Bab 3

"Kemana?" Raka dan Rania sama mengangkat bahunya.

"Dari Kita pulang juga nggak ada, ya?" tegas Rania pada adiknya. Raka mengangguk.

"Makan sekarang, Pa. Raka laper." rengek Raka.

"Ayo Kita buka makanannya. Ambil piring, Nia." pinta Dirga pada Rania.

Dirga meletakkan beras di tempatnya lalu membantu anak - anaknya meletakkan makanan yang dibawakan Juwita ke atas piring.

"Asyik! Rendang!" teriak Rania melihat makanan favouritnya.

"Raka juga mau rendang!" teriak Raka. Dengan cepat Dirga mengambil 2 potong daging dan memisahkannya untuk Maya, istrinya.

"Makan yang kenyang, ya." Dirga tersenyum melihat anak - anaknya makan dengan lahap. Tapi kemana Maya?

Brukk!

Dirga membanting tubuhnya di tempat tidur.

"Kamu ke mana sih, May?"

Lelah menunggu dan mencari membuat Dirga tertidur.

Ini sudah hampir tengah malam dan Maya belum juga kembali. Dirga sudah menelpon semua teman dekat Maya yang ia kenal, tapi nihil. Ia juga berkeliling mencari Maya dengan motor bututnya, tapi bahkan aroma tubuh Maya juga tak tercium olehnya.

Ponsel Maya tidak ia bawa. Tergeletak karena tidak mampu membeli quota.

"Kamu kemana, May?" itu terus yang diulang - ulang dalam keresahan hatinya.

"Ke rumah Putri, kali." lagi - lagi Bu Ranti memberi argumennya.

"Di mana rumah Putri, Bu?"

"Persis di sebelah rumah Bu Wondo. Yang suaminya pensiunan polisi itu, lho."

"Bu Wondo? Yang mana ya, rumahnya?"

"Ya di sebelah rumah si Putri, dong!" Bu Ranti terlihat gemas.

"Tapi Saya juga nggak tau rumah Bu Wondo, Bu."

Bu Ranti membelalakkan matanya. Dirga ini dari planet mana, sih? Masa' rumah Bu Wondo nggak tahu? Bu Wondo yang baik hati dan tidak sombong itu? Yang sering memberi bingkisan untuk seluruh warga?

"Nggak semua orang seperti Ibu. Semuanya tau." celetuk Pak Budi.

"Kan memang harus begitu, Pak. Namanya bermasyarakat."

Bu Ranti mengerucutkan bibirnya.

"Tapi Dirga kan nggak pernah kelayapan kayak Ibu."

"Bukan kelayapan, Pak. Bermasyarakat. Sebagai warga negara yang baik,.." Bu Ranti mulai meracau membanggakan dirinya yang aktif bersosialisasi. Siapa di sini yang tidak mengenalnya?

"Begini aja, Ga." Pak Budi berusaha mengambil alih.

"Bapak bagaimana, sih? Ibu kan lagi ngomong!" pak Budi tidak mengacuhkan kekesalan istrinya. Mau sampai sore masalah alamat ini tidak akan ketemu bila menunggu bu Ranti selesai ngoceh.

"Kamu tau lapangan bulu tangkis, 'kan?" Dirga mengangguk. Lapangan bulu tangkis hanya ada satu di RW ini.

"Nah, rumah di depan lapangan itu, yang banyak pohon mangganya, itu rumah bu Wondo."

"Oooh, Pak Wonodo?"

"Iyaa! Tapi mereka lebih senang di panggil Wondo."

"Kalau Wondo yang itu Saya tau, Pak." Dirga nyengir kuda. Tapi masih kalah manis sama empunya cengiran.

"Sebelah kiri rumah bu Wondo, itu rumah Putri." singkat, jelas, padat dan langsung dipahami oleh Dirga.

"Tapi bukannya itu rumah Kun Kun, teman SD Saya dulu?" Kun kun, ia baru mengingatnya lagi sekarang.

"Orangtua Kun - kun udah lama pindah. Rumahnya dijual sama Pak Isno. Baru setengah tahun yang lalu rumah itu dijual lagi. Keluarga Pak Isno pindah ke Jawa. Pulang kampung! Si Putri itu yang nempatin sekarang. Sendiri. Eh, berdua sama pembantunya."

"Kok Bapak tau? Bapak naksir sama si Putri, ya?" Bu Ranti jadi suuzon pada suaminya. Matanya mendelik.

'Minta dicolok, nih!' dengus hati Pak Budi.

"Ibu ini gimana, sih? Udah sana, Ga. Bapak perlu berantem dulu sama Ibu, nih."

Mulut Arga terbuka membentuk bulatan. Kenapa jadi mereka yang ingin berantem, sih?

Saat pak Budi mengibaskan tangan menyuruhnya pergi, Arga kembali ke atas motornya dan melaju melanjutkan pencariannya.

Rumah di depan lapangan bulu tangkis yang banyak pohon mangganya. Di sebelah kirinya,

"Ini Dia!"

Ia menemukan rumah Putri. Tapi ia tidak menemukan istrinya. Bahkan Putri juga sedang keluar.

"Ibu keluar dari siang, Pak." Begitu yang disampaikan oleh pembantunya.

"Sama siapa?"

"Dari rumah sih, sendiri." harapan menemukan Maya terbang sudah.

"Kamu kemana sih, May?" keluh Dirga frustasi.

***************

Brakk!

Suara tas yang dihempaskan di atas meja rias membuat Dirga terbangun.

Dirga membuka matanya dengan rasa kantuk yang begitu mendera.

Hal yang pertama yang dilihatnya adalah senyuman Maya.

"Maaf, Pa. Aku berisik, ya?" Maya nampak sedang menghapus polesan make up di wajahnya.

"Kamu dari mana, May?" tanya Dirga dengan suara sengau mengantuk.

"Dari Bandung."

"Hah?!" mata Dirga langsung terbuka lebar. Ia langsung terduduk.

"Kamu ngapain ke sana, May? Ke rumah siapa? Sama siapa Kamu ke sana? Kenapa nggak ijin sama Aku? Terus, Kaki Kamu itu gimana? Kamu.."

"Stop! Bawel, ah!" Maya sudah selesai menghapus make upnya.

Brukk!

Maya membanting tubuhnya di sebelah Dirga.

"Ceritanya besok aja, ya? Aku ngantuk."

"Tapi May, Aku ingin tahu penjelasanmu sekarang!" Tapi percuma. Maya justru membalikkan tubuhnya memunggungi Dirga.

"May?" Dirga mengguncang tubuh Maya. Maya tidak bergeming. Ia tidak perduli meskipun guncangan tubuhnya semakin keras.

Akhirnya Dirga menyerah. Ia bangun dan keluar dari kamar. Ia duduk di sofa dan mulai menyalakan rokoknya.

"Maya semakin keterlaluan sekarang!" gerutunya. Tiap hari ada saja yang membuat mereka bertengkar. Maya selalu mencari cara untuk membuat Dirga tidak betah di rumah.

"Mau Kamu apa sih, May?" asap rokok mulai membuat polusi udara.

"Aku mau pisah sama Kamu, Pa!" itu yang Maya cetuskan minggu lalu.

"Tapi kenapa, May?"

"Kok Kamu tanya kenapa! Kamu udah bikin Aku dan anak - anak sengsara! Apa itu belum cukup jadi alasan?"

"Tapi Aku terus berusaha, May. Aku ingin Kamu dan anak - anak bahagia seperti dulu. Sabar, May! Istighfar!"

"Buat apa Aku istighfar? Semakin Aku berdoa, semakin Allah menyengsarakan Aku!"

"Astagfirullah! Sadar, May! Taubat!"

Maya mendengus marah. Ia menuntut ini itu, termasuk kalung seperti milik Safira jika Dirga tidak mau menceraikannya.

"Akan Aku turuti mau Kamu, May! Tapi sabar dulu."

"Sabar! Sabar! Sabar terus! Cuma itu yang bisa Kamu omongin, Pa?"

Dirga meremas rambutnya. Ia sangat mencintai Maya, begitu juga sebaliknya. Dulu kehidupan mereka begitu bahagia.

Dulu! Dulu! Lagi - lagi dulu!

Ada uang Abang di sayang, tak ada uang Abang di tendang, begitulah Maya ternyata.

"Uang terus! Uang terus! Bukannya sekolah negri, ya? Kenapa banyak pungutan?" Raka dan Rania juga sering mendapat dampratan dari Maya setiap meminta bayaran untuk tugas ini itu, bayaran buku, iuran ini itu..

"Sudah, Nak. Kalau ada apa - apa mintanya sama Papa, ya?" Dirga berusaha menghibur anak - anaknya.

"Mama jadi galak." Raka menangis. Ia yang paling dimanja oleh Maya. Tadinya. Tapi sekarang tidak lagi. Dunia Maya sekarang dipenuhi oleh kemarahan dan kekecewaan.

'May, sekarang Kita lagi ngumpul di cafe Bintang, nih. Kamu meluncur, ya.' chat dari Femi, teman sosialitanya. Dan Maya selalu sibuk mencari alasan untuk menolak. Ujung - ujungnya, ia melampiaskan kekecewaannya pada anak - anak, bahkan Dirga juga tak luput dari sasaran kemarahannya.

"Ruang gerakku sekarang sempit, Pa! Aku malu kalau ketemu sama mereka di mana - mana! Kalau mereka ngelihat penampilanku sekarang, gimana?!"

*************

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!