengetahui apa permasalahannya," jawabku bersemangat.
"Ara ...."
Cloud memperbaiki sikap tubuhnya, dia kini berdiri sambil menyilangkan kedua tangan di dada.
"Aku membutuhkan seorang ahli untuk negeriku, bisakah kau bekerja untukku?" tanyanya pelan.
"Bekerja?"
Suasana menjadi hening sejenak. Cloud berbalik menghadapku.
"Aku punya tugas yang sangat menumpuk. Aku membutuhkanmu untuk membantuku."
Kata-katanya sedikit membingungkanku.
Kenapa harus aku yang membantunya? Apa yang dimaksud sesuatu itu adalah aku? Apa dia akan menculikku jika aku menolak permintaannya?
"Ara ...."
Lembutnya suara itu membuyarkan pikiran burukku.
"Hm, iya. Tap-tapi aku tidak mengerti mengapa kau menawarkan hal ini kepadaku?" tanyaku diliputi perasaan heran kepadanya.
Cloud lalu menjelaskan sesuatu hal kepadaku sebagai bahan pertimbangan. Begitu cepat aku harus mengambil keputusan. Mau tak mau, aku mempertimbangkan tawarannya itu.
"Percaya padaku. Hanya dirimu yang mampu melakukannya, Ara. Tolong aku," katanya dengan raut wajah penuh harap.
Aku pun memikirkan tawaran yang diajukan Cloud kepadaku. Malam ini rasanya kulalui begitu berat. Ada sesuatu hal yang menarikku untuk mengiyakan tawarannya. Namun, di lain sisi ada rasa khawatir yang menyelimuti hati ini.
Esok harinya...
Keesokan harinya, aku tidak henti-hentinya menimbang baik-buruk tawaran Cloud untuk ke depannya. Dari pagi, siang, sore dan malam aku mencoba berdoa untuk mendapatkan petunjuk.
Beberapa hari kemudian, seperti ada magnet kuat yang menarikku untuk mengiyakan tawaran darinya. Aku mencoba mengutarakan hal ini kepada ayah dan ibu saat Cloud sedang pergi memancing bersama Adit.
"Sudah dipikirkan, Ara?" tanya ibu kepadaku.
"Sudah, Bu. Hatiku sangat tertarik dengan tawarannya."
"Baiklah, biar nanti Ayah bicara kepada Nak Cloud sendiri," sahut ayahku.
"Maafkan Ara, Yah. Ara hanya ingin membahagiakan keluarga. Tidak ada niat lain," kataku mencoba mengutarakan alasan yang sebenarnya mengapa aku tertarik dengan tawaran Cloud.
Tak lama, Cloud pun datang bersama Adit. Aku segera mendekati dan berbicara kepadanya jika ayah ingin membahas tawarannya waktu itu. Aku pikir dia akan terkejut, ternyata dia malah gembira mendengar kabar ini.
"Terima kasih, Ara. Aku akan berbicara dengan ayah dan ibumu sekarang," sahut Cloud dengan senang.
Dan ternyata, Cloud benar-benar membuka pembicaraannya. Dia tampak serius kala berbicara dengan ayah dan ibuku. Dari gestur tubuhnya, tersirat ada kesungguhan di dalam hati untuk benar-benar menjagaku jika ayah dan ibu menyetujui hal ini.
Jujur saja, ada sesuatu yang membuatku tergiur hingga akhirnya memutuskan untuk mengambil cuti panjang di kampus. Walaupun keputusanku itu membuat ayah dan ibuku murung, Cloud terus memantaskan diri menunjukkan itikad baiknya. Alhasil, ayah dan ibu merestui kepergianku untuk bekerja bersama Cloud.
Di kampus...
Waktu terasa berlalu begitu cepat. Tekadku kini sudah bulat untuk mengambil cuti panjang. Seperti sebuah strategi, mundur selangkah untuk maju berlangkah-langkah. Aku sangat berharap jika keputusan yang kuambil ini benar.
"Di sini tempatmu belajar?"
Cloud menemaniku ke kampus hari ini. Pakaiannya yang serba putih seperti saat awal bertemu, membuat orang-orang di kampus memandanginya. Entah karena aneh atau apa, aku tidak terlalu memedulikan. Fokusku hari ini untuk menyelesaikan administrasi cuti.
"Hm, iya. Kampusku memang tidak terlalu besar tapi aku menyukainya," jawabku sambil menoleh ke arahnya.
"Kau belajar apa di sini?" tanyanya lagi.
"Aku mengambil tata kota," jawabku singkat.
Cloud terdiam sejenak, sementara teman-teman kampus menujukan pandangannya kepadaku. Mereka terlihat berbisik-bisik. Entah apa yang mereka bicarakan.
"Aku rasa pekerjaanmu nanti akan sesuai dengan apa yang kau pelajari," katanya lagi seraya tersenyum kecil.
"Aku belum terlalu mengerti Cloud, baru juga setahun di sini. Masih harus banyak belajar lagi."
Kami terus berjalan menuju ruang administrasi kampus.
"Kau terlalu merendah, Ara. Aku yakin kamu mampu melakukan apapun yang kau mau."
Kata-katanya begitu memberikan semangat kepada jiwaku. Aku tersipu hingga memalingkan wajah dari pandangannya.
Perasaan apa ini? Mengapa aku merasa senang diperlakukan olehnya?
Cloud tertawa kecil melihat tingkahku. Dia lantas memberi tahuku jika ruang administrasi yang dituju sudah berada di depan mata. Aku pun segera menuju ruang itu sementara Cloud menunggu di luar.
Hari ini, aku menyelesaikan administrasi untuk cuti selama dua semester. Berharap setelah ini kebahagiaan segera kuraih. Memang harus ada yang dikorbankan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih besar. Semoga saja Cloud menepati janjinya dan menghilangkan semua prasangka burukku terhadapnya.
Beberapa hari kemudian...
Tak terasa sudah seminggu Cloud tinggal di rumahku. Kini Cloud akan kembali ke tempat asalnya dengan membawaku. Setelah berpamitan dan berikrar janji kepada ayah dan ibu, akhirnya kedua orang tuaku melepaskan kepergianku bersama Cloud. Aku melihat Cloud memberikan sebuah jaminan kepada ayah. Entah itu apa, tapi aku rasa yang diberikannya bernilai besar. Seperti sebuah mahar saja.
Cloud tidak memintaku membawa apa-apa. Dia hanya mengajakku ke tempat pertama kali kami bertemu. Aneh memang, tapi aku menurut saja. Mungkin dia ingin bernostalgia sejenak.
Kami pun berjalan menyusuri hutan dan semak belukar. Setibanya di tepian, kami menaiki sampan menuju sedikit ke tengah laut. Cloud mendayung sampannya hingga berjarak sekitar dua puluh meter dari arah tepi.
"Ara."
"Ya?"
"Boleh kupegang tanganmu?" tanyanya yang membuatku tersipu.
"Hm, boleh," jawabku malu-malu sambil menyambut uluran tangannya.
Cloud berdiri di depanku lalu memegang kedua tanganku. Kami saling berhadapan. Jarak kami cukup dekat. Jantungku berdetak kencang saat berada begitu dekat dengannya.
Di atas permukaan laut, kami seperti beradegan romantis. Untung saja tidak ada penduduk desa yang melihat. Kalau ada, malunya aku.
"Percayalah padaku. Aku sudah berikrar janji di hadapan ayah dan ibumu. Dan aku sudah memantaskan diri dengan itikad baikku. Jadi apapun yang akan terjadi sebentar lagi, tetap pegang tanganku dan jangan sampai terlepas."
Kulihat tatapan wajahnya yang bersungguh-sungguh bersamaan dengan turunnya rintik hujan. Seperti kejadian awal kami bertemu, kabut hitam pun datang disertai angin kencang. Dahiku berkerut, aku takut atas apa yang akan terjadi. Tapi Cloud meyakinkanku, dia tersenyum padaku, menarik tubuhku ke dalam dekapannya.
"Pejamkan matamu, Ara."
Aku hanya bisa menurut, lagi-lagi hanya bisa menuruti apa katanya.
Tubuhnya terasa begitu hangat. Detak jantungnya pun terdengar sangat jelas. Usapannya di kepalaku seakan dapat meringankan rasa takutku ini.
Tak lama berselang, aku merasa melayang bersamanya, begitu ringan. Aku tidak berani membuka kedua mataku karena khawatir jika benar-benar melayang di udara, dan hal itu membuat phobia ketinggianku kambuh. Aku pasrah saja, menyerahkan semua urusan ini kepada Yang Maha Kuasa. Kupegang erat-erat tangan Cloud dengan tangan kananku sementara tangan kiriku memeluknya dengan erat.
...
"Cloud?!"
"Ara."
Aku merasa tubuhku seperti jatuh, tak lama dari saat memejamkan kedua mata.
"Cloud, kita jatuh!"
Kata-kataku terdengar begitu panik, aku takut.
"Ara, kita baik-baik saja."
Cloud menenangkan hatiku. Namun, aku merasa dekapannya memudar.
"Apa aku boleh membuka kedua mataku?" tanyaku cemas.
"Bukalah," jawabnya pelan.
Dengan perasaan cemas, aku membuka kedua mataku perlahan. Samar-samar aku melihat sebuah pohon besar tak jauh dariku.
"Ara, bisa kau bangun? Tubuhmu berat sekali."
Hah?! Apa?!
Aku sampai mengabaikan keberadaan Cloud yang ternyata tertimpa diriku.
"Apa yang kau lakukan, Cloud?!" tanyaku sembari bangkit dari tubuhnya.
"Aku tidak melakukan apapun, Ara. Sedari tadi dirimu yang berada di atas tubuhku."
Jawabannya sontak menyadarkanku. Cloud tidak mungkin melakukan hal yang tidak-tidak setelah berikrar kepada ayah dan ibu. Bukankah yang dipegang dari seorang pria itu adalah ucapannya?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!