Kecerdasan Mereka

Kejadian tadi membuatku terus bertanya-tanya akan para makhluk yang terus mengejar kami. Saat pertama kali aku bertemu dengan salah satu dari mereka, dan saat aku menghajar makhluk yang mencoba untuk membawa pergi Kak Willie, aku menjadi semakin penasaran untuk mencari tahu informasi lebih mendalam tentang mereka.

Apakah mereka masih layak disebut sebagai zombie? Apakah zombie masih memiliki kemampuan untuk berbicara? Bahkan memiliki kemampuan untuk membujuk kami dengan iming-iming yang menggiurkan untuk percaya kepada mereka? Pertanyaan itu terus menghantui pikiranku.

Tak terasa disaat aku masih bergulat di pikiranku, kami pun akhirnya sampai di tempat persembunyian. Aku segera melaporkan kejadian yang baru saja menimpa kami kepada Pak Bonadi. Kami pun mulai duduk melingkar untuk mendiskusikan masalah ini bersama-sama.

"Mereka cukup cerdas juga ya," gumam Pak Bonadi sembari menopang dagu.

"Kalo semisal mereka menderita suatu virus, maka mereka tidak mungkin saling memakan temannya sendiri. Hal itu dibantahkan saat kejadian kita di bus kemarin lusa," ucapku.

"Mereka juga menyerang hewan-hewan lain dan hanya mengambil matanya saja. Bukan memakannya," sambungku.

"Mereka juga berteriak cahaya, cahaya. Apa maksudnya itu?" gumam Pak Juari.

"Aku pernah ngecek salah satu dari mereka setelah aku gorok lehernya. Terus aku coba cek nadinya, dan nadinya seperti melemah secara perlahan-lahan. Berarti aku bisa menyimpulkan kalau mereka mungkin masih hidup dan bukan terkena suatu parasit," ucap Kak Ayu.

Dengan pernyataan-pernyataan yang kami lontarkan, bisa disimpulkan bahwa mereka bukanlah zombie, melainkan orang-orang yang sedang menderita penyakit secara bersamaan. Mereka menderita kebutaan secara massal. Aku tidak bisa menyebutkan mereka menderita kebutaan, lebih tepatnya bola mata mereka seperti dicabut atau dihilangkan secara paksa.

Apakah ini sebuah penyakit? Atau mereka sengaja melakukannya untuk tujuan tertentu? Atau mungkin sebuah kutukan? Aku berharap bisa segera menemukan titik temunya. Dan mungkin aku bisa bernegosiasi kepada para makhluk-makhluk itu agar kita sama-sama tidak saling menyakiti.

Diskusi ini membuat mataku semakin berat. Kami pun mengakhiri diskusi ini dan segera bersiap-siap untuk tidur. Aku dan Aini memutuskan untuk tidur dilantai bawah karena menurutku akan lebih aman untuk menyelamatkan adikku itu jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Aku ditemani Kak Willie, Kak Ayu dan Vivi. Sisanya memilih untuk tidur dilantai atas.

Aku memposisikan tubuhku senyaman mungkin dengan bersandar dipojok ruangan dan memberikan lututku sebagai bantal untuknya. Dia mulai merebahkan tubuhnya dan mulai terlelap di pangkuanku.

"Kak! Kita terus sama-sama sampai pulang ya. Aku gak mau ditinggal sama kakak," kata-kata indah yang spontan keluar dari mulutnya langsung menembus kalbu.

"Iya, An. Apapun yang terjadi, kamu bakalan sama kakak. Kakak akan jaga kamu," jawabku sembari tersenyum hangat kepadanya dan mengelus keningnya. Dia pun membalas senyumanku dan perlahan memejamkan matanya.

Tak terasa air mataku menetes melihatnya yang tertidur dengan pulas. Aku merasa gagal menjadi seorang kakak karena telah membawanya kedalam situasi ini. Pikiran-pikiran rasa bersalah yang terus menari di pikiranku membuatku turut terlelap bersamanya.

...----------------...

Saat aku larut dalam tidurku, tiba-tiba aku mendengar suara gaduh yang berasal dari lantai atas. Dengan perlahan aku pun mulai membuka kedua mataku dan melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi. Aku melihat keatas dan bertanya kepada Novan.

"Van! Ada apaan disana?" tanyaku lirih.

"Shhh! Ada banyak orang diluar, Kak" jawab Novan lirih. Aku pun tersentak mendengarnya.

Kemudian Pak Bonadi pun langsung mematikan lentera yang menerangi kami. Seketika suasana menjadi gelap. Aku segera beradaptasi dengan penglihatanku. Tiba-tiba Mas Doni menuruni tangga yang bersandar dan mulai membangunkan Kak Ayu dan Vivi yang tidur di sebelahku. Setelah mereka terbangun, Mas Doni pun menjelaskan situasi yang sedang terjadi.

"Diluar sana ada beberapa orang yang datang. Kita harus segera sembunyi ke lantai atas dan membuang tangganya," ucap Mas Doni lirih. Kami pun hanya mengangguk menurutinya.

Aku pun membangunkan Aini dan segera memanjat ke lantai atas. Aku mempersilahkan Aini untuk naik terlebih dahulu dan mengamatinya dari bawah. Dia terlihat gemetar tapi aku terus menyemangatinya. Dia pun berhasil mengatasi rasa takutnya.

Setelah semua berada diatas, aku membantu Mas Doni menarik tangganya dan menaruhnya di sampingku agar kalau terjadi sesuatu yang semakin rumit kami bisa langsung turun tanpa harus nekat melompat kebawah. Aku kemudian melihat kondisi diluar sana dari sebalik jendela tanpa kaca di sisi ruangan ini. Aku melihat beberapa orang yang berjalan dengan normal tidak seperti sebelumnya. Mereka juga terlihat memiliki bola mata yang masih terlihat normal.

"Dilihat dari sisi manapun, mereka tetap terlihat berjalan sempoyongan tetapi bertingkah layaknya seseorang yang berjalan normal," gumam Pak Bonadi.

"Mereka juga terlihat sering mengucek matanya saat ini. Ciri-ciri yang sama dengan orang tua tadi," sambung Pak Juari melihat melalui scope pada senapannya.

Kami mengamati tingkah laku orang-orang itu dan berpikir apakah aman untuk menemui mereka atau harus menghindari mereka. Kemudian mereka pun berjalan ke arah pintu depan dan kemudian mengetuknya.

"Permisi! Apakah disini ada orang?" kami mematung mendengar ucapannya. Ketegangan yang semakin mencekam menyelimuti kami.

"Halo? Mas? Pak? Kakak? Adek? Aku mau bertamu ini?" sambung suara itu.

Orang itu membujuk kami untuk segera membukakan pintu. Tetapi kami tidak menghiraukannya dan menunggu apa yang selanjutnya terjadi. Setelah tanpa jawaban, suara itu pun berubah menjadi bisik-bisik yang sulit untuk didengarkan dari atas sini. Tetapi samar-samar aku dapat mendengarkan sedikit isi percakapannya.

"Keliatannya tidak ada orang,"

"Tapi aku melihat cahaya disekitar sini tadi,"

"Apa kamu yakin?"

"Yakin sekali. Cahaya itu keluar, kemudian masuk lagi ke rumah ini,"

"Ayo kita coba dobrak saja," setelah percakapan itu, sudah tak terdengar suara lagi.

Cahaya apa maksudnya? Cahaya lentera kah? Aku masih belum mengerti apa yang mereka bicarakan. Tetapi mereka berjalan menjauhi rumah kami. Kami pun bisa bernapas lega dan melepaskan seluruh ketegangan yang sebelumnya datang.

"Gue tadi pipis diluar, tapi gak bau kan? Udah gue siram pasir kok tadi," ucap Kak Willie dengan muka pucat dan senyum yang dipaksakan. Kami pun serentak memandanginya.

"Cahaya yang keluar kemudian masuk kembali ya? Apa mungkin mereka bisa membaca aura tubuh kita? Makanya mereka bisa selalu menemukan kita dimana pun kita berada," guman Pak Bonadi.

"Mungkin benar. Tapi kemampuan itu juga tidak bisa digunakan untuk menembus benda padat kan? Mereka tidak tau kita bersembunyi diatas sini," imbuh Pak Juari.

"Benar. Tapi kita harus selalu waspada. Mereka mungkin bisa melihat dari kejauhan dengan melihat aura tubuh kita. Dan bisa disimpulkan aura tubuh kita terlihat dengan jelas diantara lebatnya hutan ini," sambung Pak Bonadi.

Keadaan pun kembali sunyi. Kami saling berpikir tentang apa yang sedang dibicarakan oleh orang-orang tadi. Tak berselang lama, terdengar beberapa suara langkah kaki diluar sana. Kemudian diikuti suara dobrakan keras yang mencoba untuk memaksa masuk ke dalam rumah kayu ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!