"Disini tempatnya, Bu?" tanya Giska, usai mereka sampai di depan sebuah warung kopi.
"Iya. Kau masuklah! aku sudah bicara dengan temanku. Dia sudah menunggumu di dalam" Titah Ibu itu.
"Benarkah? hanya kerja di warung kopi, bisa mendapatkan 1 juta dalam sehari?" tanya Giska dalam hati nya, ia pun sulit mempercayai ini semua. "Kalau aku kerja di sini, pasti akan ada banyak pria di sini. Karena rata-rata, kan, para pria yang suka minum kopi." Pikir Giska, ia merasa dilema.
"Apa, Ibu tidak salah? maksud saya, benarkah saya bekerja di warung kopi ini?" tanya Giska sedikit ragu.
"Iya, kenapa memangnya, Gis? apa kau berubah pikiran? kalau kau berubah pikiran, aku masih ada gadis lain yang siap bekerja di sini." Ucap Ibu itu.
"Eh, tidak-tidak, Bu. Saya bersedia bekerja di sini. Terimakasih, karena Ibu sudah memberikan pekerjaan kepada saya, dan sudah mau mengantarkan saya kemari." Giska berucap sopan, terulas senyum di sudut bibir nya.
"Biarkan saja lah, aku harus menjadi gadis yang berani, eh, aku kan sudah tidak gadis lagi. Ah, sudahlah lah, aku harus berani, demi rupiah." Giska menyemangati dirinya sendiri.
"Baiklah, Gis. Kau masuklah!" titah nya.
"Iya, Bu."
"Mungkin waktu itu aku salah dengar, mungkin maksud Ibu itu, sehari bisa mendapat uang 100 ribu, bukan 1 juta. Eh, tapi, 100 ribu juga besar jumlah nya, apalagi hanya warung kopi seperti ini. Apa mungkin, hanya mendapatkan 10 ribu per hari ya?" Giska bertanya-tanya dalam hati nya, sembari ia berjalan masuk ke dalam warung itu.
"Permisi..." Giska celingukan di depan pintu.
"Masuklah!" ucap seorang wanita dari dalam. Giska pun langsung masuk.
"Kau, Giska?" tanya wanita itu.
Giska mengangguk, "Iya, Bu." Giska menundukkan kepala nya.
"Bersiaplah, setelah ini ada yang menjemputmu!"
"Menjemput? jadi, maksud nya saya tidak bekerja di sini?" tanya Giska.
"Tidak, kau hanya perlu duduk saja di sini. Tapi, kerjamu di tempat lain."
Giska mengerutkan keningnya, ia sungguh merasa bingung, "Lalu? dimana saya akan bekerja?" tanya Giska.
"Maaf, sebelum nya, Bu. Saya hanya bisa bekerja malam hari, karena pagi nya, saya bekerja di warung bakso." Ucap Giska.
"Iya, memang di sini hanya malam hari buka nya. Pagi nya, kau bebas bekerja di manapun, asalkan kau bisa menjaga dirimu agar tak sampai ke lelahan saat harus bekerja malam hari." Tutur wanita itu.
"Iya, Bu. Tapi, saya akan bekerja di mana?"
"Nanti kau akan tau. Nah, itu, orang yang menjemputmu sudah datang. Kau pergilah ke sana, ikutlah bersama nya." Wanita itu menunjuk sebuah mobil yang berhenti tak jauh dari pintu warung itu.
"Tapi, Bu."
"Sudah lah! ayo ku antarkan ke sana." Wanita itu menggandeng Giska. Mereka berjalan menuju mobil itu.
Nampak pemilik mobil itu membuka sedikit kaca mobil nya. Nampak seorang laki-laki, mengenakan kaca mata hitam.
"Bli, yang menelpon saya tadi, ya?" tanya wanita yang bersama Giska.
Laki-laki itu mengangguk.
"Laki-laki? jadi maksud nya, saya di jemput laki-laki? artinya saya satu mobil dengan laki-laki asing?" Giska bergidik ngeri membayangakan hal yang tidak-tidak.
"Masuklah, Gis." Wanita itu membuka pintu mobil, milik lelaki itu.
"Bu, saya tidak jadi bekerja di sini. Saya mau pulang saja." Giska menolak.
"Tidak bisa, kau sudah bekerja di sini. Masuklah!" wanita itu mendorong Giska, hingga Giska masuk ke dalam mobil itu, dan wanita itu kembali menutup pintu mobil itu.
"Bu, saya,---"
"Have fun, Bli." Wanita itu melambaikan tangan nya, dan mobil itu pun langsung melaju.
"Maaf, Pak. Saya berubah pikiran, saya tidak jadi bekerja di tempat, Bapak." Ucap Giska, suara nya terdengar seperti ketakutan.
Bukan nya menjawab, laki-laki itu hanya diam saja, dan terus fokus mengemudikan mobil nya.
"Pak, turunkan saya di sini. Saya ingin pulang, Pak." Ucap Giska kembali.
"Berisik!" seru laki-laki itu.
"Jangan panggil aku, Pak, Pak, terus. Panggil saja, Bli Bobby." Ucap nya, sembari melepaskan kaca mata hitam nya.
"Bli Bobby? seperti pernah mendengar nama itu." Giska pun memberanikan diri menoleh ke arah laki-laki itu.
"Bapak, lagi?" Giska terkejut.
"Bli Bobby! jangan Bapak!" seru Bobby.
"Pak, eh Bli, tolong turunkan saya, saya tidak jadi bekerja di tempat anda." Pinta Giska.
"Enak saja, tidak bisa!"
"Aku sudah membayarmu mahal, jadi kau harus ikut denganku!" seru Bobby.
"Membayar mahal apanya?"
"Anda jangan berbohong! saya tidak pernah menerima uang dari Bapak, eh Bli!" ucap Giska.
"Diamlah! kau itu sungguh berisik sekali! jika kau terus berisik seperti ini, kau akan mengganggu konsentrasiku menyetir. Apa kau mau, kita kecelakaan?"
Giska menggeleng, "Tidak."
"Ya, sudah. Diamlah." Ucap Bobby.
"Tapi, saya,----"
"Sttt, diam!" Bobby memotong ucapan Giska.
Giska pun diam, ia merogoh saku celana nya, namun, ia tak menemukan benda yang sedang ia cari.
"Ponsel ku?" Giska kembali memeriksa saku nya, "Oh, aku baru ingat, aku lupa mengambil ponsel ku, saat di isi tadi. Bagaimana ini? aku tidak bisa meminta tolong kepada Kadek." Giska nampak kebingungan.
Giska pun menjadi diam tak lagi bersuara, sejujur nya ia sangat ketakutan saat ini, namun, ia juga tak bisa berbuat apa-apa. Mau melompat keluar dari mobil juga tidak mungkin, bisa-bisa mati dia. Kalau di mati sekarang, bagaimana dengan Bram di kampung? siapa yang akan membantu Bram mencari uang, untuk memperbaiki atap rumah nya? mau meminta tolong kepada kedua anak kandung Bram, itu tidak mungkin. Karena selama ini, mereka tidak pernah memberikan uang sedikitpun kepada Bram. Bahkan di saat Bram sakit, Giska lah yang pontang panting mencari uang. Apalagi semenjak Giska bisa mencari uang sendiri, ia selalu mementingkan kebutuhan Bram, daripada kebutuhan nya sendiri.
Giska sangat menyayangi Bram sebagai orang tua nya, ia sungguh tak ingin melihat Bram sakit. Giska rela melakukan apapun, asal tak melihat Bram sakit, atau bersedih. Sebesar itulah rasa sayang Giska terhadap Bram. Terkadang Giska berpikir, kenapa Bram begitu tega memperlakukan Giska seperti ini? kenapa tega menghancurkan masa depan Giska? itu yang sampai saat ini tak Giska mengerti. Jika sudah mengingat itu, rasa benci itu pun kembali muncul. Tapi, sebenci-benci nya Giska terhadap Bram, tetap saja ia tidak bisa melihat Bram sakit.
"Sejak tadi selalu mengoceh, kenapa gadis ini tiba-tiba diam seperti ini?" batin Bobby, ia melirik Giska sekilas.
Setelah menempuh perjalan yang lumayan jauh, tibalah mereka di sebuah Villa mewah, yang terletak di kawasan Ubud Bali. Pemandangannya sangat indah, kerlap kerlip lampu yang menerangi di sekitaran Villa itu, seolah menambah keindahan tersendiri.
.
.
.
Bersambung...
Haii... Jangan lupa tinggalakn jejak kalian ya, biar menambah semangat buat aku terus menulis..
Terimakasih😘😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Mommy Rara
10 like sampe sini thor 😎
2020-12-21
1
Wulandari
10 like mendarat..
2020-12-15
1
DeputiG_Rahma
lanjut like like like penuh cinta dari DEBU ORBIT heheh... semngat kak❤❤
2020-12-10
1