Kejadian tak Terduga

Setelah selesai makan, kami mulai mematikan sisa api unggun agar tidak terjadi kebakaran hutan. Kemudian lanjut untuk membersihkan rumah ini agar lebih layak untuk kami tinggali nanti malam.

Kami saling bahu-membahu membersihkan rumah itu dari sisa-sisa kotoran, semak belukar dan sarang laba-laba agar lebih nyaman untuk ditempati. Diiringi senda gurau untuk melepas penat dan sejenak menghilangkan stres yang sesekali datang bertamu.

Tak terasa saat kami asyik bersih-bersih, sang mentari mulai tergelincir kearah barat, menandakan hari sudah menjelang sore. Burung-burung pun juga sudah kembali ke sarang mereka. Dengan perut kenyang dan sedikit bekal dibawa di mulutnya untuk dibagikan kepada anak-anaknya.

Akhirnya kegiatan bersih-bersih pun telah usai. Sebuah rumah kayu dengan lantai beralaskan tanah, pencahayaan lentera, derik suara tonggeret yang bernyanyi, dan bulan yang mulai menggantikan tugas sang mentari pun membuat suasana menjadi terasa sunyi.

Aku mulai sedikit melupakan hiruk pikuknya keadaan tempat tinggalku. Suara klakson yang berbunyi setiap menit, suara mesin kendaraan yang bergemuruh, hingga tebalnya asap kendaraan bermotor yang membuat dada sesak. Semua tidak kutemukan disini. Aneh rasanya, tetapi aku merasakan seperti rindu akan semua itu.

Setiap pagi harus bergegas bangun untuk pergi ke sekolah, nongkrong di kantin, nyanyi-nyanyi pas jam kosong, aku sangat merindukan itu semua. Aku termenung dipojok ruangan. Bersembunyi dari kejaran makhluk berbahaya, dan entah kapan kami bisa keluar dari tempat antah berantah ini bersama-sama. Aku menulis namaku sendiri dilantai tanah untuk mengusir rasa gusar menyelimuti. Dengan dagu yang kutopangkan pada kedua lututku.

"Kak Aan. Aku kebelet pipis. Temenin dong," suara manja Aini menyadarkan lamunanku. Aku pun tersenyum hangat kepadanya.

"Ayok kakak temenin. Tapi jangan jauh-jauh pipisnya," kataku. Aini hanya mengangguk pelan.

Kemudian aku pun berpamitan kepada Pak Bonadi dan segera bergegas untuk keluar menemani Aini buang air kecil. Setelah sekiranya kami menemukan area yang tidak terlalu dekat dengan rumah kayu kami, dan juga tidak terlalu jauh juga, aku segera menyuruh Aini untuk segera menyelesaikan hajatnya dan segera kembali. Aini pun tanpa basa-basi menyetujuinya dan berlari kecil menuju semak.

Setelah beberapa menit, Aini pun selesai dan kami pun kembali. Sebelum sempat membuka pintu, akh mendengar dari dalam terlihat yang lain sedang bergumam seakan berbicara dengan seseorang. Saat aku membuka pintu, aku terkejut kita kedatangan seorang tamu tak diundang.

Orang itu berperawakan kira-kira berumur 50 tahun dengan pakaian seperti petani yang memakai capil sambil membawa sebuah garpu rumput ditangannya dan bermata katarak dimata kirinya.

"Aku terkejut tiba-tiba lenteranya menyala sendiri. Makanya aku kemari," ucap orang itu. Aku masih memandanginya tak percaya masih ada warga desa yang selamat dihutan belantara ini.

"Eh ternyata ada beberapa pelancong yang sedang berkunjung," sambungnya dengan suara serak sembari terkekeh.

"Maaf. Apa anda salah satu warga sini?" tanya Pak Bonadi dengan sopan.

"Iya. Rumah saya gak terlalu jauh kok dari sini. Kalau mau, kalian bisa menginap di gubuk saya. Karena tempat ini menurut saya kurang layak untuk ditempati," jawab orang itu menawarkan. Aku masih menaruh rasa curiga kepadanya.

"Wih boleh tuh ,Pak. Udah lama juga gue gak tidur dengan nyenyak sejak tersesat disini," ucap Kak Willie penuh semangat. Tapi Pak Bonadi langsung memberi isyarat agar Kak Willie tidak meneruskan bicaranya.

"Kami sangat berterimakasih atas tawaran bapak. Tapi bapak izinkan kami untuk tinggal disini saja juga sudah lebih dari cukup," ucap Pak Bonadi menolak tawaran yang diberikan bapak itu dengan sopan.

"Wah sayang sekali ya, Pak? Padahal tadi istri saya sudah masak banyak loh dirumah," desak bapak itu. Kami hanya menelan ludah mendengarnya. Mengingat sudah beberapa hari ini kami makan seadanya dengan porsi seadanya.

"Kalo kalian gak mau, gue aja sendiri yang pergi," ucap Kak Willie dengan tidak sabar. Kami terkejut mendengarnya.

"Nanti gue bawain sisanya kesini dah buat kalian. Ayo pak kita pergi," ucap Kak Willie penuh semangat. Kami hanya terdiam melihatnya.

"Yasudah kalo begitu. Ayo kita pergi makan-makan sekarang," jawab bapak itu sembari terkekeh.

Bapak itu pun langsung menggandeng tangan Kak Willie dan pergi bersamanya. Kak Willie hanya menurutinya dan berjalan dibelakangnya.

"Gelagatnya aneh banget," gumam Pak Bonadi. Aku yang juga masih menaruh curiga padanya pun memutuskan untuk mengantarnya sampai ke pintu depan.

Beberapa langkah mereka berdua berjalan, remang-remang aku melihat bapak itu seperti mengucek mata kirinya berulang kali. Aku yang sedari tadi sudah curiga pun mulai mengikuti mereka dari belakang. Aku menjaga jarak agar mereka berdua tidak menyadari kehadiranku. Cukup jauh aku mengikutinya, gelagat bapak tua itu semakin aneh. Dia semakin keras untuk mengucek mata kirinya.

Tiba-tiba Kak Willie terlihat meronta mencoba untuk melepaskan cengkraman bapak itu dengan paksa dan berteriak meminta tolong. Bapak itu pun tak mau kalah dengan kembali menarik paksa tangan Kak Willie. Dia seperti meminta bantuan. Aku segera berlari untuk menolongnya.

Aku langsung mengambil batu seukuran genggaman tanganku yang sedikit lebih besar dan segera menerjang orang aneh itu kemudian menghempaskan kearah kepalanya. Akhirnya Kak Willie berhasil melepaskan tangannya dari cengkraman bapak itu dan bapak itu pun jatuh tersungkur.

"Gak nyangka lu ngikutin gue sampe sini, Ndra. Gue bersyukur banget. Thanks ya," ucap Kak Willie dengan nafas yang terengah-engah.

"Masama, Kak," jawabku singkat.

Aku pun mencoba untuk melihat lebih dekat kearah orang yang sudah tumbang tersebut. Perlahan aku menolehkan kepalanya untuk melihat raut wajahnya. Aku langsung melompat hingga jatuh terduduk karenanya.

Ternyata dugaanku benar, mata kirinya yang seperti katarak itu mata palsu. Setelah aku pukul kepalanya memakai batu tadi, mata itu langsung copot menggelinding keluar dari kelopak matanya. Aku pun mencoba untuk mencongkel mata satunya dengan memakai ranting pohon.

"Eugh lu mau ngapain tuh, Ndra?" tanya Kak Willie jijik.

"Aku mau nyoba sesuatu," jawabku yang masih fokus untuk mencongkel mata kanannya. Ternyata mata kanannya juga mata palsu. Matanya dengan mudah bisa kucongkel keluar dan langsung menggelinding ke tanah.

"Duh gak jijik apa lu, Ndra? Kita pulang aja yuk," ajak Kak Willie sembari bergidik ngeri. Aku pun berdiri dan beranjak pergi dari sini.

Kami langsung bergegas kembali dan segera melaporkan kejadian ini kepada Pak Bonadi. Ternyata makhluk-makhluk itu masih memiliki kecerdasan, tidak seperti zombie yang aku lihat di film-film. Dia bahkan bisa bertingkah layaknya manusia biasa dengan berbicara dengan lancar dan bahkan mampu untuk membujuk dengan iming-iming makanan hingga membuat Kak Willie tergoda untuk pergi bersamanya.

Aku pun teringat saat pertama kali aku bertemu dengan salah satu dari mereka. Makhluk itu juga sempat berbicara padaku. Sempat membujukku dengan bertingkah normal kepadaku. Tapi untungnya aku segera cepat menyadari dan tidak menjadi korban selanjutnya. Aku masih berpikir keras, sebenarnya mereka zombie yang seperti apa?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!