Setengah jam kemudian...
Hari ini aku mencoba mengenakan gaun berwarna putih, gaun yang belum pernah terpakai olehku. Kulihat seluruh sisinya begitu polos, tidak ada pernak-pernik atau ukiran batik yang menyertai. Namun di bagian atasnya, gaun ini terbuka lebar. Tetap berlengan, tapi leher, pundak dan dadaku sedikit terlihat cukup jelas. Mungkin tak apa jika aku mengenakan gaun ini, ditambah kalung pemberian dari Rain sepertinya cocok.
Aku bergegas mengambil sepatu lalu memakainya. Hari libur ini sepertinya tidak perlu untuk menggulung rambut. Kubiarkan saja tergerai. Tidak lupa mengenakan parfum pilihanku, beraroma cokelat manis.
Kulangkahkan kaki ke luar kamar dan ternyata Rain sudah menungguku di depan teras. Dia kelihatan gelisah sekali.
"Rain, kau sengaja menungguku?"
Aku menyapanya dan dia segera berbalik menghadapku. Melihat penampilanku hari ini, Rain seperti terkesima.
"Ara ...."
"...?"
"Em. Hei, kau lama sekali!"
Kupikir dia akan memujiku, tapi ternyata dia kembali ke asalnya. Menyebalkan. Padahal aku juga ingin dipuji, apalagi aku sudah berusaha keras untuk terlihat cantik di hadapannya.
"Kita berangkat!"
Dalam rasa kecewa karena tidak mendapat pujian darinya, Rain menarik tanganku untuk mengikutinya. Dia masih mengenakan pakaian kerajaan dengan pedang di sisi kiri pinggangnya.
"Eh...? Kok, kita lewat jalan belakang?" tanyaku bingung.
Aku pikir kami akan berkeliling kota lagi hari ini. Namun, nyatanya tidak. Rain malah mengajakku pergi melalui gerbang belakang istana, tak jauh dari lokasi kamarku berada. Tapi terlihat lebih gelap karena masih banyak pepohonan tinggi.
"Aku akan mengajakmu ke sebuah tempat yang nyaman. Kau terlihat begitu lelah beberapa hari ini. Aku akan memberikan pelayan terbaik untukmu."
Rain membuatku tertawa. Kata-katanya menggelitik pikiranku. Seharusnya akulah yang memberikan pelayan terbaik untuknya, bukannya malah dia.
Di sela rasa geli karena memikirkan kata-katanya itu, kulihat ada seekor kuda hitam sudah menunggu kami di gerbang belakang istana.
"R-rain?"
"Kau tenang saja. Ada aku."
Rain berusaha menenangkan, dia kemudian mengulurkan tangannya.
"Naiklah, Ara," katanya.
"Ap-apa? Rain aku tidak bisa naik kuda," ucapku memelas.
"Kau pasti bisa. Naikkan kaki kirimu di pijakkan ini, lalu lebarkan kaki kananmu dan memutarlah." Rain menjelaskan bagaimana cara menaiki kuda.
"Tap-tapi, Rain. Aku takut."
"Ara, ada aku. Kau tidak perlu takut."
"Tap-tapi—"
"Sudah, dicoba dulu. Kalau hanya tenggelam dengan pikiranmu sendiri, lama-lama tidak akan bisa melakukan apapun." Rain menyemangati.
Dengan rasa takut, aku kemudian mencoba mempraktikkan apa yang dikatakan oleh Rain. Aku begitu khawatir jika kuda ini menyeretku sedang aku tak kuasa melakukan apapun.
"Rain, bagaimana jika aku jatuh?" tanyaku lagi.
"Aku akan menangkapmu," jawabnya.
"Benar, ya?"
Rain menjawab dengan anggukkan dan senyumannya. Aku kemudian mengangkat kaki kiriku lalu menginjak pijakan yang ada di kuda hitam ini.
"Rain! Rain!"
Aku terlalu takut, kudanya begitu tinggi. Aku phobia ketinggian. Kaki kiriku berhasil berpijak tapi aku takut melebarkan kaki kananku dan memutarnya menuju pijakan satunya.
Aku panik. Rain tetap bersiaga di belakangku kalau-kalau aku jatuh. Mungkin karena aku panik, kudanya juga ikut panik. Kuda hitam ini meringkik. Kedua kaki depannya terangkat dan membuatku hilang keseimbangan.
"Rain! Tolong aku!"
Rasanya mau menangis. Kulepas saja kuda ini lalu kubiarkan diriku jatuh.
"Ara!"
Rain dengan sigap menangkapku. Kini aku berada di dalam dekapannya. Tersirat wajahnya yang khawatir karena aku jatuh.
"Ara, kau harus memberanikan dirimu. Jangan panik."
"Hm, i-iya."
Aku mengangguk. Kurasakan kehangatan saat berada di dekatnya.
"Sekarang kau lihat aku, ya?"
Rain kemudian melepaskan dekapannya seraya tersenyum. Dia mencontohkan bagaimana caranya menaiki kuda. Tentu saja dia sudah sangat lihat. Namun di depanku, dia mencontohkannya begitu pelan. Kini Rain sudah berada di atas kuda. Kuda itu pun tampak diam.
"Ayo, naik!"
Rain mengulurkan tangannya ke arahku, mengajak menaiki kuda, namun aku masih takut menaikinya lagi. Mungkin Rain gemas denganku sehingga dia bertindak cepat. Ditariknya tanganku ini dan aku pun segera memijakkan kaki kiriku. Kaki kananku dipegang olehnya, dilebarkannya, lalu dia memutar badanku.
"Nah, seperti ini."
Kini aku sudah duduk di depannya. Rain yang tadinya duduk sedikit ke belakang, kini memajukan badannya hingga amat dekat denganku.
"R-rain. Kita menaiki satu kuda?" tanyaku heran.
"Iya. Memangnya kau pikir ada berapa kuda?"
"Dua. Kita satu-satu."
"Kau kan belum bisa mengendalikan kuda. Dan kuda pun belum mengenalmu. Tidak mungkin kubiarkan kau terjatuh, Ara."
Rain mulai menarik tali kudanya. Kuda hitam ini mulai berjalan keluar dari gerbang istana belakang. Sementara aku masih terdiam memikirkan kata-kata Rain.
Dia berada sangat dekat denganku, tepat di belakangku. Seakan tidak ada jarak di antara kami. Tentu saja situasi ini membuat rambut halus di leherku berdiri, aku merasa bergidik geli. Jantungku serasa memompa begitu cepat. Tangan Rain yang besar juga menjaga tubuhku agar tidak terjatuh. Entah mengapa, aku merasa nyaman bersamanya.
Ada hasrat untuk bersandar saat ini. Namun, aku khawatir malah akan menimbulkan hal yang lain. Aku tidak tahu harus berbicara apa padanya. Aku hanya menikmati perjalanan menyusuri hutan kecil menuju suatu tempat yang dia janjikan untukku.
"Ara?"
"Hm?"
"Kau bisa bersandar di dadaku." Rain tiba-tiba menawarkan. "Tubuhmu terlihat begitu tegang."
Rain begitu cepat menyadarinya. Kuakui tubuhku memang sedikit aneh saat ini. Ditambah gerakan jalan kuda yang seperti memberi penekanan naik-turun pada tubuhku.
Aku mencoba pasrah. Kuturuti tawaran Rain untuk bersandar di dadanya. Dadanya begitu bidang. Tubuh yang selama ini hanya dapat kulihat, kini sedang menjadi sandaranku. Aku merasa butir-butir kebahagiaan itu mulai kurasakan. Aku merasa nyaman bersamanya.
Rain tersenyum. Dagunya tepat berada di atas telinga kiriku. Sesekali aku menoleh ke arahnya. Dan kulihat dia tidak canggung sama sekali. Dia seperti menikmati perjalanan ini.
Bersamaan dengan itu, seolah ada yang berteriak-teriak dari dalam diriku. Jiwaku seperti menuntut untuk dimilikinya.
"Ara, kau tidak apa-apa?" tanyanya yang membuyarkan lamunanku.
"Hem, ah, iya. Aku tidak apa-apa, Rain. Aku hanya sedikit ...,"
"Sedikit apa?" tanyanya penasaran.
"Sedikit apa, ya ...," godaku.
"Ara, kau ini, ya."
Rain kemudian mengelus perutku yang langsing dengan tangan kirinya.
Ap-apa ini? Apa yang dia lakukan padaku?
Sontak aku terkejut dengan hal yang Rain lakukan. Tangan kirinya tiba-tiba mengelus perutku lalu kembali memegang tali kudanya. Walau hanya sebentar, usapannya begitu memberikan arti bagiku. Tak lama dari itu, dia memberatkan kepalanya di kepalaku.
Rain, tolong ... jangan membuatku merasa nyaman. Aku takut ... jatuh hati padamu.
Entah mengapa ada getaran aneh saat bersamanya. Mungkinkah ini cinta? Tapi apa semudah itu?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 369 Episodes
Comments
Imah Zhagien
ara bimbang 😅
rein aku mendukung mu
2021-08-10
0
Syifa
gaspol rain 😅
2021-02-07
3
Syifa
cloud menyingkir 😂
2021-02-07
1