Aku terperangah tak percaya dengan apa yang kulihat saat ini. Mas Haris dengan gagah berani mengorbankan nyawanya untuk kami. Orang-orang yang bahkan hanya beberapa saat kami berjumpa dengannya. Orang-orang yang bahkan belum terlalu dia kenal, dia rela berkorban nyawa untuk kami.
Air mata Aini yang menetes membasahi pundakku menyadarkanku. Aku pun segera menguatkan jiwaku dan segera menyelamatkan diri dari area ini. Teriakkan dan tangisan Mas Haris begitu pilu. Membuat langkah kakiku menjadi sangat berat untuk meninggalkannya. Tetapi apa daya, itu memang kemauannya. Keinginan untuk berkorban kepada kami, agar tidak jatuh korban lebih banyak lagi, dan agar kami semua bisa untuk menyelamatkan diri.
Sepertinya kami sudah melangkah cukup jauh dari area itu. Semburat cahaya jingga mulai menyinari bumi. Memaksa masuk dari sela-sela dedaunan yang rimbun. Kami berlari semalaman dengan dada yang sesak. Rasa lelah, kantuk dan kesedihan tercampur menjadi satu. Bersama-sama kami berbagi rasa dan saling melindungi satu sama lain untuk bisa keluar dari hutan terkutuk ini.
Akhirnya kami berhasil keluar dari hutan terkutuk itu dan sampailah pada sebuah daerah padang rumput yang cukup luas dengan permadani rumput terhampar sebagai alasnya. Kami pun memutuskan untuk beristirahat sejenak.
Aku langsung merebahkan diri diatas rumput yang lembab. Memandangi langit jingga yang perlahan mulai tergantikan oleh birunya angkasa. Burung-burung mulai berkicau dan pergi meninggalkan sarang mencari makanan untuk anak-anaknya. Aku mengatur napasku dan perlahan mulai larut dalam anganku.
"KOK JADI KEK GINI SIH BANGSAT! KENAPA LU NGELAKUIN KEK GINI KE GUA ANJING!" teriak Kak Willie yang seketika menyadarkanku.
Diikuti tangisan dari Kak Ayu dan Vivi. Mereka juga ikut menangis mengingat kejadian semalam. Aini pun turut larut dalam kesedihan ini. Aku pun bangkit dan langsung memeluk adikku satu-satunya itu untuk menenangkannya. Pak Juari dan Pak Bonadi hanya tertunduk lesu. Mas Doni hanya menatap kosong melihat awan dilangit.
"Menangis gak bakalan bisa membuatnya hidup kembali," dengan nada ketus. Kak Willie pun langsung menoleh kearahnya.
"Coba lu bilang sekali lagi! Gue gak denger. Lu manusia gak punya hati apa? Lu gak punya perasaan apa bilang kek gitu hah?!" bentak Kak Willie dengan beberapa kali menunjuk wajah Kak Evelyn dengan amarah yang masih terpendam.
"Kenapa gak lu aja yang korbanin nyawa buat kita biar kita semua selamat dan biar gue bisa bilang kek gitu nantinya?!" sambungnya dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya.
"Aku gak akan ngelakuin kek gitu karena itu gak ada untungnya buatku. Lebih baik aku kabur aja dari kejaran para zombie itu," jawab Kak Evelyn dengan tatapan tajam kearah Kak Willie.
"Aku juga gak terlalu kenal sama Haris. Jadi aku gak terlalu sedih kehilangan dia," imbuhnya. Tiba-tiba Kak Willie langsung menerjang dan meraih kerah sweater biru tua Kak Evelyn.
"Lu mending diem gak!" ucap Kak Willie dengan nada mengancam. Pak Bonadi pun langsung melerai mereka berdua.
"Wil sudah hentikan! Yang dia katakan memang benar. Menangis tidak akan bisa membuat Haris hidup kembali. Dia seorang prajurit sejati yang patut kita kenang perjuangannya!" ucap Pak Bonadi dengan suara yang bijak.
"Sebaiknya kita doakan saja yang terbaik agar dia disana berada dalam tempat yang lebih indah dan lebih layak," sambungnya.
Kami semua pun terdiam mendengar perkataan Pak Bonadi karena apa yang dia katakan memang benar. Menangis tak akan bisa membuatnya hidup kembali. Yang harus kita pikirkan saat ini adalah bagaimana kita bersama-sama bisa keluar dari tempat ini dengan selamat dan tanpa jatuh korban lagi.
Kak Willie pun melepaskan cengkeramannya dari Kak Evelyn. Dia mulai menyeka air matanya dan beranjak pergi. Aku kembali merebahkan tubuhku diatas rerumputan itu sembari menghela napas panjang. Angin yang bertiup kencang membuatku merasa sangat mengantuk. Dan tak terasa aku pun mulai tertidur diatas rumput.
...----------------...
"Hei! Bangun! Kami nemuin tempat persembunyian," suara Vivi membangunkan tidur lelapku. Aku langsung bangun terduduk dan menatapnya dengan malas.
"Udah berapa lama aku tidur, Vi?" tanyaku.
"Kamu tidur nyenyak banget. Sampe ngorok-ngorok," jawab Vivi sambil tertawa kecil.
"Hehe capek banget aku. Sampe gak sadar ketiduran disini," jawabku tersipu malu.
Sang mentari mulai tinggi, tetapi cahayanya belum terlalu menyengat di kulitku. Aku mulai melihat sekitar yang ternyata yang lain juga ikut tertidur di sampingku.
"Loh Kak Ayu sama Aini kemana?" tanyaku yang seketika membuat mataku jernih kembali.
"Dia ada di seberang sana," tunjuk Vivi kearah rimbunnya pepohonan.
"Aduh aku malas kalo harus ngejelajah hutan lagi," gerutuku.
"Gapapa kok. Disana udah gak ada zombie. Aku jamin aman deh," ucap Vivi mencoba untuk menyakinkan ku.
"Ayo bangunin yang lain. Semoga aja disekitar sana kita bisa nemuin jalan raya," perintah Vivi sembari bangkit dari duduknya. Aku hanya bisa menuruti perkataannya.
Setelah semuanya bangun, kami pun bergegas menuju ke seberang padang rumput ini. Pepohonan disana tidak terlalu tinggi, tidak seperti hutan sebelumnya yang dipenuhi oleh pohon-pohon yang tinggi menjulang. Setelah beberapa langkah kami berjalan, kami menemukan sebuah rumah kayu dengan lantai 2 disana. Sebuah rumah terpencil tanpa ada bangunan lain disekitarnya. Kami pun tanpa ragu menghampirinya. Sesaat setelah kami sampai di depan sana, tiba-tiba pintu kayu terbuka diiringi suara berderit pelan diikuti Kak Ayu dengan senyum hangatnya menyambut kedatangan kami.
"Kita bisa beristirahat sebentar disini. Aku juga udah cek sekeliling dan gak nemuin zombie dimana pun," ucap Kak Ayu dengan lembut membuatku tanpa ragu untuk memasuki bangunan terbengkalai ini.
Didalamnya kosong, tidak ada perabotan seperti rumah pada umumnya. Sepertinya ini lebih tepat disebut kandang daripada rumah. Terdapat satu lentera tepat berada di atap rumah ini. Dengan satu tangga bambu yang bersandar untuk menuju ke lantai selanjutnya.
"Sebaiknya kita cari sesuatu untuk memblokir pintu keluarnya," ucap Pak Bonadi.
Aku melihat sekeliling, aku pun menemukan sebuah balok kayu yang lumayan panjang untuk mengunci pintunya. Aku segera melintangkan kayu tersebut ke tengah-tengah pintu masuk supaya saling terkunci satu sama lain.
"Dikunci seperti ini juga sudah lumayan bagus. Sekarang kita tinggal keluar untuk mencari sesuatu yang bisa kita makan," titah Pak Bonadi sembari melepaskan kembali balok kayu yang melintang dan meletakkannya disamping pintu keluar. Kami pun mulai berpencar untuk mencari makanan.
Setelah sang mentari tepat berada diatas kepala, aku dan Aini kembali ke tempat persembunyian kami sembari membawa 3 ekor ikan dan beberapa buah-buahan hutan. Setibanya kami disana, terlihat juga dari kejauhan Pak Juari membawa 2 ekor kelinci di genggamannya. Aku menelan ludah melihatnya.
Kami mulai mempersiapkan alat memasak yang beberapa kami ambil dari desa tadi. Aku dan Aini bertugas untuk membersihkan ikan. Kak Ayu dan Vivi mempersiapkan apinya. Sesaat kemudian, Pak Bonadi dan Novan datang dengan membawa kayu bakar yang cukup banyak untuk memasak hasil tangkapan kami.
Kak Willie dan Mas Doni menenteng seekor ayam hutan hasil menjebak dengan peralatan sederhana karya Mas Doni. Dan yang terakhir Kak Evelyn membawa buah-buahan hasil kelihaian dia dalam memanah. Aku berdecak kagum melihat kekompakan tim kami dalam hal survival. Aku pun menjadi lebih semangat dalam menjalankan tugasku yaitu membersihkan ikan. Setelah semuanya siap, kami mulai membakar hasil tangkapan kami sembari saling bersenda gurau menunggu makanannya matang. Kami pun duduk melingkar disekitar hangatnya api unggun.
"Kenapa Haris bisa sangat berani menghadapi para zombie itu" tanya Pak Bonadi secara tiba-tiba. Kami terkejut dan saling memandang satu sama lain.
"Udah lah, Pak. Yang lalu biarlah berlalu. Sekarang kita pikirin rencana apa yang harus dilakuin kedepannya," sungut Kak Willie. Kemudian Mas Doni menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.
"Haris adalah orang pertama yang siuman setelah kecelakaan itu, diikuti aku berikutnya," ucap Mas Doni dengan suara berat.
"Kami berdua berusaha untuk mencari bantuan sebelum kalian semua siuman. Tetapi hasilnya nihil,"
"Siang itu, kami memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu setelah berkeliling mencari bantuan yang mungkin mustahil untuk datang dengan tepat waktu. Kami pun mulai bercerita satu sama lain,"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments