Ruang meeting masih dipenuhi sisa-sisa kesibukan. Kertas catatan, laporan keuangan dengan grafik dan angka-angka kompleks, serta gelas kopi yang sebagian besar telah kosong berserakan di atas meja panjang berbahan kayu mahoni. Aroma kopi dan pendingin ruangan bercampur, menghadirkan pengap sekaligus menekankan kelelahan dari diskusi intens yang berjalan selama lebih dari tiga jam sebelumnya.
Di ujung meja, Melvis menutup map yang sedari tadi dipegangnya. Rahangnya sedikit mengencang, wajahnya serius. Meskipun diskusi bisa dibilang berjalan lancar, masih ada beberapa hal yang terasa mengganjal di benaknya.
Di sebelahnya, beberapa eksekutif mulai membereskan barang-barang mereka. Gabriel, kepala divisi analis keuangan, menyesap sisa kopinya sekali lagi.
“Saya akan segera menindaklanjuti laporan proyeksi risiko yang tadi kita bahas. Saya akan update sebelum jam delapan malam.”
Melvis mengangguk ringan, lalu merapikan jasnya sebelum menjawab, “Tolong pastikan angka yang kita gunakan sudah final sebelum dikirim ke klien.”
Gabriel mengangguk paham dan melangkah keluar bersama beberapa manajer lainnya. Suara langkah kaki memenuhi ruangan sesaat sebelum keheningan menyebar.
Di sudut ruangan, Nadine, sekretaris pribadi Melvis, masih duduk di kursinya dengan tablet di tangan. Ia memeriksa kembali beberapa catatan yang sudah dia buat, memastikan tidak ada satu pun detail yang terlewat. Saat menyadari Melvis bergerak menuju pintu, ia menoleh.
“Saya akan kirimkan notulen rapat ke semua peserta dalam satu jam, Pak. Untuk follow-up dengan tim legal, Bapak ingin dijadwalkan besok pagi atau siang?”
Melvis berpikir sebentar sebelum menjawab, “Siang aja, setelah saya review laporan dari Gabriel.”
Nadine mengangguk, turut mencatat instruksi tersebut di notes lain dalam tab-nya.
Melvis berdiri di sisi pintu sambil memandang ke arah meja rapat yang dia tinggalkan. Berantakan. Berkas-berkas laporan yang tidak tersusun rapi, gelas-gelas bekas kopi dengan percikan noda di sekitar meja, sisa-sisa kertas bekas coretan, dan botol-botol air mineral yang setengah kosong.
“Minta tim operasional untuk segera bereskan, ya.” Melvis memberikan titah.
“Sudah saya koordinasikan, Pak. Pak Dani akan segera masuk untuk membereskannya,” jawab Nadine.
Melvis hanya mengangguk. “Saya ke ruangan saya dulu dan masih akan stay satu atau dua jam ke depan. Kalau ada update mendesak, langsung kabari saya.”
“Siap, Pak.”
Tanpa banyak basa-basi lagi, Melvis melangkah keluar. Langkahnya mantap menuju lift di ujung lantai. Dia berdiri di depan benda besi itu selama beberapa detik sebelum akhirnya terdengar denting nyaring dan pintu lift di hadapannya terbuka. Orang-orang di dalamnya serempak menundukkan kepala sedikit, memberi hormat. Melvis hanya membalas sapaan mereka sekenanya dan langsung ikut bergabung ke dalam lift.
Selama lift bergerak naik, hanya keheningan yang menyelimuti. Enam orang karyawan di belakang tubuh Melvis sepenuhnya bungkam. Seolah menegaskan bahwa ada jarak dan batas-batas tertentu antara bos dan pegawai.
Ting!
Pintu lift terbuka lagi. Melvis melangkah keluar usai melambaikan tangan kecil pada karyawannya sebagai salam perpisahan. Dia kemudian berjalan ke sisi kiri, menuju ruang kerja pribadinya.
Begitu tangan Melvis menyentuh handle, gerakannya terhenti karena merasakan getaran yang berasal dari saku kemejanya. Melvis merogoh sakunya, mengeluarkan ponsel untuk memeriksa pesan yang masuk.
Sederet nomor asing muncul di sana. Tanpa foto profil, tanpa display name pula. Dengan satu ketukan, pesan singkat tersebut terbuka.
Selamat sore, Pak Melvis. Saya Betari, yang tempo hari membantu Bapak. Maaf mengganggu waktunya, tetapi saat ini saya punya sedikit kesulitan. Kalau nggak keberatan, boleh saya minta waktu Bapak untuk ketemu dan membahas tentang kesulitan saya?
Sudut bibir Melvis tetiba tertarik sedikit setelah membaca pesan singkat tersebut. Dengan first impression yang membuat Betari tampak tangguh di matanya, Melvis tidak berpikir gadis itu akan menghubunginya secepat ini. Tapi dia senang, tentu saja. Tidak enak membawa rasa ingin balas budi ke mana-mana tanpa tahu kapan harus membalasnya.
Tanpa ragu, Melvis mengetikkan balasan.
Selamat sore, Mbak Betari. Tentu boleh. Saya senang bisa gantian membantu. Silakan tentukan waktunya.
Hanya butuh tiga detik sampai balasan dari Betari datang.
Di minggu-minggu ini saya free, jadi alangkah baiknya kalau Bapak saja yang tentukan waktunya. Bapak tentu lebih sibuk daripada saya, kan?
Melvis tersenyum tipis. Setelah menimbang sebentar, dia akhirnya memutuskan.
Hari ini saya bisa. Kalau nggak keberatan, kita bisa bicarakan kesulitan Mbak Betari sekalian makan malam. Bagaimana?
Sehabis mengirim pesan, Melvis melanjutkan langkah masuk ke ruang kerjanya. Sambil menunggu balasan, dia memutuskan untuk berbenah. Berkas-berkas yang berserak di atas meja dia rapikan, beberapa yang urgent dia jadikan satu di tumpukan dan dia simpan di sisi kiri. Kegiatannya kembali terjeda setelah balasan Betari tiba.
Boleh, Pak. Silakan tentukan tempatnya dan beritahu saya, saya segera meluncur ke sana.
Nanti saya kirimkan lokasinya.
Setelah membalas pesan, Melvis memasukkan kembali ponselnya ke saku kemeja, kemudian beralih meraih gagang telepon di meja kerjanya. Dengan cepat dia mendial extention number yang tersambung dengan meja Nadine. Begitu tersambung, dia langsung bersabda, “Saya nggak jadi stay, ada urusan mendadak. Kalau ada apa-apa kabarin aja lewat teks.”
“Oh, baik, Pak.”
“Sekalian tolong kabari sopir saya, saya mau jalan sekarang.”
“Baik, Pak.”
“Thank you.”
Melvis menutup telepon dan langsung melesat meninggalkan ruang kerjanya. Entah kenapa memikirkan untuk bertemu dengan Betari membuatnya mendadak bersemangat.
...*****...
Betari berdiri di depan restoran langganan Melvis dengan tatapan berbinar dan rasa kagum yang tidak habis-habis. Bukan. Bukan karena pilihan restoran yang mempresentasikan selera Melvis, melainkan keakuratan informasi yang Ardhan bagikan hingga membuat rencananya sejauh ini bisa berjalan lancar.
Menarik napas sekali, Betari melangkah masuk. Tak sulit untuk menemukan eksistensi Melvis di sana. Satu-satunya pria berjas rapi, rambut klimis, menyilangkan kaki dengan pandangan fokus pada tab di tangan.
Betari berjalan mendekat dengan senyum yang dikulum.
Sesampainya di samping meja, dia menyapa Melvis ramah. “Malam, Pak Melvis.”
Si empunya nama mendongakkan kepala, lalu tersenyum. “Malam, Mbak Betari. Silakan duduk.” Melvis mempersilakan.
Betari menarik kursi, duduk di atasnya, meletakkan tasnya di satu kursi lain lalu serius menatap Melvis. “Maaf menunggu lama, jalanan agak padat.”
“No problem, saya belum lama sampai.”
Kepala Betari naik-turun. “Bapak udah pesan sesuatu?” tanyanya, ketika seorang pelayan datang membawakan buku menu.
“Belum. Sengaja nunggu Mbak Betari,” jawab Melvis.
Betari hanya tersenyum, lalu fokus pada buku menu. “Saya mau Pan-Seared Sirloin with Cacao Infused Sauce dan mineral water.” Dia menyebut menu pilihan tanpa kesulitan.
Sang pelayan mencatat pesanan degan khidmat. Sementara Betari tidak akan tahu bahwa Melvis di depannya sedang sedikit tercengang. Tidak menyangka bahwa menu pesanan Betari akan sama persis dengan miliknya.
“Pak Melvis mau pesan apa?”
Melvis tergagap sedikit, bangun dari lamunan singkatnya. “Sama kayak punya Mbak Betari.”
Betari terkikik pelan mendengarnya, namun langsung mengendalikan diri dan mengatakan kepada pelayan untuk membuat pesanan mereka berdua sama.
“Tingkat kematangannya?” tanya si pelayan.
“Medium well.”
“Medium well.”
Betari dan Melvis menjawab serempak. Sang pelayan tersenyum kecil, kemudian mengonfimasi pesanan sekali lagi sebelum pamit undur diri.
Setelah kepergian sang pelayan, Melvis bersuara. “Mbak Betari sering ke sini?” tanyanya.
“Enggak. Ini kali pertama saya ke sini.”
“Begitu? Saya pikir Mbak Betari sering ke sini, karena nggak harus bingung dulu mikir mau pesan menu apa. Atau mungkin udah siap-siap dulu sebelum datang ke sini?” gurau Melvis.
“Saya selalu pesan menu itu setiap kali ke restoran steak,” jawab Betari.
Bohong. Kalian jangan percaya. Betari hanya memesan menu itu karena tahu Melvis akan memesannya juga. Tapi bukan berarti dia tidak suka. Hanya jika ada pilihan lain, dia akan memilih yang lainnya.
Selanjutnya, selagi menunggu menu makanan mereka siap dihidangkan, Betari mulai mengeluarkan tab dari tasnya. Memulai gerakan modus minta tolong untuk menangani masalah pekerjaannya. Melvis sendiri menyambutnya dengan senang hati. Mereka mulai saling tukar suara, tukar isi kepala, tapi tidak sampai bertukar lainnya.
Bagus, bagus. Dewi Fortuna di pihakmu, Betari.
.
.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
FT. Zira
di sini yg modus cwe nyaa/Facepalm//Facepalm/
2025-03-26
1
RR🫶🏻🌊
wow apa Melvis pecinta kebersihan, seroang Bos sampe mikirin bekas-bekas di meja /Facepalm/
2025-03-25
1
Dewi Payang
Itulah untungnya memesan yaang pertama... dan Be udah cari tau menu andalan pak bos....
2025-03-25
1