Istri di Atas Kertas

Vanya berulang kali menggeliatkan tubuh polosnya. Ingin sekali dia beranjak dari atas tempat tidur, namun lelah yang dia rasakan memaksanya tetap meringkuk dalam pelukan Haris.

Vanya tersenyum menatap wajah Haris. Sepertinya semakin ke sini Vanya merasa semakin jatuh cinta pada Haris. Terlebih setelah Haris memilih bersamanya, saat seharusnya dia berbulan madu bersama Liana. Dan Vanya pada akhirnya mencoba untuk abai, pura-pura tidak tahu dan tidak melakukan apa-apa.

"Kenapa menatapku seperti itu?"

Suara Haris mengejutkan Vanya, apalagi diikuti dengan pergerakan tangan Haris yang menarik pinggang Vanya hingga tubuh polos keduanya semakin dekat.

"Mau lagi...?!!" goda Haris.

"Mas..., tidak ah. Aku lelah..." Vanya yang tersipu malu, menenggelamkan wajahnya di dada Haris.

"Kalau lelah, tidur..." ujar Haris seraya mempererat dekapannya.

"Mas tidak ingin melihat keadaan Ana?" gumam Vanya.

"Jangan bahas dia!" balas Haris dengan nada datar.

"Em..." Vanya mengiyakan saja.

"Aku ke kamar mandi dulu ya." Haris mencium bibir Vanya sebelum turun dari kasur yang memanjakan keduanya.

Beberapa saat kemudian terdengar suara bel pintu. Padahal Vanya baru saja memejamkan matanya.

"Siapa, sih...? Apa mas Haris memesan makanan ya?" gumamnya lirih sambil memakai baju tidurnya.

Vanya tidak melihat dulu siapa yang datang, dia membukakan pintu begitu saja.

"A..., Ana...?!" ujar Vanya sedikit terbata.

"Boleh aku masuk, mbak?" tanya Liana tanpa menatap Vanya. Liana justru celingukan ke sembarang arah.

"Ah, masuklah!" balas Vanya mengusap lehernya karena dia merasa serba salah.

"Ada yang mau aku bicarakan." ujar Liana.

"Denganku?" tanya Vanya.

"Mas Haris juga." balas Liana.

Liana melihat beberapa bercak merah di leher dan dada Vanya. Dan dia berusaha bersikap biasa saja. Meski hatinya mulai tersentil.

"Mas Haris masih di kamar mandi." kata Vanya.

"Tidak apa, aku bisa menunggu." balas Liana yang kemudian mengeluarkan ponselnya.

Tak lama kemudian Haris keluar dengan berbalut kimono handuk dan rambut yang basah. Dia terkejut dengan kehadiran Liana. Bahkan sempat terdengar berdecak kesal.

"Ada apa?" tanya Haris yang duduk di samping Vanya.

Tanpa basa-basi Liana menceritakan apa yang dia dengar. Tidak peduli keduanya percaya atau tidak, yang penting Liana sudah memberitahu mereka. Agar mereka lebih berhati-hati.

"Repot sekali kalau harus memikirkan apa yang akan orang lakukan pada kita." begitu kata Haris. Seolah apa yang disampaikan oleh Liana bukanlah hal penting.

"Mas, mungkin firasat Ana ada benarnya, lho. Sebaiknya sekarang mas ke kamar Ana saja." sahut Vanya.

"Terserah mas Haris saja. Aku permisi." kata Liana.

Liana segera beranjak dari kamar itu. Dia tidak ingin terlibat dalam perdebatan pasangan tersebut. Yang terpenting dia sudah memperingatkan keduanya.

"Mas, bagaimana kalau sampai orang tahu kalau kamu menghabiskan waktu denganku. Bukannya dengan Liana? Apa mas nggak berpikir, mungkin orang itu suruhan kakek? Atau saingan bisnismu, mas...?!" celoteh Vanya yang tampak panik.

"Vanya, aku heran sama kamu." Haris memicingkan matanya. "Kenapa kamu seakan takut sekali dunia tahu tentang hubungan kita?" ujar Haris.

"Bu..., bukan begitu, mas." sahut Vanya. "Aku justru mengkhawatirkan kamu. Hubunganmu dan kakek, keluargamu, juga mitra-mitra kamu, mas." begitulah alasan Vanya.

"Sudahlah, aku ingin menghirup angin di luar!" Haris beranjak dari kursinya.

Dia bergegas berganti baju karena ingin segera keluar dari kamar itu.

___

Liana merasakan sesuatu yang tak dia mengerti. Ada rasa aneh ketika dia melihat Vanya dengan tanda merahnya. Haris pun sama, Liana sempat melihat ada tanda serupa di bagian dada Haris yang tadi sempat terlihat secara tak sengaja. Juga kasur yang berantakan di kamar yang baru saja dia kunjungi itu.

"Ada apa denganku? Perasaan apa ini, Tuhan...?!" gumamnya pelan.

Liana berdiri di dekat jendela. Mengusap rambutnya dengan handuk sambil melihat pemandangan yang sangat indah di luar sana. Saat menikmati hamparan lukisan alam itu, Liana teringat dengan perempuan yang membicarakan Haris.

"Itu kan ibu yang duduk di sampingku di pesawat. Dia mengenal mas Haris, apa mas Haris tidak mengenalinya, ya?" tanya Liana pada dirinya sendiri.

"Ada-ada saja. Liburan jadi aneh begini gara-gara mbak Vanya. Sekarang ketambahan lagi orang asing yang memata-matai kami. Tapi..., apa mungkin itu utusan kakek, ya...?"

Jika Haris masa bodoh dengan orang asing yang diceritakan Liana, Liana justru sebaliknya. Hatinya jadi was-was.

"Kenapa juga aku harus capek-capek memikirkannya. Orang mas Haris responnya juga biasa saja." gerutunya.

Liana mendengar bel berbunyi. Lalu dia mengintip sejenak untuk mencari tahu siapa yang datang. Saat melihat Haris berdiri di sana, Liana segera membuka pintu.

Tanpa banyak bicara, Haris menyelonong begitu saja memasuki kamar itu dengan menarik kopernya. Liana hanya tersenyum simpul melihat hal itu.

"Tadi saja masa bodoh. Eh, sekarang datang bawa-bawa koper lagi. Dasar manusia labil...!!" Liana mengumpati kelakuan sang suami dalam hati.

"Kakek menghubungimu?" tanya Haris setelah mendaratkan tubuhnya di sofa.

"Enggak." jawab Liana.

"Sama sekali tidak?" Haris seakan meragukan jawaban Liana.

"Periksa saja handphoneku kalau nggak percaya." balas Liana. "Orang tanya, sudah dijawab benar-benar masih saja nggak percaya." gerutunya dengan suara pelan. Namun masih bisa didengar oleh Haris.

"Aku melihat seseorang di bawah. Sepertinya itu bukan anak buah kakek. Bisa jadi itu anak buah salah satu pesaing bisnis." ujar Haris tanpa ditanya.

"Terus kenapa?" sahut Liana.

"Kalau itu anak buah kakek, aku tidak peduli. Tapi karena itu orang lain, dan kita tidak tahu tujuannya, sebaiknya kita hati-hati." balas Haris.

"Bukannya tadi mas Haris menyepelekannya. Kenapa sekarang jadi panik?" tanya Liana kemudian.

"Aku tidak ingin Vanya terekspos dan namanya jadi buruk." balasnya tanpa ekspresi.

"Mas Haris, atau mbak Vanya yang tidak ingin?" timpal Liana dengan berani.

Seketika itu Haris menatap tajam Liana. Merasa tidak suka dengan ucapan Liana barusan.

"Apa maksudmu?!" tanya Haris dengan nada ketus.

"Maaf, mas. Aku tidak bermaksud lancang. Tapi aku perhatikan mas Haris selalu berubah pikiran dan pendirian, setiap kali mbak Vanya mengatakan sesuatu." ujar Liana.

"Tapi aku juga tahu, semua itu juga karena mas Haris sangat mencintainya bukan? Sehingga apapun yang mbak Vanya inginkan, mas Haris selalu mengiyakan. Termasuk pernikahan ini. Mbak Vanya tidak ingin orang lain tahu kalau kalian sudah menikah. Bukankah itu benar?!" katanya lagi.

"Karena itu juga aku tidak pernah menuntut banyak atas pernikahan kita. Aku sadar, aku hanyalah istri mas Haris di atas kertas. Selama kalian tidak mengusikku, aku juga tidak mempermasalahkan apapun yang kalian lakukan. Aku tidak tertarik dan tidak peduli." imbuhnya lagi.

"Sudah mulai banyak bicara kamu ya?" cibir Haris.

"Ingat, kamu hanya orang asing yang tiba-tiba hadir dan mengacaukan segalanya. Jangan menjadi orang yang sok tahu segalanya. Sadari sampai dimana batasanmu!" hardik Haris sambil menunjuk Liana.

"Karena aku tahu batasanku, aku menutup mata dengan segala yang kalian lakukan. Orang asing di hadapan mas Haris saat ini, hanya sedang berusaha berdamai dengan keadaan. Demi apa? Demi keharmonisan dan kehormatan keluarga besar mas Haris. Kalau aku tidak memandang kakek dan kedua orang tua mas Haris. Aku bisa saja mengurungkan penerbanganku tadi pagi dan kembali ke rumah. Sayangnya aku tidak ingin nantinya keluarga mas Haris jadi berprasangka buruk pada mbak Vanya dan menyalahkan mas Haris karena kepulanganku!" tutur Liana panjang lebar, dengan tegas dan berani.

"Dasar tukang cari muka." sahut Haris. "Bilang saja kamu hanya ingin mendapat simpati keluargaku, agar bisa terus menikmati harta kami. Iya, kan?!" tuduh Haris tanpa perasaan.

"Terserah mas Haris menilaiku seperti apa. Aku tidak peduli!!" balas Liana yang tampak semakin kesal.

Liana pergi begitu saja, sampai dia lupa bahwa dia masih memegang handuk dan rambutnya masih berantakan. Namun dia tidak jadi keluar kamar. Dia justru kembali masuk dan menahan nafas sesaat.

"Mas..., sini...!!" Liana berbisik memanggil Haris sambil melambaikan tangannya.

Haris pun patuh begitu saja, dia juga penasaran alasan apa yang membuat gadis itu tiba-tiba kembali dengan wajah sedikit gugup.

Liana seakan lupa kalau dia baru saja bertengkar dengan pria yang kini berjalan mendekatinya. Dia meminta Haris mengintip lubang pintu dan melihat dua orang yang lewat.

......................

Episodes
1 Tamu Asing
2 Ayah Jatuh Sakit
3 Kembalinya Ibu Tiri
4 Pelukan Terakhir
5 Jaminan Hutang
6 Rumah Baru
7 Keluarga
8 Menikah Lagi
9 Bimbang
10 Keputusan
11 Calon Istri Kedua
12 Istri Calon Suamiku
13 Kamar Pengantin yang Terabaikan
14 Suami Menyebalkan
15 Kesedihan Kakek
16 Benih Kecemburuan
17 Honeymoon...??!!!!
18 Istri di Atas Kertas
19 Teman
20 Semakin Akrab
21 Tak Tenang
22 Perasaan Damar
23 Kado untuk Liana
24 Salah Pilih Rival
25 Ada Apa Sebenarnya?
26 Mencari Pak Wira
27 Tak Seperti Biasanya
28 Maaf, ibu...!
29 Vanya Frustasi
30 Rencana Haris
31 POV : Haris
32 Rasa Nyaman
33 Maunya Kamu
34 Perubahan Haris
35 Kembali Asing
36 Damar Berulah
37 Jeritan Hati Rosa
38 Jangan Menyentuhku
39 Cerai
40 Reward
41 Kembali ke Rumah
42 Suasana Baru
43 Aku akan Kembali
44 Aku akan Melindungimu
45 Ingin Jadi Satu-satunya
46 POV : Liana
47 Firasat
48 Pertemuan
49 Menghindar
50 Membawa Liana Pergi
51 Mesra dan Gelisah
52 Hamil
53 Ketemu
54 Hukuman dari Kakek
55 Ketakutan Liana
56 Vanya Lagi
57 Luka Kecil
58 Perdarahan
59 Flashback
60 Sang Pelaku
61 Mencintai Rosa
62 Haris Cemburu
63 Pengusik Datang Lagi
64 Akhir Sebuah Penantian
65 Demam
66 Mendatangi Kakek Sudibyo
67 Juan...!!
68 Berpisah Saja
69 Takut Kehilangan
70 Takut Keblabasan
71 Insiden di Swalayan
72 Sakit Lagi
73 Kabar Bahagia
74 Bukan Perempuan Bayaran
75 Permainan Dimulai
76 Apa Dia di Pihakku?!...
77 Nasihat Kakek
78 Bumil Posesif
79 Ancaman
80 Sebuah Video
81 Permintaan Maaf
82 Klarifikasi
83 Tiba-tiba Ingin
84 Kabar Duka
85 Kamera Tersembunyi
86 Ngidam Day
87 Perkara Melon
Episodes

Updated 87 Episodes

1
Tamu Asing
2
Ayah Jatuh Sakit
3
Kembalinya Ibu Tiri
4
Pelukan Terakhir
5
Jaminan Hutang
6
Rumah Baru
7
Keluarga
8
Menikah Lagi
9
Bimbang
10
Keputusan
11
Calon Istri Kedua
12
Istri Calon Suamiku
13
Kamar Pengantin yang Terabaikan
14
Suami Menyebalkan
15
Kesedihan Kakek
16
Benih Kecemburuan
17
Honeymoon...??!!!!
18
Istri di Atas Kertas
19
Teman
20
Semakin Akrab
21
Tak Tenang
22
Perasaan Damar
23
Kado untuk Liana
24
Salah Pilih Rival
25
Ada Apa Sebenarnya?
26
Mencari Pak Wira
27
Tak Seperti Biasanya
28
Maaf, ibu...!
29
Vanya Frustasi
30
Rencana Haris
31
POV : Haris
32
Rasa Nyaman
33
Maunya Kamu
34
Perubahan Haris
35
Kembali Asing
36
Damar Berulah
37
Jeritan Hati Rosa
38
Jangan Menyentuhku
39
Cerai
40
Reward
41
Kembali ke Rumah
42
Suasana Baru
43
Aku akan Kembali
44
Aku akan Melindungimu
45
Ingin Jadi Satu-satunya
46
POV : Liana
47
Firasat
48
Pertemuan
49
Menghindar
50
Membawa Liana Pergi
51
Mesra dan Gelisah
52
Hamil
53
Ketemu
54
Hukuman dari Kakek
55
Ketakutan Liana
56
Vanya Lagi
57
Luka Kecil
58
Perdarahan
59
Flashback
60
Sang Pelaku
61
Mencintai Rosa
62
Haris Cemburu
63
Pengusik Datang Lagi
64
Akhir Sebuah Penantian
65
Demam
66
Mendatangi Kakek Sudibyo
67
Juan...!!
68
Berpisah Saja
69
Takut Kehilangan
70
Takut Keblabasan
71
Insiden di Swalayan
72
Sakit Lagi
73
Kabar Bahagia
74
Bukan Perempuan Bayaran
75
Permainan Dimulai
76
Apa Dia di Pihakku?!...
77
Nasihat Kakek
78
Bumil Posesif
79
Ancaman
80
Sebuah Video
81
Permintaan Maaf
82
Klarifikasi
83
Tiba-tiba Ingin
84
Kabar Duka
85
Kamera Tersembunyi
86
Ngidam Day
87
Perkara Melon

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!