And The Plan Canceled

Akasia sejak tadi tidak bisa fokus, kegiatannya terganggu. Ia membersihkan meja di kafe sambil mengaruk-garuk sekujur tubuhnya karena kegatalan tanpa ampun. Sepertinya baru sekarang ia merasakan puncak efek alerginya. Sepulang sekolah ia lupa membeli obat alergi untuk berjaga-jaga kondisinya memburuk di tempat kerjanya. Ternyata Selena benar-benar tahu bagaimana cara merusak harinya.

“Kamu kenapa? Kok garuk-garuk dari tadi?” Endry memperhatikan Akasia hingga menyadari kejanggalan. Ia menarik tangan gadis itu hingga ke sebuah cermin dinding di ruang karyawan, “Coba lihat!” Endry menunjuk bayangan gadis itu di cermin.

Akasia melihat dengan mata kepalanya sendiri wajahnya sudah beruntusan dan merah-merah. Bagian kelopak mata dan bibirnya mulai bengkak, “Pantas rasanya berat.” Ia baru menyadari separah apa kondisinya.

“Jangan paksain kerja dong kalau sakit!” Protes Endry khawatir.

“Cuma alergi, tadi aku salah makan,” Akasia menutupi sebabnya, ia tidak ingin Endry semakin marah kepada Selena. Ia ingin mereka berdua cepat berdamai.

“Aku beliin obat alergi ya,” Endry menawarkan, “atau mau diantar pulang?”

“Aku pulang aja deh.” Gadis malang itu memutuskan.

“Yaudah, mana kunci motornya? Sini!” Pemuda itu menengadahkan tangannya tanda meminta.

“Serius kamu mau antar aku pulang?” Akasia ragu, tidak ingin rasanya merepotkan orang.

“Aku khawatir kamu nggak bisa fokus bawa motor, bahaya loh.” Endry berkata jujur.

‘Benar juga!’ Gadis yang masih sibuk menggaruk itu baru terpikir kesana, “Nanti motor kamu gimana?”

“Gampang, ditinggal disini juga aman, nanti aku ambil lagi. Ojek banyak!” Pemuda itu menenangkan Akasia. Gadis itu menyerahkan kunci motornya ke Endry meski masih sungkan.

Akasia dan Endry berboncengan di atas motor scoopy pink. Seingat Akasia ini pertama kalinya ia dibonceng pria selain tukang ojek. Ini pun pertama kalinya ia membawa pria ke rumahnya, selain pria setengah boneka porselen tentunya. Pengalaman percintaan Akasia memang nol besar. Ia terlalu fokus dengan drama rumah tangga orangtuanya hingga melupakan kisah asmara semasa remaja. Lagipula ia disibukkan dengan pelajaran dan tugas-tugas sekolahnya yang cukup menyita waktu dan pikiran. Pacaran hampir dilupakan dari kamus hidupnya, tapi sekarang ia malah memeluk pinggang pemuda sebaya di depannya dengan badan yang jauh lebih bidang darinya dan wangi parfumnya tercium maskulin, ‘Badan laki-laki beda ya. Wanginya juga maskulin banget.’ Dalam hati Akasia menahan gugup, tidak pernah ia merasakan debaran penyebab groginya ini.

“Gimana ini, nanti malam kamu ada rencana dinner keluarga kan?” Endry ternyata ingat yang ia sampaikan sebelumnya, “Padahal kamu sudah senang banget menunggu malam ini.” Endry menyayangkan dari balik helmet-nya, “Kamu banyakin istirahat deh. Apa kita mampir beli obat dulu supaya cepat sembuh?” Pemuda itu menawarkan inisiatif.

“Nggak usah, di rumah ada obat alergiku, lengkap.” Akasia menolak tawarannya.

“Kalau gitu janji ya, begitu sampai rumah langsung minum obat. Jangan ditunda!” Didasarkan rasa khawatir, Endry meminta janji gadis itu.

“Iya lah, aku juga nggak betah begini lama-lama.” Akasia masih sesekali menggaruk.

“O iya, Selena bilang kalian sudah baikan, emang benar?” Endry mengkonfirmasi.

“Benar kok, dia udah minta maaf tadi di sekolah, jadi jangan hindari Selena lagi ya, kalian akur-akur.” Pesan Akasia. Endry hanya diam, seperti sedang memikirkan sesuatu.

Mereka berdua sampai di halaman rumah Akasia. Endry membantu memarkirkan motor gadis itu sebelum mengantarnya menuju ke pintu rumah. “Eh iya, pasti di dalam ada kedua orangtuaku nih. Kamu nggak apa-apa?” Gadis pemilik rumah tersebut memberitahu sebelumnya.

“Ya nggak apa-apa, biar aku salim sekalian, yang penting aku harus antarkan kamu sampai masuk ke dalam rumah dengan aman, begitu prinsipku.” Endry tersenyum menanggapi pemberitahuan Akasia yang terlihat grogi. Tiba-tiba pemuda itu terpaku dengan kengerian di sorot matanya, ia melirik Akasia, “Jangan bilang kamu belum pernah diantar pulang cowok sebelumnya?” Tebaknya, Akasia diam namun ekspresi kikuknya cukup menjawab, “Wah, berat nih…” gumamnya kemudian, mulai merasa gugup meski tetap memantapkan kakinya untuk melangkah menuju pintu.

“Berat kenapa?” Akasia tidak paham.

Akasia membukakan pintu depan diiringi Endry yang berjalan di belakangnya setelah keduanya kompak mengucapkan salam. Ternyata benar kedua orangtuanya telah menunggunya di ruang tengah. Endry memberanikan diri menyalim mereka dan menjelaskan keadaan Akasia. Meski ditawarkan untuk duduk, pemuda itu menarik diri untuk pamit dan segera pulang demi memberi gadis itu waktu beristirahat. Akasia diantar Ibunya dengan cemas ke kamarnya, Ibunya segera menyiapkan air minum dan obat alergi.

“Kamu tuh gimana sih? Kita mau dinner keluarga kok malah makan sembarangan, jadi begini kan.” Meski Ibunya bicara dengan nada protes, Akasia tahu Ibunya khawatir. Putri tunggal itu meminum obatnya, “Gimana dong nih? Jadi pergi nggak malam ini? Aduh...bengkak-bengkak lagi itu," Ibunya memperhatikan wajah Akasia dengan perasaan miris.

“Aku di rumah aja deh, Bu, istirahat. Kalian pergi aja, nggak apa-apa kok. Sudah reservasi juga, Hanif juga sudah terlanjur senang mau pergi.” Akasia menenangkan Ibunya.

“Loh kok gitu? Kamu disini gimana?” Ibunya mengkhawatirkan anak gadisnya.

“Kan sudah minum obat, sebentar lagi juga sembuh. Ada Bi Esih juga kan di rumah.” Akasia meyakinkan, “Sudah sana Ibu siap-siap, aku kan biasa sendiri.” Putri semata wayangnya mengingatkan Ibunya.

“Yaudah, Ibu bantu Hanif siap-siap dulu ya. Kamu tidur aja, supaya cepat sembuh.” Ibunya berpesan sebelum keluar kamar.

...oOo...

Begitu Ibu keluar dari kamar, Akasia mengunci kamarnya untuk kemudian berbaring di kasurnya, menahan perasaan kecewa. Sejujurnya ia sedih tidak bisa ikut makan malam bersama keluarganya di restoran. Padahal ini acara jalan-jalan pertamanya bersama keluarga lengkapnya setelah sekian lama, beserta Hanif yang kini melengkapi. Ini momen bersejarah baginya dan keluarganya.

Adri yang khawatir melihat kondisi Akasia segera berubah wujud menjadi manusia, ia mempersiapkan beberapa washlap bersih dan air di gayung yang ditambahkan sedikit cairan antiseptik. Dengan cekatan ia mengompres kulit gatal Akasia dengan washlap yang dibasahi, “Kok bisa begini?” Tanyanya curiga.

“Biasalah, Selena usil lagi.” Jawab Akasia. Ia memang sudah bercerita banyak tentang Selena ke Adrian.

“Kamu jauhin Endry aja deh, kayaknya bahaya kalau kamu ditargetin perempuan ganas itu terus.” Adrian menyarankan, ia miris melihat kondisi memprihatinkan gadis itu. Ia memandang Selena seperti singa betina yang protektif menjaga target buruannya.

“Nggak adil untuk Endry dong, padahal dia loh yang tadi antar aku pulang. Dia sudah banyak jasanya ke aku.” Akasia menyampaikan ketidaksetujuannya.

Adrian menghentikan kegiatannya, ia syok, “Kamu diantar cowok itu sampai ke rumah ini?” Ia terperanjat hingga tidak bisa menjaga nada bicaranya.

Akasia segera duduk demi membungkam mulut Adrian dengan panik, “Kekencangan, Akii!” Protesnya, “Memang tadi kamu nggak tahu Endry antar aku sampai ke ruang tengah? Dia salim ke Ayah dan Ibu juga kok.”

Adrian menggeleng, masih tercengang. Ia duduk berhadapan dengan Akasia di ranjang, “Ya udah, kamu istirahat aja dulu, nanti aja kita ngobrolnya.” Pemuda itu menyarankan dan mengalah. Ia menyeka wajah gadis itu dengan lembut menggunakan washlap baru yang dibasahi. Ia bisa melihat dari dekat kulit Akasia yang iritasi, tapi debaran di dadanya mengganggunya. Meskipun gadis ini sedang dalam keadaan yang tidak fit, tetap saja ia grogi memandang wajahnya sedekat ini. Adrian dengan sigap mengambil lotion pereda gatal. Ia membalurkannya ke wajah dan tangan Akasia.

Akasia terenyuh melihat ketelatenan Adrian merawatnya, “Kamu telaten juga ya, kok bisa sih?” Ia tidak menyangka laki-laki juga bisa telaten dan seperhatian ini.

“Iya dong, aku kan melihat kamu selama ini. Selama jadi boneka aku juga memperhatikan, gimana cara menangani alergi kamu, gimana menangani kamu kalau demam, kalau luka.” Adrian menyampaikan, “Aku diam tapi sadar, nggak tidur.”

“Begitu ya?” Akasia mulai tertarik dengan informasi dari Adrian, “Berarti selama ini udah banyak yang kamu lihat ya? Gimana perjalanan kamu sebelum sampai di kamar ini?” Tanyanya penasaran.

Adrian tersenyum sambil masih membalurkan lotion ke tangan Akasia, “Awalnya aku diambil seorang warga pribumi biasa, setelah dibersihkan aku dijual ke keluarga bangsawan. Aku cukup lama dipajang dirumahnya sampai berganti keturunan. Anak mereka menjualku ke toko barang antik. Di toko barang antik itu ayah kamu menemukan aku, membelinya, dan aku disini sekarang.” Adrian mengisahkan, “Sebelum ini nggak ada yang memperlakukanku seperti manusia, apalagi sahabat curhat. Semua menganggap aku benda mati, aku merasa nggak eksis, seperti hantu gentayangan. Cuma kamu yang merawat aku dengan perasaan sayang, jadi aku merasa sangat berterima kasih ke kamu.” Adrian memandang Akasia dengan tatapan hangat. Pipi Akasia bersemu merah mendengarnya.

“Biasa aja sih, nggak sayang-sayang amat.” Akasia mengelak karena menahan malu, “Justru aku yang berterima kasih, kamu selalu ada setiap kali aku butuhkan. Di waktu nggak fit begini untung ada kamu yang merawatku, kalau nggak ada teman aku pasti sedih sendirian.” Akasia membalas dengan jujur.

Mereka berdua duduk bersila sambil saling berpandangan, hingga keduanya jengah sendiri dan menertawakan kecanggungan masing-masing.

Matahari bersembunyi dalam peraduannya. Malam mengambil alih langit. Suasana menjadi semakin syahdu.

“Apa kamu benar-benar mau jadi manusia lagi? Susah loh hidup di jaman ini.” Akasia mengecek tekad Adrian sambil menyalakan televisi, mengisi kekosongan.

“Mau banget! Aku tahu akan susah, tapi aku rindu dianggap ada dalam masyarakat.” Adrian menegaskan tekadnya.

“Sudah ketemu trigger yang membuat kutukan kamu pudar?” Pertanyaan Akasia ini membuat Adrian berpikir keras. Sebenarnya ia sudah lama mencurigai debaran di dadanya ini yang mendorongnya berubah menjadi manusia, tapi tidak mungkin itu ia utarakan dengan jujur, “Kamu masih ingat ucapan orang yang mengutuk kamu dulu? Mungkin di ucapan itu tersirat penawarnya.”

Adrian terkesiap, ucapan gadis di depannya itu ada benarnya. Kalau ia ingat-ingat, ucapan itu mirip mantra. Ia mencoba mengingat-ingat kalimat yang dikeluarkan orang yang dulu sebenarnya akrab dengannya itu. Orang itu terlanjur kecewa karena Adrian mengkhianati kepercayaannya dan membuat anak gadisnya wafat.

“Wahai manusia berhati sebeku salju! Akan kudoakan agar dinginnya hatimu itu membekukan ragamu bersama sang kala, hingga kau tenggelam dalam kesunyian tiada bertepi, tanpa siapa pun sudi peduli. Adapun, jikalau kiranya ada insan yang menyayangimu dan memedulikanmu sebagaimana layaknya manusia biasa, barulah aku akui kekalahanku. Demikianlah sumpahku, tiada terbantahkan!” 

“Apa kamu bisa ceritakan sebab kamu dikutuk begini? Mungkin aku bisa bantu menemukan penawarnya kalau kamu mau cerita.” Akasia menawarkan dengan hati-hati.

Adrian memikirkan baik-baik. Mungkin sudah saatnya Akasia tahu soal masa lalunya yang tragis dengan Kemuning. 

Baru saja ia berniat bercerita, saat itu pula terdengar suara ketukan dari pintu kamar Akasia, “Kasia, Ibu sama Ayah pergi, ya! Buka dulu dong pintunya.” Ibunya berseru dari luar kamar.

“Cepat jadi boneka!” Bisik Akasia memerintahkan.

Adrian segera memejamkan mata, sayangnya tidak ada perubahan, “Loh, nggak bisa! Gimana dong nih?” Ia merasakan kejanggalan pada tubuhnya.

“Ngumpet dulu deh di kamar mandi, cepetan!” Saran Akasia sambil mendorong pemuda itu memasuki kamar mandi, “Iya Bu, sebentar!” Ia menyahut untuk menenangkan orangtuanya.

Akasia membukakan pintu dan menjumpai orangtuanya berkumpul di ruang tengah bersama Hanif. 

“Kami jalan ya. Salim dong!” Ibunya pamit seraya mengingatkannya. Akasia menyalim mereka satu per satu, “Kamu di rumah hati-hati, hubungi Ibu aja kalau mau nitip makanan atau butuh apa-apa.” Pesan Ibunya. Akasia mengangguk dan tersenyum, menyembunyikan paniknya tadi, ‘Adrian bisa berubah lagi nggak ya jadi boneka? Gawat juga kalau mendadak kutukannya pudar seutuhnya. Aku mau taruh dia dimana?’ Sudut pikiran Akasia berkecamuk.

Akasia kembali ke kamarnya dan segera mengunci pintu, setelah memastikan di luar hening, ia menghembuskan napas lega. “Adri...Adri, aman!” Panggilnya pelan. Adrian muncul dari pintu kamar mandi, masih berwujud manusia, “Belum berhasil juga jadi boneka?”

“Belum nih,” adu Adrian dengan ekspresi kebingungan.

“Belum ketemu juga trigger yang bisa mendorong kamu jadi manusia? Supaya kita tahu nih solusinya.” Akasia mencoba mengorek ingatan Adrian.

Adrian menggeleng, ‘Maaf ya Akasia, sebenarnya aku sepertinya tahu apa yang memancingku untuk berubah, tapi aku sungkan mengutarakannya.’ Pemuda itu memeriksa denyut jantungnya, sudah kembali normal. Berarti sudah aman, memungkinkan baginya untuk berubah wujud kembali.

Malam mendekap kebersamaan mereka berdua. Akasia dan Adrian menonton televisi di kamar itu bersama. Mereka duduk bersebelahan, menikmati film yang mereka tonton. 

“Memang kalau kamu jadi manusia hal yang paling kamu ingin lakukan apa?” Akasia bertanya santai.

“Mem…” Adrian terhenti, ia berpikir ulang, ‘Kalau kubilang ingin membahagiakan dia, kok kesannya seperti lamaran pernikahan ya?’ Diam-diam ia malu sendiri dan meralat ucapannya, “Membangun karir!” Jawabnya asal karena panik.

“Hah, membangun karir?” Gadis itu baru mendengar hal ini.

“Iya, kerja keras. Cari uang supaya cepat mapan, mengejar ketertinggalan.” Adrian mengarang bebas.

“Lalu sekarang...kira-kira kamu bisa berubah jadi boneka lagi nggak?” Akasia bertanya cemas.

“Kayaknya sih bisa, dicoba ya," pria pirang itu mencoba mengumpulkan fokusnya dan dalam sekejap ia berubah jadi boneka. 

Akasia mengelus dada lega, “Untung bisa. Maaf, Ki, bukannya nggak senang kutukan kamu pudar ya. Cuma bingung aja kalau kamu udah berubah total jadi manusia, mau diumpetin dimana dari orangtuaku.” Ia meminta pemakluman.

Adrian mengerti, “Iya paham kok. Kamu tidur sana, supaya besok pulih,” dengan bentuk bonekanya ia menasihati gadis itu, “tadi kan disuruh istirahat.”

“Iya iya.” Akasia menurut, ia merasa ada benarnya saran Adrian. Gadis itu mematikan televisi, lalu berbaring di ranjang sambil meletakkan boneka Adri di sebelahnya.

“Aku disini aja nih?” Tanya suara dari boneka Adri. Tidak biasanya ia dibaringkan di ranjang.

“Iya, aku malas gerak. Besok aja ya aku pindahin kamu.” Jawab Akasia, menutupi alasan sebenarnya. ‘Sebenarnya aku nggak mau tidur sendiri hari ini, rasanya sedih dan kesepian. Tapi nggak mau juga Adri menemaniku tidur dengan sosok manusianya, karena kesannya kok nggak etis. Jadi begini aja deh.’ Ia menutup matanya meski pikirannya belum beristirahat. 

Adrian melirik Akasia diam-diam dalam bentuk boneka. Belakangan ini ia seringkali dibuat berdebar dengan kedekatannya dengan gadis itu, padahal dia yakin hanya menganggap gadis itu sebagai bocah yang sejak dulu ia ayomi. Ia merasa pikirannya mungkin mengasosiasikan Akasia dengan Kemuning, dua bunga di hidupnya, ‘Aku nggak boleh melihat Akasia sebagai bayang-bayang Kemuning, bagaimanapun mereka dua orang yang berbeda. Akasia nggak punya korelasi atas perasaanku terhadap Kemuning, sadarlah Adrian!’ ia memperingatkan dirinya sendiri.

Terpopuler

Comments

Author15🦋

Author15🦋

itu krna rasa cinta yg mulai tumbuh

2025-03-26

0

Metana

Metana

taruh di hatimu wkwkwk

2025-03-23

0

lihat semua
Episodes
1 Prolog
2 My Best Buddy
3 and Now Partner in Crime
4 Sense of Nostalgia
5 Prejudice
6 Starting Point
7 Relate
8 Such a Long Night
9 Conflict
10 The Apologize
11 And The Plan Canceled
12 Home Sweet Home
13 Stuck
14 The Lost Colonel
15 Seeking The Past
16 The Old New Things
17 Probability
18 Friends
19 Friends II
20 Bullying
21 Entertained
22 Bullying II
23 Accident
24 After Incident
25 Nihon Matsuri
26 You've Got a Friend
27 Behind the Scene
28 School Festival
29 Reunion
30 Hidden Feeling
31 Birthday Bash
32 The Last Dance
33 Keep Being Hidden
34 Presence
35 Longing
36 The Answer
37 It Takes Good Teamwork to Raise a Child
38 Love Hate Relationship
39 Picnic
40 Love Hate Relationship II
41 Synchronize Our Frequencies
42 a Symphony Unraveling
43 Attachment
44 Attachment II
45 Destiny's Veil
46 The Letter
47 The Abduction
48 The Abduction II
49 Transactional Love
50 Disappear into Thin Air
51 New Horizon
52 My Roots
53 Stalker
54 Stalker II
55 a Goodbye
56 That's What Friends are For
57 Betrayal
58 Another Work to Do
59 Broken Heart
60 Reconciliation
61 Paranormal Experience
62 Gomenasai
63 Superhero
64 Graduation
65 Farewell Amsterdam
66 Welcome Home
67 Acceptance
68 Comeback
69 a Pleasant Surprise
70 Worries
71 Take a Chance
72 For The Queen I Adore
73 Misunderstanding
74 Engagement
75 Employee Gathering
76 Employee Gathering II
77 What a Surprise
78 What a Surprise II
Episodes

Updated 78 Episodes

1
Prolog
2
My Best Buddy
3
and Now Partner in Crime
4
Sense of Nostalgia
5
Prejudice
6
Starting Point
7
Relate
8
Such a Long Night
9
Conflict
10
The Apologize
11
And The Plan Canceled
12
Home Sweet Home
13
Stuck
14
The Lost Colonel
15
Seeking The Past
16
The Old New Things
17
Probability
18
Friends
19
Friends II
20
Bullying
21
Entertained
22
Bullying II
23
Accident
24
After Incident
25
Nihon Matsuri
26
You've Got a Friend
27
Behind the Scene
28
School Festival
29
Reunion
30
Hidden Feeling
31
Birthday Bash
32
The Last Dance
33
Keep Being Hidden
34
Presence
35
Longing
36
The Answer
37
It Takes Good Teamwork to Raise a Child
38
Love Hate Relationship
39
Picnic
40
Love Hate Relationship II
41
Synchronize Our Frequencies
42
a Symphony Unraveling
43
Attachment
44
Attachment II
45
Destiny's Veil
46
The Letter
47
The Abduction
48
The Abduction II
49
Transactional Love
50
Disappear into Thin Air
51
New Horizon
52
My Roots
53
Stalker
54
Stalker II
55
a Goodbye
56
That's What Friends are For
57
Betrayal
58
Another Work to Do
59
Broken Heart
60
Reconciliation
61
Paranormal Experience
62
Gomenasai
63
Superhero
64
Graduation
65
Farewell Amsterdam
66
Welcome Home
67
Acceptance
68
Comeback
69
a Pleasant Surprise
70
Worries
71
Take a Chance
72
For The Queen I Adore
73
Misunderstanding
74
Engagement
75
Employee Gathering
76
Employee Gathering II
77
What a Surprise
78
What a Surprise II

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!