Demi Neptunus, Betari tidak pernah kepikiran akan menemukan Melvis berdiri di depan rumahnya, dengan dandanan kasual khas anak muda, rambut tertata rapi, tubuh wangi seperti habis mandi parfum, serta menggeret satu koper besar berwarna merah terang.
Betari menelan salivanya susah payah dengan pandangan masih terfokus pada koper merah di genggaman Melvis. Perlahan, setelah keterkejutannya agak mereda, dia menengadah. Menyasar tetap ke manik lelaki tampan itu.
“Pak Melvis mau pergi?” tanyanya.
Sang empunya nama tersenyum lebar, mengangguk polos seperti bocah.
“Ke mana?” tanya Betari lagi. Masih no clue.
“Nemenin Mbak Betari,” sahut Melvis diakhiri senyum innocent.
Uhuk! Betari tersedak ludahnya sendiri. Tenggorokannya seketika terasa perih.
“Apa?”
“Saya mau pergi nemenin Mbak Betari,” ulang Melvis.
“Kenapa?”
“Karena saya khawatir.” Melvis melepaskan genggamannya pada koper, meninggalkannya di sebelah badan mobil. Dia melangkah maju, menebas jarak lebih dekat. “Mbak Betari bilang akses internet dan sinyal seluler susah, jadi saya berasumsi bahwa tempatnya cukup jauh dan terpencil. Jadi, saya mau nemenin Mbak Betari ke sana. Who knows, siapa tahu saya bisa banyak membantu.”
Membantu apanya? Batin Betari. Dia memandang Melvis dari atas kepala sampai ke ujung kaki. Mau dilihat dari segi mana pun, lelaki tampan yang layak dijuluki sugar daddy ini memangnya akan bisa bertahan di tempat terpencil? Ditipu dengan modus begal tengah malam saja dia bisa lengah, itu artinya kan survival skill-nya nyaris nol.
“Mbak,” Betari mengerjap beberapa kali, merasakan embusan angin menerpa wajahnya. Pelakunya adalah Melvis yang menepukkan kedua tangan tepat di sana. “Kok malah bengong?”
“Nggak, nggak perlu.” Betari menggeleng tegas. “Saya baik-baik aja, Bapak nggak perlu repot-repot nemenin saya.”
“Nggak repot sama sekali kok. Kebetulan saya belum ambil jatah cuti tahunan, jadi saya pakai aja buat temenin Mbak Betari.” Begitu katanya. Senyum yang merekah di wajah Melvis hampir saja membuat Betari terlena, tapi dia buru-buru menggelengkan kepala dan menarik kembali kesadarannya.
“Tempatnya benar jauh dan terpencil, dan itu adalah alasan yang lebih logis kenapa Bapak nggak perlu ikut.”
Melvis mencebik. “Bukannya justru saya harus ikut, ya? Kan biar ada yang jagain?”
“Yang ada nanti malah saya yang harus jagain Bapak!” sungut Betari, keceplosan. Detik berikutnya, dia membekap mulutnya sendiri sambil melirik Melvis.
Lelaki di depannya itu tampak terdiam tanpa ekspresi. Betari mulai khawatir kalau perkataannya mungkin melukai hati mungilnya.
Tetapi,
“Saya nggak sebeban itu, kok. Saya aslinya jago berantem.” Seketika, tawa Betari meledak saat Melvis mulai memasang kuda-kuda.
Tidak ada yang salah dengan posisi Melvis. Apa yang lelaki itu tunjukkan memang posisi yang benar. Apa yang membuat Betari terbahak adalah ekspresi sok serius di wajahnya yang dia tahu betul sedang dibuat-buat. Melvis seolah ingin menunjukkan bahwa dia benar-benar mampu melindungi Betari.
“Saya serius loh,” celetuk Melvis, menginterupsi tawa Betari.
Betari menghentikan tawanya perlahan-lahan, menggantinya dengan senyuman. Baiklah, karena Melvis toh sudah datang jauh-jauh ke sini dan dengan niat yang baik juga, mungkin tidak ada salahnya untuk menerima tawaran lelaki itu.
“Oke, oke, Pak Melvis boleh ikut.”
“Yes!” Melvis kegirangan, mengepalkan kedua tangan dan bersorak bebas.
Perut Betari kembali terasa tergelitik, dia tertawa pelan.
“Kalau gitu, saya ke dalam sebentar ambil koper saya. Tunggu di sini.” Usai menemukan Melvis mengangguk, Betari melesat masuk ke dalam rumah. Untuk kembali tak lama kemudian sambil menggeret koper pink miliknya. Leather jacket hitam tersampir di bahunya. Langkahnya terayun mantap.
“Ayo berangkat,” ajaknya. Dibiarkannya koper diambil alih oleh Melvis dan dimasukkan ke dalam bagasi bersama dengan koper lelaki itu. Dia duduk anteng di kursi penumpang, menunggu Melvis mengisi tempat di sisi kanan.
“Oke, ke mana kita harus pergi sekarang?” tanya Melvis seraya memasang seat belt.
Betari mengeluarkan ponselnya, membuka GPS, mengetik tempat tujuan, lalu menempelkan benda pipih itu ke dashboard agar Melvis bisa melihatnya dengan leluasa.
Melvis memeriksanya sebentar. Tujuannya adalah sebuah desa terpencil di Jawa Barat. Berjarak 365 kilometer dengan waktu tempuh hampir 8 jam. Dengan medan yang sudah pasti menantang, bagaimana bisa Betari hampir nekat pergi sendiri?
“Mbak Betari mau ngapain ke desa itu? Ngilmu?” seloroh Melvis seraya memutar kemudi. Mobil mulai melaju meninggalkan area perumahan Betari. Sinar rembulan yang mengintip malu-malu dari balik awan mendung mengantarkan perjalanan panjang mereka.
“Ngawur.” Betari menyahut, namun tak urung tertawa pelan. “Ada seorang kerabat yang mau saya temui di sana. Kerabat jauh. Kebetulan ada sedikit urusan.”
Melvis manggut-manggut. Ketika mobil mereka mulai masuk jalan utama menuju tol, gerimis turun tipis-tipis. Wiper mulai bekerja di kaca depan, praktis membuat Melvis mengurangi laju mobil demi berkendara lebih amat. Air conditioner terasa lebih dingin dari yang seharusnya, seiring dengan sepi yang mulai merambat. Maka, agar perjalanan panjang mereka tidak membosankan, Melvis mulai menyalakan radio.
Suara penyiar menggema memenuhi seisi mobil. Mengiring perjalanan mereka dengan kata-kata manis sebelum tergantikan dengan lagu-lagu sendu.
Melvis melirik sedikit ke kiri, memeriksa Betari yang mulai sibuk memandangi jalanan yang mereka lewat. Bibir gadis itu tampak bergerak, ikut menyanyikan bait lagu tanpa suara.
Diam-diam, Melvis mengulum senyum. Tidak pernah ada dalam bayangannya akan merasakan sensasi kepakkan sayap kupu-kupu di perutnya sama seperti dulu ketika pertama kali jatuh cinta pada ibunya Nando. Lebih tidak menyangka lagi bahwa orang yang berhasil membuatnya merasakan hal itu lagi adalah seseorang yang jauh lebih muda darinya. Seseorang yang dalam kesempatan lain, mungkin lebih cocok lahir menjadi putrinya.
...*****...
Setengah perjalanan, medan yang dilalui semakin sulit. Mobil mereka sudah tidak lagi berada di jalan utama yang halus dan lebar. Berpindah ke jalur alternatif sempit yang tak jarang membuat ban-ban sebelah kiri harus sedikit turun dari jalan ketika berpapasan dengan kendaraan besar. Minimnya penerangan dan hujan yang turun semakin deras juga merupakan tantangan tersendiri. Melvis harus tetap berkonsentrasi di tengah lelah dan kantuk yang bisa menyerang kapan saja.
“Pak Melvis beneran nggak mau saya gantiin nyetirnya?” Betari bertanya untuk yang ke-sekian kali.
Melvis menggeleng untuk yang ke-sekian kalinya pula. Tidak masalah buatnya tetap memegang kemudi.
Perjalanan berlanjut, tetapi kini dilalui dalam hening sebab sinyal radio mulai timbul tenggelam, begitu juga dengan sinyal GPS.
Melvis menjadi sedikit resah sekarang. Di tengah hutan belantara begini, kalau mereka tersesat, hasilnya jelas tidak akan menyenangkan.
“Saya hafal rutenya kok, Pak.” Suara Betari membuat Melvis menoleh sejenak. Gadis itu tampak mengangguk dengan yakin.
“Mbak Betari sering ke sana, sampai bisa hafal?” tanyanya saat kembali fokus menatap ke depan.
“Nggak juga. Saya cuma dianugerahi ingatan yang bagus aja,” jawab Betari.
Di satu sisi, itu adalah sebuah kelebihan. Tapi di sisi lain, Betari menemukan hal itu cukup menyiksa. Sebab ingatannya bagus, dia juga jadi sulit melupakan hal-hal buruk yang menimpa hidupnya. Seperti pengkhianatan yang Nando dan Andara lakukan.
Aih, sialan. Kenapa nama dua orang itu harus muncul di saat seperti ini?
“Dua kilometer di depan ada rest area, nanti kita istirahat sebentar ya di sana.” Sekalian Betari ingin menjernihkan pikirannya.
Melvis mengangguk saja. Lanjut mengemudi sesuai arahan Betari. Tanpa keduanya tahu, alam sedang memberitahu mereka akan sesuatu hal.
.
.
.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
RR🫶🏻🌊
Kirain kopernya sama merah dan mirip, ada insiden salah koper dan bayangin nanti Melvis ambil dalaman Betari 🤣🤣🤣
2025-04-07
1
RR🫶🏻🌊
Bentar, apa Melvis bukan bos di perusahaan? Kok hrs ambil cuti di perusahaan sendiri 🤔
2025-04-07
1
RR🫶🏻🌊
heh, merah terang? nggak nyangka banget /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
2025-04-07
1