Kembali ke Bis

Aku menarik tangan Kak Willie dan segera berlari bersama rombongan menuju bis kami kemarin sesuai instruksi yang diberikan oleh tim A melalui tembakan senapannya Pak Juari.

"Kita mau kemana woi?" teriak Kak Willie.

"Nanti aja aku jelasin. Yang penting ikutin aja Pak Bonadi dulu," jawabku. Karena aku menarik tangan Kak Willie, aku jadi tidak memperhatikan Aini.

"Oh iya, mana adikku?" ucapku tersadar.

"Tuh dia dibelakang. Dia digendong sama Pak Bonadi," jawab Kak Willie.

"Yaudah kakak jalan sendiri aja. Jangan manja," ucapku sambil melepaskan genggaman tanganku.

"Yeee siapa suruh tadi nggandeng tangan gue?"

"Lah kakak sendiri aja tadi malah bingung sendiri pas disuruh lari," bantahku.

"Kan emang gue gak tau rencana awalnya gimana? Makanya gue bingung," terka Kak Willie membela dirinya sendiri.

"Bodoamat," ucapku mengakhiri percakapan sembari berlari kearah Pak Bonadi.

"Ihh kakak mah jahat malah gandeng kakak itu," gerutu Aini yang berada di gendongan Pak Bonadi.

"Hehe maaf, An. Namanya juga lagi panik," sesalku.

"Hehe iya deh gapapa," jawab Aini sambil tersenyum.

"Yaudah sekarang mau Kakak gendong gak? Pak Bon, sekarang biar aku aja yang gendong adikku," ucapku menyarankan.

"Gapapa. Nanti malah kelamaan kalo berhenti. Keburu dikejar sama orang-orang jahat itu," tolak Pak Bonadi. Aku hanya mengangguk.

"Eh cahaya apa ini?" aku terkejut karena tiba-tiba sebuah sekelebat cahaya menyilaukanku.

Aku melihat dikejauhan terdapat sebuah cahaya yang bergerak acak seolah memberi tanda. Mungkin itu cahaya dari senter supaya kami tau dimana posisi bisnya.

"Ayo segera bergegas!" ajak Pak Bonadi sembari mempercepat langkahnya.

"Persiapkan senjata kalian. Sepertinya akses untuk menuju kesana tidak akan mudah," ucap Pak Bonadi memberi instruksi.

Memang benar. Disana masih terdapat beberapa zombie yang mencoba untuk menerobos masuk bis kami yang sudah dikunci dari dalam oleh tim A.

"Woii kalo mau makanan nih ada disini," ledek Mas Haris sambil menunjuk ke arah Kak Willie.

"Makanan gundulmu. Gue masih mentah woi!" gerutu Kak Willie.

Seketika para zombie itu menoleh kearah kami dan berlari menghampiri kami.

"Ini, Nak. Katanya kamu mau gantian gendong adikmu," ucap Pak Bonadi sambil menurunkan Aini dari gendongannya.

"Oh iya, Pak," jawabku menghampiri mereka berdua.

"Kamu tetep dibelakang kakak ya, Dek! Biar abang bisa ngelindungin kamu,"

"Iya, Kak. Hati-hati ya, Kak," jawab Aini.

"Lebih baik kita berpecah supaya tim A lebih mudah untuk menjalankan tugas selanjutnya." ucap Pak Bonadi memberi instruksi. Kami serentak mengucapkan siap secara bersamaan.

"Lah eh? Maksudnya gimana? Gue harus lari sama siapa?" tanya Kak Willie panik.

"Sepertinya kelamaan tidur membuat kamu tidak bisa berpikir cerdas ya?" ledek Pak Bonadi.

"Yaudah kakak sama kami aja larinya," ucap Aini menawarkan.

"Oke oke. Ketimbang sama si Haris. Nanti gue malah dijadiin umpan sama dia," sinis Kak Willie.

"Woiya dong," ledek Mas Haris.

"Sekarang berpencar," perintah Pak Bonadi.

Kami pun berlari terpisah untuk memecah zombie-zombie itu. Aku bertiga bersama Kak Willie dan Aini yang berada dalam gendonganku. Kemudian Pak Bonadi bersama Kak Ayu, dan Mas Haris sendirian. Mas Haris berlari dan tanpa rasa takut langsung menerjang zombie-zombie itu dan langsung meninju mereka hingga terkapar. Tanpa ampun Mas Haris membunuh mereka yang terlihat masih bergerak dengan tinjunya sehingga dipastikan zombie-zombie itu sudah benar-benar mati.

Karena aku kesulitan untuk melawan mereka karena harus menggendong Aini, maka aku mengandalkan kedua kaki ku untuk berlari secepat mungkin untuk menghindari mereka.

"An! Sekarang kamu tutup mata sampe kakak kasih tau kalo sudah waktunya buka mata ya," ucapku menyuruhnya karena aku tidak tega jika dia harus melihat wajah-wajah mereka yang mengerikan.

Aku berusaha untuk menggocek mereka diantara pepohonan. Tapi siapa sangka, Kak Willie larinya cepet banget kek maling yang dikejar warga. Sampai-sampai aku ditinggalin sendirian dibelakang.

"Waduh tuh orang cepet amat yak larinya," batinku keheranan.

"Kabur! Tolong gua woi!" teriak Kak Willie sembari mengangkat kedua tangannya.

"Mending gitu sih, ketimbang dia gak bisa lari cepet. Aku juga jadi bisa fokus buat ngehindarin kejaran dari para zombie," gumamku dengan napas yang tersengal.

Aku bersusah payah dalam mengecoh kejaran dari para zombie dengan Aini yang berada dalam gendonganku. Aku memilih medan yang terdapat semak belukar dan batang kayu yang tumbang untuk menghambat mereka. Setelah beberapa saat, akhirnya aku berhasil masuk ke dalam bis tanpa mengalami cedera yang berarti. Aku segera menurunkan Aini dari gendonganku dan segera mengambil senjata yang telah disediakan oleh tim A.

"Aini masih harus tutup mata ya. Nanti kalo orang-orang jahatnya udah pada pergi, baru boleh buka mata," aku memberikan instruksi kepada Aini agar dia tidak melihat para zombie itu.

"Iya kak," jawab Aini sembari merangkak ke bawah bangku bis yang tersisa.

"Ini, Nak!" Pak Juari melemparkan sebuah besi tua yang telah ditajamkan ujungnya.

"Makasih, Pak," jawabku dan bersiap untuk menghadapi mereka.

Aku kembali keluar dari bis dan segera menghabisi zombie-zombie yang tersisa. Dengan kombinasi serangan jarak jauh dan jarak dekat, tanpa butuh waktu lama kami berhasil membereskan mereka dan tak menyisakan satupun.

Kami akhirnya bisa bernapas lega dan segera berkumpul kedalam bis untuk saling mengecek kondisi satu sama lain.

"Semuanya oke? Apa ada yang terluka parah?" tanya Pak Bonadi.

Kami menggeleng lirih dengan napas tersengal sebab pertarungan tadi yang sangat menguras tenaga. Pak Bonadi terlihat tersenyum lega.

"Kalian benar-benar luar biasa. Aku sangat bangga kepada kalian," puji Pak Bonadi yang berada di bangku kemudi itu.

"Aini! Sekarang kamu boleh buka mata."

"Udah pergi mereka ya, Kak?" tanya Aini yang ternyata bersembunyi di kolong bangku paling belakang.

"Udah kok. Sekarang kita cari posisi yang enak buat istirahat," ucapku lembut kepadanya. Sepertinya dia juga dalam kondisi yang baik-baik saja untuk saat ini.

"Iya, Kak," jawab Aini menurut. Kemudian dia merangkak dan menghampiriku. Aku pun segera memeluknya untuk menghilangkan ketegangan yang mungkin masih dirasakannya kemudian aku segera menyiapkan tempat yang nyaman untukku dan Aini beristirahat.

"Kenapa kamu selalu menyuruh adikmu buat menutup matanya?" pertanyaan Pak Bonadi secara tiba-tiba membuatku sedikit terkejut.

"Enggak kok, Pak. Aku cuman gak mau dia harus menghadapi kenyataan yang kek gini. Dia masih terlalu kecil," jawabku kepada lelaki besar itu. Aku memang tidak ingin dia langsung bertatap muka dengan wajah-wajah zombie yang mengerikan. Mungkin yerlalu mengerikan jika harus dilihat secara langsung.

"Suatu saat nanti, mungkin kamu tidak bisa lagi untuk melindunginya. Jadi biasakanlah juga dia untuk menghadapinya sendiri," ucap Pak Bonadi.

"Walaupun begitu, selagi aku masih bisa untuk melindunginya, aku akan tetap suruh dia buat menutup matanya supaya dia tidak merasa khawatir dan merasa aman saat berada disampingku. Karena itulah tugas seorang kakak," jawabku yakin.

Pak Bonadi hanya tersenyum dan beranjak pergi. Aku juga menata bangku-bangku supaya kami bisa tidur dengan nyenyak walau hanya sekejap. Tak ada yang berjaga kali ini, mereka tampak sangat kelelahan. Kepala Aini berada dipangkuanku, memberikannya sebagai bantal agar dia tetap nyaman. Aku tidur terduduk, sayup-sayup mataku mulai terpejam, aku mulai kehilangan kesadaranku, aku pun tertidur, kami tertidur.

Terpopuler

Comments

Dumpmiw

Dumpmiw

bang? dari kemarin aku baca membayangkan kalau si tokoh perempuan.

2025-02-15

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!