"Aku mau, Sayang.." bibir Dirga nyosor seperti soang. Maya menahan bibir sang suami yang mengarah ke lehernya.
"May, Sayang?" mata Dirga meredup karena hasratnya. Bibirnya nyosor lagi. Kali ini Maya tidak menolak. Ia membiarkan bibir Dirga memagut lehernya.
"Ahh.." suara desahan yang lolos dari bibir Maya, membuat Dirga tidak tahan lagi. Ia ingin melanjutkan aksinya,
"Kamu mau, Pa?"
"Hmmm..."
"Aku juga mau."
Dirga mendorong istrinya. Maya terjatuh di pembaringan. Tapi ia langsung bangkit lagi.
"Dengerin Aku dulu, Pa. Aku mau apa emangnya?"
"Mau.. Itu, 'kan?" Maya mendorong wajah sang Suami.
"Aku mau kalung seperti punya Mbak Safira." tubuh Dirga membeku sesaat. Itu lagi yang diminta Maya. Dari kemarin, kemarinnya lagi, kemarin - kemarinnya lagi..
"May, Kamu tau Kita ini lagi susah.." Dirga terkejut karena Maya langsung meledak,
"Aku nggak bisa begini terus!"
"Terus Kamu maunya gimana, May? Kamu tau, sekarang Aku ini cuma pekerja serabutan! Ngerti, dong! Kamu ini terlalu lebay! Kamu nggak mau ngerti keadaanku sekarang!" hasrat Dirga bukan hanya buyar tapi hilang terbang seiring rasa kecewanya.
"Aku nggak lebay, Pa! Kamu jadi Suami yang nggak bisa membahagiakan istri! Kamu payah! Nggak berguna!!"
"Hati hati kalau ngomong!" tangan Dirga terangkat.
"Tampar! Tampar aja! Memang Kamu itu nggak ada gunanya!" Maya bergegas keluar dari kamar.
Brakk!
"May!" tangan Dirga terkepal. Maya, istrinya yang cantik dan bahenol itu sudah keluar dari rumah seraya membanting pintu.
Maya melenggang keluar rumah dengan marah. Ia berjalan tergesa meski belum tau arah tujuan.
"Mau ke mana, May?" tanya Bu Ranti, tetangga sebelah rumah.
"Mau ke mana aja juga bolleeh..! Yang penting keluar dari neraka dunia ini!"
"Astagfirullaah..!" Bu Ranti terkaget - kaget.
Dirga keluar dari rumah dengan wajah merah padam.
"Berantem lagi, Ga? Kok berantem terus, sih? Padahal Kalian dulu romantis banget, lho."
"Maya ke manain, Bu?" alih - alih menjawab pertanyaan tetangganya Dirga justru balik bertanya.
"Ke sanain, tuh!" Bu Ranti menunjuk dengan dagunya. Tangannya memegang selang air untuk menyiram tanaman.
"Mau ke mana Dia, ya?" desis Dirga tapi masih terdengar oleh telinga Bu Ranti yang tajam, setajam silet! Namanya juga biang gosip.
"Paling juga ke rumah Putri!"
"Putri? Putri itu siapa, Bu?"
"Masa' Kamu nggak tau? Putri itu tenar banget, lho!"
"Memangnya Dia itu selebritis?"
"Bukaaan!"
"Selebgram? Tiktoker? You tuber? Lalu apa?" desak Dirga karena Bu Ranti terus menggeleng. Tangannya juga ikut bergerak ke kanan dan ke kiri. Air selang pun memancar kian kemari.
"Putri itu orang yang jualan duit!"
Jualan duit? Dirga semakin bingung.
"Kalau duit yang dijual, bayarnya pakai apa?" tanya Dirga bodoh.
"Ya pakai duit juga, lah. Tapi berlipat lipat." Dirga tercengang. Untuk apa beli duit? Mana harus bayar berlipat lipat, lagi.
"Bagaimana?" tanya Dirga. Ia benar - benar tidak mengerti.
Bu Ranti tersenyum geli melihat wajah Dirga yang terlihat bodoh karena bingung.
"Putri itu rentenir, Ga."
'Astaghfirullaah.' batin Dirga mengeluh. Buat apa Maya menemui rentenir? Apa Ia tetap ingin membeli kalung itu?
"Satu juta jadi satu juta dua ratus."
"Apanya?" kepala Dirga seperti berputar.
"Bayarnya dalam waktu sebulan aja. Kalau lewat waktunya, ada dendanya."
Denda?
"Ibu pernah beli?" lagi - lagi pertanyaan yang bodoh.
Bu Ranti mengibaskan tangannya dan otomatis air dari selang juga bercipratan tak tentu arah.
"Sebenarnya Ibu juga,"
Bu Ranti mematikan keran air dan meletakkan selangnya begitu saja. Ia ingin menghampiri Dirga untuk berbicara lebih lanjut tapi Pak Budi, sang suami, bergegas keluar dari rumah dan menarik tangannya dan mengajaknya masuk ke dalam rumah seraya berkata,
"Maaf ya, Ga. Bapak ada perlu sama Ibu, nih."
"Oh iya, Pak. Mangga." Dirga melihat Bu Ranti yang seperti di seret masuk ke dalam rumahnya.
"Apaan sih, Pak." masih terdengar suara protes Bu Ranti. Setelah itu tidak terdengar apa - apa lagi.
Dirga menghela nafas. Bagaimana kalau Maya berurusan dengan yang namanya Putri itu?
"Kenapa Aku nggak tanya rumahnya si Putri itu di mana?" Dirga menepuk jidatnya.
*************
"Ya. Satu juta jadi satu juta duaratus." Maya mengangguk membenarkan tanpa sungkan lagi.
"Kamu pinjem, May?"
"Pinjam? Mau bayar pakai apa?" Maya melengak. Dalam hati Dirga bersyukur. Istrinya ini masih memiliki kesadaran. Tapi Maya belum selesai,
"Nggak tau kalau kepepet,"
"Jangan, May. Ingat anak - anak."
"Justru itu buat mereka! Kamu emang bisa memenuhi kebutuhan mereka?"
"Tapi dulu Aku kan.."
"Itu 'kan, dulu! Emang Kita hidup dengan masa lalu?"
"Jangan, May. Plese, jangan. Kamu mau Aku mati berdiri?"
"Kalau mati 'kan tinggal di kubur!"
Plak!
Dirga spontan menampar Maya.
"Kamu!" Maya memegang pipinya yang terkena tamparan. Dirga tersadar dan berusaha mengusap pipi Istrinya itu.
Maya langsung mundur beberapa langkah.
"Maaf May, Aku.."
"Tampar aja sampai Kamu puas!" jerit Maya kalap. Pertengkaran dimulai lagi. Selalu begitu.
Sejak perusahaan tempat Dirga bekerja mengurangi jumlah karyawannya dan Dirga termasuk yang terkena pengurangan karyawan itu, kebahagian mereka hanya tinggal kenangan. Padahal posisi Dirga sudah cukup bagus dan gajinya juga besar.
Dirga juga mendapat uang kompensasi yang cukup besar, tapi kebiasaan hidup mereka yang boros hanya mampu menghidupi mereka selama sekian bulan. Mereka mulai menjual harta benda mereka seperti mobil dan perhiasaan. Hanya tersisa rumah yang mereka tempati sekarang.
"Aku bosan begini terus! Aku mau seperti dulu lagi! Kamu dengar, Pah?"
"Sabar, May. Aku kan tetap berusaha!"
"Sabar! Sampai kapan? Sampai Aku jadi nenek - nenek?"
"May! Kamu.."
Kali ini Dirga yang memilih keluar rumah untuk menenangkan diri. Tapi ia tidak kemana mana. Ia memilih duduk di teras.
"Kenapa Kami jadi begini?" Dirga mengacak rambutnya kasar.
Kehidupn mereka dulu begitu sempurna.
Mereka memiliki sepasang anak. Rania dan Raka yang masih duduk di kelas 4 dan 3 sekolah dasar. Mereka belum pulang sekolah
sekarang.
Brang! Breng! Brukk! Prang!
Maya juga nemiliki hoby baru yaitu melempar - lempar barang saat ia marah.
"Habis ya habis, lah!" gigi Dirga gemelutuk menahan marah.
Nanti, setelah amarah Maya mereda, ia sendiri yang akan membereskan kekacauan yang ia buat.
Dirga merasa perutnya perih. Dari pagi perutnya belum terisi apa - apa. Ah, tidak. Sebelum marah Maya sempat membuatkan kopi untuknya. Itu juga ditambahi dengan ucapan,
"Ini kopi yang terakhir, Pa. Kopinya habis." tapi Dirga masih dapat menyeruput kopi itu dengan nikmat tanpa memperdulikan tatapan pedas istrinya.
Hasratnya bangkit melihat istrinya hanya mengenakan kaos ketat dan celana pendek setelah mandi. Dadanya yang membusung dan pantat semoknya membangkitkan kelelakiannya yang hampir mati suri belakangan ini.
"padahal Aku udah berusaha terus untuk mendapat pekerjaan yang layak agar Kita bisa kembali seperti dulu. Kalau Aku masih belum berhasil, apa Aku salah?"
Dirga tersenyum pahit. Sepahit kehidupannya saat ini.
"Aaaaaa!!" jeritan Maya mengejutkannya.
**********************
"Aaaa!"
jeritan Maya mengejutkannya.
Dirga berlari dan,
Brakk!
"Awh!"
Dirga menghambur masuk hingga menabrak pintu yang masih tertutup.
Dirga masuk bagai orang kesetanan.
"Kenapa, May?" Dirga melihat Maya bersimpuh di dapur. Darah mengalir dari telapak kakinya yang terluka. Rupanya ia menginjak pecahan gelas yang tadi ia lemparkan.
Dengan sigap Dirga menggendong Maya dan mendudukkannya di kursi.
"Makanya May, kalau marah yang di lempar yang nggak pecah aja." Dirga mengambil kotak P3K yang tergantung di samping kulkas.
"Memang kalau lagi marah bisa milih - milih?" Maya meringis saat Dirga membubuhi lukanya dengan betadin.
"Ini sobek, May. Kita ke klinik aja, ya?"
"Nggak usah." tolak Maya. Ke klinik 'kan harus bayar? Buang - buang duit aja!
"Aku perban, ya?" Maya mengangguk. Ia seolah tidak begitu memperdulikan rasa sakitnya,
"Hari ini Kamu nggak nyari duit, Pa?" Dirga menghela nafas.
"Papa mau pergi ke rumah Tikno tadinya. Tapi Kamunya marah - marah, terus kabur gitu aja. Papa kan nungguin Kamu."
"Terus nggak jadi?"
"Tikno pasti udah jalan."
Hmmf!
Maya menghembuskan nafas kasar. Sudah dipastikan hari ini suaminya tidak mendapatkan uang lagi. Ia lalu mencoba bangun,
"Mau kemana? Biar Aku gendong."
"Nggak usah. Mendingan Kamu ke rumah Ibu aja, Pa. Minta beras! Kalau perlu sama duitnya sekalian!" Dirga menghela nafas. Ia tetap menggendong istrinya dan mendudukkannya di pembaringan mereka.
"Aku beresin dapur dulu."
"Nggak usah! Nanti si Bibik aja."
"Si Bibik kan udah Kita pulangin ke kampungnya, May?" Maya tersadar. Bibik Minah memang sudah tidak ada di sini sejak mereka merasa tidak mampu lagi membayar upahnya.
"Nggak usah! Nanti biar Aku aja!"
"Tapi kaki Kamu, May?"
"Kamu tau, Pa? Hati Aku ini jauh lebih sakit!" murka Maya. Sakit karena ia tidak mau menerima kenyataan.
"Biar Aku beresin dulu." Dirga mulai melangkah,
"Jangan!"
"May, nanti kalau anak - anak pulang, gimana?"
"Justru itu. Cepet minta duit sama Ibu! Buat anak - anak makan!" ada air keluar dari mata Maya yang terlihat lelah.
Dirga mengalah. Ia beranjak ke luar menuju rumah Ibu. Ibunya, bukan Ibu Maya. Ibu Maya tinggal di kota lain. Ibu dari Dirga tinggal 1 RW dengan mereka. Kehidupan mereka sangat baik. Kehidupan kakak satu - satunya Dirga, Safira, juga sangat baik. Kehidupan mereka dulu juga sangat baik. Tapi sekarang..
Maya terisak. Hatinya lelah. Sudah berbulan - bulan mereka dalam kesusahan seperti ini.
"Sejak Papa kena PHK." gumamnya lirih.
Ada penyesalan di hati Maya karena tidak dapat memanfaatkan uang pesangon yang mereka terima. Mereka malah mengambur - hamburkannya dengan makan di luar, belanja nggak jelas,..
"Coba kalau waktu itu Aku ikutin nasihat Ibu untuk buka usaha. Tapi usaha apa?"
Nasi sudah menjadi bubur. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Terbayang bagaimana ia bergaya bak sosialita waktu itu. Sekarang ia memilih menjauhi teman - teman sosialitanya.
Orang yang merasa susah itu seringkali sensitif dan insecure. Ia merasa rendah sebelum direndahkan.
"Sok sial! Bukan sosialita!" gerutunya geram. Ia bangun dan berjalan tertatih menuju lemari pakaiannya yang besar. Dibukanya lemari gantung dan matanya menangkap banyak bungkusan plastik.
"Bahkan baju - baju ini masih belum sempat kupakai." Mau dipakai kemana? Sudah tidak ada lagi acara kantor seperti waktu - waktu yang lalu.
"Apa Aku jualin aja, ya? Tapi bagaimana? Aku malu." Maya belum pernah mencari uang. Selama ini ia selalu mengandalkan suaminya.
Baju - baju itu masih bersegel. Maya mulai menghitung. 1, 2, 3,...
Ternyata banyak juga. Ada 15!
Maya sendiri lupa kapan ia membeli baju - baju itu dan kenapa ia belum memakainya.
Ning nong!
Suara bel pintu menyadarkannya dari lamunan.
"Siapa sih, itu?"
Ning nong!
Maya berjalan tertatih keluar dari kamar.
Ning nong!
"Iyaaa! Sebentaaar!"
'Nggak sabaran amat, sih?'
Seraut wajah bening tertangkap oleh mata Maya saat pintu terbuka.
"Mbak Putri? Ada apa?"
************
"Dirga boleh minta beras, Bu?" Juwita menatap putra bungsunya dengan senyum merekah.
"Boleh dong, Sayang. Ambil aja di belakang, ya? Kamu tau tempatnya, 'kan?" Dirga mengangguk. Sebenarnya ia merasa malu karena akhir - akhir ini seringkali meminta. Ayahnya seorang penjahit yang sukses. Ia kerap diminta untuk menjahit seragam kantor, seragam bridesmaid, seragam untuk resepsi dan masih banyak lagi.
"Ada Dirga, Pak. Kasihan, mukanya sampai kusut begitu." lapor Juwita.
"Kenapa? Berantem lagi sama istrinya?"
"Nggak tau. Dia minta beras." sang Bapak menghela nafas. Ia juga memprihatinkan nasib anaknya ini.
"Kasihin ke Dirga, Bu. Jangan bilang dari Bapak." Dedi menyelipkan sejumlah uang ke tangan Juwita.
"Emang kenapa kalau bilang dari Bapak?"
"Takut Dia tambah malu, Bu. Kamu ingat bagaimana Dirga?" Juwita mengangguk. Dirga sangat menjunjung harga diri. Meminta beras saja sudah membuatnya sangat malu.
Juwita kembali ke tempat Dirga.
"Dirga pulang, Bu. Makasih."
"Kamu nggak mau ngobrol - ngobrol dulu?"
"Nggak, Bu. Anak - anak sebentar lagi pulang, atau sudah pulang. Mereka belum disediain makan, Bu."
"Oh.." Juwita menutup mulutnya karena terkejut.
"Ibu masak banyak tadi. Ibu dan Bapak sudah makan. Bawa aja buat anak - anak, ya?"
"Nggak usah, Bu."
"Jangan nolak rizki. Lagian udah nggak ada yang makan lagi, kok. Nanti jadi mubazir." Juwita menahan lengan Dirga dan memintanya untuk duduk.
Dirga menurut. Ia duduk menunggu di ruang tamu. Dirga sedih, ia merasa menjadi pengemis di rumah orangtuanya sendiri.
Juwita keluar dengan bungkusan di tangan.
"Ini kasih istrimu buat belanja besok." Uang dari Dedi ia berikan pada Dirga.
"Ini nggak papa, Bu? Dirga nggak enak. Harusnya Dirga yang kasih ibu."
"Makanya Kamu yang semangat, ya? Kamu pasti bisa bangkit lagi." Dirga membalas senyumam ibunya dengan hati yang bergejolak.
"Makasih, Bu. Dirga pamit."
"Ya. Hati - hati." Dirga mencium punggung tangan Juwita dan bergegas pergi.
Dedi menuju ruang makan setelah mengetahui kepulangan Dirga.
Meja makan hanya ada piring - piring kosong. Ada bekas rendang dan tumisan.
"Bapak mau makan?" tiba - tiba Juwita muncul di pintu yang menghubungkan ruang tengah dan ruang makan.
"Iya, Bu. Kok nggak ada apa - apa?"
"Maaf, Pak. Tadi lauknya Ibu kasihin ke Dirga."
"Terus Kita makan apa?"
"Bapak mau makan apa? Nanti Ibu beli di rumah makan seberang."
"Kita makan di sana aja." ajak Dedi.
"Ya udah. Ibu ganti baju dulu, ya."
"Ngapain ganti. Begini Ibu udah cantik." Dedi menggenggam tangan istrinya dan mengajaknya keluar. Ada semburat merah di pipi Juwita. Di usia mereka yang menjelang senja, Dedi sekalu bersikap romantis. Tidak ada yang berubah selain rambut yang mulai memutih di beberapa tempat.
"Hore! Papa pulang!"
"Papa bawa apa?"
Rania dan Raka bersorak saat melihat Dirga pulang. Apalagi ada bungkusan di tangan kanan dan kirinya.
"Papa bawa lauk buat makan. Kalian belum makan, 'kan?" kedua anaknya menggeleng.
"Ya udah. Panggil Mama biar Kita makan sama - sama." titah Dirga.
"Mama nggak ada, Pa!" Dirga terkejut. Kemana Maya?
****************
"Kemana?" Raka dan Rania sama mengangkat bahunya.
"Dari Kita pulang juga nggak ada, ya?" tegas Rania pada adiknya. Raka mengangguk.
"Makan sekarang, Pa. Raka laper." rengek Raka.
"Ayo Kita buka makanannya. Ambil piring, Nia." pinta Dirga pada Rania.
Dirga meletakkan beras di tempatnya lalu membantu anak - anaknya meletakkan makanan yang dibawakan Juwita ke atas piring.
"Asyik! Rendang!" teriak Rania melihat makanan favouritnya.
"Raka juga mau rendang!" teriak Raka. Dengan cepat Dirga mengambil 2 potong daging dan memisahkannya untuk Maya, istrinya.
"Makan yang kenyang, ya." Dirga tersenyum melihat anak - anaknya makan dengan lahap. Tapi kemana Maya?
Brukk!
Dirga membanting tubuhnya di tempat tidur.
"Kamu ke mana sih, May?"
Lelah menunggu dan mencari membuat Dirga tertidur.
Ini sudah hampir tengah malam dan Maya belum juga kembali. Dirga sudah menelpon semua teman dekat Maya yang ia kenal, tapi nihil. Ia juga berkeliling mencari Maya dengan motor bututnya, tapi bahkan aroma tubuh Maya juga tak tercium olehnya.
Ponsel Maya tidak ia bawa. Tergeletak karena tidak mampu membeli quota.
"Kamu kemana, May?" itu terus yang diulang - ulang dalam keresahan hatinya.
"Ke rumah Putri, kali." lagi - lagi Bu Ranti memberi argumennya.
"Di mana rumah Putri, Bu?"
"Persis di sebelah rumah Bu Wondo. Yang suaminya pensiunan polisi itu, lho."
"Bu Wondo? Yang mana ya, rumahnya?"
"Ya di sebelah rumah si Putri, dong!" Bu Ranti terlihat gemas.
"Tapi Saya juga nggak tau rumah Bu Wondo, Bu."
Bu Ranti membelalakkan matanya. Dirga ini dari planet mana, sih? Masa' rumah Bu Wondo nggak tahu? Bu Wondo yang baik hati dan tidak sombong itu? Yang sering memberi bingkisan untuk seluruh warga?
"Nggak semua orang seperti Ibu. Semuanya tau." celetuk Pak Budi.
"Kan memang harus begitu, Pak. Namanya bermasyarakat."
Bu Ranti mengerucutkan bibirnya.
"Tapi Dirga kan nggak pernah kelayapan kayak Ibu."
"Bukan kelayapan, Pak. Bermasyarakat. Sebagai warga negara yang baik,.." Bu Ranti mulai meracau membanggakan dirinya yang aktif bersosialisasi. Siapa di sini yang tidak mengenalnya?
"Begini aja, Ga." Pak Budi berusaha mengambil alih.
"Bapak bagaimana, sih? Ibu kan lagi ngomong!" pak Budi tidak mengacuhkan kekesalan istrinya. Mau sampai sore masalah alamat ini tidak akan ketemu bila menunggu bu Ranti selesai ngoceh.
"Kamu tau lapangan bulu tangkis, 'kan?" Dirga mengangguk. Lapangan bulu tangkis hanya ada satu di RW ini.
"Nah, rumah di depan lapangan itu, yang banyak pohon mangganya, itu rumah bu Wondo."
"Oooh, Pak Wonodo?"
"Iyaa! Tapi mereka lebih senang di panggil Wondo."
"Kalau Wondo yang itu Saya tau, Pak." Dirga nyengir kuda. Tapi masih kalah manis sama empunya cengiran.
"Sebelah kiri rumah bu Wondo, itu rumah Putri." singkat, jelas, padat dan langsung dipahami oleh Dirga.
"Tapi bukannya itu rumah Kun Kun, teman SD Saya dulu?" Kun kun, ia baru mengingatnya lagi sekarang.
"Orangtua Kun - kun udah lama pindah. Rumahnya dijual sama Pak Isno. Baru setengah tahun yang lalu rumah itu dijual lagi. Keluarga Pak Isno pindah ke Jawa. Pulang kampung! Si Putri itu yang nempatin sekarang. Sendiri. Eh, berdua sama pembantunya."
"Kok Bapak tau? Bapak naksir sama si Putri, ya?" Bu Ranti jadi suuzon pada suaminya. Matanya mendelik.
'Minta dicolok, nih!' dengus hati Pak Budi.
"Ibu ini gimana, sih? Udah sana, Ga. Bapak perlu berantem dulu sama Ibu, nih."
Mulut Arga terbuka membentuk bulatan. Kenapa jadi mereka yang ingin berantem, sih?
Saat pak Budi mengibaskan tangan menyuruhnya pergi, Arga kembali ke atas motornya dan melaju melanjutkan pencariannya.
Rumah di depan lapangan bulu tangkis yang banyak pohon mangganya. Di sebelah kirinya,
"Ini Dia!"
Ia menemukan rumah Putri. Tapi ia tidak menemukan istrinya. Bahkan Putri juga sedang keluar.
"Ibu keluar dari siang, Pak." Begitu yang disampaikan oleh pembantunya.
"Sama siapa?"
"Dari rumah sih, sendiri." harapan menemukan Maya terbang sudah.
"Kamu kemana sih, May?" keluh Dirga frustasi.
***************
Brakk!
Suara tas yang dihempaskan di atas meja rias membuat Dirga terbangun.
Dirga membuka matanya dengan rasa kantuk yang begitu mendera.
Hal yang pertama yang dilihatnya adalah senyuman Maya.
"Maaf, Pa. Aku berisik, ya?" Maya nampak sedang menghapus polesan make up di wajahnya.
"Kamu dari mana, May?" tanya Dirga dengan suara sengau mengantuk.
"Dari Bandung."
"Hah?!" mata Dirga langsung terbuka lebar. Ia langsung terduduk.
"Kamu ngapain ke sana, May? Ke rumah siapa? Sama siapa Kamu ke sana? Kenapa nggak ijin sama Aku? Terus, Kaki Kamu itu gimana? Kamu.."
"Stop! Bawel, ah!" Maya sudah selesai menghapus make upnya.
Brukk!
Maya membanting tubuhnya di sebelah Dirga.
"Ceritanya besok aja, ya? Aku ngantuk."
"Tapi May, Aku ingin tahu penjelasanmu sekarang!" Tapi percuma. Maya justru membalikkan tubuhnya memunggungi Dirga.
"May?" Dirga mengguncang tubuh Maya. Maya tidak bergeming. Ia tidak perduli meskipun guncangan tubuhnya semakin keras.
Akhirnya Dirga menyerah. Ia bangun dan keluar dari kamar. Ia duduk di sofa dan mulai menyalakan rokoknya.
"Maya semakin keterlaluan sekarang!" gerutunya. Tiap hari ada saja yang membuat mereka bertengkar. Maya selalu mencari cara untuk membuat Dirga tidak betah di rumah.
"Mau Kamu apa sih, May?" asap rokok mulai membuat polusi udara.
"Aku mau pisah sama Kamu, Pa!" itu yang Maya cetuskan minggu lalu.
"Tapi kenapa, May?"
"Kok Kamu tanya kenapa! Kamu udah bikin Aku dan anak - anak sengsara! Apa itu belum cukup jadi alasan?"
"Tapi Aku terus berusaha, May. Aku ingin Kamu dan anak - anak bahagia seperti dulu. Sabar, May! Istighfar!"
"Buat apa Aku istighfar? Semakin Aku berdoa, semakin Allah menyengsarakan Aku!"
"Astagfirullah! Sadar, May! Taubat!"
Maya mendengus marah. Ia menuntut ini itu, termasuk kalung seperti milik Safira jika Dirga tidak mau menceraikannya.
"Akan Aku turuti mau Kamu, May! Tapi sabar dulu."
"Sabar! Sabar! Sabar terus! Cuma itu yang bisa Kamu omongin, Pa?"
Dirga meremas rambutnya. Ia sangat mencintai Maya, begitu juga sebaliknya. Dulu kehidupan mereka begitu bahagia.
Dulu! Dulu! Lagi - lagi dulu!
Ada uang Abang di sayang, tak ada uang Abang di tendang, begitulah Maya ternyata.
"Uang terus! Uang terus! Bukannya sekolah negri, ya? Kenapa banyak pungutan?" Raka dan Rania juga sering mendapat dampratan dari Maya setiap meminta bayaran untuk tugas ini itu, bayaran buku, iuran ini itu..
"Sudah, Nak. Kalau ada apa - apa mintanya sama Papa, ya?" Dirga berusaha menghibur anak - anaknya.
"Mama jadi galak." Raka menangis. Ia yang paling dimanja oleh Maya. Tadinya. Tapi sekarang tidak lagi. Dunia Maya sekarang dipenuhi oleh kemarahan dan kekecewaan.
'May, sekarang Kita lagi ngumpul di cafe Bintang, nih. Kamu meluncur, ya.' chat dari Femi, teman sosialitanya. Dan Maya selalu sibuk mencari alasan untuk menolak. Ujung - ujungnya, ia melampiaskan kekecewaannya pada anak - anak, bahkan Dirga juga tak luput dari sasaran kemarahannya.
"Ruang gerakku sekarang sempit, Pa! Aku malu kalau ketemu sama mereka di mana - mana! Kalau mereka ngelihat penampilanku sekarang, gimana?!"
*************
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!