Toko bunga Andara Florist dipenuhi warna dan aroma lembut, segar, yang langsung menyeruak begitu pintu kaca dibuka. Andara, sang pemilik yang sedang menjaga toko, dengan cekatan merapikan bunga-bunga di depan meja kasir. Saat bel pintu berdenting, Andara menoleh dan menemukan seorang pelanggan tetapnya masuk.
"Selamat datang, Pak Melvis. Seperti biasa?" Tanya Andara sambil tersenyum, sudah hafal dengan Melvis yang kerap membeli bunga lily.
Namun kali ini Melvis menggeleng. "Tidak. Ini... buat seorang wanita."
Andara mengangkat Alis, kepo dengan pengakuan Melvis. "Oh, buat calon istrinya ya, Pak?"
Andara tahu sedikit tentang Melvis, bahwa laki-laki itu seorang duda. Hanya itu saja yang pernah Melvis sampaikan. Bunga lily yang sering dibeli Melvis pun, Andara tahu diperuntukkan untuk mendiang istrinya.
Melvis terdiam sejenak lalu mengusap tengkuknya. "Bukan sih. Tapi... saya kagum sama dia, dan entah kenapa ingin memberikan bunga sebagai apresiasi." Begitu katanya sembari mulai mengambil beberapa tangkai bunga secara acak.
Andara menyeringai kecil, mencium ada yang lebih dari sekadar 'kagum' dalam nanda bicara Melvis. "Berarti wanita itu cukup spesial, ya? Sampai bapak kepikiran buat kasih bunga."
Melvis terkekeh, lalu mengalihkan pandangan ke bunga-bunga di depannya. "Ya, mungkin memang ada rasa lebih. Tapi bukan berarti harus diartikan romantis. Bisa aja ini sebagai bentuk penghormatan, atau sekadar tanda terimakasih."
Andara mendengus, merasa jawaban itu terlalu bertele-tele untuk seseorang yang wajahnya memanas.
"Iya, iya, Pak. Jadi Bapak mau bunga apa nih buat 'dia'?"
"Saya tidak tahu persis dia suka bunga apa. Tapi kamu bisa bantu pilihkan untuk saya. Dia wanita yang baik, pemberani, dan juga hebat."
Andara menyunggingkan senyum kecil, lalu berfikir sejenak. "Kalau begitu, ada beberapa pilihan. Mawar merah untuk keberanian, atau mungkin bunga matahari? Itu melambangkan kekuatan dan ketekunan." Ujar Andara, berjalan menuju deretan bunga dan mengambil setangkai bunga matahari.
Melvis menatap bunga yang ditawarkan, tampak mempertimbangkannya. "Ada pilihan lain?"
Andara mengangguk. "Ada. Krisan putih juga bagus. Melambangkan ketulusan hati."
Mendengar penjelasan itu, Melvis tersenyum kecil. "Kamu benar-benar tahu banyak tentang bunga, ya?"
"Tentu saja, saya kan tukang bunga, Pak." Andara terkekeh pelan. "Jadi, sedikit banyaknya saya tahu tentang bunga. Setiap bunga punya makna sendiri. Kalau mau sesuatu yang lebih unik, ada juga lavender. Itu melambangkan ketenangan dan perlindungan. Kalau wanita ini orang yang spesial, Bapak bisa campur beberapa bunga dengan makna yang saling melengkapi."
Melvis mengangguk, seolah puas dengan solusi yang diberikan. "Kalau begitu, saya pilih bucket bunga mawar merah saja."
"Baik." Andara memulai merangkai bunga mawar.
Setelah rangkaiannya mawar nan cantik sudah selesai, Melvis mengambilnya dan melakukan pembayaran. Dia menaruh bucket bunga tersebut di jok samping kemudi. Ketika Melvis baru saja menutup pintu mobil, suara gaduh dari dalam toko mengganggu rungunya.
Melvis memutuskan masuk kembali ke dalam, lalu ia menemukan Andara terkulai di lantai dan berusaha di bangunkan pegawainya.
Tadi,
Tepat saat Melvis selesai pembayaran lalu berbalik badan, rasa pusing sekonyong-konyong menyerang Andara tanpa bisa ditahan. Pandangannya buram, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Dalam hitungan detik, segalanya menggelap.
"Mbak Andara!" seru Melvis, melakukan hal yang sama dengan pegawai Andara. Mengguncang bahu Andara, berharap wanita itu bangun.
Sekeras apapun Melvis berusaha, Andara tak kunjung membuka matanya.
Tanpa berpikir panjang--setelah ia berbicara sedikit dengan karyawan Andara-- Melvis menggendong Andara dan bergegas keluar, memasukan Andara ke dalam mobilnya. Selama perjalanan, ia terus melihat wajah pucat Andara. Melvis menahan kegelisahan yang mulai menjalar di dada.
Begitu sampai, Melvis segera memanggil perawat, dan Andara langsung dibawa ke ruang pemeriksaan. Ia berdiri di luar dengan HP di tangannya, merasa harus menghubungi seseorang.
Tak lama kemudian, seorang perawat keluar. "Pasien mulai sadar, tapi masih lemas. Apakah Anda keluarganya?"
Melvis menggeleng. "Bukan. Tapi saya bisa coba hubungi walinya." Ia menatap layar HP lalu menghubungi nomor Toko Andara Florist.
...****...
Nando melangkah masuk ke toko bunga Andara dengan santai, berharap menemukan kekasihnya sedang merawat bunga seperti biasa. Namun yang ia temui justru ekspresi cemas seorang karyawan yang menghampirinya.
"Mas Nando, Mbak Andara tadi pingsan terus sekarang lagi di bawa ke rumah sakit sama salah satu pelanggan. Barusan saya terima telepon dari orang yang nolongin Mbak Andara, saya diminta menghubungi walinya Mbak Andara untuk datang ke rumah sakit."
"Saya segera kesana."
Dada Nando mencelos. Tanpa pikir panjang, ia segera berbalik dan melangkah cepat keluar toko. Jari-jarinya sibuk mencari informasi rumah sakit mana yang dimaksud, lalu menyalakan mesin mobil dengan tergesa. Hatinya berdegup keras di sepanjang perjalanan. Bayangan Andara yang lemah membuatnya gelisah.
Selama perjalanan, pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Kenapa Andara bisa sampai pingsan? Apa dia sakit? Kenapa dia tidak cerita?
Sesampainya di rumah sakit, Nando bergegas menuju meja resepsionis. Setelah mendapatkan informasi dimana Andara berada, ia hampir berlari ke sana. Namun, langkahnya terhenti seketika ketika melihat seorang pria berdiri di depan pintu kamar yang sama. Pria itu menatapnya dengan ekspresi terkejut yang sama.
Melvis.
Dunia seakan membeku beberapa detik. Nando tak bisa mengabaikan fakta bahwa pria yang berdiri di hadapannya ini adalah ayahnya. Suasana hening dan penuh ketegangan. Mereka saling menatap, sebelum akhirnya berbicara.
"Nando?" suara Melvis terdengar sedikit terkejut.
Nando menelan ludah. "Papa?"
"Papa berusaha menghubungi walinya, eh ternyata kamu yang datang. Apakah… kalian pasangan kekasih?"
Nando tercekat, tenggorokannya terasa kering kerontang. Kalau dia jawab bukan dan hanya teman, apakah itu ide bagus?
"Teman dekat, Pa." Jawab Nando sedikit gugup.
Keheningan menyelimuti mereka. Tatapan Melvis sulit ditebak, sementara Nando merasa seluruh situasi ini terlalu absurd untuk di urai.
"Dia sudah sadar," suara perawat yang baru keluar dari ruangan membuat mereka tersentak. Ketika Nando mau masuk ke dalam ruang IGD, Melvis pamitan pulang ke Nando. Melvis serahkan urusan tersebut kepada anak laki-lakinya yang sedikit pun Melvis tak menyangka bahwa Nando datang sebagai wali Andara.
Melvis ada urusan lain yang tak kalah penting. Ia harus pergi.
Melvis mau memberikan bunga ke Betari, sebelum wanita itu benar-benar pergi seperti yang sudah diceritakan Betari tempo hari. Atau kalau bisa, Melvis mau melakukan ide gila di sana.
.
.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Dewi Payang
Tanda² kehamilan... Melvis bakal jadi kakek, dan Betari bakal jadi calon nenek muda🤭🤭
2025-04-08
1
Dewi Payang
Mawar... udah mengarah lebih spesial nih abaang duda🥰🥰🥰
2025-04-08
1
Dewi Payang
Dan dia ada rivalmu, Andara....
2025-04-08
1