Melvis terpaku. Perjalanan yang memakan total 13 jam membawanya ke sebuah desa terpencil dengan selimut kabut dan udara dingin. Pohon-pohon tinggi di sepanjang jalan, hamparan sawah dan ladang nan luas, rumah-rumah berbahan bambu sederhana dengan atap-atap yang sudah menghitam. Sebuah pemandangan yang baru pertama kali Melvis lihat secara langsung. Dia serasa berada di negeri lain. Sebuah dunia yang terpisah dari hiruk pikuk kota Jakarta.
“Silakan duduk.” Melvis menarik kembali kesadarannya. Seorang perempuan paruh baya dengan kebaya tradisional berwarna hijau emerald dan kain batik sebagai bawahan, mempersilakan dirinya untuk duduk di sebuah dipan bambu. Betari sudah lebih dulu duduk di ujung yang lain.
Melvis mengangguk dan ikut duduk, menyambut segelas teh hangat yang disuguhkan oleh perempuan paruh baya tadi.
“Di sini nggak ada kamar, jadi saya nggak bisa menampung kalian berdua sekaligus. Sebagai gantinya, saya sudah mintakan izin kepada kepala desa untuk menyediakan tempat menginap untuk Nak...”
“Melvis.” Betari menyambar.
Perempuan paruh baya tadi mengangguk. “Nak Melvis. Nanti anaknya pak kepala desa akan ke sini untuk jemput.”
Melvis manggut-manggut lagi. Perempuan paruh baya tadi mengambil alih koper Betari dan membawanya masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Melvis dan Betari bersama teh hangat di tangan masing-masing.
“Saya penasaran, sebenarnya Mbak Betari ada urusan apa jauh-jauh ke mari?” tanya Melvis. Dia sudah gatal ingin bertanya sejak sebelum tiba. Tidak habis pikir se-urgent apa urusannya sampai harus jauh-jauh datang ke sini dengan risiko yang tinggi. Semalam, mereka hampir saja terperosok ke jurang karena berpapasan dengan truk pengangkut barang yang ugal-ugalan. Melvis jadi bersyukur dia kekeuh untuk ikut. Kalau tidak, bagaimana Betari menghadapi perjalanan sulit ini sendirian?
“Bibi tadi itu namanya Bi Imah. Beliau dulu pernah kerja di rumah saya sebelum orang tua saya meninggal,” mulai Betari. Dia mengambil jeda untuk menyeruput teh panasnya. Jam sudah menunjuk pukul sembilan, tapi udara dingin di sana masih menggigit sampai ke tulang. “Setelah nggak kerja lagi di rumah saya, hubungan kami juga masih berjalan baik. Bi Imah beberapa kali mengunjungi saya. Sekarang, giliran saya yang datang berkunjung, sekalian untuk menghadiri pernikahan putrinya.”
“Biasanya Mbak Betari ke sini selalu sendirian?”
Betari mengangguk. “Nggak bawa mobil sendiri kok. Saya biasanya naik travel sampai ke perbatasan, terus dijemput sama anak laki-laki Bi Imah naik motor.” Sambungnya karena Melvis mulai tampak terganggu.
Melvis hanya mengangguk, menyeruput teh panasnya sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling.
“Di sini semuanya masih serba manual. Mau mandi harus nimba air dulu di sumur. Mau buang air besar atau kecil harus disiram manual pakai gayung, nggak ada closet duduk yang tinggal flush terus hilang semua dosa-dosa yang kita buang. Mau masak harus nyalain tungku. Mau nyeduh air panas buat bikin kopi juga nggak bisa langsung pakai teko listrik atau pakai dispenser.”
Penjelasan panjang Betari membuat Melvis memutar kepala. Alisnya sedikit naik, menerka ke mana arah pembicaraan ini akan berlanjut.
“Maksud saya, keadaan di sini berbeda jauuuuhhh sekali dengan di Jakarta. Tiga hari bakal terasa lama karena apa-apa serba manual. Jadi, kalau kiranya Pak Melvis nggak betah, Bapak boleh pulang duluan. Nanti saya minta tolong anak laki-laki Bi Imah temani sampai batas kota,” ujar Betari.
“Mbak,” sela Melvis. Dia meletakkan gelas teh di samping tubuhnya. “Saya emang nggak terbiasa dengan kondisi di sini karena dari bayi sudah hidup dengan banyak kemudahan di Jakarta. Tapi, bukan berarti saya nggak akan bisa bertahan loh. Lagi pula, mana bisa saya tinggalin Mbak Betari sendirian padahal perginya sama saya?”
“Kalau saya begitu, namanya saya pengecut. Laki-laki mana boleh jadi pengecut?” lanjutnya.
Mendengar itu, Betari tersenyum. Andai semua laki-laki memiliki pemikiran seperti Melvis, ya. Oh, alangkah indahnya dunia.
“Non Betari, Bibi udah rebusin air buat mandi.” Bi Imah datang menginterupsi.
Betari menoleh dan mengangguk seraya tersenyum tipis. “Makasih, Bi. Nanti Betari mandi sehabis Pak Melvis dijemput ya.”
“Sama-sama. Ya sudah, silakan lanjut dulu ngobrolnya, Bi Imah tinggal ke tempat Mang Ujang dulu sebentar, mau beli garam.”
“Iya, Bi.”
Tak lama dari Bi Imah pergi, seorang pemuda datang dari kejauhan. Pakaiannya serba hitam, memakai ikat kepala batik dan sandal tradisional.
“Mana yang mau dijemput?” tanyanya.
Betari menunjuk ke arah Melvis. Si pemuda mengangguk, langsung menyambar koper milik Melvis tanpa menunggu diminta.
“Ayo, kita jalan.”
Melvis bangkit dari duduknya, menatap Betari sejenak sampai gadis itu mengangguk.
“Saya titip ya, Husen.” Betari berucap pada pemuda tadi.
Husen mengeluarkan jempolnya dan mengangguk. “Aman, Non Betari. Ayo, kita jalan.” Lalu melangkah lebih dulu.
Melvis mengekor di belakang. Sesekali masih menengok ke belakang demi melihat Betari yang mengantarkan kepergiannya dengan lambaian tangan dan senyum mengembang.
Helaan napasnya terdengar semakin keras ketika langkahnya terayun makin jauh. Entah kenapa, rasanya tidak rela berpisah dengan Betari. Kalau bisa, dia ingin menempel terus dengan gadis itu.
...****...
Pernikahan akan digelar besok siang di sebuah pendopo yang biasa digunakan untuk menggelar berbagai acara. Malam ini, kedua belah pihak keluarga berkumpul di pendopo tersebut, membahas beberapa hal untuk mematangkan susunan acara.
Betari dan Melvis turut bergabung. Menyimak arahan dari ketua desa selaku pemimpin acara, seolah mereka benar-benar bagian dari mereka untuk waktu yang lama. Sementara kedua pengantin tinggal di rumah masing-masing, dipingit sesuai adat istiadat yang berlaku.
Setelah pertemuan selesai, orang-orang mulai membubarkan diri. Bi Imah dan calon besannya tetap tinggal bersama ketua desa untuk membahas hal lain yang lebih krusial, sementara anggota keluarga lain dipersilakan pulang.
Betari dan Melvis turut melangkah meninggalkan pendopo. Keduanya tidak sendiri, dikawal oleh putra kepala desa yang menawarkan diri secara sukarela untuk menjadi guide dadakan.
Ketiganya berjalan menyusuri jalanan yang gelap dengan sisi kanan kiri diapit pepohonan rindang. Angin malam berembus semakin kencang, membawa sensasi dingin yang rasanya bisa meremukkan tulang-tulang.
“Husen,” panggil Betari di tengah perjalanan.
Husen yang memandu di depan berhenti melangkah. Kepalanya menoleh, cahaya senternya menyorot ke arah Betari. “Kenapa, Non?” tanyanya.
“Teh Minah SMS saya nih, katanya minta kamu antar bingkisan yang dari pendopo.” Betari menunjukkan layar ponselnya berisi SMS dari Minah, kakak perempuan Husen.
“Aduh, ngerepotin deh,” keluh Husen. Pemuda delapan belas tahun itu sampai mengentakkan kaki.
Betari menggeleng dan terkekeh kecil. “Udah sana, anterin aja. Daripada kamu dijewer,” ledeknya.
Husen makin memberengut. “Nanti. Saya antar Non Betari dulu.”
“Saya nggak apa-apa, udah mau sampai juga. Kamu pergi aja, daripada Teh Minah marah-marah.” Betari berusaha meyakinkan.
Husen tampak berpikir keras. Pandangannya beralih dari Betari ke Melvis secara bergantian.
“Bapak anterin Non Betari sampai rumah Bi Imah, bisa? Habis itu tunggu di sana, nanti saya jemput Bapak lagi buat pulang ke rumah saya.”
Tidak ada keraguan ketika Melvis menganggukkan kepala. Demi Betari, jangankan menerobos gelapnya malam, menyeberangi lautan pun akan dia jabani. Eh, tidak. Itu berlebihan.
“Kalau gitu, pakai senternya nih.” Husen menyerahkan senter ke tangan Melvis.
“Kami pakai senter dari hp aja, Husen. Senter itu buat kamu,” cegah Betari.
“Saya masih punya senter cadangan.” Husen mengeluarkan senter lain dari saku bajunya. Senter yang lebih kecil dengan sorot cahaya yang tentunya lebih redup.
“Ya udah kalau gitu, kamu hati-hati.”
Husen mengangguk. “Non Betari sama Pak Melvis juga hati-hati. Saya nggak akan lama, nanti segera saya susul.”
Setelahnya, Husen melenggang pergi ke arah yang berlawanan. Betari dan Melvis tidak menunggu sampai cahaya senter milik Husen menghilang. Mereka juga turut melanjutkan langkah dengan modal senter yang cahayanya tidak bisa menyorot lebih jauh dari lima meter.
“Jangan jauh-jauh.” Melvis refleks menarik lengan Betari untuk lebih dekat dengannya. Jalan setapak yang mereka pihak menjadi lebih licin karena habis turun hujan seharian. Dia tidak ingin ketika Betari jatuh, tangannya terlalu jauh untuk menolong.
Betari tidak menolak. Dia membiarkan lengannya digenggam oleh Melvis sembari mereka berjalan beriringan.
Perjalanan mereka seharusnya tidak sejauh itu. Tetapi entah kenapa, Betari merasa mereka tidak kunjung tiba. Ini seperti mereka hanya berputar-putar di jalan yang sama.
“Pak Melvis, ini kita nggak nyasar kan ya?” tanyanya.
Melvis tidak tahu apakah mereka nyasar atau tidak, jadi dia menjawab sejujurnya. “Nggak tahu. Tapi dari tadi nggak ada jalan bercabang, harusnya benar.”
Betari menghela napas pendek. Baru saja dia hendak membuka mulutnya lagi untuk bicara, sesuatu sudah lebih dulu terjadi. Pijakannya mendadak meleset. Tubuhnya oleng ke belakang, terjengkang tidak keruan. Kabar buruknya, Melvis yang sedang menggandengnya juga otomatis ikut terjatuh bersamanya. Tubuh mereka tumpang-tindih, berguling-guling di tengah kegelapan malam tanpa ada waktu untuk berteriak meminta pertolongan. Senter di tangan Melvis terlepas, terlempar jauh entah ke mana. Menyisakan kegelapan yang benar-benar melingkupi mereka berdua.
“Aww...” ringis Betari, merasakan lengannya perih tergores tanaman berduri.
Di atas tubuhnya, Melvis sekuat tenaga menumpukan lengan agar tubuhnya tidak jatuh menimpa Betari. Keduanya saling tatap dalam gelap. Napas mereka saling memburu, menerpa wajah masing-masing, menimbulkan sensasi hangat yang disertai merinding disko.
Segalanya terjadi terlalu tiba-tiba. Baik Melvis dan Betari tidak punya waktu untuk mencerna apa pun. Sampai kemudian, sebuah cahaya menyorot ke arah mereka disusul suara gemuruh dari beberapa mulut yang berbeda.
“Woy, ngapain kalian berdua!”
Betari dan Melvis menoleh cepat, lalu kembali saling pandang.
Gawat, sepertinya, mereka telah masuk ke dalam masalah besar!
.
.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Dewi Payang
Pasti bermandi lumpur ini si Betari sama Melvis.... Bila ada org kampung yg liat, mereka punya alasan karena jalan licin setelah hujan.....
2025-04-08
1
Dewi Payang
Kayanya kebalik ini🙈harusnya Betari lebih tau dari Melvis situasi kampungnya😅
2025-04-08
1
RR🫶🏻🌊
posisi ambigu yes 😆 tp bayangin lengan Melvis berotot gitu kelihatan pas nahan biar gk nindih Betari 🤭
2025-04-08
1