Jakarta, 2014
Aku memasuki kamar dan langsung menutup pintu rapat-rapat, setelah melewati ruang tengah yang penuh tensi di rumahku sendiri. Masih terdengar suara Ayah dan Ibu berselisih disana.
“Hah, lagi-lagi.” Aku bergumam sambil mendudukkan diriku di bangku meja belajar.
Aku tidak percaya glorifikasi cinta. Dulu kupikir cinta menyatukan manusia—ternyata bisa juga jadi alasan untuk menghancurkan.
Ayahku, Hugo Darmahadi, pernah jadi sosok panutan. Tapi kini, cukup kusebut pria yang kebetulan ayahku secara biologis.
Ibu—Marcella Anita—kukira hanya ibu rumah tangga yang terlalu sensitif, mudah marah. Nyatanya, ia menyimpan luka yang panjang.
Ayahku berkhianat hingga memiliki seorang anak dengan wanita lain, dan tanpa rasa malu Ayah meminta maaf pada Ibu. Ibuku, dengan jiwa besarnya, menerima saja kehadirannya kembali seperti tidak ada masalah besar. Tapi aku sih tidak, aku sudah terlanjur terluka. Aku merasa seperti seluruh hidupku dilandasi oleh kebohongan pria yang harus kusebut Ayah itu.
Padahal dulu, ia sering menemaniku bermain, sabar, penyayang. Tapi semua itu hanya kedok. Di balik wajah teduh dan gelar arsitek suksesnya, ia ternyata laki-laki biasa yang bisa tergoda oleh tubuh dan kesempatan.
Dengan logika apa aku bisa memakluminya?
Kurasa Ibuku bisa hidup lebih baik tanpanya. Ia pintar, tangguh, pandai bicara. Kalau dia mau, dia bisa saja lepas dan mulai dari awal. Tapi Ibu memilih bertahan. Untuk apa?
Apa yang ia takutkan? Uang? Aku bisa bantu bekerja. Kami juga bisa menuntut Ayah uang nafkah dengan nominal besar jika mereka bercerai, mengingat Ayah kini telah menjadi arsitek yang tersohor dengan penghasilan yang besar.
Status? Kami sudah rusak sejak lama. Yang membuatku muak: rumah ini seperti panggung sandiwara yang tak pernah berhenti dipentaskan.
Boneka porselen ini meski antik tetap tampan dan menggemaskan, dengan kulit putih, rambut pirang, dan mata biru. Ia mengenakan kemeja putih dengan vest cokelat tua, celana khaki yang senada, dan sepatu pantofel hitam. Sangat... klasik.
Ia sahabat berceritaku selama ini. Sebagai anak tunggal, tanpanya aku merasa seperti berjuang sendiri. Aku terlalu malu untuk menceritakan kondisi keluargaku kepada sahabatku di sekolah, rasanya seperti membongkar aib keluarga.
Aku memeluk boneka porselenku sambil berusaha keras menahan air mataku agar tidak menetes. Pertahananku lengah, akhirnya menetes juga air mataku ke wajah bonekaku. Kuusap pelan dengan tisu untuk membersihkan wajahnya dari tetesan air mataku.
“Aduh maaf Adri. Aku aneh ya? Curhat dan nangis ke boneka, kalau ada yang lihat pasti aku dikira gila. Tapi mau gimana, masalah hidupku serumit ini. Dan gilanya Ayah meminta izin Ibu membawa anak itu kesini untuk dibesarkan. Aku tahu anak itu nggak bersalah, itu hasil kesalahan lama Ayah. Perempuan simpanan Ayah pun sudah wafat. Masalahnya aku nggak yakin bisa bersikap baik ke anak itu. Setiap ketemu pasti aku teringat dosa Ayahku. Rasanya jijik membayangkan Ayah punya anak dengan perempuan lain.” Aku tidak siap membayangkan anak itu berkeliaran di rumah ini.
Ada sedikit rasa iri yang menjalar, ‘Ayah bisa sangat peduli pada hidup anak simpanannya itu, tapi kenapa nggak peduli pada hidupku dan Ibuku?’ Batinku merasakan ketidak-adilan.
“Aku kira selama ini aku satu-satunya anak Ayahku, ternyata itu pun kebohongan ya.” Tangisanku semakin pecah, namun kujaga suaraku agar tidak sampai terdengar keluar kamar. Aku sudah terbiasa menangis dalam senyap seperti ini, oleh karena itu kamarku adalah tempat favoritku menghabiskan waktu. Aku bisa melepaskan topengku dan menjadi apa adanya disini, disaksikan Adri. Aku menangkupkan kepalaku di meja belajar, menyembunyikan air mata yang tumpah. Aku meluapkan tangisku selama beberapa saat sebelum pada akhirnya menjadi lebih tenang dan berhenti menangis.
“Padahal semua akan selesai kalau Ibu pisah dari Ayah. Aku bisa kok bantu Ibu dengan bekerja.” Gerutuku sebelum mendadak teringat, “O iya, aku harus print dan fotokopi CV dan lamaran kerja.”
Aku mengusap wajahku untuk menghilangkan jejak-jejak tangisanku. “Aku harus buru-buru ke tukang fotokopi. Maaf Adri, sampai sini dulu sesi curhatnya. Sekarang aku pamit, mumpung belum mager.” Aku mengembalikan Adri ke tempat semula, terduduk di rak di atas meja belajarku.
Aku mencuci muka sebentar, memakai jaketku, dan membawa tas sekolahku kembali keluar kamar, tidak lupa menutup pintu kamar dengan rapat.
...oOo...
Sekeluarnya Akasia dari kamar tidurnya, sesuatu terjadi.
Boneka porselen di raknya jatuh perlahan ke meja belajar. Tidak retak. Tapi... berubah. Sosoknya melebar, membentuk tubuh pria muda berkulit pucat, rambut pirang keemasan, dan mata biru yang hidup. Pakaiannya masih sama—kemeja putih, vest cokelat, celana khaki.
Adrian menengok kanan dan kiri, memastikan situasi aman. Nafasnya teratur. Ia... hidup.
Ia berjalan ke rak buku, melihat-lihat koleksi novel di sana.
“Nggak ada buku baru ya? Hari ini baca apa ya? Lagi nggak pengin cinta-cintaan sih,” gumamnya bosan.
Belakangan ini ia memang seringkali berubah menjadi manusia, jadi sudah beberapa kali ia membaca buku-buku koleksi gadis pemilik kamar itu.
Cinta, ia juga tidak mengerti soal itu. Ia jadi teringat kisah hidup Akasia yang seringkali diceritakannya. Pemuda itu terhenti memilih buku dan jadi termenung. Ia sendiri juga gagal dalam percintaan, bagaimana bisa dia mengerti mengenai cinta tulus. Pemuda itu duduk di bangku belajar Akasia demi melanjutkan perenungannya.
‘Bahkan aku dikutuk jadi boneka begini akibat masalah cinta, jadi aku nggak punya cukup kredibilitas untuk berkomentar tentang cinta. Siapa aku?’ Batin pemuda itu mengingat nasibnya sendiri sambil tertawa menghibur diri.
Tapi ia juga merasa aneh, belakangan ini ia bisa kembali menjadi manusia beberapa kali dalam sehari, ‘Apa mungkin kutukannya mulai usang dan aku akan pulih kembali menjadi manusia di zaman ini? Atau ada syarat yang secara tidak sengaja terpenuhi untuk menghilangkan kutukan ini?’ Pikirnya curiga.
‘Coba pikirkan, kira-kira apa hal yang mungkin jadi penawar kutukan ini ya?’ Ia memaksa otaknya untuk mengingat.
Biasanya, ia bisa berubah setelah Akasia berbicara dengannya. Akasia berbeda. Ia tidak hanya merawat, tapi memperlakukan boneka itu seperti manusia. Sejak kecil.
Sejak menerima boneka Adri sebagai hadiah di ulang-tahunnya yang ke-enam, Akasia memperlakukan boneka itu selayaknya teman akrab. Ia merawatnya dengan teliti, mengajaknya berbincang dan bermain hingga Adrian merasa kembali dimanusiakan. Semenjak bertemu Akasia semasa kecil, Adrian tidak lagi kesepian. Jiwanya yang bosan memerhatikan dunia dari sudut pandang boneka merasa bangkit, ia merasa dianggap ada kembali. Semenjak itu hatinya jadi menghangat setiap mengingat Akasia.
Ia melihat sendiri perkembangan gadis itu sejak anak-anak hingga remaja seperti sekarang, dan tak pelak tumbuh rasa sayang yang besar terhadap gadis itu. Anak perempuan itu membangkitkan rasa ingin melindungi dan mengayomi yang ada di diri Adrian. Rasanya ingin senantiasa merengkuhnya untuk menghindarkannya dari kemalangan dan rasa sedih. Kepeduliannya berkembang. Ia merasa khawatir sekaligus tidak berdaya setiap kali Akasia menangis di hadapannya, ia bahkan tidak bisa mengusap air matanya meski ingin.
Kehidupan gadis itu memang seringkali dihiasi dengan tangisan. Bahkan seingatnya Akasia lebih banyak menangis daripada tertawa bahagia selama berada di kamarnya ini. Karena itu Adrian benar-benar ingin melindungi Akasia dari tangisan. Ia ingin hidup gadis itu berubah menjadi lebih indah. Selama ini ia hanya bisa mendoakannya sebagai boneka, tapi jika ia mampu menjadi manusia, ia tahu siapa orang yang paling utama untuk ia bahagiakan.
Tiba-tiba terbersit dalam benaknya, ‘Apa mungkin karena selama ini Akasia tulus memperlakukanku seperti temannya, jadi itu bisa menghidupkan lagi jiwa manusiaku, dan perlahan menghilangkan kutukanku? Itu kemungkinan terbesar.’ Pemuda itu tertegun menyadarinya. ‘Berarti apa yang harus kulakukan kalau aku terus-terusan berubah menjadi manusia begini?’
Ia mulai memikirkan strategi selanjutnya demi keberlangsungan hidupnya. Karena ini rumah Akasia, cepat atau lambat ia akan memerlukan bantuan Akasia untuk menyembunyikannya, menjaga rahasianya, dan mungkin membuat identitas baru, karena semakin kesini durasi perubahannya menjadi manusia bertahan semakin lama dan semakin sering. Meski sebenarnya ia belum siap mengejutkan Akasia mengenai kenyataan kondisi tubuhnya ini, tapi cepat atau lambat Akasia pasti akan tahu.
'Jika kutukan ini benar akan berakhir… haruskah aku tetap tinggal sebagai boneka di sisinya, atau mencoba hidup kembali sebagai manusia?'
Pintu kamar tiba-tiba terbuka dan masuklah Akasia dengan santainya. Begitu melihat ada pemuda asing di bangku belajarnya ia tertegun. Adrian pun terpaku bingung, tidak tahu harus menjelaskan seperti apa, ‘Iya sih cepat atau lambat akan ketahuan, tapi nggak secepat ini juga dong! Belum siap nih,’ batinnya protes.
“Kamu siapa? Kok nggak sopan banget masuk kamar orang tanpa izin?” Akasia memasang sikap waspada.
“Kamu ngerti bahasa Indonesia kan? Should i speak english (haruskah aku pakai bahasa inggris)? Go out of here (pergi dari sini)!” Akasia memperhatikan penampilan pemuda itu dari atas sampai bawah.
“Are you probably my dad's client (apa mungkin kamu klien ayahku)? This is my bedroom, not my father's office, you come to the wrong place (ini adalah kamar tidurku, bukan kantor ayahku, kamu masuk ke tempat yang salah).” Mata Akasia memicing, sejujurnya ia sedikit penasaran mengenai siapa pemuda pirang di kamarnya, karena ia merasa familiar dengan penampilannya.
“Tenang dulu Akasia, aku Adri.” Pemuda itu akhirnya mengaku dengan ragu. Ia juga tidak tahu akankah gadis di depannya itu percaya dengan penuturannya.
“Nama kamu Adri? Kok nggak asing ya?” Gadis muda itu merespon bingung.
“Iya...Adri yang biasanya di situ.” Pemuda itu menunjuk rak tempat boneka Adri biasa diletakkan.
“Hah?” Akasia masih belum menangkap maksudnya.
Adrian menunjuk pakaiannya, itu membuat Akasia menyadari sesuatu. Ia tercengang melihat begitu banyak kesamaan pemuda itu dengan bonekanya. Tapi kemana bonekanya? Gadis itu mencari-cari. Adrian bingung menjelaskannya, hingga ia memilih mengubah tubuhnya lagi menjadi boneka.
Melihat perubahan itu langsung di depan matanya, Akasia terkejut dan kehilangan kesadaran.
Sebelum tubuh gadis itu tersungkur ke lantai, Adrian secepat kilat berubah menjadi manusia untuk menangkap tubuhnya dengan sigap.
“Yah dia pingsan! Untung sempat ditangkap.” Adrian sedikit lega, ia membopong tubuh gadis itu dan membaringkannya di tempat tidur dengan hati-hati.
“Apa dia bakal mengira semua ini mimpi ya?” Gumam pemuda kaukasia itu sambil memerhatikan wajah Akasia, “Nggak tahu deh, lihat nanti aja, sementara ini berubah jadi boneka aja dulu.” Ia kembali ke tempat boneka Adri biasa didudukkan dan menjadi boneka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
martina melati
biasa perempuan yg baik hanya bisa terus menangis... utk coba bangkit berdiri dan mandiri perlu dukungan/pemicuny.
2025-04-10
1
fjshn
trus kalau mereka pisah anak selingkuh ayahnya mau di kemanakah?
2025-04-08
0
evrensya
Trus kita harus percaya laki2 yg seperti apa? udah kelihatannya se greeflag itu masih aja ada celah khianat nya.
2025-04-06
2