Bullying

Endry berjalan santai ke sekitar area kantin SD di sekolahnya. Di dekat sana terdapat penjual jajanan cakwe langganannya yang biasa ia beli. Ketika berjalan ia melihat sekumpulan anak-anak SD yang mengerubungi salah satu temannya. Anak yang dikerubungi hanya sendiri dan ia ditertawakan seperti bahan olok-olokan. Isi tasnya ditumpahkan keluar oleh teman-temannya.

“Woii! Kecil-kecil udah main keroyokan, nggak boleh jahat ke teman!” Endry mendatangi mereka dan mereka bubar seketika, meninggalkan seorang anak malang yang tadi menjadi bahan olok-olokan, “Kamu nggak apa-apa?” Pemuda berseragam SMA itu membantu mengumpulkan barang-barangnya yang bertebaran. Saat menyerahkannya anak laki-laki itu tampak menunduk.

“Terima kasih, Kak,” ia mengucapkan dengan lesu.

“Kamu kalau ditindas gitu lawan dong! Kamu kan laki, harus tegas.” Pemuda itu memberi sarannya.

“Tapi mereka benar kok, aku emang anak haram,” jawaban anak itu mengejutkannya.

“Husshh! Nggak ada itu anak haram, semua anak terlahir suci, sama semua.” Endry menampik penilaian itu, “Tunggu, nama kamu siapa?” Ia memastikan kecurigaannya.

“Hanif, Kak.” Jawab anak itu polos.

“Hanif adiknya Akasia kan?” Tebak Endry, anak itu mengangguk, “Aku kenal baik Kakak kamu, kalau Kakak kamu tahu kamu diginiin, pasti dia murka!”

Ia mengajak Hanif untuk duduk dan membagi jajanannya, “Hanif, kamu sayang keluarga kamu?”

Hanif mengangguk, “Makanya aku nggak mau mereka tahu, aku nggak mau mereka kepikiran, tolong rahasiain ya, Kak.” Pesannya.

Pemuda berseragam SMA itu menggaruk-garuk kepala frustasi, ‘Anak sekecil ini kok udah kepikiran jaga perasaan keluarga sih?’ Batinnya mengerang prihatin, “Kalau kamu memang sayang keluarga kamu, ya kamu harus membela diri kalau ditindas!”

Endry memegang kedua bahu anak itu, membuat sepasang mata polos anak itu menatapnya lekat-lekat, “Hanif, kita ini laki-laki. Kita membawa kehormatan keluarga kita di pundak kita. Jadi kalau ada yang meremehkan kamu, itu juga berarti meremehkan keluarga kamu loh. Makanya kita musti berani membela diri, kalau kamu nggak bisa membela diri sendiri, gimana nanti kamu bisa melindungi keluarga yang kamu sayang? Kita laki-laki, nantinya kita yang harus berdiri paling depan melindungi anggota keluarga kita nantinya, mengerti?” Ia memberi pemahaman.

“Benar juga,” Hanif baru paham, “Berarti aku harus melawan untuk menjaga kehormatan keluargaku?”

“Iya, tapi kamu nggak perlu sendirian, dan nggak perlu pakai cara yang sama dengan mereka, kekerasan itu cara paling rendah. Kamu bisa pakai cara yang lebih cerdik. Laporkan ke gurumu, bawa buktinya, bawa saksi yang bisa mendukungmu.” Endry menyarankan, “Aku bisa bantu kamu melaporkan kalau kamu mau.”

“Aku aja kak, aku laki-laki. Aku akan berusaha menyelesaikan ini sendiri dulu.” Hanif membalas sok bijak, sebelum ia pamit untuk berlalu, meninggalkan Endry yang terbengong-bengong mendengar ucapannya tadi.

...oOo...

Akasia sedang buang hajat di salah satu bilik dalam toilet sekolah saat terdengar suara cekikikan sekumpulan siswi yang masuk. Para siswi tersebut tanpa tedeng aling-aling menyiram gadis itu dengan air yang berbau dari atas bilik, lalu mereka kabur sambil tertawa. Gadis malang itu berusaha keluar, tapi tampaknya pintunya juga diganjal oleh sesuatu dari luar. Satu nama terpikirkan di otaknya, Selena. Cukup lama ia meminta tolong sambil basah kuyup, hingga terdengar seorang siswi datang memasuki area toilet.

“Tolong bukain dong! Nggak bisa nih,” Akasia berseru.

“Eh, ya ampun, Akasia?” Suara perempuan yang sangat Akasia kenal. Perempuan itu membukakan pintu yang mengganjal dan menemukannya basah kuyup.

“Senang kan lu?” Sindir Akasia sambil tersenyum sinis.

“Apaan sih? Gue nggak tahu, gue baru aja kesini dari kelas,” Selena membela diri, “Kalau nggak percaya tanya aja teman-teman sekelas, atau lihat CCTV sekolah sekalian,” tantangnya. “Udah deh, lu butuh apa nih supaya nggak basah kuyup gitu? Gue bawain tas lu kesini ya.” Selena menawarkan bantuan, tidak seperti biasa.

“Nggak perlu,” Akasia memutuskan berjalan dengan kondisi basah kuyup ke kelasnya, membuatnya menjadi pusat perhatian. “Siapapun yang menyiram gue tadi nggak akan selamat. Gue nggak akan tinggal diam!” Serunya murka ke murid di sekitarnya.

Ia mengambil tasnya dari bangkunya dan berlalu ke arah ruang BP. Guru BP menyambutnya dengan pandangan khawatir. 

“Bu, saya dikerjain. Kayaknya ada yang bully saya, saya izin mandi dan ganti baju bebas ya Bu.” Ia meminta izin, untungnya ia selalu membawa peralatan mandi dan baju ganti untuk persiapan bekerja sepulang sekolah nanti. 

Gurunya mengangguk, “Pakai aja toilet Guru, Nak, nggak apa-apa,” Bu Ismi, selaku Guru BK mempersilakan dengan tatapan kasihan.

“Kamu tadi dikerjain?” Endry akhirnya menemukan Akasia setelah mencari-carinya cukup lama. Gadis itu sudah kembali bersih, kali ini dengan pakaian kasualnya ia terlihat berbeda sendiri di sekolah.

“Iya, aku curiga sih kelakuan Selena lagi.” Jawab Akasia.

“Lah, bukan gue, gue tadi sama Endry di kelas, tanya aja sendiri.” Selena muncul di belakang Endry, cukup mengejutkannya. Tampaknya mereka sudah akur.

Endry mengangguk, “Iya sih, tadi kita lagi ngobrol di kelasnya sewaktu kejadian. Selena langsung cerita ke aku begitu temuin kamu di kamar mandi.”

Akasia terdiam, bingung mencerna semuanya. Berarti dia harus mengantisipasi pelaku baru.

“Kenapa gue lagi yang kena tuduh, gue udah baikan kok sama Endry. Lagipula segitu banyak anak di sekolah ini, kita nggak ada yang tahu isi kepalanya. Masa cuma gue yang nggak suka sama Akasia?” Selena merasa tidak terima. Meski pahit menerima fakta itu, tapi Akasia merasa ada benarnya.

“Gimana, udah lu laporin guru BP? Cepat tangkap aja, kita buktikan. Supaya gue bersih dari tuduhan.” Gadis arogan itu menantang, “Lain kali tandain aja kalau dia kerjain lagi supaya gampang kenalinnya, cakar kek, bikin lebam kek, congkel matanya kek.”

“Ebuseet…” Endry ngeri mendengarnya.

Selena mengibaskan rambutnya, canggung karena merasa ucapannya terlalu brutal. “Anyway, kan gue yang tolong lu bukain pintunya, masa gue lagi yang kena tuduh, nggak tahu terima kasih banget.” Ia meninggikan diri.

“Okay, terima kasih  Selena. Maaf ya, udah berprasangka buruk.” Akasia berkata dengan template yang kaku, “Tapi lu nggak lihat pelakunya waktu di kamar mandi? Papasan gitu?” Akasia mengecek ingatan Selena.

“Sayangnya sih nggak. Waktu gue masuk kamar mandi mereka udah nggak ada.” Gadis itu menjawab yakin.

“Mereka? Kok lu tahu pelakunya banyak?” Akasia memicingkan mata, kembali curiga.

“Ya logika aja, elu disiram sampai basah kuyup begitu, kemungkinan perlu air seember, mana kuat dilakukan satu orang. Belum lagi perlu ada yang bawain ganjelan pintu.” Selena menjabarkan hasil analisanya, “Kalau gue sih ogah keroyokan begitu.”

Endry mengangguk mengikuti pembicaraan mereka, “Yang penting kamu hati-hati aja, Akasia. Khawatirnya mereka belum puas dan kerjain lagi.” Ia cemas.

“Itu yang aku tunggu. They want drama, let's make it more dramatic.” Gadis imut itu menyeringai.

Endry teringat hal serupa yang dialami Hanif, adik Akasia. Tapi ini bukan waktu yang tepat untuk memberi tahu Akasia.

...oOo...

Bel istirahat kedua berbunyi. Endry menghampiri Akasia ke kelasnya dan mengajaknya berbicara berdua. Gadis itu merasa janggal sekaligus gugup, menebak-nebak apa isi pembicaraan nanti.

‘Ini Endry akan ngomongin apa ya? Jangan bilang...dia mau jujur soal perasaannya. Aaa...sudah kuduga dia tertarik denganku, tapi masa mendadak begini?’ Akasia sibuk dengan pikirannya ketika duduk bersebelahan dengan pemuda atletis itu di bangku belakang sekolah yang sepi.

“Sebenarnya aku berat buat bilang ini, tapi kamu dengar dulu ya,” Endry memberi kalimat pembuka yang semakin membuat Akasia berdebar antusias, “Kamu nggak usah buru-buru ambil sikap, tenangin diri dulu ya.”

‘Iya makanya cepat utarakan.’  Gadis imut itu tidak tahan menahan debaran jantungnya.

“Kemarin aku lihat Hanif dikerjain teman-temannya, kayaknya dia juga ditindas deh.” Pengakuan pemuda itu menyentak kesadaran Akasia, “Dia sempat bilang disebut-sebut anak haram.”

Hati Akasia panas. Ia bisa terima dan melawan kalau ia ditindas, tapi ia tidak akan terima kalau adiknya yang tidak tahu apa-apa ikut ditindas, “Bilang dong dari kemarin!” Gadis itu bangkit dan berjalan ke arah gedung SD dengan penuh amarah. Kebetulan saat itu sudah waktunya murid-murid SD pulang sekolah.

“Tenang dulu Akasia, jangan pakai kekerasan, mereka anak kecil.” Endry mengikuti Akasia sambil memperingatkannya.

Pemuda itu hanya bisa memperhatikan dengan cemas ketika gadis di depannya memasuki area SD yang dipenuhi gerombolan anak-anak yang baru keluar kelas.

“Siapa di SD ini yang jadi pentolan sekolah?” Pertanyaan Akasia membuat Endry terpaku bingung. Akasia mengikuti arah yang ditunjuk anak-anak itu, menuju kumpulan anak-anak kelas 6 SD yang kelihatan tengil dan bertubuh bongsor.

Endry benar-benar tidak bisa menebak kelakuan gadis itu, dan itu cukup menghiburnya. Ia senyam-senyum sendiri sambil mengikuti dari belakang.

“Kenapa ya, Kak?” Salah satu dari kawanan itu menyadari kehadiran Akasia.

“Kalian jagoan di sekolah ini ya? Sini ikut saya, saya mau ngomong.” Gadis itu mengajak mereka melipir ke tempat yang sepi di gang samping sekolah mereka. Meski terlihat ragu, mereka mengikuti komandonya. Akasia menatap mereka satu per satu, lalu mengambil secarik kertas yang bisa ditemukannya dan memberikan kepada salah satu diantaranya, “Tulis nama kalian dan mainan yang sedang kalian inginkan. Saya akan beri walaupun mahal.” Ia memulai dengan iming-iming.

Murid-murid SD itu sontak sumringah dan mengisinya dengan semangat, “Syaratnya apa, Kak?” Salah satu dari mereka menangkap adanya maksud dibalik tawarannya ini.

Akasia mengeluarkan selembar foto adiknya dari dompetnya dan memberikannya ke mereka, “Ini Hanif, murid kelas 1B di SD ini. Kakak cuma minta bantuan kalian untuk lindungi dia, kalau ada yang mengerjai dia tolong rekam kejadiannya dan kirim ke Kakak. Setelah itu kalian bisa jadi pahlawan dengan membelanya, kalian juga bisa dapat hadiah mainan yang kalian inginkan. Win-win solution kan?” Ia menjabarkan, “Kalau setuju, sekarang saya minta nomor perwakilan dari kalian untuk menunggu laporannya. Nama Kakak Akasia, kelas 10 A di SMA ini.” 

Anak-anak itu saling tatap, lalu menyodorkan salah satu temannya untuk bertukar nomor ponsel dengan Akasia.

“Kakak tunggu laporannya, ya. Kalian juga nggak boleh mengusili atau memalak anak ini, dia harus merasa aman dan nyaman di sekolah. Kalau ada yang kalian pingin, bilang aja ke Kakak, jangan ke anak itu. Anak itu nggak perlu tahu kesepakatan kita, mengerti?”

Geng beranggotakan para anak SD itu mengangguk, “Mengerti, Kak.” Sahut mereka bersemangat.

Akasia berbalik dengan senyum penuh kemenangan, diikuti Endry yang kagum dengan strategi penyelesaian masalah gadis unik ini. Pemuda itu tersenyum geli sambil menggeleng-gelengkan kepala, semakin terkesima dengan jalan pikiran gadis ini.

Adrian menatap Akasia yang kelihatan resah di kamarnya. Sepulangnya dari sekolah dan tempat kerjanya gadis itu memang terlihat aneh.

“Kenapa kamu kayak banyak pikiran begitu?” Pria Belanda itu akhirnya bertanya.

“Aku dan Hanif sama-sama di-bully,” keluh Akasia, “Soal Hanif aku sudah mulai menyelesaikan masalahnya, tapi pelaku yang ngusilin aku masih belum jelas,”

“Selena?” Tebak pria pirang itu. 

“Alibinya terlalu kuat, kayaknya bukan dia kali ini.” Gadis imut itu bergumam.

“Memang apa yang terjadi tadi?” Adrian ingin tahu detail kronologisnya.

Akasia menceritakan secara rinci apa yang terjadi kepadanya dan Hanif. Setelah mendengarkan ceritanya, pemuda itu melirik jam dinding yang ada di kamar. Saat itu masih pukul tujuh malam. 

“Daripada pusing, kita jalan-jalan yuk!” Ajak Adrian hendak menghibur gadis itu.

“Kemana” Akasia sebenarnya merasa perlu hiburan, apalagi ia tidak pernah berjalan-jalan berdua pria Belanda setengah boneka itu.

“Ke mana kek, ke mall kek, yang dekat-dekat aja,” Adrian mencetuskan idenya.

“O iya, kamu belum pernah ke mall ya? Oke, yuk. Aku ganti baju dulu ya.” Gadis itu menyetujui.

Tidak butuh waktu lama untuk Akasia bersiap, ia memutuskan mengenakan atasan peach pink dengan kerah sabrina dan celana denim tanggung, ia terlihat segar apalagi ditambah aroma parfum yang menyeruak dari tubuhnya yang tercium oleh Adrian. Pria pirang itu segera merubah wujud menjadi boneka agar Akasia dapat mudah membawanya dalam tasnya.

Episodes
1 Prolog
2 My Best Buddy
3 and Now Partner in Crime
4 Sense of Nostalgia
5 Prejudice
6 Starting Point
7 Relate
8 Such a Long Night
9 Conflict
10 The Apologize
11 And The Plan Canceled
12 Home Sweet Home
13 Stuck
14 The Lost Colonel
15 Seeking The Past
16 The Old New Things
17 Probability
18 Friends
19 Friends II
20 Bullying
21 Entertained
22 Bullying II
23 Accident
24 After Incident
25 Nihon Matsuri
26 You've Got a Friend
27 Behind the Scene
28 School Festival
29 Reunion
30 Hidden Feeling
31 Birthday Bash
32 The Last Dance
33 Keep Being Hidden
34 Presence
35 Longing
36 The Answer
37 It Takes Good Teamwork to Raise a Child
38 Love Hate Relationship
39 Picnic
40 Love Hate Relationship II
41 Synchronize Our Frequencies
42 a Symphony Unraveling
43 Attachment
44 Attachment II
45 Destiny's Veil
46 The Letter
47 The Abduction
48 The Abduction II
49 Transactional Love
50 Disappear into Thin Air
51 New Horizon
52 My Roots
53 Stalker
54 Stalker II
55 a Goodbye
56 That's What Friends are For
57 Betrayal
58 Another Work to Do
59 Broken Heart
60 Reconciliation
61 Paranormal Experience
62 Gomenasai
63 Superhero
64 Graduation
65 Farewell Amsterdam
66 Welcome Home
67 Acceptance
68 Comeback
69 a Pleasant Surprise
70 Worries
71 Take a Chance
72 For The Queen I Adore
73 Misunderstanding
74 Engagement
75 Employee Gathering
76 Employee Gathering II
77 What a Surprise
78 What a Surprise II
Episodes

Updated 78 Episodes

1
Prolog
2
My Best Buddy
3
and Now Partner in Crime
4
Sense of Nostalgia
5
Prejudice
6
Starting Point
7
Relate
8
Such a Long Night
9
Conflict
10
The Apologize
11
And The Plan Canceled
12
Home Sweet Home
13
Stuck
14
The Lost Colonel
15
Seeking The Past
16
The Old New Things
17
Probability
18
Friends
19
Friends II
20
Bullying
21
Entertained
22
Bullying II
23
Accident
24
After Incident
25
Nihon Matsuri
26
You've Got a Friend
27
Behind the Scene
28
School Festival
29
Reunion
30
Hidden Feeling
31
Birthday Bash
32
The Last Dance
33
Keep Being Hidden
34
Presence
35
Longing
36
The Answer
37
It Takes Good Teamwork to Raise a Child
38
Love Hate Relationship
39
Picnic
40
Love Hate Relationship II
41
Synchronize Our Frequencies
42
a Symphony Unraveling
43
Attachment
44
Attachment II
45
Destiny's Veil
46
The Letter
47
The Abduction
48
The Abduction II
49
Transactional Love
50
Disappear into Thin Air
51
New Horizon
52
My Roots
53
Stalker
54
Stalker II
55
a Goodbye
56
That's What Friends are For
57
Betrayal
58
Another Work to Do
59
Broken Heart
60
Reconciliation
61
Paranormal Experience
62
Gomenasai
63
Superhero
64
Graduation
65
Farewell Amsterdam
66
Welcome Home
67
Acceptance
68
Comeback
69
a Pleasant Surprise
70
Worries
71
Take a Chance
72
For The Queen I Adore
73
Misunderstanding
74
Engagement
75
Employee Gathering
76
Employee Gathering II
77
What a Surprise
78
What a Surprise II

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!